κεφάλαιο 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Psionic?” Aku mengulang apa yang diucapkan oleh Claus. Aku tidak memedulikan ucapan Deo saat itu dan kabur dari keluarga Lenore, kemudian aku bertemu dengan Claus, dia mengantarku sampai dekat menuju rumah. Setelahnya, dia berjanji untuk bertemu denganku di pagi hari.

“Iya, salah satu kekuatan yang terkuat. Menurutku, kau sudah mengenal seseorang yang memiliki kekuatan tersebut. Karena itulah ... keberadaanmu tidak bisa kurasakan saat itu.” Claus menyeruput tehnya dengan tenang.

“Bukankah psionic berhubungan dengan pikiran? Bagaimana caranya itu memengaruhi scent dari seorang Cheiodis?”

Pertanyaanku sepertinya menarik perhatian Claus sehingga dia menaikkan satu alisnya, meletakkan gelas yang membunyikan suara bising di seluruh rumah makan yang sepi. “Apa kau begitu penasaran hingga ingin aku jelaskan?”

Anehnya, mendengar ucapan Claus justru membuatku merinding sekujur tubuh. Mataku terus menatap milik Claus, membuatku seperti terhisap ke dalam dunianya sendiri. Senyuman di wajahnya justru menambah kesan angker. Menyadari aku hanya diam saja, Claus menelengkan kepalanya. Senyuman yang mengerikan itu tergantikan dengan kerutan di keningnya sehingga aku tersadar dari lamunanku sendiri.

Bukannya menjawab, lidahku justru terasa kelu menatap ekspresi pahit Claus. Dia yang seperti itu justru terlihat lebih mengerikan. Untuk mengalihkan pikiranku, aku ikut menyeruput cokelat hangat yang dipesankan oleh claus. Setelah menenggak setengah gelas, aku menundukkan kepala, berusaha untuk tidak menatap Claus. Mataku mengarah ke roti panggang yang ada di hadapanku sebelum menjejalkannya ke dalam mulutku. Reaksiku ini membuat Claus terkekeh kecil. Dia tiba-tiba saja mengusap bibir sampingku, justru membuatku tersedak.

“Perlahan-lahan saja. Kalau kau tidak menginginkannya, aku tidak akan memaksamu. Aku ... tidak akan menunjukkannya kepadamu.”

Selama beberapa saat aku terdiam dan menundukkan kepala. “Baik, terima kasih, Claus.” Aku memberikan senyuman termanis yang bisa kuberikan agar tidak membuatnya merasa canggung. “claus ... kau bilang kau bisa tau kalau aku adalah Cheiodis, berarti kau juga Cheiodis, kan?”

“Hm ... tentu saja.”

Jawaban Claus membuatku merasa semakin ragu untuk mengutarakan apa yang ada di dalam pikiranku. Rasa ingin bertanya pun semakin meningkat, namun aku tidak bisa membiarkan diriku menanyakan sesuatu kepada orang yang baru aku kenal. Namun melihat raut wajah Claus membuat sebagian dari diriku merasa kalau dia sudah tau apa yang ingin aku ungkapkan. Dia hanya menahan dirinya untuk tidak melontarkan kata-katanya, berhati-hati denganku. Melihat Claus yang juga tidak berniat untuk bertanya kepadaku, akhirnya aku kembali melahap makananku.

Kami berdua terdiam untuk waktu yang cukup lama. Bahkan aku berhasil menghabiskan roti yang sudah kupesan dalam sekejap, membuat Claus mendorong piringnya yang masih tersisa satu keping roti, menandakan kalau aku bisa memakannya. Dengan ragu-ragu aku mengambil roti tersebut dan menggigitnya perlahan-lahan, jika roti ini juga habis, maka aku akan terpaksa untuk mengobrol dengannya. Claus terdengar terkekeh kecil sehingga aku langsung menatap ke arahnya, dia nampaknya menyadari apa yang kulakukan. Rasa malu menghantamku kuat, wajahku menjadi merah karena malu.

“Kau tau kan arti dari psionic, Aurora?” Aku yang masih sibuk mengunyah mengangguk kecil. “Seperti yang sudah kubilang, psionic adalah kekuatan yang cukup kuat dan hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang. Kenapa? Karena mereka menggunakan energi khayal, mereka menggunakan teknik pikiran. Hampir mirip sepertiku, namun aku hanya pada hipnotis dan manipulasi. Psionic ini luas, apa dia ada menjelaskan apa saja kebolehannya?”

“Uhm ....” Awalnya aku merasa ragu, Triton juga suka berkata bahwa dengan mengetahui kekuatan lawan, mereka dapat dengan mudah membuat strategi penyerangan. Namun aku teringat akan ucapan Icarus, bahwa tidak ada anak di kampus yang perlu dicurigai. “Dia bisa membaca pikiran, mengontrol pikiran orang lain, memanipulasi memori seseorang. Dia bahkan bisa ... abuse.”

“Hm, orang yang picik, ya?” Claus lagi-lagi terkekeh. Melihatku tidak merespons apa-apa dari ucapannya, Claus kembali memasang ekspresi seriusnya dan menatapku tepat di mata, pandangannya menusuk. “Apa dia bilang yang lain?”

Karena pandangan Claus yang aneh, aku memutuskan untuk menggelengkan kepalaku, merasa tidak ada gunanya untuk melanjutkan penjelasanku tentang Triton. “Apa ada masalah?”

“Hm ... aku hanya memiliki firasat. Mungkin saja ... dia memanipulasi ingatanmu, mengahpusnya dan membentuk kejadian yang lain.”
***
Merasa telah dicurangi oleh Triton, aku berderap keluar dari kelas sore hari itu dengan penuh emosi. Seseorang seperti Triton kemungkinan berbohong kepadaku. Orang yang paling ingin aku percayai justru memiliki kemungkinan terbesar untuk mengubah memoriku. Terlebih, aku dan dia sudah bertemu untuk waktu yang lama. Katanya, dia diam karena merasa aku tidak sadar akan kekuatanku sendiri. Apa mungkin selama ini dia sudah menutupi scent-ku sehingga tidak ada anak lain yang sadar bahwa aku seorang Cheiodis?

Masih dengan emosi yang meluap-luap, aku memandang ke arah Triton yang menungguku di depan kampus. Beberapa anak terlihat berbisik-bisik dan menunjuk ke arah Triton, mungkin karena dia terlihat begitu berwibawa dan juga memiliki paras yang sempurna. Begitu dia melihatku yang berjalan penuh tekanan, kerutan di keningnya terlihat mendalam. Ponsel yang dia pegangpun dia masukkan ke dalam kantong celananya, jelas dia terlihat khawatir dengan apa yang akan aku lakukan. Jika dia tidak merasa khawatir, di pantas mendapat penghargaan sebagai orang terbodoh yang ada.

“Psionic, huh?” Triton nampaknya terkejut dengan ucapanku sehingga dia hanya diam terpaku. Terlihat dia mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali sebelum mundur selangkah. “Katakan. Kenapa kau berbohong kepadaku? Alasan kau bisa menutupiku semenjak SMA, itu karena kau tau akan kekuatanmu itu, kan? Lalu memanipulasi memori. Apa jangan-jangan tentang pertemuan pertama kita juga? Bahkan sekarang aku sudah tidak tau mana yang asli mana yang bukan!”

“Apa ... maksudmu?” Triton menatap mataku dalam-dalam, seperti ingin menghisapku ke dalam salah satu dimensi buatannya. “Siapa yang berkata seperti itu? Jelaskan, dari mana kau dengar kata-kata konyol itu?”

“Jangan mengelak. Katakan kepadaku, katakan yang sebenarnya. Apa kau memanipulasi semua ingatanku? Jika kau bisa memanipulasi ingatanku, berarti kau juga sudah tau akan masa laluku, kan? Afterall, kau memiliki kekuatan psionic.”

Triton menghela napas, dia terlihat sadar kalau aku tidak akan menyerah sampai aku mendapatkan jawaban yang aku inginkan. Ekspresinya terlihat menggelam, dia juga menggigit bibir bawahnya, seperti orang yang merasa ragu untuk mengutarakan sesuatu. Tidak tahan dengan sikapnya yang seperti itu, aku akhirnya mendengus sebelum pergi meninggalkan Triton, tidak ingin melihat wajahnya untuk sementara atau mendengarkan suaranya lagi. Perasaan yang dulu aku miliki, bahwa dia seseorang yang begitu keren hilang dari bayanganku begitu saja.

Belum bisa aku pergi terlalu jauh, seketika Triton menarik pergelangan tanganku keras-keras, seperti dirinya yang biasa. Sudah bisa ditebak kalau nantinya tanganku akan merah karenanya. Triton nampaknya menyadari rasa sakit yang memenuhi diriku sehingga dia melonggarkan pegangannya, namun tidak melepaskannya.  Dia justru menautkan tanganku dengan tangannya, memberikan rasa hangat yang kemudian menggantikan semua rasa sakit yang semula dia berikan. Hanya dari melihat tatapannya, aku sadar kalau dia merasa bersalah atas apa yang dia lakukan sebelumnya.

Masih dengan tangan yang menggenggam milikku kuat, Triton berkata kepadaku kalau dia akan menjelaskan semuanya, dia juga berjanji tidak akan menutupi apa-apa lagi dariku. Aku yang smeula menundukkan kepala, tidak mau menatap wajah Triton karena tau aku lemah jika sudah menatap matanya, memutuskan untuk membaca emosi yang dia tampilkan di wajahnya. Angin sepoi menyapukan rambutnya yang sedikit panjang, membuat alisnya yang cukup tebal itu nampak oleh mata. Namun kini kerutan jelas terlihat di antara dahinya tersebut, menunjukkan kekhawatiran.

Tidak memiliki pilihan lain, akhirnya aku mengangguk kecil dan mengikuti Triton. Dia membawaku ke mobilnya, menyuruhku untuk masuk. Genggaman tangannya seketika menguat, kembali, ketika dia membukakan pintu mobilnya agar aku bisa masuk. Pandangannya tiba-tiba terasa kosong, entah memandangi ke arah mana. Aku berusaha untuk mengikuti pandangannya, namun justru aku sama sekali tidak bisa menemukan apa yang dia tatap tersebut. Genggaman tangannya juga seketika terasa dingin, mengeluarkan sedikit uap yang mulai membakar telapak tanganku.

Rasa panik seketika membuat pemikiranku menjadi kacau. Dengan susah payah aku berusaha untuk melepaskan genggaman Triton, namun semakin berusaha, maka semakin kuat pula tangannya menggenggam milikku. Usaha terakhirku adalah memukul sekujur tubuhnya, butuh waktu yang lama untuk membuatnya sadar, terlebih karena tubuhnya yang begitu atletis justru tanganku yang merasakan sakit. Karena tidak ada jalan lain, aku akhirnya menjerit cukup kencang, hanya untuk memberikan peringatan kepada Triton dan tidak sampai menimbulkan rasa curiga dari orang lain. Matanya yang semula menatap kosong ke depan seketika jatuh ke arahku.

“Triton Wang!” amukku. Triton langsung melepaskan genggaman tanganku, meninggalkan asap yang keluar dari kedua tangan kami. Tanpa memandang ke arahku sama sekali, Triton justru memalingkan wajahnya ke sekitar, seperti ingin memastikan kalau dia sedang sendiri saja dan tidak ada orang lain. “Apa yang terjadi kepadamu, hah?”

Masih belum menjawabku, Triton kembali mengedarkan pandangannya dan memaksaku untuk masuk. “Jangan lihat ke mana-mana lagi dan masuk.”

“Hah?”

“Aku bilang masuk!” Bentakan Triton berhasil membuatku mengikuti keinginannya. Masih dengan tangan yang terasa nyeri karena sensasi dingin sebelumnya, aku menuruti perintah Triton dan masuk ke dalam mobilnya. Dia menutup pintu dengan sedikit terlalu kasar, mengguncang seluruh badan mobil. “Dengarkan ucapanku. Kau harus selalu siaga.”

“Apa maksudmu?”

“Akan ada yang mengikuti kita, apapun yang terjadi akan ada orang yang mengikuti.”

Triton tidak memberikanku waktu untuk menceran semua yang dia katakan dan langsung memasangkan pengaman padaku, tubuhnya terlihat berkeringat, namun bukan karena kepanasan tapi justru keringat dingin. Mataku sempat menangkap tangannya yang kanan memerah. Tangan yang semula mengeluarkan asap kini terlihat jelas seperti melepuh. Keterkejutanku tidak bisa ditahan sehingga aku langsung menarik tangannya untuk menginspeksi apakah luka yang dia miliki cukup parah. Masih dengan kondisi yang sama, Triton langsung menarik tangannya dan mengepalkan tangan tersebut.

Dia tidak menjelaskan apa-apa dan melajukan mobilnya. Setiap kali dia mengambil belokan, dia akan melihat ke belakangnya, seperti memastikan kalau memang tidak ada yang mengikuti kami. Melihat Triton yang biasanya tenang justru panik seperti ini membuatku merasakan hal yang sama. Kedua tanganku menggenggam sabuk pengaman dan memperhatikan mobil belakang lewat kaca spion. Meski aku tidak tau apa yang terjadi, Triton tidak mungkin berbohong sekarang, kan? Terlebih ketika tangannya sampai memerah seperti itu.

Setelah beberapa menit hanya terdiam, merasa ragu akan apa yang sebenarnya terjadi, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Triton. Dia juga nampak lebih tenang dari sebelumnya, tapi tetap berjaga. Kuberi tatapan penuh arti kepada Triton, dirinya yang memang sering peka dengan situasi memudahkanku untuk bertanya. Sebuah helaan lolos dari bibir Triton, dia yang menyetir dengan satu tangan mengepalkan tangannya yang semakin memerah, pastinya itu terasa begitu sakit sampai-sampai dia bereaksi demikian. Menepipun tidak akan bisa.

“Aku melihat masa depanmu.” Kata-kata singkat Triton berhasil membuatku ternganga. “Seperti yang kau bilang, aku memiliki kekuatan psionic aku tidak akan bertanya dari mana kau dengar itu. Namun semua kenangan kita tidak ada yang palsu. Dan seperti yang kau tau ... aku belum cukup kuat untuk mengembalikan ingatanmu. Karena itulah ibu marah besar.”

“T-tapi ...?”

“Membaca masa depan? Aku bisa melihatnya sedikit-sedikit. Aurora ... hidupmu tidak akan tenang mulai sekarang.”

Mendengar ucapan itu membuatku mendengus. “Yeah, hidupku memang sudah hancur dari awal.”

“Bukan itu yang kumaskud!” potong Triton. “Kau tau kalau core dari Cheiodis di masa ini belum ditemukan? Mereka akan melakukan penculikan massal lagi. Kali ini, bukan hanya anak-anak saja yang akan mereka ambil. Tapi kita ... kita yang sempat kabur juga akan menjadi targetnya.”

Penjelasan singkat Triton berhasil membuatku merasa merinding. Sekujur tubuhku seketika merasakan dingin, padahal jelas mobil Triton terasa hangat, hangat yang menenangkan. Genggamanku pada sabuk pengaman menguat, pandanganku yang semula ada pada Triton kini beralih kepada spion yang tidak menunjukkan tanda-tanda ada yang mengikuti. Triton sepertinya menyadari perubahan pada diriku sehingga dia menggenggam tanganku, kini dia menyetir dengan tangan yang terluka. Sama sekali dia tidak meringis kesakitan seperti orang normal lainnya.

Jika dia berkata kita semua dalam ancaman, apa mungkin itu karena keluarga Lenore yang gagal? Apa mungkin karena aku menolak untuk membantu mereka? Atau mungkin ... karena aku justru membantu mereka? Jika sudah seperti ini, pilihan apa yang harus aku ambil? Aku tidak tau kekuatan apa yang dimiliki oleh Deo sampai-sampai dia memiliki keberanian untuk mengajukan hal tersebut kepadaku. Memoriku yang hilang. Karena hal tersebut, aku tidak bisa tenang. Aku terus terpikir oleh memori yang ingin aku dapatkan kembali. Jika tidak bisa ingat sendiri, dengan bantuan luar adalah caranya.

“Kenapa ... kenapa kau bisa tau masa depanku sekarang?” Kata-kata tersebut adalah satu-satunya yang bisa kulontarkan agar tidak panik. Triton tersenyum kecil ke arahku, mengalihkan pandangannya sehingga kini dia menghadap ke arahku. Meski ada senyum di wajahnya, aku tetap tidak bisa melihat kehangatan dari pandangannya.

“Karena aku khawatir akan dirimu. Aku membaca masa depanmu ... dan mendapatkan luka ini sebagai gantinya. Karena itulah aku tidak membaca masa depan secara sembarangan. Aku hanya melakukannya untukmu seorang, Aurora. Aku ... tidak mau sampai kau salah paham dengan maksudku. Aku hanya ingin kau sadar ... bahwa rasa sayangku itu memang benar nyata.”

🧬💉🧬
(03/01/2024)

Setelah sekian lama tidak muncul, akhirnya aku kembali lagi ke cerita ini~
Sebenernya cerita ini udah end, cuma memang butuh diedit dan dipoles lagi sebelum posting

Walau begitu, semoga masih ada yang menunggu cerita ini ^^

Jangan lupa untuk tinggalkan vomments kalian dan masukkan ke reading list~

See you next week!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro