Kebun Teh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


  Nara sudah rapi dengan pakaiannya. Ia sengaja tidak memakai pakaian khusus pasien, karena tadi Rai berkata mereka akan pergi ke suatu tempat.

    Nara sempat meminta bantuan dengan Riska untuk memilihkan pakaian yang pas, serta merapikan kepangan Rai yang berantakan.

    Riska juga membantu Nara mempercantik dirinya, perempuan itu mengoleskan sedikit bedak di pipi Nara, mengoleskan lip berwarna merah muda yang tampak natural di bibir Nara.

     Sebenarnya ini adalah kali pertama Riska mendadani orang lain selain dirinya sendiri. Dan hasilnya pun bisa dibilang... lumayan.

    Senyum Riska melebar saat melihat Nara sangat manis dengan make-up natural. Bedak dan goresan lip yang tipis, serta kepangan miring yang disatukan dengan pita berwarna biru lembut aquamarine.


    "Gimana, Kak? Kakak nggak jelek-jelekin Nara, kan?!" tanya Nara seraya memegang kedua pipinya yang sudah dipoles bedak dan mengulum bibir yang sudah digores lip.

    "Nggak lah! Nara udah cantik kayak putri kerajaan,"

    Riska berdiri, entah mengapa ia iri. Dirinya bisa mendandani orang lain dengan cantik, tapi ia kadang gagal mendandani dirinya sendiri.

    Nara ber-hehehe ria, kemudian ia berdiri. "Oh iya, ini jam berapa?"

    "Jam setengah satu, kamu mau pergi sekarang? Udah minta izin Dokter Alvin?"

    "Udah, Kak. Dokter Alvin lagi baik hari ini,"

    Nara mengambil tongkat kayu yang disodorkan Riska, kemudian gadis itu melangkah keluar dari kamar rawatnya.

    "Hati-hati, Nara!" pekik Riska yang hanya dibalas anggukan singkat Nara.

    Sepuluh langkah lagi akan sampai. Batinnya.

    Setelah sepuluh langkah, gadis itu mendudukkan dirinya di bangku kayu tempat ia dan Rai tadi bercerita. Gadis itu menunggu dengan senyum yang merekah.

***

    Tiga jam lebih sudah berlalu, tapi Nara tidak mencium aroma parfum yang biasa di pakai Rai. Nara tidak mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Nara tidak mendengar adanya tanda-tanda Rai di sini.

    Gadis itu cukup putus asa. Tetapi langsung disingkirkannya keputusasaan itu dan kembali menanti Rai dengan senyum yang merekah.

    Padahal Rai berkata jika ia tak kunjung datang Nara boleh kembali ke kamar rawatnya. Dan ia menyetujui ucapan Rai itu, karena sangat malas jika harus menunggu lama-lama. Tapi, nyatanya.. gadis itu masih setia duduk di sana.

    Di sisi lain...

    Rai yang baru saja selesai menggambar langsung melirik jam dinding yang tertempel di sudut kamar rawatnya.

    "Masih jam dua belas, mending gue tidur dulu sejam. Biar pas bangun langsung seger," ia monolog.

    Laki-laki itu memandang sejenak hasil gambarnya, kemudian beralih menuju kasur. Berbaring sejenak di sana sambil menutup matanya.

    Padahal Rai berniat untuk memejamkan matanya saja—tidak benar-benar tertidur. Namun, laki-laki itu malah tertidur sangat nyenyak. Sampai sekarang.

    Meong..

    Rai buru-buru membuka matanya, menatap kucing yang sudah duduk sopan di depan ranjangnya. Laki-laki itu terkekeh, ia menurunkan kakinya menyentuh lantai dan berjalan menuju kucing berbulu putih dengan mata bulat besar. Rai mengelus puncak kepalanya.

    "Dasar. Ngangguin gue tidur aja lo kucing," gerutunya masih mengelus puncak kepala si kucing manis.

    "Oh iya, ini jam berapa, sih? Kok gue ngerasa ada yang ganjal.."

    Ia menoleh ke belakang, menatap jam bulat yang menampakkan dua puluh satu titik kongruen berwarna putih, dengan salah satu permukaannya tertutup lensa planet dan angka-angka digital berwarna hijau pupus.  Kini benda itu menunjukkan pukul tiga lewat lima puluh. Sepuluh menit lagi jam empat.

    "Oh..."

    "EEEEHH?! INI JAM BERAPA?!"

    Rai berteriak yang langsung membuat kucing itu berlari keluar, ia langsung berlari menuju kamar mandi.

    Kini, ia sudah siap di depan kaca dengan kemeja putih dan jeans berwarna hitam. Laki-laki itu menyemprotkan parfum ke pakaian, dan menata rapi rambutnya. Rai buru-buru menepuk keningnya kencang.

    "Nara 'kan nggak bisa liat. Bego lo!" intinya mau berpenampilan se-keren apapun, Nara tetap tidak bisa melihatnya.

    Ia langsung berlari keluar kamar, melewati Dokter Alvin yang baru saja akan berkata, "Loh, Rai? Bukannya kamu sama Nara—"

    Rai berlari sekencang mungkin menuju taman, hanya untuk memastikan apakah Nara masih di sana atau sudah kembali ke kamar rawatnya. 75% keyakinan Rai bahwa Nara sudah kembali ke kamar rawatnya, karena ini sudah jam empat liwat lima belas!

    Tapi....

    Gadis bego itu masih di sana.

    Rai menghentikan lariannya tatkala matanya menangkap Nara yang masih setia duduk di bangku kayu. Ia menyeringai, mengatus nafasnya, dan berjalan dengan sok-keren-nya.

    "Rai?"

    Nara langsung mendongakkan kepalanya.

    "Loh? Kok lo tau gue Rai? Kan, gue belum ngasih tau elo?"

    "Parfum kamu itu baunya nyengat banget tau!" Nara pura-pura menggerutu, kemudian kembali tersenyum.

    Lagi-lagi hati Rai berdenyut. Ia miris melihat gadis buta itu yang masih setia duduk di bangkunya walau sudah berapa jam terlewatkan.

    "Kenapa masih nungguin di sini? Kenapa nggak balik ke kamar rawat lo aja? Kan, udah gue bilang kalo udah lewat dua jam dan gue nggak dateng-dateng, lo boleh balik." Intonasi laki-laki itu mendadak datar. Ia mendudukkan diri di samping Nara.

    "Kata Papa, jangan membuat orang lain menunggu. Makanya aku lebih milih menunggu dari pada nanti kamu yang nungguin aku," jawab Nara yang lagi-lagi membuat hati Rai berdenyut.

    "Lagian aku juga nggak tau ini jam berapa,"

    Rai membuang nafas, "Yaudah ayok!" ia berdiri dan menarik tangan Nara untuk segera pergi dari tempat ini.

    Nara dan Rai keluar dari area rumah sakit dengan senyum yang merekah, memperhatikan jalanan sekitar yang ditumbuhi banyak pohon-pohon berbatang besar. Jalan menuju rumah sakit Hortensia memang ditumbuhi pohon-pohon berbatang besar, sehingga membuat setiap orang yang berada di sana betah akan kerindangannya.

    "Aku udah lama nggak jalan-jalan gini, lho. Tapi, aku masih hapal tempat-tempat yang ada di sekitar sini."

    Rai tersenyum, ia menatap lurus ke depan.

    "Tau nggak? Jauh di samping kanan lo ada orang gila yang lagi bawa semangka busuk," Rai akhirnya bersuara, mendadak Nara bergidik.

    "Seriusan?!"

    "Serius lah!"

    Rai menolehkan kepalanya ke arah kanan, di sana memang terdapat laki-laki berpakaian compang-camping yang sedang membawa semangka busuk dengan wajah bengis yang tersenyum layaknya orang gila. Tapi, belum tentu dia gila, kan? Dasar Rai.

    Lalu, ia kembali memandang ke depan sembari menghembuskan nafasnya, kemudian tersenyum lagi.

    "Tuh, kita barusan ngelewatin toko roti favorit gue." Rai kembali bersuara, Nara mengangkat kedua alis hitamnya kemudian tersenyum.

    "Enak nggak roti-roti di sana? Ada apa aja?"

    "Ada banyak orang pacaran."

    Dasar Rai. Nara bertanya apa, yang dijawab apa. Gadis itu menekuk bibirnya kesal, kedua alis hitamnya pun ikut berkerut.

    Laki-laki itu tertawa, "Ya, namanya toko roti pasti ada banyak roti, lah!" lanjutnya masih terkekeh.

    Nara segera menyahut, "Maksud aku ada roti apa aja di sana?" ia berusaha sabar.

    "Roti cokelat, roti abon, dan banyak lagi. Tapi salah satu roti kesukaan gue adalah roti gulung yang diluarnya abon tapi di dalemnya ada susu manis sama daging sapi. Enak banget itu, tau nggak?" laki-laki itu mendadak membayangkan rasa roti yang barusan dikatakannya. Terakhir kali ia memakan roti itu adalah seminggu lalu. Rasanya saat ini Rai ingin segera membeli roti itu banyak-banyak.

    "Oh, kayaknya enak banget. Kalo aku sih sukanya kue sus,"

    Nara tersenyum lebar, ia jadi ingat saat-saat keluarganya pesta makan di cafe yang berada tak jauh dari kebun teh. Saat itu Nara memesan sekitar tiga puluh kue sus, dan ia menghabiskan semuanya sampai tak tersisa. Menurut Nara, itu adalah kebahagiaan yang tak akan pernah ia lupakan.

    Rai hanya menjawabnya dengan kekehan kecil, kemudian mereka berbelok. Di dalam sana ada gunung tinggi yang ditumbuhi tanaman teh.

     Yap, rumah sakit mereka tidak jauh dari gunung penuh kebun teh, tempat kesukaan Rai. Ketika ia merasa sedih atau mempunyai banyak masalah, biasanya ia akan segera ke sana. Apa lagi jika hujan sudah turun. Bagi Rai mandi hujan di tengah kebun teh adalah hal paling indah yang ia rasakan.

    "Lo tau, tempat ini apa?" tanya Rai masih menggenggam tangan pucat Nara. Gadis itu menggeleng, tangan kanannya masih mengetuk-ngetukkan tongkat kayu ke tanah yang berada di depannya.

     Ia menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya pelan, kemudian tersenyum lebar.

    "Udaranya seger banget! Kayak... di kebun teh," Nara berucap ragu kemudian kembali tersenyum lebar. Rai juga ikut tersenyum memandang keadaan sekitar.

    "Iya, ini di kebun teh."

    "Wah beneran?! Kayaknya aku pernah kesini, deh..."

    Iya, lo bener, Ra. Lo pernah kesini. Laki-laki itu membatin, ia menarik tangan Nara untuk mengikutinya memasuki kebun teh lebih dalam.

    "Serius. Udaranya masih sejuk dan aromanya masih sama kayak dulu! A-aku dulu pernah diajak sama seseorang kesini." kepalanya mendadak merunduk.

    "Siapa?"

    "Orang itu udah nggak jadi orang yang kukenali dulu, dia berubah."

    "Yang nanya?"

    Nara mendadak kesal. Menekuk bibirnya sembari melepas gandengan tangan Rai, gadis itu membuang muka ke arah yang berlawanan. Pipinya menggembung, membuat Rai ingin sekali mencubitnya.

    "Dih, marah!"

    Nara kaget saat Rai langsung merangkulnya dan mencubit pipinya. Laki-laki itu tertawa. Apa-apaan orang ini?! Tapi, Nara malah ikut tertawa.

***

Bersambung~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro