SOROT BALIK 20: Badai Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-Putar lagu yang ada di media, ya!-


    CTARR!

    Di balik jendela, Nara duduk termenung. Memperhatikan kilatan di langit dan guntur yang tak henti-henti mengagetkannya. Badai sedang menggila hari ini. Dan tentu saja membuatnya kesal karena tidak bisa berkeliaran ke luar rumah. Seharian ini ia hanya duduk di kamarnya, menunggu kapan badai akan berhenti.

    "Nara?"

    Suara halus nan lembut itu memanjakan telinganya, Nara segera menoleh ke sumber suara.

   "Mau minum yang hangat-hangat?" Kata Lusy berdiri di ambang pintu yang sedikit terbuka.

   "Hmm.." gadis itu mengangguk, menunggu ibunya membawa masuk minuman hangat yang baru saja dikatakannya. Tapi, di tangannya kosong. "Ayo keluar, jangan diem terus di kamar." Kata ibunya lagi.

    Nara menurut, berdiri meninggalkan kasur kesayangannya dan keluar menuju ruang keluarga. Ia langsung menempatkan diri di sofa panjang dan segera menyerang biskuit di tangan adiknya.

    Rion merengek, "Kara!"

    "Hih, imut banget, sih! Nih, Kara balikin." Ia membuka mulutnya lebar-lebar, "Eh-yah.. udah masuk perut!" lanjutnya yang diiringi tawa. Rion tak segan-segan memukul lengan kakaknya dan langsung menjauhkan biskuit lain dari jangkauan kakaknya.

    Nara masih terkikik, ia segera menyambar gelas putih berisi cokelat hangat buatan ibunya, dan menyeruputnya pelan-pelan.

    "Kamu kapan masuk lagi ke sekolah?" tanya Lusy yang ikut nimbrung.

    "Besok, mungkin?" Nara menjawab dengan nada tak acuh.

    "Hari ini emang libur, ya, Kak?" Rion ikut bertanya dengan gigi bergemeletuk saat mengunyah biskuitnya.

    "Nggak, sih. Tapi, siapa yang rajin mau datang ke sekolah pas lagi badai kayak gini? Toh, nggak ada yang mengharapkan kehadiran aku juga."

    "Hah?"

    "Nggak."

    Rion dan Lusy menatap Nara dengan alis berkerut, suaranya tadi terhalau petir. Kemudian, mereka bertiga larut dalam pikiran masing-masing.

***

    Pukul tiga sore, Nara kembali duduk di balik jendela kamarnya. Kemudian ia memikirkan sesuatu. Afutanun Tea. Ia ingin pergi ke cafe itu untuk menghangatkan diri sekaligus memesan kue sus. Tapi, bagaimana bisa? Badai hari ini sedang mengamuk. Jika bisa pun, ia tak akan diperbolehkan Lusy.

    "Haah."

    Gadis itu menghela nafas panjang, ia kembali melirik kaca jendela yang basah.

    Tapi, dari pada aku di sini terus sampai mati kebosanan.. mending keluar diam-diam!

    Pikiran licik itu terbesit di benaknya, dan Nara dengan sigap berlari menuju lemari pakaian. Mengganti baju, dan menata rambutnya. Setelah itu, ia ke dapur untuk mengambil payung motif bunga-bunga milik sang ibu, dan keluar dari rumah lewat pintu depan dengan mengendap-endap.

    ZRASH!

    Ketika di teras, ia segera di sambut dengan angin kencang yang menggoyangkan rambut ekor kudanya. Nara buru-buru membuka payung dan melangkah tanpa suara.

   Selama di perjalanan, payungnya hampir saja terbang diterjang angin. Untung saja genggamannya pada gagang payung sangat erat, jadi payung itu tak akan lari darinya.

   Ketika gadis itu sampai di cafe, matanya menangkap seseorang yang selama ini menyakitinya diam-diam. Yang selama ini selalu memenuhi pikirannya. Saat yang sama, orang itu juga menatapnya kaget.

    "Nara..." suaranya lirih.

    "..." Nara tak menjawab, bibirnya terbuka, sedangkan air matanya mulai menetes.

    Gadis di hadapannya tersenyum sendu, tangan kanannya terangkat untuk memegang bahu Nara. Namun, sekilas ingatan menyedihkan tentang malam ulang tahun itu membuat Nara bergidik.

    Ia menepisnya.

    Nggak, dia bukan temanku. Dia bukan Luna. Dia orang lain yang menyamar menjadi Luna.

    Nara tertawa hampa, ia menyeka air mata yang tiba-tiba jatuh menderas seperti hujan.

    "Nara, aku..."

    "Nggak. Kamu bukan Luna. Kamu orang jahat yang menyamar jadi temanku. Kembalikan Luna Frisellia!"

    "Ra.." gadis itu mencoba untuk memegang pundak Nara, tapi, lagi-lagi Nara menepisnya. Kuat.

    "Aku nggak tau kenapa kamu memilih untuk ngejauh.. itu membuat aku sedih.. hanya dengan tau kalau kamu nggak peduli dengan apapun yang terjadi padaku... Gimana bisa kamu melupakan semua tentang kita, Lun? Aku pikir... kita bisa berteman sampai mati. Tapi, aku salah.."

    Nara sesenggukan.

    "Apa yang terjadi? Kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa kamu ngejauh bahkan menyudutkan aku? Kenapa kamu natap aku seperti musuhmu?!

    Dan... bahkan saat aku lagi terpuruk, kamu nggak ada di sisiku untuk menyemangatiku.. biasanya kamu menolongku dan menyemangatiku.. tapi, sekarang itu hanya sebatas memori.. Kita dulu selalu nonton bareng, gila-gilaan bareng, dongeng bareng..

    Kadang-kadang aku berharap kita bisa berteman lagi kayak dulu.. tapi, sedalam yang aku tahu, kita nggak akan bisa... karena-kamu—jahat."

    Apa?

    Batin Luna berteriak. Kata terakhir yang keluar dari bibir Nara berhasil menohok hatinya. Bibirnya bergetar, ia balas menyahut.

    "Kamu pikir ini mudah?! Kamu pikir cuma kamu aja yang kecewa, hah?! Aku juga, Ra! Aku juga!! Kenapa, sih, nggak ada satu orang pun di dunia ini yang memihak aku? Kenapa semuanya memihak kamu! Apa karena kamu pemeran utamanya?! Itu nggak adil!"

    Luna berteriak di depan wajah Nara yang memerah, nafasnya tersendat, ia pun ikut terisak.

    "Karena kamu jahat, Lun! Kamu jahat! Kamu egois!"

    Luna geram, "Lagian memangnya ada, ya, orang yang nggak pernah EGOIS di dunia ini? Memangnya kamu sendiri nggak egois? Seenaknya bilang kamu sedih, kamu kecewa, kamu sakit hati, tanpa memikirkan perasaan orang yang seperti aku?"

    Dan terjadilah perang mulut di antara mereka. Nara yang awalnya ingin menghangatkan diri di Afutanun Tea, kini tersurut emosi dan melupakan tujuan awalnya.

    "Kamu penghianat! Ngomongnya akan selalu membelaku... tapi... sekarang kamu di mana, Ra? Bahkan, kenyataannya, kamu yang ngejauh! Dan satu lagi, orang jahat itu berawal dari orang baik yang tersakiti."

    PLAK!

    Pipi Luna seketika merah padam.

    "Kalau dikhianati, emangnya sepenuhnya salah si penghianat? Nggak juga, kan? Yang lebih salah dan lebih tolol adalah orang yang percaya sama pengkhianat itu."

    Nara berbalik, pergi meninggalkan Luna. Menerobos hujan dengan payungnya.

***

    SRAT!

    "A-h.."

    Genggaman Nara mengendur, jadi payung bunga-bunga milik ibunya diterbangkan badai hingga menyangkut di dahan pohon. Ia malas mengambil, jadi meninggalkannya.

    Membiarkan dirinya basah, bahkan dinginnya badai tak bisa mengalahkan sakitnya hati. Air mata Nara tersamarkan oleh rintik hujan, ia terus berjalan dengan pandangan kosong.

   Bahkan, perkataan Luna masih terngiang di benaknya. Ia tak menyangka.. masih tak menyangka kalau persahabatan mereka akan benar-benar hancur. Hal itu membuat mata Nara semakin memerah, kedua tangannya pun memeluk tubuhnya sendiri. Kini, dinginnya angin mulai menusuk tulang-tulangnya yang lemah.

    Tapi, tiba-tiba hujan berhenti.

    Tidak.

    Hujan belum berhenti, bahkan angin masih terus berderu.

    Hanya saja, ada sesuatu melindunginya, melindungi kepalanya.

    Nara mendongak, dan mendapati payung milik ibunya berada di atas kepala, melindunginya dari naungan hujan.

    "Lo bodoh atau gimana, sih?" seseorang bersuara dari belakang, Nara kaget bukan main. Ia hampir melompat ketika melihat Rio dengan alis berkerut sudah berdiri di belakangnya dengan pakaian basah.

    "Kamu sendiri? Sinting atau gila? Atau emang sengaja nyari penyakit?" gadis itu sudah bisa menjawab cetusan Rio, karena suasana hatinya sedang kesal.

    Rio bisa melihatnya, bahwa mata Nara merah. Wajahnya pun suram.

    "Badai itu temen gue. Kalaupun gue sakit, sembuhnya pasti nggak sampe sehari! Lah elo?" nadanya meninggi, meski begitu, Nara bisa melihat kekhawatiran di mata Rio. Pasti akan repot kalau ia pingsan di sini.

    Gadis yang baru saja bertengkar hebat dengan sahabatnya itu terdiam. Air matanya semakin deras, isakannya tersamar oleh bisingnya hujan. Ia berusaha agar Rio tidak melihat tangisnya, agar ia tidak terisak.

    Tapi sulit.

    Gadis itu akhirnya memutar tubuh, berjalan menjauh dari Rio dengan kedua tangan memeluk tubuhnya yang mulai kedinginan. Terisak diam-diam. Kejadian beberapa menit lalu masih terngiang jelas di benaknya, sungguh ia tak menyangka.

    Rio memiringkan kepalanya, bingung. Berikutnya, ia mengekor di belakang Nara—memayungi gadis itu agar tidak kebasahan. Sedangkan dirinya sendiri sengaja tidak berlindung di bawah payung.

   "Nara."

   "Hm?"

    "Lo.. kenapa?"

    "Apanya yang kenapa?"

    Rio terdiam. Ia tak pernah mendengar suara Nara yang menyeramkan seperti ini. Yang ia tahu, gadis itu adalah gadis terlembut yang pernah ia temui. Ternyata Nara punya sisi menyeramkan.

    "Lagi... datang b-bulan?"

    Nara buru-buru menolehkan kepala, menatap Rio yang kini sudah berada di sebelahnya. Matanya yang merah hampir keluar.

    Laki-laki itu buru-buru memamerkan cengiran konyolnya.

    Kayaknya bener lagi datang bulan.

     "Nggak!"

    "Kok serem banget?"

    "Serem apanya?!"

    "Tuh, barusan bentak-bentak."

    "Ish, nyebelin!"

    Tawa Rio berderai. "Lo lucu bener kalo lagi marah, Ra."

    Nara menoleh, memelototi laki-laki yang lebih tinggi darinya dengan tajam, alis berkerut dan berusaha mungkin agar terlihat seram. Dengan maksud menghentikan tawa laki-laki itu yang diam-diam membuat lututnya lemas.

    Tapi, tak bisa.

    Malah wajahnya semakin merah, dan lututnya semakin lemas. Jadi, ia berhenti memelototi Rio, memalingkan pandangan, berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup kencang.

    "Dah selesai marahnya?"

    "Belum!"

    Tawa Rio makin keras. Dan lutut Nara makin lemas.

    "Gue selalu inget kata-kata Raihan, kalo cewek lagi PMS pasti marah terus."

    "Marah apa, sih? Aku nggak marah!"

    "Lah, terus, ini?"

    "Kesel!"

    Rio makin tertawa, memegangi perutnya. "Udah, Ra. Gue capek ketawa."

    "Siapa yang ngelucu?!"

    Lima detik. Sepuluh detik. Satu menit. Tawa Rio tak kunjung selesai. Dan Nara, wajah gadis itu semakin merah. Ia pun lama-lama ikut tertawa. Memang benar kata orang awam, kalau tawa itu bisa menular.

    "Yo, udah dong ketawanya. Lama-lama aku jantungan." Katanya sembari memegang dada.

    "Lo sih, lucu banget!"

    Dan, pipi Nara semakin memanas. Diinjaknya kaki laki-laki itu, lalu ia menjulurkan lidah.

    Rio mengaduh, lalu tertawa lagi. Astaga, apa laki-laki ini tak bisa berhenti tertawa?

    Tawa Rio mereda. Untuk beberapa saat ke depan, mereka terdiam. Saat Rio bertanya apakah Nara ingin diantar pulang, Nara menjawab, "Nggak." Dan jadilah mereka berjalan tanpa tujuan.

    "Hm, Ra."

    "Ya?"

    "Lo mau mampir dulu nggak ke rumah gue? Kita minum yang anget-anget," laki-laki di sebelah Nara angkat bicara lagi. Nara terdiam menatapnya, berpikir. Setelah hampir lima belas detik berpikir, gadis itu mengangguk.

    Diam lagi.

    Mereka berbelok memasuki lorong yang tertanam pohon-pohon tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rumah Rio adalah rumah yang paling mewah, tidak besar, tetapi bergaya Eropa kuno.

    Ia beranjak membuka pagar. Tiba-tiba Nara menyeletuk, "Tadi aku berantem sama Luna." suaranya samar, diredam hujan. Tapi, telinga Rio tajam.

    "Ha?" ia berharap gadis itu mengulangi perkataannya. Sebenarnya Rio tahu apa yang dikatakan Nara, tapi ia takut salah dengar.

    Namun, bukannya mengulangi, Nara menggeleng sambil mengulum senyum kecut.

    Mereka masuk. Langkah Rio besar, sedangkan langkah Nara kecil. Gadis itu mengekor di belakangnya dengan malu-malu.

    "Gue tinggal sama Ibu dan Abang."

    "A-ayah?"

    "Udah lama meninggal."

    "Oh?" Nara merasa tak enak hati.

    "Bunuh diri. Kata orang-orang, sih." Rio mengucapkannya dengan santai, matanya pun tak ada tanda-tanda ingin menangis. Cara bicaranya pun biasa saja, seakan sudah banyak orang bertanya.

    Nara semakin tak enak. "M-maaf."

    "Buat?" Rio bertanya sembari membuka pintu rumahnya dengan kunci yang tadi ditemukannya di dalam pot kaktus.

    "Pertanyaan tadi."

    "Nggak apa-apa. Selow aja." Katanya tersenyum lebar, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Nara memilih untuk duduk di kursi kayu teras sambil menikmati bau khas hujan. Di dalam, ia tak sengaja mendengar percakapan antara dua laki-laki.

    "Siapa di luar?"

    "Temen, Bang."

    "Temen apa temenn?"

    "Diem lo, Bang! Ntar dia kabur."

    "Cieeee, ekhem. Ternyata adikku satu-satunya sudah melepas masa lajangnya!"

    "Nggak, heh. Dia itu cuma temen."

    Laki-laki berumur 26 tahunan itu keluar, menghampiri Nara yang basah kuyub. Ia tersenyum jahil.

    "Pacarnya Rio?"

    Nara buru-buru menoleh dengan mata mendelik, wajahnya merah benar.

    "B-bu-bukan!"

    "Oh, ternyata si bujangan itu belum juga nembak kamu?"

    Nara semakin salah tingkah, sedangkan laki-laki bertubuh tinggi itu terkikik. "Dek! Muka cewek lo merah!"

    "Jangan gangguin dia kenapa sih, Bang?!" suara Rio besar sekali, laki-laki itu sepertinya sedang berada di dapur. Membuat sesuatu. Dentingan sendok dengan gelas terdengar samar.

    Nara rasanya ingin pergi sekarang juga.

    "Nggak, saya bercanda. Nama kamu siapa?"

    "N-nara." Nara gugup. Ia malu-malu menatap kakak Rio. Orang itu ternyata sama tampannya seperti Rio.

    "Oh, Nara. Saya Grey, abang kesayangannya Rio."

    Tiba-tiba Rio keluar membawa dua gelas teh hangat. Matanya memicing menatap kakaknya, seakan-akan menyuruhnya untuk segera pergi. Tapi, sayangnya, Grey tidak peka. Ia malah semakin menjadi ketika diberi tatapan seperti itu.

    "Udah berapa lama kamu digantungin Rio?"

    "E-eh?" Nara semakin salah tingkah. Ia tak pandai menyembunyikan semburat merah di pipinya.

    Setelah Rio meletakkan dua gelas di atas meja, ia segera mendorong Grey untuk masuk. Kakaknya itu semakin geli, ia kembali menggoda adiknya. "Mau gue bantu nggak? Nembak si Nara. Biar lo nggak duda lagi,"

    "Emang tahu caranya nembak cewek? Lo sendiri aja duda 26 tahun. Cih."

    "Heh, nggak sopan! Gini-gini banyak yang ngantri."

    "Kalau gitu, kenapa lo masih jomblo? Hm?"

    "Abangmu ini bukannya nggak laku. Tapi nggak mau. Gue kan juga nggak jelek."

    "Tau dari mana kalau Abang ganteng?"

   "Lihat dicermin juga kelihatan."

    "Rupanya cermin itu nggak kenal Abang."

    "Tadi bicara atau kentut, ya?

    Nara diam-diam terkikik mendengar perdebatan mereka. Gadis itu meminum duluan tehnya, ia sudah sangat kedinginan.

    "Udahlah, Bang. Sekali-kali jangan ngeremehin gue terus dong!"

   "Iya udah, demi kebahagiaan adikku yang sebentar lagi akan melepas masa dudanya, Abang berikan tepuk tangan."

    Plok. Plok. Plok.

    Nara hampir menyemburkan air teh di dalam mulutnya. Dua kakak-adik yang mempunyai tampang seperti pangeran itu benar-benar lucu rupanya.

    Di dalam sana, Rio tersenyum. "Lebih baik lo pergi, deh, Bang. Itu hal yang paling membantu."

    Setelah itu, suara-suara rusuh terdengar. Mereka saling melempar bantal ruang tamu.

    Rio berjalan keluar dengan kaki yang dihentak-hentakkan. Ia sebal. Super-duper sebal. Laki-laki itu mendudukkan diri di kursi di samping Nara dengan wajah yang ditekuk. Ia buru-buru menyambar segelas teh yang masih di atas meja, serta merta meminumnya tanpa meniupnya terlebih dulu. Lalu,

    "PANAS BENER INI TEH!" ia menjerit.

    Di sampingnya, Nara tertawa. 

***

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro