SOROT BALIK 25: Tentang Rafa dan Keseruan Lomba

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dulu, Rafa itu salah satu preman sekolah."

Singkat, tapi mampu membuat Nara berjerit kaget. Ia buru-buru menutup mulutnya ketika orang-orang sekitar menoleh. "Rafa preman sekolah?" tanyanya tak percaya. Dan Rio mengangguk meyakinkan.

"Dia bergaul sama kakak kelas yang suka melanggar aturan dan merokok di belakang sekolah." Nara benar-benar tak percaya. Orang seperti Rafa merokok? Bahkan bibirnya tidak hitam seperti kebanyakan perokok. Bibirnya merah, menggoda.

"Dan suka malakin orang."

"Kamu bohong, ya?" Nara menyipitkan matanya, curiga.

"Nggak, lah! Emang gue pernah bohong sama lo?"

Nara menggeleng. Kemudian, Rio melanjutkan ceritanya.

"Dia begitu karena kurang perhatian dari kedua orang tuanya. Ayahnya pelaut, tapi juga pemabuk berat. Pecinta alkohol. Sedangkan ibunya, hanya ibu rumah tangga yang membuka usaha warung mie ayam. Saat itu masih SD. Dan di SMP pun dia bergaul sama orang-orang yang sama.

"Pernah waktu itu Panji sama Raihan berniat untuk nasihatin, supaya berhenti ngelakuin hal-hal nggak berguna. Tapi, mereka malah dikeroyok habis-habisan oleh rombongan preman sekolah. Guru-guru tahu hal itu, dan Raihan jelasin semuanya. Tapi, mereka nggak percaya. Secara 'kan Rafa adalah siswa yang pintar dan berbakat di sekolah kami.

Dan brengseknya lagi, salah satu teman Rafa memutar balikkan fakta. Dia menuduh Panji merokok di belakang sekolah, dengan bukti korek api dan bungkus rokok yang ada di kantong celana Panji."

"Lah, kok bisa?" Potong Nara histeris. Ia jadi geram sendiri.

"Itu karena Rafa yang nyelipinnya. Jadi, yang kena hukuman itu Panji. Tapi, dia nggak ngelak dan bersedia mendapatkan hukuman."

Sama kayak cerita Luna waktu itu. Mungkin berandal kelas yang Luna maksud itu Rafa dan teman-temannya. Dan Panji berusaha untuk melindungi sahabatnya.

"Sampai suatu saat, teman-teman Rafa berkhianat. Mereka bilang Rafa yang udah memukul adiknya ketua preman sekolah, padahal salah satu dari mereka lah yang memukulnya. Rafa nggak setuju difitnah gitu, dia bahkan nggak tahu siapa adiknya si ketua. Lalu, Rafa dikeroyok karena nggak mau ngakui kesalahannya. Alhasil, dia dijauhin sama setiap penjuru sekolah.

"Karena para siswa takut diserang Rafa, mereka nggak ada yang berani buat jadi teman Rafa."

"Tapi, bukannya kalian udah berteman dari kecil, ya?" Nara bertanya.

"Iya. Tapi, pas kelas 5 sampe SMP, Rafa berubah dan nggak mau temenan sama gue. Mungkin karena gue dulu cupu?" Rio tertawa miris. Tapi, sekali lagi, Nara tak mempercayainya. Orang seperti Rio dulunya cupu?

Ternyata, ada banyak sekali fakta tentang dua pangerannya yang tidak ia ketahui.

"Balik sekolah, gue langsung ngikutin Rafa. Soalnya tuh orang jalan sempoyongan, gue takut ntar dia pingsan di jalan dan nggak ada yang mau nolongin. Pas sampai di rumahnya, gue ngeliat kalau ayahnya lagi mabok berat dan lagi nyiksa istrinya. Rafa yang dalam keadaan bonyok, nggak terima dan langsung dorong ayahnya dari belakang.

"Dan dia malah dipukul sama ayahnya pake botol bir. Pecahannya berserakan. Dan kepala Rafa penuh darah. Bukannya bawa anaknya ke rumah sakit, ayahnya malah kabur. Gue yang nonton dari jauh langsung dateng dan manggil ambulance. Terus, kita temenan lagi dan Rafa tobat jadi preman sekolah."

Nara mangut-mangut. Rio adalah orang yang sangat peduli pada sahabatnya. Walaupun dijauhi dan dihina pun Rio masih tetap menganggap Rafa temannya.

"Jadi, Rafa sengaja berponi buat nutupin bekas lukanya?"

Rio mengangguk. "Lo tau dari mana ada bekas luka di pelipisnya?"

"Waktu itu aku nggak sengaja liat Rafa nyisir poni pake jari ke belakang."

"Perhatian banget. Gue cemburu, nih."

"Lah? Haha!" Nara tertawa geli karena candaan laki-laki di sebelahnya.

Setelah cukup lama mereka bercerita, suara di microphone kembali menginterupsi.

"Lomba selanjutnya adalah adu kuda. Setiap perwakilan dimohon untuk segera memasuki area perlombaan. Sekali lagi, lomba selanjutnya adalah adu kuda. Setiap perwakilan dimohon untuk segera memasuki area perlombaan."

"Arya bentar lagi mau lomba, nih. Liat, yuk!" kata Nara sambil berlari-lari kecil menuju lapangan voli yang kini penuh oleh penonton. Mereka menyerobot masuk, dan berdiri paling depan.

Begitu perwakilan kelas Nara memasuki area perlombaan, ia berteriak kencang. Bukan hanya Nara, teman-teman yang lain pun begitu.

"Kayaknya ini lomba bakal seru."

"Iya!" kata Nara antusias. "Raihan sama Mas Ilham juga jadi perwakilan." Rio meneruskan, ia menyeringai.

"Kita lihat siapa yang menang," balas Nara memicingkan mata, lalu kembali menonton pertandingan.

"Kalo kelas gue menang, lo traktir makan di pasar cisangkuy."

"Dan kalau kelasku menang... kamu beliin aku kue sus banyak-banyak!"

"Deal?" Rio mengulurkan tangan, dan disambut antusias oleh Nara. "Deal!"

PRIITT!

Peluit tanda pertandingan dimulai sudah dibunyikan, dua siswa yang menjadi kuda mulai bergerak mencari lawan dan berusaha mempertahankan posisi tubuh seseorang yang berdiri di atas telapak tangan mereka. Sedangkan orang yang berdiri itu harus menjatuhkan lawannya.

Begitulah yang dilakukan Arya, Hendra dan Tomi.

"Yak! Kelas 12-IPA-3 mulai bertindak! Dorong terus, jangan kasih kendor!" pembawa acara pun ikut heboh menyaksikan pertandingan saling dorong itu.

"Ooh! Kelas 11-IPS-1 sepertinya tak mau kalah! Maju euyy!"

Nara bersorak sambil bertepuk tangan heboh.

"Lah, lah. Kuda-kuda 11-IPA-1 sempoyongan. Aduhhh, jatuh! Sayang sekali, kelas 11-IPA-1 harus keluar dari babak ini."

Semua penonton mendesah kecewa, terutama kelas Nara. Mereka langsung menghampiri Arya, Hendra dan Tomi yang sudah keluar dari area pertandingan. Nara menelan saliva kasar. Matanya melirik Rio yang kini menatapnya dengan senyum kemenangan.

Gadis itu buru-buru menghindar dan melangkah cepat menghampiri Arya.

"Jadi, kapan?" Rio mengekor.

"Lombanya kan belum selesai?"

"Yaudah, kita liat lomba selanjutnya."

Nara membuang nafas kesal, wajahnya cemberut. "Iya."

Keduanya berhenti di belakang kerumunan kelas IPA-1 yang berkumpul mengintimidasi ketiga rekan mereka yang menjadi perwakilan lomba adu kuda. Ketiga perwakilan lomba itu duduk di rerumputan, dua di antaranya lemas tak berdaya.

"Kalian kenapa bisa tiba-tiba jatuh?" tanya bendahara kelas dengan tangan berkacak pinggang. Tatapannya menusuk.

"Arya kentut sembarangan. Bau pisan njeng, teu kuat aing ngambeuanana—(bau banget anjir, nggak kuat aku nyium baunya)." Hendra menjelaskan sambil sesekali menendang kaki Arya.

"Jurig si Arya teh! Urang rek pingsan, teu kuat—(setan si Arya teh, aku ampir pingsan, nggak kuat)."

Sedangkan yang jadi biang masalah hanya nyengir sambil menggaruk tengkuk. "Maaf. Kentut itu panggilan alam. Jangan salahin gue, salahin kentutnya yang tiba-tiba."

Orang-orang di sekitar Arya hanya bisa tepok jidat ketika mendengar alasan kekalahan tim mereka. Nara pun melakukan hal yang sama. Kemudian, ia berjalan cepat ketika matanya menangkap Panji dan Luna yang tampak tegang. Lagi-lagi, Rio mengekorinya.

"Kalian pelari terakhir, kan?" tanya Nara memastikan.

Luna tersenyum kaku sambil mengangguk, ia tegang.

"Semangat, kalian berdua. Jangan mau kalah sama pasangan di kelas gue, ya." Rio menepuk-nepuk pundak Panji, tapi sepertinya laki-laki itu tak suka.

"Heh, lo itu nyemangatin apa ngeremehin?"

"Pikir sendiri, lah! Anak IPA-1 kok nggak bisa bedain nyemangatin sama ngeremehin." Cibir Rio. Nara tertawa. Setidaknya kehadiran dua orang itu bisa sedikit mencairkan ketegangan di antara mereka.

"Perwakilan lomba lari estafet dua orang tiga kaki, diharapkan memasuki area perlombaan—"

Tanpa aba-aba, keduanya langsung berjalan berdampingan menuju area perlombaan. Nara berteriak menyemangati mereka.

Area yang digunakan untuk lomba estafet dua orang tiga kaki adalah jalanan setapak yang memanjang di belakang sekolah. Jalanan itu ditumbuhi dengan pohon-pohon berbunga ungu yang sering kali gugur ketika ditiup angin.

"Jalur yang akan kalian lewati itu adalah jalanan di belakang sekolah. Kalian ikutin aja jalurnya, soalnya ada perputaran yang akan bawa kalian kembali ke sekolah, tapi lewat gerbang depan." Jelas pembawa acara ketika semua perwakilan sudah berkumpul

Ada berpuluh-puluh murid yang menonton di belakang mereka.

Luna mengangguk, ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan. Kegugupan kini melandanya. Tahun lalu, ia tidak secemas ini. Ia meyakinkan diri kalau dirinya adalah pelari terhebat di kelasnya, teman-teman pun berkata begitu.

Tapi, kali ini ia akan berlari bersama seseorang yang selama ini dicintainya diam-diam.

Ada empat tim di perlombaan ini. Tim biru, tim kuning, tim merah dan tim hijau. Tim biru terdiri dari seluruh kelas IPA satu, dua, tiga, empat, dan lima. Tim kuning terdiri dari seluruh kelas IPA enam sampai sepuluh. Tim merah terdiri dari seluruh kelas IPS satu sampai lima, dan tim hijau terdiri dari seluruh kelas IPS enam sampai sepuluh.

Dan setiap tim diberikan pengikat kepala berwarna selaras dengan tim mereka.

Luna dan Panji adalah pelari terakhir di tim biru. Mereka kini sudah berdiri sekitar tiga puluh meter dari gerbang depan sekolah. Garis finish sudah terukir di tengah-tengah gerbang. Kaki kiri Panji dan kaki kanan Luna telah diikat dengan tali berbahan katun.

Ketika peluit dibunyikan, seluruh pelari pertama sudah berlari secepat mungkin menuju pelari kedua. Luna dan Panji menunggu tim mereka memberikan kayu bercat biru. Giliran mereka masih lama, tapi jantung Luna sudah berdebar kencang.

"Oi, bentar lagi giliran kita."

Dan Luna semakin kalang kabut.

Ia sudah mendengar suara larian orang-orang di belakangnya. Ia menoleh sembari menjulurkan tangan ke belakang, dan saat kelompoknya sudah menyodorkan kayu bercat biru mereka mulai berlari.

Tak ada yang bersuara, hanya embusan nafas yang terdengar. Luna mencoba untuk fokus, walau sekarang wajahnya memerah. Entah karena panas atau karena Panji yang kini berlari bersamanya.

"Dikit lagi, Lun! Ayoo!"

Panji bersuara lantang, kini mereka lah yang memimpin lomba. Sebentar lagi mereka tiba di garis finish. Mendengarnya, membuat Luna tersenyum lebar. Mereka pun mengerahkan seluruh kekuatan.

"Yaaayyy! Luna Panji!"

"Yak! Tim biru yang pertama sampai!"

Sorakan demi sorakan keluar masuk di telinga Nara, gadis itu langsung menghampiri kedua temannya dengan membawa dua botol air mineral.

"Selamat, yaa! Nih, minum dul—"

Panji menyambar air mineral yang disodorkan Nara dan meneguknya hingga tandas.

"Makasih, Ra." Luna juga melakukan hal yang sama, tapi ia berhenti di tegukan ke enam. Nara mengangguk, masih dengan senyumannya.

"Yosh! Kita menang, Lun!" seru Panji mengangkat kedua tangannya dan melebarkan telapak tangan. Luna mengangguk dan menabrakkan kedua telapak tangannya pada telapak tangan Panji. Wajah keduanya sama-sama merekah karena telah berhasil lari berpuluh meter.

"Tim bakiak tadi gimana, Ra? Menang?"

"Juara dua, soalnya tadi kaki Lisa keseleo jadi gerakannya melambat."

"Nggak apa-apa, deh! Yang penting kita berhasil dapat juara!" kata Luna dengan mata berbinar.

Lomba selanjutnya adalah random race.

Untuk mengikuti lomba random race, setiap kelas diwajibkan mengirim tiga perwakilan. Dan sekarang perwakilan setiap kelas sudah berbaris memanjang di pinggir lapangan, menunggu lomba dimulai.

Nara, Luna, Nasya, Cesa, Alice, berdiri di barisan paling depan. Mereka semangat sekali menonton—bukan hanya mereka, tetapi mayoritas seluruh penghuni sekolah antusias menyaksikan perlombaan yang satu ini. Karena, perwakilan lombanya adalah para laki-laki populer di sekolah mereka.

Dari kelas 10-IPA-1, ada tiga laki-laki pintar yang minggu lalu berhasil mendapat juara ketiga olimpiade fisika tingkat nasional.

Dari kelas 11-IPA-1, ada tiga laki-laki yang terkenal dengan ketampanannya, keramahannya, dan kepopulerannya. Mereka adalah Rafa, Panji dan Arya.

Dari kelas 11-IPA-4, ada tiga laki-laki yang berasal dari klub basket, salah satunya adalah kapten basket—kemarin baru saja mendapat medali perak dari perlombaan basket tingkat provinsi.

Dari kelas 11-IPS-1, ada tiga laki-laki anggota klub panahan, salah satunya adalah laki-laki yang tahun lalu memiliki nilai ujian masuk tertinggi yang nyaris sempurna. Rio, Raihan, dan Yoga.

Dari kelas 11-IPS-3, ada tiga laki-laki anggota inti band sekolah.

Dan dari kelas 12-IPA-3, salah satu di antara dua laki-laki yang asing di mata Nara, ada Mas Ilham.

"Kita liat siapa yang menang di antara enam anggota geng sepeda." Luna berucap diiringi tawa. Nara menyetujui ucapan Luna, ia juga ingin tahu kelas siapa yang akan memenangkan perlombaan kali ini.

Di sepanjang lapangan, ada banyak rintangan yang harus dilewati para peserta sambil membawa gulungan masing-masing. Peserta dibagi menjadi tiga bagian. Pemain pertama, pemain kedua, dan pemain terakhir.

Di rintangan awal, peserta pertama harus menendang bola dengan gerakan zig-zag. Selesai di sana, mereka harus berjalan di atas balon-balon yang sudah diisi tepung. Jadi, harus hati-hati supaya balon tidak meletus.

Lalu, peserta awal akan memberikan gulungan mereka ke peserta kedua, dan peserta kedua akan lanjut berlari melewati rintangan yang lebih sulit. Mereka akan diberikan secangkir minuman di tengah-tengah rintangan, di antara minuman itu ada yang rasanya tidak manis. Maka dari itu, mereka harus berhati-hati memilih minuman.

Setelah selesai memilih minuman, peserta kedua akan bergantung di besi yang di bawahnya terdapat matras. Besi yang akan mereka gantungi juga ada yang zonk—ketika digantungi akan melendut ke bawah.

Terakhir, peserta kedua memberikan gulungan ke peserta ketiga. Rintangan untuk peserta ketiga hanya satu, tetapi lebih sulit dari yang lain. Berjalan di atas batu bulat yang di beberapa selanya terselip petasan.

Jika peserta ketiga berhasil melewati rintangan dalam waktu singkat, maka ialah pemenangnya.

"Untuk para peserta, silahkan menempatkan posisi masing-masing di urutan rintangan." Pembawa acara bersuara, dan para peserta mengikuti intruksi. Murid-murid yang menonton berjerit heboh menyemangati perwakilan kelas masing-masing.

Di antara beberapa peserta yang berbaris di posisi awal, ada Rafa dan Ilham, yang artinya mereka adalah peserta pertama.

"Rafaaaa! Se! Ma! Ngat!"

Kelas 11-IPA-1 mulai meneriaki Rafa dengan bando kucing yang diangkat tinggi-tinggi.

Rafa tersenyum tipis. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia ingin sekali membuang bando kucing yang melekat di kepalanya, menghapus kumis kucing di pipi kanan dan kiri, serta setitik noda hitam di hidungnya.

"Semua sudah siap?" Pembawa acara kembali bersuara, kini tangannya menggenggam pistol mainan yang menghadap ke langit.

"Tiga... dua..."

DOR!

Peserta pertama sudah mulai menendang bola melewati lubang-lubang di hadapan mereka—sehingga membentuk gerakan zig-zag.

Rafa mulai berlari, poninya menari ditiup angin. Begitu pula Ilham yang tak mau kalah. Laki-laki bermata panda itu sudah jauh di depan Rafa.

Setelah melewati rintangan pertama, Rafa berlari sekencang mungkin menyusul peserta lain yang sudah berada di depan. Ia pun berhasil menyusul Ilham, lalu berjalan di atas balon dengan hati-hati.

"Ini sih nggak ada apa-apanya." Ilham berujar, tampak mudah mengatur keseimbangan tubuhnya yang berlari di atas balon.

Tapi—

CTAS!

Balon yang diinjak Ilham meletus, tepung di dalamnya keluar berhamburan dan tepat mengenai wajahnya.

Rafa tertawa. Kini kakinya melangkah lebih lebar, mendahului kakak seniornya yang baru saja tertimpa sial.

"Kalo ceroboh gitu, lo nggak mungkin berhasil di tahap ini, Mas." Seringainya.

"RAFA! RAFA!"

Tepat saat kelasnya bersorak-sorai menyemangati, Rafa langsung kehilangan keseimbangan, kemudian..

CTAS!

Balon yang barusan diinjaknya juga meletus, tepung di dalamnya berhamburan keluar sampai mengenai wajahnya. Ekspresi laki-laki itu langsung berubah datar. "Sialan."

"MAMPUS LO!" Ilham menyusul dari belakang, setelah berteriak seperti itu, ia langsung berlari mendahului Rafa dan yang lainnya. Sambil tertawa puas melihat wajah datar Rafa barusan.

Rahangnya mengeras, geram. Rafa kembali bersiap untuk melangkah, tiga balon lagi selesai maka ia akan berhasil melewati rintangan kedua. Laki-laki itu menyodorkan gulungan—yang sedari tadi di genggamnya—kepada Panji.

"Yosh!" Panji langsung saja berlari ketika gulungan dari tangan Rafa sudah berpindah ke dalam genggamannya. Ia berlari dengan kedua tangan ke belakang, sambil berteriak, "Namaku Panji! Dan aku akan menjadi hokage!"

Raihan yang berada beberapa meter di depan menoleh tanpa memperlambat laju langkahnya, "Sinting lo!" Kemudian ia tertawa.

Panji mempercepat larian, kini ia beriringan dengan Raihan seraya menyeringai.

"Kampret!" geram Raihan.

Panji dan Raihan serta beberapa peserta lain berhenti ketika mereka dihadapkan oleh satu meja panjang yang di atasnya terdapat beberapa cangkir minuman.

"Hah? Minuman apa ini?!" Raihan curiga. Tapi, Panji langsung mencomot cangkir plastik itu sambil berkata, "Haus. Minum dulu, dah." Tanpa curiga sedikit pun.

"Yeay! Dapat es teh!" seru salah satu peserta yang kini sudah kembali berlari.

Panji berhenti di tegukan pertama, ia serta-merta memuntahkan minuman yang hampir tertelan. "Setan! Apaan sih ini? Kecap manis?!" gerutunya.

Raihan meringis melihat temannya, ia pun mengambil salah satu cangkir setelah lama memilih. "Mengkhawatirkan. Gue paling nggak suka sama kecap manis." Katanya. Kemudian, ia mengangkat cangkirnya. "Mustahil dapat kecap manis di antara banyak pilihan ini, kan?"

Dengan keyakinan seperti itu, Raihan segera meminum minumannya.

"Anjer!" Ia terbatuk-batuk setelah meminumnya. Mengutuk minuman itu sambil melempar cangkirnya jauh-jauh.

"HEI LARI!"

"Oi! Ngapain, sih, kalian? Ikut lomba cuma untuk minum?!"

Teriakan-teriakan itu membuat keduanya geram. "Kalian coba saja sendiri!" Teriak Raihan dengan mata masih terpejam, rasa asam minumannya masih melekat di tenggorokkan.

"Argh! Kenapa hanya kita yang sial, sih?!"

Panji lanjut berlari, meninggalkan Raihan dan beberapa peserta lain yang sibuk misuh-misuh.

"Heh, Panji siji loro telu! Tungguin gue dong!" Raihan berlari.

"Ini kan lomba, bego!" Panji menyahut dari depan.

Setelah beberapa menit berlari, Panji kembali bersuara. "Hah? Apaan lagi ini? Pull-up?" Seraya memasukkan gulungan ke dalam kantung celananya.

Raihan di belakang sibuk kebingungan, menatap tiga besi yang digunakan untuk bergantung, di bawahnya terdapat matras.

Panji, lagi-lagi, melompat dengan tangan yang terjulur ke depan-atas untuk melakukan pull-up. Tapi, besi yang dijadikannya tumpuan untuk bergantung, melendut ke bawah. Dan laki-laki itu jatuh dengan begitu berani.

Raihan tertawa.

Ia menoleh ketika melihat adik kelasnya yang juga berhenti untuk memilah-milah besi yang akan dijadikan tumpuan pull-up.

"Dek, lo mau yang mana?" Raihan bertanya.

"Yang ini." Kata adik kelas, dengan lugunya menunjuk besi yang akan ia pilih.

"Itu punya gue!" Raihan buru-buru mendorong adik kelasnya dan langsung mengangkat kedua tangan untuk bergantungan. "Gue pasti menang." Gumamnya.

"Ah! Sialan!" Gerutu adik kelasnya, kemudian ia memilih salah satu besi yang lain dan segera pull-up. "Yeay! Nggak zonk!"

Tapi, Raihan—

BRUK!

Besi yang digantunginya juga ikut melendut ke bawah, dan ia jatuh dengan posisi terduduk. Adik kelasnya tertawa. Raihan malu dan mati gaya.

"HAHAHA! Kocak banget!"

"Raihan! Lo ngapain?!" teman Raihan berteriak.

"Wah. Gokil abis! Hahaha parah!" Kelas lain sibuk tertawa.

Raihan berdiri sambil misuh-misuh, "Ini lomba apa siksaan, sih?!" Ia kembali berlari sambil menahan malu. Ia menjulurkan tangan, memberikan gulungan itu pada peserta terakhir dari kelasnya. Rio langsung merampasnya.

"Liat, liat! Rio udah mulai lari!"

"Kerennya!"

Mendengar sahutan-sahutan siswi, Arya langsung mengambil gulungan yang belum sempat diulurkan Panji. Ia langsung mengejar Rio. Begitu mereka sudah sejajar, laki-laki itu berkata, "Hai. Gue Arya, yang akan jadi juara satu."

Rio dan beberapa peserta lain langsung menoleh, melihat aksi Arya yang juga melakukan hal sama seperti Panji. Kedua tangannya ia luruskan ke belakang.

"Heh! Ngapan dia?!"

"Si brengsek itu!"

"OI, ARYAA! LO NGAPAIN, SIH?!"

"ARYAA! AWAS AJA KALO KELAS KITA KALAH LAGI GARA-GARA LO!!"

Arya mengabaikannya, karena ia merasa paling depan. Kemudian, Rio mendahuluinya dengan santai. "Ngapain lo, bego. Hehe."

Bukannya mempercepat larian, Arya malah berhenti. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu berlari lagi. Lebih cepat, sampai melewati beberapa peserta yang tadi berada di depan. Ia bergumam, "Gue emang hebat, sih."

Laki-laki itu menolehkan kepalanya iseng, menatap para penonton yang berdiri di pinggir lapangan. Kelas Rio mengangkat tinggi-tinggi papan bertuliskan 'Kelas 11-IPS-1', Rio juga mendapat semangat dan pujian dari mereka.

"Wah, Rio-oppa!"

"Rio-senpai! Daisukiii! Saranghaee! Te amoo! I love youu!!"

"Sebelas IPS satu pasti menang!"

"Semangat, Rio!"

Arya melempar pandangan ke penduduk kelas 11-IPA-1, kelasnya sendiri. Berharap kelasnya memberikan teriakan pujian padanya.

"HEH KARBURATOR SUPRA! NGAPAIN SIH, LO?!"

"Lo tuh ya—"

"Ngapain, sih, si Arya itu?!"

"LARI, BEGO! NGAPAIN LIAT-LIAT KE SINI?!"

"Harapan kita tinggal lomba ini!"

"Dasar brengsek!"

"WOI, KUTU AER! LARI!"

Alih-alih disemangati ataupun dikasih pujian, ia malah diserang dengan berbagai hinaan oleh teman-teman sekelasnya. Benar-benar perbandingan dua respon yang berlawanan.

Rio sudah sampai di rintangan selanjutnya, ia melangkahkan kakinya menginjak lempengan batu bulat yang tebal dengan hati-hati. Karena ia yakin, pasti ada sesuatu di antara batu-batuan ini.

Sudah sembilan batu yang ia pijaki dengan hati-hati, sebentar lagi ia akan sampai menuju garis finish. Peserta lain pun meniru gerak-geriknya yang hati-hati. Tapi, tidak dengan Arya.

Laki-laki berkulit cokelat itu berlari di atas bebatuan, demi mengalahkan jagoan dari sebelas ips satu. Dalam beberapa detik, ia sudah berada di samping Rio.

"Nggak usah sombong lo. Gue yang akan menangin lomba ini." katanya.

Rio mengerutkan dahi, "Siapa?"

"Ya gue, lah! Yang menang lomba ini—"

"Yang nanya!" Setelah mengucapkannya, Rio tertawa sambil terus melangkah dengan hati-hati.

Arya melangkah lebih cepat, ia bahkan sudah jauh di depan Rio. Karena, tidak berhati-hati ia melupakan tentang jebakan yang tersedia di setiap lomba.

DHUAR!

Sebuah petasan meledak ketika kakinya menginjak batu ke tujuh belas.

"Eh, ayam kambing sapi!" Arya latah, ia langsung jongkok ketakutan. Kaget bukan main.

Tawa Rio meledak, "Blegug sia!"

Peserta lain di belakang pun tertawa sampai mengeluarkan air mata.

Karena itu, Rio mengambil kesempatan untuk terus berjalan, walaupun ia masih sulit menghentikan tawanya.

Rio melompati lempengan batu terakhir, dilanjut dengan larian secepat kijang. Dan saat ia melewati garis finish, sorakan-sorakan mulai terdengar di seantero lapangan. Sorakan dari kelasnya lah yang paling memekakkan telinga.

"YAAK! Perwakilan kelas sebelas IPS satu berhasil melewati garis finish! Di susul oleh kelas sepuluh IPA tiga. Dan dua belas IPS lima berhasil melewati garis finish di posisi ketiga!" Bertepatan dengan suara pembawa acara, lagu We Are the Champion mulai diputar dengan volume suara terbesar.

Selanjutnya, Rio sudah dikerumuni.

Dan Arya mengoceh sendirian. "Memangnya kalau menang dapat apaan, sih? Heboh banget."

"Hei, Arya Wiratama."

Arya menoleh, melihat seorang gadis berkuncir kuda yang tengah mengunyah permen karet—berdiri di pinggir lapangan sambil memicing menatapnya. "Sini lo."

"Hah?" Arya pura-pura tak melihat, ia menggaruk tengkuknya sambil berjalan pelan menjauh dari Sashi. Teman sekelasnya yang paling menyeramkan. Ketua sekbid olahraga dan atletik, sabuk hitam taekwondo, dan dikenal dengan tinjuan yang luar biasa.

"Sini nggak?!" Gadis itu mendongakkan kepalanya, dengan mata masih memicing. Diikuti tatapan mengintimidasi dari dua gadis di sisi kanan dan kirinya. Arya makin gemetaran.

"K-kalian kenapa kayak gini?"

Dua gadis yang tadi berada di sisi Sashi kini bergerak memegang kedua tangan Arya, menahannya agar tidak kabur. Sedangkan Sashi maju.

"Lompat karung juara terakhir, kan?"

Sashi melipat kedua tangannya di depan dada. Ia dan teman-temannya memilih Arya untuk menggantikan salah satu perwakilan kelas mereka yang tidak hadir. Tapi, mereka salah. Laki-laki yang diharapkan kelas untuk menang lompat karung, malah menjadi juara terakhir.

"Adu kuda juga juara terakhir." Sashi mengambil gulungan yang tergeletak di dekat kakinya, "Lalu random race juga?"

"Ada pengkhianat di antara kita. Itulah kesimpulan kami."

"Oi! Tunggu dulu!" Arya berusaha memberontak, tapi dua gadis itu mencengkramnya kuat.

Sashi sudah siap memukul Arya dengan gulungan di tangannya.

***

Rio menghampiri Nara yang masih tak terima kalau kelasnya kalah.

"Gimana?"

"Apanya?!" Gertak Nara, walaupun sesungguhnya ia tahu apa maksud laki-laki itu.

"Jadi, kan? Traktirannya?"

Nara memanyunkan bibirnya, lima detik kemudian ia mengangguk pasrah.

Rio tersenyum lebar, sampai deretan giginya terlihat. Ia mengacak poni Nara sambil berkata, "Jangan lupa bawa duit yang banyak, ya." Lalu ia tertawa.

"H-heh! Tabunganku nggak banyak! Soalnya udah aku pake buat beli novel.."

"Siapa?" Rio menyeringai.

"Pasti siapa nanya, kan?!" Nara semakin mengerutkan alisnya kesal.

"Siapa yang peduli?" Lagi-lagi Rio terbahak. Tawanya makin besar saat melihat wajah Nara yang tertekuk.

"Jadi, kapan?" tanya Rio sekali-lagi.

"Iya, iya! Sabtu sore."

"Siap, bos!" Rio menanggapi dengan wajah serius disertai hormat, detik selanjutnya ia tertawa sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro