Sorot Balik 4 : Secangkir Bandrek (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa kau tahu? Dunia itu penuh kejutan."

[~]

    Rafa tengah mengendarai mobil sportnya yang berwarna hitam. Ia sengaja membeli mobil berwarna hitam karena jika kotor tidak akan terlalu terlihat.

    Laki-laki itu menatap datar jalan raya yang dipenuhi mobil dan motor. Kendaraan-kendaraan itu berbaris panjang-seperti barisan semut yang tak ada putusnya. Ia mendengus pelan sebelum memilih untuk memutar balikkan mobilnya ke arah yang berlawanan.

    Umur Rafa saat ini baru memasuki 16 tahun, ia memang belum punya SIM, tapi ibunya menyuruh untuk membeli mobil supaya tidak susah payah mengayuh sepeda jika ingin pergi kemana-mana.

    Rafa bangga, karena mobil yang ia beli adalah hasil dari tabungannya sendiri. Ia tentu saja berbeda dengan yang lain. Ketika orang lain meminta uang pada orang tuanya untuk membeli mobil, laki-laki itu sama sekali tidak. Ia bahkan takut untuk meminta mobil pada orang tuanya.

    Dari kecil Rafa sudah diajarkan ibunya untuk menabung. Ia selalu menyisihkan uang jajannya, bahkan upah hasil membantu ibunya menjual mie ayam ia tabungkan.

    Saat ini Rafa sengaja melewati jalanan yang sepi, tidak ingin ditilang polisi karena ia belum mempunyai SIM. Laki-laki itu menepikan mobilnya ke pinggir saat kedua mata hitamnya menangkap sosok yang sangat familiar.

    "Nara?" ucapnya pada diri sendiri. Rafa baru sadar jika gadis berpakaian minim yang duduk di halte pemberhentian bus itu adalah teman sekelasnya dan orang yang satu komplek dengannya.

    "Ngapain dia?" lagi-lagi Rafa bertanya pada dirinya sendiri. Penasaran, laki-laki itu memilih untuk memantau teman sekelasnya dari kejauhan.

    Tiba-tiba tiga orang laki-laki berandalan datang dan duduk di sebelah Nara, tampak mengobrol, dan salah satu dari mereka bahkan ada yang memegang tangan Nara. Kejadian itu berlangsung cepat di mata Rafa. Ia pun samar-samar mendengar teriakan Nara yang teredam hujan, tak lama kemudian gadis itu berlari menerobos hujan.

    Rafa mengangkat sebelah alis hitamnya, mungkin mereka sedang bermain kejar-kejaran? Ia mengangkat bahunya acuh tak acuh, kemudian memilih untuk menjalankan mobilnya. Tujuannya adalah mampir ke cafe langganan dan memesan secangkir bandrek. Guna menghangatkan tubuh.

    Tapi, tubuh Rafa bergerak tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan otaknya. Laki-laki itu malah melajukan mobilnya mengejar Nara.

    Ia langsung menepikan mobil ke pinggir saat matanya menangkap pemandangan laknat yang tidak jauh darinya. Gila! Laki-laki gondrong itu tengah mendekatkan wajahnya ke wajah Nara.

    "Apa-apaan mereka. Mau gituan kok di jalan umum, terang-terangan lagi."

    Masih dengan wajah datar dan gerakan santainya, Rafa turun dari mobil. Tanpa aba-aba langsung menerjang tubuh kurus orang tak dikenal itu hingga membuatnya tersungkur.

    "Apa-apaan?! Lo udah nganggu kita!" si laki-laki berambut gondrong berbicara sembari mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Rafa menatapnya tanpa ekspresi.

    "Maaf." Jawabnya dengan tatapan sedikit memelas. Hanya sedikit.

    "Nggak bakal gue maafin! Padahal dikit lagi, ugh!"

    Ia menekuk bibirnya dan berkata, "Kalo mau gituan jangan di jalan umum." Ucapnya, sedetik kemudian ia melemparkan tinju di wajah laki-laki gondrong yang sibuk mengelap darah di sudut bibirnya.

    Dan sekarang hidung laki-laki berambut hitam sebahu itu sudah patah. Ia sedang berhadapan dengan laki-laki dari klub bela diri yang memiliki tubuh tegap dan tenaga yang kuat seperti atletis.

    Laki-laki itu melirik Rafa yang mengenakan jaket cokelat panjang melebihi pinggang dengan kerah ditinggikan dan kancing-kancingnya sengaja terbuka. Mata hitam yang tajam itu mengkilat marah, rahangnya mengeras membuat gigi-giginya bergemeletukkan.

    Langsung saja si laki-laki berambut gondrong itu berdiri dan berlari menjauh dari Rafa. Ia tidak ingin seluruh tulangnya patah hanya karena berhadapan dengan sosok laki-laki muda yang bahkan belum lulus SMA.

    Rafa berbalik dan berjalan mendekati Nara yang terduduk memeluk kedua lututnya erat. Dilihatnya bahu gadis itu bergetar hebat ketika ia melangkah mendekat. Apakah Nara tidak tahu jika tadi yang menyelamatkannya adalah Rafa Arandeo? Teman satu kelasnya?

    Rafa menatap miris gadis di hadapannya. Dress hijau muda itu lembab karena menerobos hujan tadi, rambut hitam pendek yang dihias dengan bando kain berwarna birunya juga basah. Rafa melepas jaketnya dan menyampirkannya di bahu Nara.

    Bisa dilihatnya bahwa gadis itu terkejut bukan main.

    Nara mendongak menatap Rafa dengan wajah kaget. Matanya sembab, hidungnya merah dan wajahnya pucat. Benar-benar terlihat berantakan.

    "Ra-ra-ra..." ia bersusah payah menyebut nama laki-laki di hadapannya.

    "Pake jaket gue dulu, baju lo minim banget." Potong Rafa masih menatap Nara dengan tatapan tak bisa diartikan.

    "Rafa..." barulah Nara bisa menyebut namanya dengan benar tanpa tergagap-gagap. Ia berusaha tersenyum, air matanya membludak.

    "Makasih... makasih... makasih... k-kalo nggak ada kamu, aku... aku nggak tahu," ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang juga pucat.

    Astaga! Seluruh tubuhnya memucat!

    "Lo nggak dingin?" tanya Rafa mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau membahas kejadian tadi yang pasti akan mengundang tangis Nara semakin deras.

    Nara mengusap air matanya cepat kemudian menatap Rafa, dan berganti menatap jaket cokelat tebal milik Rafa yang terasa... hangat. Ia merasa hangat setelah memakai jaket itu.

    Masih terdiam, akhirnya Rafa membantunya berdiri dan mengajaknya untuk masuk ke dalam mobil.

    Kemudian, mobil milik Rafa melaju dan menjauh dari tempat terpencil. Bukan tempat terpencil, hanya saja Nara tidak tahu ini di mana.

    Terciptalah suasana hening di dalam mobil. Nara masih terdiam memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu, kedua tangannya merapatkan jaket cokelat milik Rafa.

    "Lo... nggak apa-apa, kan?" tanya Rafa cemas. Heh, tunggu. Seorang Rafa bisa cemas?

    Nara menoleh sembari menarik ingusnya, ia berusaha tersenyum dan mengangguk.

    Lalu, mobil berhenti di depan toko kecil yang di atapnya tertulis Cafe Hangat. Oh, ternyata itu benar-benar cafe. Nara turun dari mobil dan membuntuti Rafa--maksudnya berjalan di belakang Rafa.

    Sesuai dengan nama cafenya, saat melangkah masuk ke dalam ruangan, Nara merasakan tubuhnya yang tadi menggigil terasa hangat seketika. Ruangan ini tidak ada air conditionernya dan cenderung sederhana.

    Ia memendarkan tatapannya ke sekeliling. Satu kata; ramai. Cafe ini sangat ramai, hingga Nara sendiri bingung kenapa Rafa membawanya ke cafe yang ramai pengunjung ini. Mungkinkah laki-laki itu ingin menghangatkan tubuh juga?

    Ah, jadi semua orang menghangatkan diri di sini, ya? Pantas saja tadi saat ia berteriak minta tolong tidak ada satu orang pun yang lewat atau menolongnya. Untung saja ada Rafa Arandeo. Ia berhutang budi pada laki-laki itu.

    Nara merapatkan jaket cokelat yang tersampir di bahunya, ia pun ikut duduk di hadapan Rafa.

    Rafa mengangkat sebelah tangannya, dan dengan segera seorang pelayan mendekat.

    "Bandrek dua." Ucapnya yang langsung diingat sang pelayan, tanpa mencatatnya. Lalu, pelayan itu berlalu menuju dapur cafe yang terletak di belakang kasir.

    "Di sini juga jual bandrek. Harganya murah, nggak usah khawatir, hari ini gue traktir lo." Ucap Rafa yang dibalas Nara dengan anggukan pelan. Ia menghembuskan nafas pelan dan menatap meja.

    "Lo... beneran nggak apa-apa?"

Nara mengangguk tanpa menatap Rafa. Tampaknya ia masih shock.

    "Dari tadi lo nggak bicara. Gue khawatir."

    Hei, dengar, dengar! Seorang laki-laki most wanted mencemaskannya! Nara merasa jantungnya berdebar-debar. Sesaat pipinya berubah panas, dan ia pun menahan senyum.

    "Iya. Aku cuma shock." Jawabnya dengan suara bergetar.

    Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan dua cangkir bandrek.

    "Minum. Biar nggak kedinginan," ucap Rafa yang dibalas anggukan oleh Nara.

    Gadis itu menatap secangkir bandrek di hadapannya. Minuman itu beraroma jahe dengan asap putih mengepul di atasnya. Ia mengaduknya dengan sendok.

    Nara tersenyum, kesepuluh jemarinya kini melingkari sekeliling cangkir keramik berwarna putih yang berisi bandrek lengkap dengan asap putih tipis yang mengepul menerpa kulit wajahnya. Ia meniupnya pelan dan menyeruputnya.

    Masih panas! Nara buru-buru meletakkan cangkir itu di atas meja saat merasa bibir dan lidahnya hampir saja terbakar.

    Ia kembali tersenyum, rasanya enak. Jahe yang dicampur susu dan berbagai topping di dalamnya. Benar-benar membuatnya ketagihan. Dingin yang melanda tubuhnya berangsur-angsur menghilang.

    Nara menyendokkan air bandrek itu ke dalam mulut, ia terlihat sangat menikmati secangkir bandrek yang menghangatkan tubuhnya.

    Diam-diam Rafa meliriknya dan tersenyum tipis. Laki-laki itu meraih cangkir keramik berisi bandrek di hadapannya, mendekatkannya ke bibir sembari meniupnya lembut, kemudian menyeruputnya pelan-pelan.

    "Mmm..."

    Nara meletakkan cangkirnya di atas meja dan memberanikan diri menatap wajah tampan Rafa.

    "Makasih, ya. Kamu udah nolongin aku dan sekarang traktir minum bandrek," ucapnya dengan senyum lebar yang hanya dibalas Rafa dengan tatapan datarnya.

    "Jadi langsung seger, hehe." Tambah Nara disertai kekehan kecil, ia menatap laki-laki di hadapannya dengan intens.

    Saat ini Nara berhutang budi dengan Rafa. Ia sudah banyak menolongnya--termasuk menolongnya dari kedinginan. Rafa ternyata tidak sejudes dan secuek seperti yang ia kira. Walaupun terlihat cuek dan terkadang kata-katanya menusuk, Rafa adalah sosok yang baik dan peduli. Pantas saja Rio mau berteman dengannya.

    Rafa tersenyum tipis, dan itu langsung mengundang gempa di dalam dada Nara. Ia yakin pipinya saat ini tengah bersemu ria, padahal itu baru senyuman tipis.

    "Yaudah, gue anter lo pulang, ya?"

    Gadis itu mengangguk mengulum senyum.

    Mereka pun keluar dari cafe.

***

    "Emm... Anu... Makasih lagi, ya, udah mau nganterin pulang." Ucap Nara ketika ia sudah sampai di depan rumahnya. Gadis itu turun dan segera berdiri di depan pintu mobil Rafa yang kaca jendelanya setengah terbuka.

    Dari luar, Nara bisa melihat Rafa yang mengangguk pelan sambil tersenyum. Ah, senyum itu lagi! Senyuman tipis tapi terlihat benar-benar manis.

    "Gue pulang." Pamitnya sebelum menutup kaca jendela dan melajukan mobilnya. Nara melambaikan tangan kanannya sambil tersenyum.

    "Cie, cie, Kak Nara diantar siapa tadi?"

    Nara terkejut dan menoleh ke kiri, seorang gadis kecil sudah berdiri di sampingnya. Itu adalah tetangganya.

    "Ainara? Kamu ngapain di sini?" bukannya menjawab, Nara malah balik bertanya. Hendak mengalihkan pembicaraan.

    "Minta ajarin Rion cara ngitung, Kak. Padahal aku nyari kakak, eh kata Rion kak Nara nya belum pulang." Jawab Ainara dengan wajah putihnya yang polos.

    Rambut hitam yang dikucir kuda itu bergoyang-goyang saat angin menerpa. Poninya yang panjang ia jepit dengan tiga jepitan berwarna hijau viridian. Setahu Nara, itu adalah warna kesukaan Ainara sendiri. Juga merupakan nama tengahnya. Namanya Ainara Viridian--murid Nara dan teman sekelas Rion yang tinggal di sebelah rumahnya.

    "Oh, emang si Rion udah pulang?"

    "Udah, tuh. Eh, kak Nara belum jawab pertanyaan aku, lho!"

    "Eh?" gadis itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Tadi itu temen kakak. Rumahnya juga di komplek ini, kok." Jawab Nara seadanya.

    Ainara membulatnya bibirnya dan ber-oh panjang. Ia pun kembali berjalan menjauh dari Nara, menuju rumah yang terletak bersebelahan dengan rumahnya.

    "Kak, aku pulang dulu, ya!"

    Nara mengangguk pelan dan tersenyum lebar pada gadis kecil bermuka polos itu. Ia kemudian melangkah masuk, kebetulan pagarnya terbuka jadi ia tidak repot-repot untuk membukanya. Setelah masuk, Nara menutupnya.

    Sepanjang langkah, ia terus mengulas senyum. Tingkah Rafa barusan adalah sesuatu yang langka. Sangat langka. Ia bahkan tidak pernah melihat laki-laki itu tersenyum ataupun mengkhawatirkan orang lain ketika di kelas.

    Ah, Nara merasa benar-benar gadis yang beruntung. Kemarin, ia diantar pulang dengan si pemilik senyum sayu dan payung hijaunya. Rio. Sekarang, ia diantar oleh teman Rio yang punya wajah datar seperti papan pintu.

    Siapa, sih, yang nggak senang diantar oleh cowok-cowok ganteng kayak pangeran?! Nara membatin.

[***]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro