4 - Only You Know

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dinda tertawa kecil melihat respon Raka, "Jangan teriak-teriak, Ka. Ini rumah sakit." Beberapa bayi di dalam ruang kaca mengerutkan wajah, seakan terusik. "Tuh lihat, mereka terganggu."

Raka tidak peduli dengan para bayi, toh hanya satu di antara sepuluh bayi yang ia ketahui identitasnya. "Kamu serius mau tinggal bareng? Kumpul kebo dong?"

Raka kebingungan dengan Dinda yang terlihat santai saja, seakan yang ia ucapkan barusan bukan apa-apa.

Tawa Dinda melebar, "Aku bercanda, ya ampun, kamu serius banget sih nanggepinnya."

Raka termenung, matanya menelusuri setiap inci wajah Dinda, berusaha mencari tahu kebenaran. Bibir gadis itu mungkin tertawa, namun mata Dinda lebih redup daripada biasanya. Dinda nutupin sesuatu.

Dinda melirik jam di pergelangan tangannya. "Masih satu jam lagi sebelum mulai kerja, sarapan dulu kali, ya? Abis nangis aku jadi lapar, hehe..." Dinda masih cengengesan.

Dia keliatan maksa banget buat ceria, tapi aku gak mau rusak suasana. Raka melirik bayi Satya dan Putri sekilas sebelum bicara. "Mochi... makan mochi sama kopi enak kali, ya?"

"Hah?! Gak sekalian durian sama kopi? Masih pagi, tapi kamu udah aneh-aneh aja, deh." Dinda memimpin langkah menjauhi ruangan bayi sambil menahan tawa.

"Sachi pipinya gembul, aku jadi pengen makan mochi." Raka mengambil ponsel dari saku celana dan melihatnya sekilas. "Yang penting kopinya sih. Ngopi di tempat langganan gue, yuk."

"Boleh, tapi pamit dulu ke Kak Satya, ya?"

Raka langsung menggeleng. "Ogah! Gue bisa bayangin mereka lagi mesra-mesraan sekarang. Gue gak mau enek di pagi hari."

"Iri, ya?" ejek Dinda sambil tersenyum usil. Keduanya kini menghentikan langkah dan saling menatap.

Raka tersenyum tipis, matanya sudah gak seredup tadi, baguslah. "Udah berani ya sekarang, hm?" Raka memiting leher Dinda dengan pelan.

"Aduh, Raka! Aku perempuan!" eluh Dinda, tawanya pecah.

"Bukan! Kamu makhluk nyebelin!" balas Raka yang juga tertawa.

Mereka berjalan menuju arah pintu keluar rumah sakit tanpa menyadari seseorang yang memperhatikan keduanya sambil tersenyum.

"Percuma aku mencemaskan mereka," kata Satya pelan. Ia membalik badan, lalu bergegas kembali ke kamar rawat istrinya. Satya tak ingin Putri terbangun tanpa ia di sisinya.

🌹🌹🌹

Mobil Raka berhenti di depan sebuah kafe yang papan penandanya masih bertuliskan tutup.

Dinda membuka sabuk pengaman dengan kening berkerut. "Kamu beneran mau ngopi di sini? Belum buka lho itu, Ka."

"Gue bawa kuncinya," jawab Raka santai lalu keluar mobil, meninggalkan Dinda yang memproses secuil informasi itu sendirian.

"Kunci... Ini kafe punya Raka?!" Dinda buru-buru keluar mobil untuk menyusul laki-laki itu. "Kamu punya kafe, kenapa gak ada anak kantor yang tahu? Anak kantor kan suka nongkrong kalau pulang kerja. Kenapa mereka gak ke sini aja? Kan lumayan buat pemasukanmu."

Tak tertarik dengan kehebohan respon Dinda, Raka hanya membuka pintu dan masuk lebih dulu untuk menyalakan lampu.

"Wah..." Dinda terpukau dengan pemandangan di depannya.

Ruangan kafe memang tak begitu besar, namun penataan cermin berukuran sedang di beberapa sudut membuatnya terkesan luas. Kursi yang berbentuk potongan kayu ditambah rumput sintetis yang bergantung di langit-langit membuat Dinda seakan masuk ke dalam hutan magis yang biasanya muncul di dongeng.

"Kamu yang desain ini, Ka?" Dinda menatap Raka takjub.

Raka hanya tersenyum misterius sambil mengangkat bahunya pelan. Tepat setelahnya, sebuah deheman terdengar. Raka dan Dinda seketika menoleh ke sumber suara.

"Udah datengnya mendadak, sekarang mau ambil credit orang lain? Kebiasaan jelek lo bertambah, ya?"

Dinda melirik ke arah Raka yang tengah nyengir tanpa dosa.

"Iya, sorry. Bukan gue yang desain, Dind. Gue cuma ngucurin dana. Kalau otak dari semua urusan operasional dan keuangan, dia orangnya, Kanan."

"Keenan! Seenaknya lo ganti-ganti nama orang!"

Keenan menghampiri Dinda lalu mengulurkan tangannya, "Hai, gue Keenan. Gue turut berduka lo harus bergaul sama anak begajulan kayak dia."

"Hai, aku Dinda." Dinda tersenyum tipis dan hendak membalas uluran tangan Keenan, namun tangan Raka lebih dulu menggandengnya. Meski terkejut dengan tindakan itu, tapi Dinda hanya pasrah ketika Raka menuntunnya ke arah tangga untuk naik ke lantai atas.

"Gak pake lama, bikinin menu sarapan. Kami lapar!"

"Sialan lo, Ka! Gue bukan budak!"

Raka menaiki satu demi satu tangga hingga menuju lantai tiga dengan terengah, ia melirik ke arah Dinda yang terlihat tetap tenang. "Kok kamu gak capek, sih?"

"Aku sering naik turun tangga di stasiun dan halte busway," balas Dinda yang kini berjalan lebih dulu di depan Raka.

"Percuma dong gue nge-gym kalau kalah sama pengguna trasportasi umum?" Raka mempercepat langkahnya untuk menyusul Dinda. Tapi gadis itu malah berhenti mendadak ketika mereka sampai di rooftop.

"Wah..." Dinda segera menyusuri tiap sudut area rooftop yang dihiasi tanaman asli. "Siapa yang merawat ini semua?"

"Maminya Keenan, penggila tanaman yang makai kafe ini jadi galeri marketing. Kalau gak salah, dia pernah berhasil jual satu tanaman sampai 20 juta."

Dinda mengangguk sambil duduk di kursi panjang yang menghadap ke rak tanaman. "Gak heran sih, kakakku bahkan pernah urus kasus penipuan tanaman hias yang harga satu tangkainya bisa 70 juta."

Raka duduk di sebelah Dinda sambil menggeleng tak percaya. "Orang gila mana yang ngabisin duit buat daun?"

Dinda tertawa kecil, "Orang gila yang gak selevel sama kita. Mereka milioner, terserah mereka mau habiskan uang untuk apa. Yang jelas, kita gak relate."

"Kamu banyak ketawa hari ini," celetuk Raka membuat Dinda seketika diam.

"Keliatan... aneh, ya?" tanya Dinda ragu, ia menatap Raka yang kini melihat ke arah pemandangan gedung-gedung Jakarta.

"Jangan dipaksa, gue gak suka lihatnya."

Tak ada yang kembali bersuara. Sunyi dan semilir angin pagi Jakarta seakan menenggelamkan keduanya ke dalam pikiran masing-masing. Dinda hanya mengikuti Raka untuk menikmati hamparan gedung pencakar langit di depannya.

"Apa kamu dekat dengan orang tuamu?" Pertanyaan Dinda memecah keheningan, Raka melirik sekilas. Laki-laki itu tahu kalau gadis di sisinya sudah melepaskan topeng yang sejak tadi ia kenakan.

"Dulu gue dekat sama bokap, sebelum dia selingkuh sama teman satu komunitasnya," jawab Raka santai. Namun Dinda tidak bisa menahan dirinya untuk terbelalak.

"Tadinya bokap gue dosen, profesor malah. Tapi dia resign buat fokus ke dunia fotografi yang dari dulu jadi passion-nya. Tapi ternyata, gak terlalu berduit dibanding ngajar di kampus."

Dinda memainkan jemarinya, ia tak ingin sembarangan bicara dan menyakiti perasaan Raka. "Ternyata... setiap keluarga punya drama."

Raka tak merespon, membuat Dinda harus kembali bicara. "Setelah ayahku buat keributan di kantor waktu itu. Semuanya pasti tahu kalau hubunganku dengan ayah gak baik. Tapi ternyata Rifky juga--"

"Kenapa tiba-tiba bahas Rikfy?! Tunggu, kamu tau cerita tentang keluarganya Rifky? Kalian udah sedekat itu?" Raka memberondong pertanyaan, membuat Dinda gelagapan.

"A-aku cuma pernah ngobrol sekali... soal ayah. Setelah tahu kalau kami sama-sama gak dekat dengan ayah masing-masing, aku jadi merasa lebih baik." Nada Dinda memelan di dua kata terakhir.

"Ternyata gue bukan orang pertama yang tahu. Itu pun gue tahu sekilas dari Valerie." Raka mengeluarkan rokok dan korek dari saku celana.

"Tapi aku senang aku jadi orang pertama yang tahu soal ceritamu. Aku juga senang kamu ajak ke kafe ini."

Raka tersenyum tipis sambil mengambil rokok dan memasukkannya ke bibir, lalu membakar ujungnya. Ia menghisap rokok itu satu kali, kemudian memegangnya. Asap mengepul keluar dari mulut Raka.

"Cuma kamu yang tahu aib ini. Gue gak berencana menceritakannya lagi ke orang lain."

Dinda menggeser duduknya menjauh dengan wajah kikuk. Sesekali Dinda terlihat mengusap ujung hidungnya. Raka yang menyadari pergerakan Dinda tak melepaskan pandangannya sedetik pun dari gadis itu.

Perlahan, Dinda sadar kalau sedang diperhatikan Raka. "Maaf, Ka. Aku... pernah punya asma lumayan parah. Jadi aku agak sensitif sama itu."

"Sorry." Raka langsung menjatuhkan rokok dan menginjaknya tanpa pikir panjang.

Dinda terpana dengan keputusan cepat Raka. Baru kali ini ada orang di dekatnya yang rela membuang rokok hanya demi bisa tetap di dekat Dinda. Bahkan Adam--kakaknya--memilih pergi menjauhi Dinda daripada membuang rokoknya yang berharga. "M-makasih, Ka."

"Gue belum lama ngerokok, Keenan yang nyaranin gue buat nyoba. Katanya bisa ngurangin stres."

Dinda hanya mengangguk pelan, emangnya aku nanya ya?

Keenan muncul dengan nampan berisi sepiring roti lapis dan dua gelas kopi. Tak bisa dipungkiri, wajah Keenan terlihat lelah harus menaiki tangga dari lantai dasar hingga rooftop.

"Roti doang? Biasanya omurice--"

"Diem lo! Gue gak bisa masak selain ini, agak siangan aja kalau mau menu nasi, nunggu chef-nya dateng." Keenan emosi usahanya tak dihargai.

"Ditungguin lama-lama yang muncul cuma roti isi. Ini mah di minimarket juga ada, Nan."

Sebelum pertengkaran semakin menjadi, Dinda berdiri dan tersenyum. "Makasih ya, Keenan. Pasti kita makan kok."

Emosi Keenan seketika mereda, "Oh iya. Sorry gue tadi lupa nanya lo mau minum apa. Jadi gue buatin kopi susu. Lo jangan minum kopi hitamnya ya, gue kasih pestisida soalnya."

Dinda tertawa kecil lalu mengangguk, Keenan menggelengkan kepala sambil menatap ke arah Raka sebelum menjauh.

"Beda emang kalau udah ada pawangnya, rokok masih panjang aja dibuang, hahaha!" Keenan puas menertawakan Raka hingga wajah laki-laki itu memerah.

Dinda mendekatkan kopi hitam ke arah Raka yang sedang buang muka. Sedangkan ia mulai menggigit roti lapisnya.

"Kadang, hubungan yang sering bertegangan cuma butuh jarak biar saling mengerti. Kalau perbedaan pendapat bukan berarti harus berdebat."

Kunyahan Dinda seketika berhenti mendengar ucapan bijak Raka, tapi ia tahu pasti apa yang sedang laki-laki itu bicarakan.

"Menang dan kalah nggak ada artinya untuk dua orang yang sebenarnya saling menyayangi."

Jarak ya... Itu artinya, aku harus mulai hidup mandiri. Dinda mengangguk mantap, ia sudah memutuskan untuk mencoba hidup terpisah dari orang tuanya dan tinggal di rumah kos seperti Adel, adiknya.

Raka melirik ke arah Dinda yang termenung memikirkan ucapannya barusan. Tangan Raka meraih gelas kopi dan meminumnya hingga nyaris tersisa setengah gelas.

Tiba-tiba ponsel Dinda berdering, sebuah pesan baru masuk dari Putri. Ibu baru itu mengirim fotonya bersama Satya dan Sachi.

"Kak Putri ngucapin terima kasih ke kamu sama aku, Ka. Katanya kalau bukan karena kita, Kak Putri mungkin bakal lahiran di stasiun terus masuk TV. Kak Putri juga bilang bakal ngundang kita ke apart mereka buat kenalan sama Sachi kapan-kapan."

Tak mendapat respon membuat Dinda menoleh ke arah Raka, laki-laki itu tengah menopang siku lengannya di atas paha dengan kepala tertunduk.

"Ka, kamu kenapa?! Kopinya beneran dikasih pestisida?!" Dinda panik, tangannya mengangkat wajah Raka yang mulai berkeringat dingin. Ia terlihat pucat.

"Bukan, gue pusing. Kayaknya darah rendah gue kumat, akhir-akhir ini gue susah tidur."

Dinda mengusap pelan keringat di wajah Raka, "Kalau tahu susah tidur kenapa minum kopi?! Kamu nyetir juga tadi, untung kita gak kenapa-kenapa di jalan."

"Dind, gue makin pusing denger kamu ngomel," jawab Raka dengan suara lemah.

Dinda menatap pintu di depan tangga, ia tak mungkin membopong Raka yang setengah sadar ke bawah untuk membawanya ke klinik. Bukannya menolong, yang ada mereka jatuh berdua nanti.

"Kamu punya nomor Keenan, kan?" Dinda melepaskan tangannya dari wajah Raka dan mengambil ponselnya. "Berapa nomornya, aku mau telepon biar dia bantu kamu turun--"

Ucapan Dinda terhenti ketika sesuatu yang berat bersandar di bahunya. Dinda terpaku, ia tak berani bergerak sedikit pun. Namun, embusan angin membuat helaian rambut Raka menyentuh pipi Dinda.

Perlahan, Dinda menoleh dan mendapati wajah Raka dari sudut yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bulu mata yang lentik, hidung mancung yang apik, dan bibir yang tetap merah muda alami meski Raka seorang perokok membuat jantung Dinda berdegup tak biasa.

Tanpa Dinda sadari, jemarinya bergerak menuju bibir Raka untuk menyentuhnya. Tinggal beberapa senti sebelum tangan Dinda merasakan lembutnya bibir Raka, akal sehatnya kembali. Dinda mengalihkan tangannya ke bawah hidung Raka.

Alhamdulillah masih napas. Aku bakal dalam bahaya besar kalau dia kenapa-kenapa. Dinda termenung dengan pikirannya barusan. Sepertinya... aku memang dalam bahaya.

🌾🌾🌾

Halo, thankyou sudah menunggu kelanjutan kisah Raka-Dinda yang bikin kita gemas nan iri. 

Btw, kira-kira begini penampakan rooftop kafe Raka & Keenan. 

Aku menantikan dukungan kalian berupa votes & komentar. Makin banyak, makin cepet update episode baru

See you when I see you, Guys! 

--29 Januari, 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro