Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masih seperti kemarin rasanya, ketika tiara emas bertahtakan berlian dan batu-batu Ruby yang mengkilau diterpa lampu-lampu sorot panggung dimahkotai di atas ubun-ubun Ata. Semua kerja keras, ketekunan dan pengorbanannya selama ini terbayar sudah. Semua prestasi yang diraihnya, semua ilmu yang dikuasainya, semua budi pekerti yang diamalkannya, semata-mata untuk berdiri menjadi pemenang. Mengalahkan semua perempuan cantik di seluruh Indonesia dan menjadi yang terbaik di ajang Putri Nusantara.

Sejak Ata masih kecil, Mia–ibunya—selalu mengatakan menjadi perempuan cantik, pintar, baik dan terlahir dari keluarga berada sudah menjadi standar umum. Di mana-mana kau bisa menemukan satu. Maka jika ingin menjadi yang teristimewa, kau harus lebih dari sekadar cantik, pintar, baik, dan berada.

Perempuan seperti Ata, perempuan yang sudah dibekali kecantikan secara genetik, otak yang diasah sejak kecil, tata krama yang sudah dibiasakan sejak lahir, bukanlah perempuan biasa. Maka Ata selalu dituntut untuk sempurna. Menjadi yang terbaik di antara yang terbaik.

"Mama tahu kamu ditakdirkan untuk menjadi juara, Ta... kamu bahkan setingkat lebih tinggi daripada sekadar sempurna!" seru Mia saat Ata menyerahkan selempang bertuliskan Putri Nusantara, tiga tahun silam.

Sejak saat itulah menjadi pusat perhatian artinya sesederhana melambaikan tangan, semudah memetikkan jari, segampang mengedipkan mata, dan terkadang sekadar menyuarakan kata "hai...,". Maka, semua perhatian langsung tertuju pada perempuan cantik itu.

Tapi entah mengapa kata 'sempurna' itu menjadi beban yang begitu berat untuknya akhir-akhir ini.

"Kak Ata, selamat datang di Kyoto," sapa Jordan. Salah satu founder organisasi kemanusiaan yang pernah menjadi narasumber Ata, sekaligus penggemarnya. Dulu.

Ata ingat tulisan pria itu beberapa kali menghiasi linimasa akun media sosialnya dengan puisi-puisi yang sarat ungkapan cinta dan pujian. Entah kapan dia memutuskan untuk menghentikan rutinitasnya itu. Ata bahkan tidak terlalu memerhatikan.

"Sampai kapan kakak di Kyoto?" tanya Jordan lagi membuyarkan lamunan Ata.

Ah, pertanyaan itu! Pertanyaan itu yang paling dihindari Ata. Dia sendiri tidak tahu sampai kapan akan menetap di Kyoto. Kenapa dia memilih Kyoto. Apa yang akan dikerjakannya selama di kota ini. Bagaimana harus melewati hari-hari di sini. Dan ....

"Kak Atalia Sabaira!" Jordan meningkatkan suaranya satu oktaf karena perempuan berbalut jaket parka kuning terang itu tak kunjung menanggapi, juga tak menyambut uluran tangannya yang masih menanti.

... Apakah setitik cahaya akan muncul di sudut hatinya yang gelap?

"Jetlag?" tangan Jordan yang masih saja menggantung di udara akhirnya didaratkannya di handle koper yang berdiri di sisi kanan Ata.

"Jetlag apaan? Yang iya, baru pertama kali naik Shinkansen," gelak Ata seraya mengiringi langkah Jordan meninggalkan coffee shop tempat titik temu mereka hari ini.

"Wajarlah Kak, kecepatannya sampai 300 km/jam, lho," balas Jordan sambil terus menggeret koper Ata.

Seiring membawa langkah kakinya mengikuti Jordan, Ata sesekali mencuri perhatian kepada sekitar. Kota ini pastilah sangat mandiri, Ata membuat kesimpulan di menit pertama. Sedari tadi ia hanya bisa mendapati sosok-sosok tangguh yang pantang menyerah. Sebut saja seorang nenek yang tulang punggungnya sedikit bungkuk yang tetap percaya diri berjalan sendiri tanpa pendamping. Ibu-ibu hamil, begitupun para disabilitas sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kesulitan berhadapan dengan keramaian orang di tempat ini. Hebat.

Selain orang-orangnya, Ata juga menyempatkan diri untuk menganalisa struktur bangunan dari stasiun kereta api terbesar kedua di Jepang itu. Dominasi warna silver, struktur kaca dan besi yang kompleks berhasil membuat Ata lupa kalau dia berada di salah satu kota di Jepang yang juga kaya akan budaya. Ini sungguh kontras dengan arsitektur stasiun yang modern dan metropolitan.

Ata berdecak kagum mengagumi keistimewaan kota Kyoto yang bisa menyuguhkan dua cita rasa sekaligus itu; metropolitan dan tradisional.

Setibanya di depan pintu utama stasiun, langkah Jordan berhenti. Diikuti Ata. Udara dingin menusuk tulang langsung menyambut. Membuat rambut panjang wanita itu beterbangan dimainkan angin. Dari informasi yang sempat dilihatnya melalui ponselnya tadi, hari ini cuaca Kyoto berada di titik -2° Celcius. Musim dingin.

Bukan sengaja Ata memilih musim dingin dalam pelarian kali ini, namun dia tidak menyesal. Hati kecilnya seolah berkata: Udara dingin begini sih nggak ada apa-apanya dibanding dinginnya hatimu. Lalu dia melengos sendiri.

Sejurus kemudian Ata takjub lagi. Tepat di depan matanya saat ini—berhadapan langsung dengan Kyoto Station—pemandangan Kyoto Tower yang berdiri kukuh tersuguh mengagumkan. "Wahhh... bagus banget, ya!"

"Kalau malam lebih bagus lagi, Kak. Lampu-lampunya keren." Jordan ikut-ikutan menengadah ke ujung tower setinggi 131 meter itu, "Kalau kakak mau, kakak bisa liat panorama kota Kyoto dari puncak tower, ada sky lounge juga, Kakak juga bisa belanja oleh-oleh di bawah, soalnya ada beberapa toko penjual suvenir, bisa sewa kimono atau yukata juga. Oiya, ada onsen juga kalau Kakak pengen berendam dengan air panas."

(Onsen: istilah bahasa Jepang untuk sumber air panas dan tempat mandi berendam dengan air panas yang keluar dari perut bumi.)

"Wahhh... kamu persis tour guide aja," ledek Ata.

Jordan tergelak. "Pantes nggak?"

Ata mencoba memberi penilaian dengan tatapannya. "Bolehlah...," kemudian meraih handle koper dari sisi Jordan, "Tapi sampai di sini aja ya, Pak Tour Guide, wisatawannya mau istirahat dulu."

"Kakak yakin nggak mau diantar sampai hotel?"

"Tenang aja. Aku udah punya ini," tolak Ata halus sambil memamerkan peta Kyoto yang sedari tadi digenggamnya.

Satu-satunya alasan Ata bertemu dengan Jordan hari ini adalah untuk menyerahkan salinan tayangan wawancaranya dengan Jordan di acara talk show Mata Hati—program acara yang dipandunya setiap akhir pekan pada salah satu TV nasional—beberapa waktu yang lalu.

Setelah tahu tentang liburan Ata dari Mia, Jordan langsung meminta waktu untuk bertemu di Kyoto Station. Awalnya pria itu menawarkan wisata bersama, tapi Ata menolaknya. Jadi, Jordan hanya meminta salinan tayangan yang diperlukannya sebagai bukti siar. Paling tidak, dengan cara seperti ini wanita cantik itu tidak akan menolak menemuinya.

"Sori ya, jadi ngerepotin Kakak gini," sungkan Jordan. "Jordan udah liat tayangannya di Youtube sih, tapi ada bagian-bagian yang kepotong."

"Halah, sungkan banget sih. Aku juga tinggal minta copy-annya di bagian library kok," balas Ata sambil mengibaskan tangannya pelan di udara. Sementara tangan lainnya masuk ke dalam tas selempang yang tersampir di samping tubuhnya untuk menyelipkan peta sebelum mulai mengubek isi tas untuk mencari salinan tayangan yang diminta Jordan. Setelah mengubek isi tas beberapa saat, Ata akhirnya mengeluarkan sebuah DVD dan menyerahkannya pada Jordan.

"Here you go," gumam Ata saat memindahtangankan DVD tersebut.

"Thanks, Kak," balas Jordan dengan tatapan memuja. Tatapan yang tidak lepas, bahkan saat Ata sudah menyeberang jalan dan menghilang di ujung jalan.

***

Melarikan diri tidak selamanya dilakukan oleh para pelaku kriminal, tidak pada pasangan yang menolak menikahi calon pengantinnya, juga tidak pada insan yang penat pada pekerjaannya. Melarikan diri bisa juga dilakukan pada orang yang sedang mencari dirinya sendiri. Kadang-kadang seseorang harus kehilangan diri sendiri untuk bisa menemukan dirinya yang sebenarnya, kan? Setidaknya begitu kata meme-meme yang dibaca Ata di internet. Dan itu pula yang sedang dicobanya saat ini.

Ata sedang mendiagnosa dirinya sendiri sedang berada dalam fase "kehilangan arah".

Syndrome ini sebenarnya diawali sejak Lusia—sang adik—menodongnya dengan pertanyaan yang kelewat mengganggu di acara ulang tahun sederhana yang mereka laksanakan bersama anak-anak panti asuhan satu bulan yang lalu.

"Sampai kapan aku harus membiarkan Kakak tersesat?"

"Maksud kamu?" tanya Ata acuh tak acuh karena sibuk memisahkan potongan buah dengan krim yang menempel pada potongan kue di atas piring kecil.

Bukannya menjawab, Lusia malah mencolek krim yang sudah susah payah disisihkan kakaknya itu dengan jari telunjuknya. "Udah waktunya Kakak nikmatin manisnya hidup," katanya sambil menyuapi Ata dengan jari telunjuknya yang penuh krim.

"Lusia!!!" erang Ata. Tapi, toh dia tetap menyantap krim yang sudah menempel di bibir. Masalah kalori yang harus dibakar, nanti saja-lah diurus, mumpung Mia juga tidak sedang memerhatikan karena sibuk membagi-bagi kue pada anak yatim.

"You love it, Kak."

Ata cuma nyengir.

"Itu dia maksudku, Kak. Be true to yourself."

Satu bulan yang lalu Ata tidak sepenuhnya mengerti maksud Lusia. Hingga satu minggu setelahnya, kata-kata terakhir adiknya itu selalu mengiang-ngiang tanpa aba-aba.

Kata-kata itu muncul tiba-tiba saat Ata sedang dalam konsentrasi tinggi mengerjakan pekerjaannya hingga semua pekerjaan itu jadi berantakan. Muncul sebelum Ata tidur hingga dia tidak pernah merasakan tidur lelap lagi. Muncul lagi ketika dia menyendokkan makanan ke dalam mulut hingga membuat selera makannya hilang. Juga muncul ketika Mama memberikan schedule baru yang terpaksa dirombak habis-habisan agar tidak perlu membayar penalti.

Anehnya, Ata tidak paham harus berbuat apa agar merasa dirinya merasa lebih baik.

Hingga akhirnya, Ata memutuskan untuk berlibur dulu. Dia ingin mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkannya. Ke mana arah yang ingin ditujunya?

Apakah menjadi sempurna seperti tempaan Mia selama ini bukanlah hal yang benar-benar diinginkannya?

Seingat Ata dia senang bisa menjalani kehidupannya sampai di titik ini. Terlebih ... karena dia punya Mia. Ata senang karena semua yang dia lakukan berhasil membuat Mia bertahan dan tetap melangkah mantap melanjutkan hidup. Meski tanpa Papa.

Tapi sampai sejauh ini, kenapa tiba-tiba sepertinya ada yang salah?



***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro