Do I Hate You?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku akhir-akhir ini menyadari sesuatu, kelas terasa membosankan. Bahkan meskipun Argia duduk di sebelahku, aku tidak berhenti menguap. Dia sama diamnya denganku saat pelajaran berlangsung. Dulu setiap pelajaran mulai terasa membosankan, dia selalu ada di sampingku, melemparkan gumpalan kertas kecil demi melihatku menoleh kepadanya. Terkadang, sebuah memo berwarna terang-bertuliskan 'aku suka kamu' atau 'kencan denganku sepulang sekolah nanti, ya?' atau juga 'aku dengar Mr. Oliver lulus SMA dalam waktu satu tahun, lho! Pantas saja dia pintar sekali'- yang ia tempelkan di atas mejaku.

Sekarang semua itu sudah tidak ada dan waktu berlalu dengan sangat lambat. Aku ingin cepat-cepat pulang dan bertemu dengan Maico, bermain dengan kucing raksasa itu hingga lupa waktu. Ah, aku juga belum memberi makan semut-semutku, aku harap mereka tidak mencoba merayap keluar kandang dan mengotori kamarku.

Aku lagi-lagi menguap lebar.

---

Saat aku membuka mata dengan posisi kepalaku di atas meja, aku mendapati wajah Iris berada tepat di hadapanku, tetapi aku tidak bergerak sedikit pun dan hanya diam-diam menatapnya dibalik kelopak mata yang terbuka meski hanya sedikit. Wajah itu menjauh perlahan dengan raut yang aneh meninggalkan kecupan yang sama seperti terakhir kali ia lakukan, lalu berakhir dengan senyum yang tak dapat ia tahan. Ia tersenyum lebar, dengan senyum manisnya yang seakan mengatakan kalimat aku-berhasil-melakukannya!

Apa saat itu Iris juga tersenyum seperti itu? Tersenyum dengan sangat bahagia, seolah-olah bunga sedang mekar di hatinya.

Iris kembali mendekat, menikmatiku yang sedang tertidur nyenyak. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk menjauhiku, tetapi kenapa ia malah diam-diam memperhatikanku. Apa perkataanku saat itu tidak mempan terhadapnya?

"Sive," panggilnya dengan berbisik, tetapi aku tidak menjawabnya. "sebenarnya, kau tidak benar-benar membenciku, kan?"

Mataku yang awalnya tertutup terbuka lebar dengan cepat. Aku bangkit dari tidurku dengan berdiri tegap. Kepalaku terasa berputar-putar, dan ketika aku sadar sepenuhnya, mata jernih Iris sedang tidak menatapku dan yang aku alami hanya sebuah mimpi belaka. Iris dan hawa keberadaannya tidak ada di segala penjuru kelas, bahkan aroma citrus yang biasa ia tinggalkan tidak membekas.

Aku berdecak sebal, mengambil tasku dengan kasar, menendang kaki mejaku untuk melampiaskan kekesalanku pada benda yang tak bernyawa. Rasanya sungguh mengesalkan. Apa yang membuat gadis itu datang dalam mimpiku? Dengan seenaknya berkata jika aku tidak benar-benar membencinya.

Jam di pergelangan tanganku berbunyi sekali, menandakan bahwa jarum panjang sudah bertemu dengan angka dua belas. Sudah pukul lima, tetapi aku masih dalam perjalanan menuju rumah, seolah-olah keinginan untuk bermain dengan Maico secepatnya dan memberi makan semutku tidak pernah ada.

Lorong sekolah benar-benar lenggang, tidak ada seorang pun di sana, seperti yang aku bayangkan tiap kali aku memutuskan untuk pulang lebih lama. Selain suara derap langkahku yang menggema, suara teriakan anggota klub sepak bola juga terdengar sangat jelas dari lantai dua ini. Sekali saja ada yang berteriak, maka akan menggema dengan jelas.

Suara tawa lantang menggema di sepanjang lorong kelas dua. Aku menoleh secara otomatis saat menyadari bahwa suara itu ada di dekatku, terlebih lagi suara itu adalah sebuah suara yang sudah tak pernah terdengar selama beberapa hari terakhir. Itu adalah suara tawa khas Iris yang sudah menghilang, meski semua teman sekelas mencoba untuk mencarinya, hal itu tak pernah ditemukan, dan mungkin tersangka utamanya adalah diriku.

Aku mengernyitkan alisku keheranan, gerangan apa yang membuatnya terdengar begitu ceria. Sebuah tawa yang sama seperti saat gadis itu menyapaku dengan suara lantangnya dan matanya yang selalu berkilauan. Bagaimana bisa semua hal itu pulih dalam waktu yang begitu singkat? Dan aku penasaran bagaimana hal itu bisa terjadi.

Tanpa sadar aku memelankan langkah kakiku, berusaha membuatnya tidak bersuara di lorong yang kosong. Dengan mempertajam pendengaranku, aku menyusuri dinding hingga membawaku pada tangga selatan yang berdekatan dengan pintu keluar, tujuanku sebelumnya.

Langkahku terhenti mendadak. Aku dengan cepat membalikkan badanku saat melihat Iris berdiri di dekat tangga. Aku menelan air liurku, lalu dengan perlahan mencoba mengintip apa yang tengah gadis itu lakukan.

Iris tidak berdiri seorang diri di sana. Ada seseorang yang menemaninya-tentu saja, ia tidak mungkin tertawa kencang seperti itu sendirian jika tidak ingin dianggap gila. Dari potongan rambut merahnya dan postur tingginya, juga sebuah anting di telinga kirinya membuatku mengetahui siapa dalangnya. Tidak lain dan tidak bukan, seorang siswa berwajah imut-ngomong-ngomong, dia laki-laki, jika dia tahu aku menyebutnya begitu mungkin aku akan babak belur-yang memanfaatkan wajahnya dengan baik sebagai seorang player. Sifatnya yang super easy going membuatnya mudah berteman dengan siapa saja. Dialah Zelts Crainard, salah satu dari teman sekelasku.

Mereka terdengar saling bertukar cerita dan tawa. Aku tetap dalam posisiku, bersandar pada dinding dan berhenti menatap keduanya, sementara suara mereka semakin mengecil dan melangkah jauh. Aku diam seribu bahasa, dalam benakku hanya ada Iris dan Zelts saja saat mataku tertuju pada tangannya yang menyentuh pundak Zelts dengan santainya.

Itu terlihat bagus. Iris sudah mendapatkan kembali bagiannya yang hilang, teman-teman tak perlu merasa sedih karena Iris yang mereka cari sudah kembali, dan aku tak perlu lagi merasa bersalah karena membuatnya seperti itu. Mungkin mimpi yang sama seperti yang aku dapat tadi tidak akan terulang lagi. Senyumnya yang bersinar itu tidak lagi akan tertuju padaku.

Apa itu memang terlihat bagus?

Mungkin aku akan mengambil jalan lain saja kali ini.

---

"Kau bodoh."

Sebuah bantal melayang begitu saja sedetik setelah Argia mengejekku dengan santainya. Hari ini hari libur dan Argia datang ke rumahku untuk sekadar bermain game console terbaruku. Di saat tengah fokus bermain, dia kembali mengangkat topik mengenai sikap Iris yang masih kelabu, ia masih belum tahu kejadian yang kulihat kemarin. Entah mengapa hal itu masih saja menjadi perbincangan sekelas meski sudah hampir seminggu berlalu sejak kejadian aku membentaknya.

Namun, apa yang kulihat saat itu bukanlah tipu daya. Tidak mungkin tawa Iris di tangga selatan hanya imajinasiku belaka dan setelah aku perhatikan lagi, gadis itu memang semakin dekat dengan si player itu. Jadi, aku bercerita tentang apa yang aku lihat saat itu, dan tanpa sadar aku malah mengatakan pendapatku tentang mereka dengan keras-seharusnya aku hanya membatinnya saja, huft! Aku tak sengaja mengucapkan 'rasanya menyebalkan' pada Argia.

Argia menatapku aneh sementara aku menutup mulutku dengan cepat saat menyadarinya, lalu melontarkan ejekan itu tanpa berpikir dua kali, dan aku melemparkan bantal yang ada di dekatku tanpa berpikir dua kali juga.

"Kau kesepian juga, kan?" Argia kembali berbicara dengan bantal dalam pangkuannya dan tangannya yang sibuk menekan tombol-tombol pada stik.

"Tidak," sanggahku dengan cepat dan Argia bergumam tidak percaya, jadi aku menambahkan, "Sama sekali tidak." Tetapi Argia semakin tidak percaya.

"Memangnya apa, sih yang dia lakukan sampai membuatmu membentaknya?"

Aku masih fokus dalam permainanku, lalu berhenti dan menanggapi Argia setelah menghela nafas, bercerita memang tidak boleh setengah-setengah jika tidak ingin pertanyaan terus datang. "Aku membencinya, kau juga tahu, kan? Apalagi saat itu dia menciumku."

Argia bersiul mendengarnya, membuatku mengumpat dalam hati. "Aku suka gayanya. Lalu kau meneriakinya?" aku bergumam setuju. "Kenapa tidak mencoba saja? Cinta tidak selamanya buruk, lho."

"Aku membencinya. Dia membuat orang semakin bodoh."

"Tapi kau tidak bisa menolaknya, kan?" tanganku berhenti bergerak saat mendengar Argia. "Dia seperti bagian dari hidup yang tidak bisa kau tolak, jika kau melakukannya kau hanya akan berakhir menyedihkan. Kau merasakannya saat melihat mereka saat itu, makanya kau berbicara seperti itu."

"Aku tidak butuh saran darimu," tolakku, entah kenapa aku kesal mendengarnya.

"Apa? Kau ingin meminta saran dari Zelts saja? Dia paling ahli percintaan, lho!" bagus, Argia berhasil membuat kekesalanku bertambah dua kali lipat.

Layar di televisi menampilkan kekalahan telakku melawan raja di level 10, sementara Argia berhasil melakukannya. Ugh, aku bertambah kesal saja. Entah kenapa aku ingin mengusir Argia dari kamarku.

"Aku menang. Sebagai gantinya, ayo jujur padaku!" perintah Argia.

Aku mengernyit. "Kita tidak pernah bertaruh seperti itu!"

"Anggap saja begitu. Ini demi kebaikanmu sendiri, lho! Mau tidak? Tidak usah malu-malu begitu, memangnya berapa lama aku mengenalmu?" aku memutar bola mataku, tetapi tetap menurutinya. Mungkin jika memang tidak ada saran yang bisa dia berikan, setidaknya aku lega sudah menceritakannya. Jadi, yang aku lakukan adalah menceritakan pada Argia, segala kebingungan yang datang akhir-akhir ini. Aku harus mengakuinya, semua perasaan tidak enak yang datang menggangguku, tentang air mata Iris yang menjadi mimpi buruk akhir-akhir ini, dan perasaan kesepian yang tidak menyenangkan, juga rasa sakit saat melihat Iris yang tersenyum dengan mudahnya karena ucapan Zelts.

Apa semua itu memang bermuara pada kata 'cinta' yang kubenci? Jika memang iya, apa yang harus aku lakukan?

"Kau memang bodoh, ya?" aku mengernyit sekali lagi, membalikkan badanku dengan cepat untuk mencari bantal yang siap aku lemparkan pada wajah mengesalkan Argia, sayangnya hanya ada satu bantal yang saat ini digunakan oleh Maico yang tertidur. Bolehkah aku melemparkan stik mulus baru ini ke arahnya? "Aku hanya tidak menyangka jika kau akan bercerita seperti itu."

Aku membuang muka, "Terserah kau saja."

"Tentu saja itu namanya 'cinta', kalau bukan memangnya apalagi? Kadang kala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit, padahal jawabannya sederhana saja," jelas Argia.

Aku menyandarkan punggungku pada kasur, mencoba melepaskan semua beban. Jika itu memang cinta, apa yang harus aku lakukan? Mungkin aku memang harus mengakuinya, tetapi memikirkan Iris yang tak pernah lagi menatapku dan perasaan benci dalam hati gadis itu membuatku sedih.

.
.
.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro