I Love You!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mataku tak bisa berhenti mencari gadis itu di tengah keramaian siswa yang baru saja pulang. Andai saja dia memakai lonceng besar kesayangannya, mungkin aku bisa dengan cepat menemukannya, itulah yang aku pikirkan.

Setelah berlari cukup jauh dari sekolah, aku berhasil menemukannya. Dia berdiri di sana sendirian, cukup jauh dari tempat aku berhenti, menunggu lampu jalan berwarna hijau agar dia bisa menyebrang.

"Iris!" aku mencoba berteriak, tetapi gadis itu tidak menoleh dan masih sibuk memperhatikan lampu jalanan. Aku harap dia tidak sedang sengaja mengabaikanku.

Aku terus berlari mengejarnya, tidak ada waktu untuk mengatur nafas di saat seperti ini. Setiap langkah yang aku buat mengumandangkan permohonan agar lampu itu tidak berwarna hijau. Aku berusaha memperpanjang langkahku, aku berharap aku adalah seorang atlet lari yang bisa sampai di sana dalam hitungan detik.

Lampu hijau laknat itu menyala dengan beraninya. Tidak ada waktu untuk mengumpatinya atau memberikan kutukan tak berguna pada benda tak bernapas. Yang dapat kulakukan adalah terus berlari dengan tangan terulur, dan berteriak dengan keras, "IRIS!!!"

Helaan nafas terdengar saat aku melihat gadis itu berhenti dan menoleh. Mata lebarnya tanpa malu-malu menunjukkan bahwa ia terkejut mendengar panggilanku. Ia yang berdiri di ujung zebracross terlihat menahan nafasnya, dari gerakan mulutnya, aku tahu jika Iris sedang memanggilku.

Aku berhenti di hadapannya dengan berusaha mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Aku menjulurkan tanganku, memintanya untuk menungguku dengan sabar.

Aku menarik nafas panjang. "Coklatmu-coklat... umm." Aku menarik kembali kalimatku. Kepalaku terasa pusing, tidak ada satupun kalimat yang keluar dalam otakku. Aku menggeleng frustasi. Lalu memilih kata yang tersedia dengan asal. "Maafkan aku karena sudah membentakmu!"

Iris memiringkan kepalanya dengan alis tertaut. Ia tampak tidak mengerti dengan ucapanku. Apa suaraku terlalu kecil?

Saat lampu kembali berwarna merah, aku melihat Iris memainkan anak rambutnya, lalu menoleh ke belakang sesaat. Ia kembali menatapku yang sedang menunggu lampu untuk berganti. Tunggu, jangan bilang jika dia-Iris membungkukkan badannya, di antara kendaraan yang berlalu lalang, aku melihatnya berbalik dan meninggalkan tempatnya berdiri.

Aku menganga saat melihatnya berlari meninggalkanku. "Tunggu!"

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu berlari saat menyadari tak ada kendaraan yang akan melintas dalam waktu singkat. Rasanya aku tidak peduli dengan lampu itu, aku harus bisa mendapatkan Iris yang berlari dengan kencang. Ia tiba-tiba berubah menjadi seekor cheetah!

Aku tidak akan kalah dari seekor cheetah Iris! Meskipun aku jarang berolahraga dan sudah berlari sepanjang jalan, aku tetap tidak akan kalah. Tidak ada hari esok untuk berbicara dengannya. Tanganku dengan cepat terulur. Aku mengeluarkan segala tenagaku untuk mempersempit jarak.

Grep.

Bagus, aku mendapatkan tas ranselnya! Secara spontan aku menariknya agar langkah kakinya yang jenjang berhenti. Saat punggungnya menabrak dadaku, dengan sigap aku memeluknya, mengurungnya agar tidak dapat melarikan diri lagi.

"Kyaa! Lepaskan aku!" Iris memberontak, tetapi aku tidak akan menyia-nyiakan tenaga yang sudah aku buang untuk mengejarnya. "Maafkan aku! Coklat itu yang terakhir, aku janji!"

"Ha?" aku merespon tidak mengerti. Iris sudah tidak lagi memberontak, tetapi kulihat matanya tertutup rapat, seperti sedang menahan sesuatu. Ia tiba-tiba terisak dan aku semakin terheran-heran. Perlahan, aku melonggarkan kurunganku.

"Maafkan aku." Dia lagi-lagi meminta maaf. "Aku tahu kau membenciku, tapi aku tidak tahan. Aku ingin sekali memberikan coklat buatanku kepadamu. Jadi, untuk yang terakhir kalinya. Tolong terima itu, tidak apa-apa jika kau tidak memakannya. Bawa-"

"Aku akan memakannya!" potongku dengan cepat. Iris tampak membeku dan menoleh dengan cepat. "Aku akan menerimanya dengan senang hati! Jadi, tolong jangan menyerah. Buatkan lagi coklat untukku tahun depan. Bahkan saat kita lulus nanti, tetap buatkan coklat untukku!"

Iris mengedipkan matanya beberapa kali. "Maksudmu?"

Aku menggaruk rambutku kasar. Apa ia masih tidak mengerti juga? Aku menghela nafas, "Aku tidak benar-benar membencimu. Maafkan aku sudah membentakmu waktu itu. Setelah kau pergi, rasanya ada yang berbeda. Aku... setiap hari aku hanya berpikir tentang dirimu. Aku merindukan suaramu. Aku rindu saat kau memanggilku. Aku-" aku memalingkan wajahku, rasanya aku tidak ingin Iris melihatku sekarang. "-tidak suka saat kau bersama orang lain. Rasanya menyakitkan saat kau bersedh karena diriku dan tertawa karena orang lain. Aku ingin menjadi seseorang yang dapat membahagiakanmu!"

Diam-diam aku melirik Iris yang tak terdengar suaranya. Gadis itu menutup mulutnya dengan mata melebar. "Benarkah?" aku mengangguk mantap. Aku harap ia tidak membuatku mngucapkannya untuk yang kedua kalinya. Itu sangat memalukan.

"Ibu bilang, aku hanya belum mengenal cinta-atau apalah itu namanya. Dia bilang aku harus belajar menerima. Kupikir, jika itu dirimu tidak masalah." Aku meneguk ludahku. Mataku tidak berani menatap matanya terlalu lama. Hawa terasa lebih dingin sekarang, dan aku merasakan keringat turun dari dahiku.

"Sive," panggilnya. Aku hanya bergumam, rasanya sepatuku lebih menarik dari wajah cantiknya. "Sive!" kali ini lebih keras, tetapi aku masih tetap dalam posisiku. Dia tiba-tiba saja menarik wajahku dengan kedua tangannya, lalu entah kenapa tertawa dengan lepas saat melihatku.

Aku diam-diam mengulum senyum. Sudah lama sekali tidak melihatnya tertawa hingga matanya menyipit. Entah mengapa rasanya sangat lega saat melihatnya seperti itu. Sesuatu seperti telah terangkat dari bahuku.

"Apa itu artinya kita sekarang sepasang kekasih?!" Iris tiba-tiba bertanya dengan suara lantang. Matanya yang berseri-seri seakan tak mempedulikan wajahku yang memanas. Mengapa dia suka sekali mengatakan hal-hal seperti itu? Oh, seharusnya aku tahu jika urat malunya sudah putus sejak lama.

"Mungkin?" jawabku sediit ragu. Aku belum memintanya secara langsung, tetapi jika dia tidak menolaknya rasanya tidak masalah.

"Kenapa mungkin?! Beri aku jawaban yang pasti!" serunya kesal.

Ugh, aku mengangguk sekali. "Jika kau tidak keberatan, mungin aku-"

"Tentu saja aku mau!" Iris berteriak di depan mukaku, lalu melompat dan memelukku dengan erat. Aku tidak tahu berapa kali aku tersenyum melihat tingkahnya. Awalnya memang terlihat menyebalkan, tetapi lebih baik seperti ini daripada melihatnya murung sepanjang hari.

---

Bunyi lonceng yang jernih itu memancingku untuk menoleh dan tersenyum. Lambaian tangan itu terlihat penuh semangat, ditambah dengan lompatan-lompatan kecil yang membuat rambutnya bergerak naik-turun, juga suara nyaring yang memanggilku dengan lantang di seberang jalan. Beberapa orang yang lalu-lalang menatapnya aneh, tetapi aku hanya tertawa kecil melihatnya.

Suara lonceng yang awalnya terdengar memuakkan itu berubah menjadi suara yang setiap saat aku nantikan kehadirannya. Membuatku selalu menoleh seperti orang bodoh saat mendengar suara itu, lalu malu sendiri jika menyadari itu bukan suara lonceng Iris.

Lampu berubah hijau. Orang-orang mulai berlomba untuk sampai diseberang terlebih dahulu, sedangkan aku masih berdiri di tempatku, karena aku tahu jika Iris akan sampai dihdapanku lebih cepat dari cahaya.

"Selamat pagi, Sive!"

Ah, dia sudah di depanku ternyata. Aku terlalu sibuk memperhatikannya hingga tidak menyadarinya. Dia dengan cepat mengenggam tanganku, memberikan desiran tersendiri pada hatiku. Mungkin cinta memang tidak dapat ditolak, tetapi jangan sampai membuat seseorang bodoh karenanya. Aku akan berusaha mencintainya tanpa berlebihan, berusaha melundunginya dengan cara yang benar, dan membuatnya bahagia tanpa harus menyakitinya.


.
.
.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro