Ende

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Embun pagi membasahi hamparan rumput. Ayam bahkan belum berkokok, tetapi seorang pemuda dengan rambut acak-acakan sudah terjaga di mulut tenda. Api unggun bekas memasak telah dipadamkan beberapa saat lalu dan barang bawaan siap di ransel belakang. Di tangan si pemuda adalah sebuah pedang pendek yang ditancapkan pada tanah basah. Matanya memandang jauh ke ufuk timur.

"Stella, matahari sudah terbit. Ayo berangkat."

Ia menepuk pundak seorang gadis berhelai hijau lumut yang terlelap di dalam tenda. Stella mengucek mata. Figur si pemuda perlahan terlihat semakin jelas.

Rambut pirangnya yang dulu tertata rapi kini terurai sembarangan. Wajah yang dulu sering mampir ke toko obatnya sekarang dihiasi oleh kantung mata dan bekas luka. Belum ada enam bulan sejak mereka meninggalkan desa, tetapi si pemuda sudah berubah hingga Stella hampir tidak dapat mengenalinya. Ia tertawa kecil.

"Hart, nggak tidur?"

Hart mendengkus, tangannya menutupi mulut yang akan menguap. Ia tidak menyia-nyiakan waktu menunggu Stella bangkit, jemarinya gesit menarik pasak penunjang tenda. "Ibu menunggu, Stella."

"Iya deh, iya."

Stella melipat selimut sebelum bergegas keluar untuk membantu Hart mengepak tenda. Sesekali ia mencuri pandang ke arah matahari yang perlahan mulai muncul menyapa. Ia tidak akan pernah bosan melihat pemandangan ini seribu kali pun. Sebaliknya, Hart tidak melirik satu kali pun. Stella menyikut rusuknya. "Hei, Hart. Lihat, matahari sedang terbit."

"Wah, iya, bagus," jawab Hart datar. Ia bahkan tidak berusaha berpura-pura melihat pemandangan yang ditunjuk Stella, matanya terpaku pada tenda yang berusaha dijejalkan ke dalam ransel.

"Ih, lihat dulu, dong."

Hart akhirnya luluh setelah Stella menarik ransel dari genggaman, meninggalkannya tanpa kegiatan untuk dilakukan. Ia memandangi fenomena alam tersebut selama beberapa menit sebelum meraih ransel.

"Ayo, jalan."

Stella berjalan di belakang si pemuda. Ia suka memandangi punggungnya dari belakang, punggung lebar yang membawa gulungan tenda dan barang-barang berat lainnya. Peralatan makan serta tumbuhan herbal diberikan kepadanya sehingga berat ranselnya tidak ada separuh milik Hart.

Hart tidak selalu seperti ini. Dulu, dulu sekali, ketika mereka berdua masih berupa bocah yang tidak punya beban, Hart tidak pernah absen mengajaknya bermain di rawa-rawa tiap pagi. Orang tuanya berulang kali melarang. Kata mereka, perempuan tidak pantas bermain di tempat kotor seperti itu. Stella tidak peduli. Bermain dengan Hart selalu menyenangkan dan ia mendapat pengalaman membedakan tumbuhan beracun atau tidak di rawa-rawa. Lambat laun, Hart berhenti mengajaknya bermain. Setelah merajuk selama beberapa hari, Hart akhirnya mengaku bahwa ia tidak ingin Stella dimarahi karenanya. Stella hanya mencubit pipinya gemas.

Hart itu baik. Terlalu baik. Keras kepala juga. Di desa terpencil yang mereka tinggali, sarana pengobatan tidak sebagus apa yang ada di pusat kerajaan. Akibatnya, ada beberapa penyakit yang dianggap sama dengan vonis mati seperti amputasi dan rabies. Namun, selain itu, terdapat juga penyakit yang hanya ada di tempat mereka tinggal. Mereka menamainya dengan Ende.

Ende selalu diawali dengan batuk berat, tetapi tidak semua batuk berat adalah gejala Ende. Biasanya masyarakat baru khawatir ketika gejala keduanya timbul; darah berwarna hitam yang keluar bersama dahak. Tabib desa akan dipanggil dan mereka mengambil sampel darah pasien untuk dicampurkan bersama bisa ular pohon. Darah orang yang sehat akan menggumpal, tetapi darah penderita Ende akan menetralisir efek tersebut dan bertahan dalam wujud cair. Beberapa bulan selanjutnya, kulit penderita akan perlahan berubah menjadi biru dan mereka biasanya akan meninggal dalam tidurnya.

Tabib kerajaan pun tidak mengerti apa yang menyebabkan penyakit ini. Akibatnya, masyarakat desa yang menderita Ende dilarang untuk masuk ke kota untuk mencegah penularan. Penduduk desa menganggap bahwa penyakit ini sudah takdir seseorang yang memang waktunya meninggal.

Stella masih ingat hari ketika Hart menggedor pintu pondoknya, memohon agar Stella memanggil sang guru –tabib desa– untuk memeriksa ibunya. Lima hari kemudian, sang guru meminta Stella membawakan kabar ke si pemuda berambut pirang. Ibunya menderita Ende.

Hari itu, Hart bersujud di hadapannya, berkata bahwa ia akan memberikan apapun asalkan ibunya sembuh. Stella mati kata. Kalau tabib kerajaan saja tidak bisa berkutik, apa yang bisa murid tabib desa terpencil lakukan?

Guru Stella membisikkan sesuatu pada pemuda itu. Sebuah legenda tentang tanaman yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Mawar biru yang di dunia hanya ada satu. Untuk mengambilnya, ia perlu teknik dari seorang praktisi seperti Stella. Hart membujuknya sambil berderai air mata, bagaimana bisa Stella menolak?

Sekarang, mereka berjalan ke utara. Guru Stella berteori bahwa tanaman berwarna biru akan tumbuh di dataran dingin wilayah utara. Empat bulan genap Stella dan Hart telah berkelana. Hart tidak pernah tidur di malam hari, selalu menjaga tenda mereka dari hewan buas. Sedetik pun tidak ia sia-siakan mengingat ibunya bisa meninggal kapan saja di desa.

"Hart." Stella memacu langkah, kini berjalan di samping si pemuda. Langkah Hart panjang dan tergesa-gesa, si gadis harus berlari kecil untuk mengimbanginya.

"Kenapa?" Hart tidak menoleh, matanya menyapu hamparan di sekitar mereka seakan bunga yang dicari akan muncul kapan saja.

"Kalau kita nggak dapat mawar biru itu sampai ibumu ...," Stella menahan kata-katanya. Ia tidak sampai hati mengatakan itu secara langsung. "... apa yang mau kamu lakukan?"

Hart diam sejenak. Stella tahu kalau perkataannya didengar karena langkah si pemuda semakin melambat. Hart selalu begitu ketika sedang berpikir. Langkah si pirang bertambah cepat lagi. "Entah. Menangis, mengutuk dunia, barangkali. Setidaknya ibuku akan meninggal sambil mengetahui bahwa anaknya melakukan apapun yang bisa dilakukannya."

Stella mendekap ranselnya erat-erat. Andai saja gurunya tahu bahwa teorinya salah. Mawar biru tidak tumbuh di tempat dingin. Mawar biru tumbuh di rawa-rawa dan ia tidak sengaja memetiknya sepuluh tahun lalu. Bunga itu kini berada di kotak kecil di bagian paling dalam ranselnya.

Kalau ia memberitahu Hart, si pemuda pasti akan kembali ke desa untuk merawat ibunya. Hari-hari mereka bertualang bersama akan berakhir. Tidak akan ada lagi minuman hangat di pagi buta, tidak akan ada lagi duduk bersama di bawah semilir angin malam, tidak akan ada lagi kesempatan untuknya berdua bersama Hart. Stella akan kembali dan menggantikan posisi gurunya tabib desa, Hart akan meninggalkannya. Banyak wanita yang lebih pantas dari Stella. Lebih cantik, lebih baik, dan tidak berusaha untuk membunuh ibunya secara tidak langsung.

Rasa bersalah kian bersarang di hatinya. Diam-diam Stella berdoa, meminta ampun kepada keberadaan yang lebih tinggi. Ia tahu, Hart tidak akan memaafkannya.

Stella tersenyum getir. Ia mengusap pucuk kepala si pemuda dengan lembut. "Ibumu pasti bangga."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro