7 (end)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bandung? Dua hari?

"Harus nginep banget?" tanyaku.

"Namanya juga survey, keliling terus meeting dari pagi sampai malem. Ribet banget pokoknya, nggak cukup kalau cuma sehari doang." Hardi menjawab sambil menyuap nasi goreng dengan santai.

"Aku ikut, boleh nggak?"

Mendengar permintaanku, Hardi menghentikan kunyahannya.

"Ya nggak bisa lah, Yang... Kan aku sama tim ke sananya."

Itu benar. Posisi Hardi tidak memungkinkannya untuk membawa sanak saudara untuk mendampingi di perjalanan dinas.

Apalagi pekerjaan memang Hardi sepadat itu, sehingga membawaku akan menjadi beban untuknya—beban biaya, tempat, dan energi.

Aku tahu ini, sebab dulu sebelum menikah dan resign, aku sempat magang di kantornya sebentar.

"Tenang aja, aku nggak bakal selingkuh."

Pernyataan Hardi membuatku terkejut. Sungguh, aku tak ada pikiran sama sekali ke sana. Aku hanya enggan ditinggal sendirian, terlebih lagi dengan kondisiku yang sedang 'diganggu'.

"Nggak, kok, Yang. Aku nggak nuduh kamu—"

"Iya, iya," potongnya. "GPS aku nyalain, kalau mau VC sebelum tidur, aku jabanin. Sleepcall lagi kita kayak pas waktu pacaran dulu, mau?" tawarnya.

Mendengar itu, mau tak mau aku tertawa.

"Ya udah." Akhirnya aku setuju.

Dengan sikap Hardi yang pengertian begini, sepertinya sendirian selama dua hari tidak akan terlalu buruk.

**

Senin pun tiba. Aku melepas kepergian suamiku itu dengan kecupan di pipi.

Sepanjang hari, aku berusaha menaklukkan rasa paranoid dengan berkegiatan di luar rumah; berbelanja, mengunjungi tetangga, sampai jalan-jalan ke mall sendirian.

Akhirnya malam tiba, dan untungnya Hardi tepat janji untuk menemaniku video call, menceritakan apa yang dia lakukan seharian ini. Aku tertidur malam itu ditemani wajah Hardi di layar ponsel.

Keesokan harinya, Selasa.

Rasanya aneh sekali bangun dan mendapati rumah sebegini sepi. Aku sedikit terintimidasi sendiri.

Lagi-lagi aku mencari kesibukan, kali ini menghubungi teman-teman kuliahku dulu, siapa tahu ada yang bisa diajak keluar.

Sayang, hasilnya nihil. Mereka kebanyakan sudah berkeluarga dan sibuk bekerja, sehingga tidak bisa memenuhi ajakan dadakan begini.

Hardi pun agak sedikit slow respon karena jelas sedang padat aktivitas di Bandung sana.

Akhirnya aku memutuskan untuk membereskan rumah, bersih-bersih besar-besaran. Sampai jam dua siang, tubuhku berkeringat dan lengket. Perutku pun lapar.

Aku pun mandi dan seketika merasa badanku segar, setelah itu menyantap sop buatanku dengan telur dadar dan sambal.

Mungkin karena lelah seharian bersih-bersih, badan nyaman dan perut kenyang, maka aku pun ketiduran di kamar setelah menunaikan shalat ashar.

Aku terbangun karena merasakan napas hangat di sisi leherku.

Perlahan mataku terbuka, dan aku sontak terkejut mendapati Hardi berada di atasku.

"Lho, Yang? Udah sampe? Katanya pulangnya nanti malem, eh, atau besok subuh...?"

Seketika otakku langsung 'klik'.

Kulirik langit di luar yang mulai menggelap. Ini waktu maghrib, tepat peralihan hari. Dan 'Hardi' di hadapanku ini tidak menjawab dengan kata-kata, alih-alih memandangiku dengan mata yang memuja.

Jelas, dia bukan suamiku yang asli.

"K-kamu..." Kata-kataku tercekat.

'Hardi' membelai pelipisku. Sentuhannya masih sama, efeknya juga. Kini dadaku berdesir, seakan-akan tubuhku mengharapkan penuntasan yang selama ini menjadi hutang.

Sungguh, rasanya saat itu aku seperti lumpuh. Perasaan takut bercampur damba membuatku hampir lepas kendali, tidak sempat menolak saat 'Hardi' mendekatkan wajah dan mencumbu bibirku.

Ya Allah. Ya Tuhan. Dzat maha kuasa pelindung segala makhluk... berilah hamba kekuatan.

Dengan panjatan doa itu aku mendorong tubuh 'suamiku', melepaskan ciuman kami. Napasku memburu. Aku sudah tidak peduli lagi dengan perasaan licin di pangkal paha, menandakan tubuhku sudah melembabkan diri, siap untuk menerima cinta dari sosok yang dinanti-nanti.

"Nggak." Aku menggeleng. "Kamu... pergi!"

Perkataanku itu membuat 'Hardi' memiringkan kepala, seakan tak mengerti. Tatapannya masih lembut, sentuhannya juga masih menggerayangi lenganku, seakan dia benar-benar rindu dan tidak bisa melepasku barang sedetik saja.

"Aku tahu siapa kamu—apa kamu—yang sebenarnya," tegasku. Belaian tangan itu terhenti.

"Kamu bukan Hardi, bukan suamiku. Dan aku... nggak mau kamu ada di sini."

Tatapan mata yang menyambut itu membuatku tak kuasa menahan iba.

Dia baru saja ketahuan, dan di dalam dua mata yang menyerupai mata Hardi itu, sama sekali tidak terdapat amarah, kepanikan, atau kebencian. Alih-alih, pandangan 'suamiku' itu penuh dengan rasa... sedih, putus asa.

"Maaf, tapi kamu harus pergi." Aku menegaskan sekali lagi, membuatnya membuka mulut seakan hendak mengatakan sesuatu.

Jantungku berdegup. Dia bisa bicara?

Dia memajukan tubuhnya perlahan, mendekatkan bibir ke telingaku, dan setelah itu aku mendengar dengan samar, suara yang lebih serak, lebih dalam, dan lebih lirih dari suara Hardi.

"Sa... bi... la." Makhluk itu menyebut namaku.

Seketika tubuhku bergetar. Benarkah kata ibu, bahwa dia sudah mengincarku sejak aku berusia remaja?

Aku tak menjawab, membiarkannya mundur dan membelai pipiku untuk terakhir kali, sebelum akhirnya beranjak keluar kamar.

Entah kenapa ada perasaan sedih yang asing menyeruak dari dadaku, membuat sesak.

Tanpa bisa kutahan, aku menangis. Awalnya hanya rembesan air mata, tapi lama-lama aku menjadi sesenggukan. Aku bingung sekali, campur aduk rasa takut dan kehilangan, sungguh aku tak mengerti.

Setelah agak tenang, aku baru sadar waktu maghrib hampir habis. Aku pun shalat.

Selama beribadah, rasanya aku seperti orang linglung.

Malam itu, aku melanjutkan tangis di telepon sambil berbicara pada Ibu, menceritakan apa yang baru saja terjadi.

Keesokan harinya, Hardi pulang ke rumah dan menanyakan kenapa mataku bengkak. Aku berbohong dan mengatakan habis menangis karena menonton drama korea.

Ya, aku tidak akan membebani Hardi dengan menceritakan apa yang sudah kualami itu.

Biarlah aku yang menyimpannya sendiri, dibantu ibu yang sedikit banyak bantu meringankan beban itu.

Kini, entah berapa tahun berlalu, aku tidak mau menghitung dan mengingat-ingat. Yang jelas, hubunganku dan Hardi baik-baik saja.

Aku berusaha menerima Hardi, mencintai suamiku yang memang tak sempurna, tapi mau menerimaku apa adanya.

Aku mengatakan itu sebab kami masih tak kunjung mempunyai anak hingga detik ini.

Entahlah, mungkin salah satu di antara kami memang ada yang infertil. Lambat-laun kami menerima juga akan kemungkinan ini.

Kalau boleh jujur, sesungguhnya pengalamanku kala itu telah membuat keinginanku untuk punya anak menjadi tawar.

Kini, aku lebih bahagia hidup berdua saja dengan Hardi.

Aku merasa tuntutan keluarga, omongan tetangga, komentar netizen dan teman-teman online tentang beranak-pinak sungguhlah tidak seberapa ketimbang aku harus mengandung anak yang bukan berasal dari benih suamiku, benih Hardi sang pemilik pabrik taoge yang tidak kunjung berbuah, namun tetap akan kucintai sepenuh hati, seumur hidup.

**

SELESAI. 
Jakarta, Maret 2022.

[942 Kata]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro