Bab 27 : Perasaan (Asing) Itu Ada

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengajak Kahiyang berpisah ternyata tidak membawa kelegaan buat Nara, justru perasaan asing yang menelusup kian dalam yang bernama tak rela. Jauh di lubuk hatinya, Nara masih berharap bisa kembali rujuk dan memperbaiki kerusakan yang ia timbulkan dulu.

Selain pernikahannya, ada banyak hal yang ingin Nara perbaiki. Termasuk hubungannya dengan anak-anak, tapi kenyataan yang terpampang nyata di depannya membuat Nara tak bisa pungkiri lagi. 

Kisah mereka telah usai delapan belas tahun silam. 

Namun, sepertinya kesempatan kedua itu tidak berlaku bagi Nara. Kesalahannya benar-benar fatal. Rela menyingkirkan istri dan anaknya demi mengakui darah daging orang lain. Siapa pun yang mengetahui kesalahan Nara jelas-jelas memberikan predikat suami dan ayah tak tahu diri dan kejam.

Kejam dan juga tak berperasaan. Semuanya diborong oleh Nara.

"Hubungan kita udah berakhir semenjak delapan belas tahun lalu, Mas. Nggak ada yang harus diperbaiki lagi. Jika dulu kamu gagal jadi suamiku, sekarang kesempatanmu buat jadi ayah yang baik buat mereka." 

"Kamu yakin, Yang?" 

Kahiyang mendengus mendengar panggilan Yang yang terlontar dari bibir Nara. "Sepertinya nggak mudah menganti panggilanku dari Yang ke Ajeng." 

"Sorry, udah kebiasaan manggil kamu Yang." Nara hanya meringis malu, menyadari jika masih memanggil nama Yang daripada memangilnya Ajeng. "Kamu yakin anak-anak akan nerima aku?"

"Kamu ayahnya, Mas. Meski Mas Lintang yang selama ini menggantikan sosok ayah, tapi mereka tetep menginginkan kehadiran ayah kandungnya."

Ya ... tidak ada yang bisa Nara perbaiki. Semuanya telah usang di makan waktu, sama halnya dengan kisah mereka.  Perkataan Kahiyang tempo hari membuat Nara harus legowo menerima semua ini.

Ia menyadari jika dulu Kahiyang selalu memberikan kesempatan itu berkali-kali, yang kini sangat Nara inginkan. Dirinya terlalu buta akan setiap pemaafan yang diberikan calon mantan istrinya itu, yang pada akhirnya Nara akan selalu mengentengkan hal tersebut dan mulai kehilangan segalanya.

Mengembuskan napas panjang, Nara melihat rumah Kahiyang dari dalam mobilnya. Seminggu yang lalu Arjuna sudah pulang dari rumah sakit, tapi semenjak hari di mana ia mengutarakan perpisahan itu, Nara belum bertemu kembali dengan Kahiyang pun anak-anaknya. 

Lebih tepatnya ia tidak siap.

Sekali lagi ... Nara merasakan dadanya sesak, seperti tengah terhimpit tembok yang membuatnya tak bisa bernapas dengan lega. Namun, bukan perasaan lega ketika ia membayangkan jika perpisahan terucap. Betapa tak tahu malunya ia jika harus meminta kesempatan itu lagi.

Kahiyang juga berhak bahagia meski bukan dengan dirinya, hal itu kembali membuat dada Nara terasa ngilu. Rasanya ... sakit, tapi tak berdarah. Membayangkan Kahiyang menikah dengan pria lain saja ia tak rela, apalagi jika benar-benar melihatnya perempuan itu berdiri di pelaminan. 

Kali ini Nara mengembuskan napas berat, seberat beban pikiran yang mengayutinya seminggu belakangan ini. Yang sialnya tidak bisa ia singkirkan begitu saja. Ia sempat ragu untuk memasuki rumah Kahiyang sedari setengah jam lalu, karena pikirannya  berkelana ke mana-mana.

Bukan Kahiyang yang membukakan pintu rumah, tapi seorang wanita paruh baya yang sama sekali tak Nara kenali. 

"Cari siapa, Pak?"

"Kahiyang ... ah, Arjuna."

"Ah ... silakan masuk dulu, Pak."

Wanita tua itu mempersilahkannya masuk, tanpa menunggu respon dari Nara dia menghilang di balik tembok pembatas antara ruang tamu dan dapur.

Suasana rumah Kahiyang masih sama seperti terakhir kali ia mendatanginya, saat mengantar Nirbita pulang untuk mengambil beberapa barang setelah mereka makan siang. Rak dinding yang berisikan pigura dengan foto-foto ke empat anaknya masih tetap berada di sana. 

Nara bahkan tak bosan-bosannya menatapi satu persatu foto tersebut, meski ia pernah melihat deretan foto itu sebelumnya. Hatinya teremat kuat, tiap kali melihat kealpaan dirinya di setiap foto yang digantikan dengan keberadaan Lintang. Sayatan-sayatan yang tak kasat mata itu kembali menganga kian lebar. 

Ia ayah kandungnya, tapi Lintang yang selalu berada di semua momen pertumbuhan anak-anaknya.

Hati Nara benar-benar menangis pilu sekarang. Kebodohannya yang ia ambil di masa lalu justru membuat hidupnya sengsara. Kali ini ia membenarkan ucapan orang-orang yang ia anggap omong kosong. Tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya, semua keputusan yang diambil demi kebaikan si anak sendiri. 

Tidak semua anak akan selalu menuruti ucapan orang tua, karena menganggap jika keputusan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya. Dan ... sayangnya lagi, Tuhan mendengar semua doa-doa yang umatnya panjatkan. Namun, Tuhan lebih tahu apa yang dibutuhkan daripada yang diinginkan.

"Mas Lintang pengen ngasih mereka figur ayah, meski tahu kalo hal itu nggak bener-bener bisa menghilangkan keinginan mereka akan kehadiran sosok ayah kandungnya. Setidaknya mereka memiliki momen yang seharusnya kamu ada di sana."

Ucapan Kahiyang membuat tenggorokan Nara tercekat hebat. Haruskah ia berterima kasih pada Lintang karena sudah menggantikan perannya? Begitu juga dirinya yang menggantikan peran seorang ayah untuk Agni. Lagi-lagi Nara tak bisa berbuat apa-apa, karena semuanya berupa masa lalu. 

Begitu menyakitkan sekali saat seharusnya ia yang berada di sana untuk anak-anaknya, justru ada untuk anak yang bukan darah dagingnya. 

"Naiklah ke atas, Arjuna lagi nonton anime." Titah Kahiyang melirik jam tangannya, kemudian mengambil parcel buah dari tangan Nara lalu meninggalkannya masuk ke dapur.

Melihat rumah yang sepi, Nara akhirnya menaiki tangga yang tepat berada di samping dinding ini. Menaiki satu per satu anak tangga dengiian foto yang mengantung di sepajang dinding, kembali membuat dada Nara kesakitan bak ditikam sembilu yang berkarat.

Melihat Kahiyang tertawa membuat dada Nara kembang kempis, tapi bukan dirinyalah alasan wanita itu tertawa adalah hal yang sangat menyedihkan. Lintang mampu membuat wajah Kahiyang terlihat lebih bersinar di bawah cahaya lampu dop yang menerangi taman belakang rumah.

Wajah Kahiyang yang tengah tertawa adalah satu hal yang tak pernah Nara lihat selama mereka masih menjadi pasangan suami istri. Ibu dari keempat anaknya itu memang lebih banyak tersenyum saat bersamanya, tapi tidak pernah bisa selugas itu Kahiyang tertawa saat bersamanya. Andai waktu bisa diulang, Nara ingin ialah alasan Kahiyang tertewa seperti sekarang ini.

Deg!

Nara cukup terkejut dengan pemandangan di depannya. Tatapan intens yang diberikan Lintang membuatnya tahu apa arti tatapan itu. Beginikah rasanya saat dulu Kahiyang melihatnya dengan Gladis melakukan hal yang sama? 

Seperti ada sengatan pilu yang kembali terobek. Hatinya terasa ngilu kala meraba dadanya. Nara merasa ada sesak yang pelan-pelan merambat, juga resah yang tertahan. Semua bergemuruh di dalam dadanya, yang kemudian berkumpul untuk memperkeruh keadaan.

Nara menunduk dalam. Ia menghirup dalam udara sore yang seakan menambah kesenduan hatinya, lalu menghembuskannya perlahan dan kembali menatap ke arah Lintang dan Kahiyang. Ia tahu akan kelanjutan adegan yang akan kedua insan itu suguhkan, tapi juga bukan kapasitas Nara untuk melarangnya. 

Jika posisinya di balik, mungkin Nara tak akan memaafkan pun melupakan kesalahannya dengan begitu mudah. Nara sudah melukai perasaan Kahiyang, juga mencederai kepercayaan dan kesetian yang wanita itu berikan.

Lalu apa yang Nara harapkan lagi?



Surabaya, 27 Januari 2023
- Dean Akhmad -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro