3 - Aktor Tampan Penggoda Iman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Napas Aaron memburu di balik pintu apartemennya. Apa yang baru saja terjadi? Dan reaksi Aaron pada Scarlett? Aaron bahkan tak yakin bahwa wanita yang bernama Scarlett itu sangat berani menyentuhnya.

Apa wanita itu sudah gila?

Ingatannya berputar ke beberapa menit yang lalu. Jari lentik Scarlett meraba dadanya dan mata wanita itu seakan menguncinya. Butuh beberapa waktu bagi Aaron untuk bisa menggerakkan tubuh. Ia terhuyung ke belakang, bahkan hampir saja menjatuhkan paper bag di tangannya.

Tanpa sepatah kata pun, Aaron pergi meninggalkan Scarlett dan masuk ke apartemennya. Aaron meraba dadanya, ia bahkan masih merasakan sentuhan Scarlett. Aaron tak pernah merasakan gelisah sedemikian rupa ketika berinteraksi dengan wanita. Atau kah karena Aaron jarang berinteraksi dengan yang namanya wanita? Ah, benar. Aaron bukannya jarang berinteraksi, tapi selalu menghindari makhluk lawan jenisnya itu.

Selama ini, ada dua hal yang pernah Aaron buang dalam hidupnya. Kue dan wanita. Ia ingin menjalani hidup tanpa dua hal itu. Kalaupun harus berhubungan dengan kue dan wanita, itu hanya sebatas pekerjaan. Bukan kehidupan pribadi Aaron. Aaron tak akan mengizinkan hal yang ia benci itu hadir dalam hidupnya. Ia percaya bahwa tanpa kedua hal itu, hidupnya tetaplah bisa sempurna.

Ia pernah mencintai kue. Ia pernah mencintai wanita. Namun, kedua hal itu pulalah yang menghancurkannya.
Memikirkan itu, kening Aaron tiba-tiba saja pening. Nama Scarlett Davis dan wajah wanita itu tampak tak asing. Matanya terbelalak ketika ia kemudian mengingat bahwa poster yang bergambar wanita itu ada di kamar Hailey. Potongan-potongan memori kemudian mulai menyatu.

“Aku ingin menjadi model seperti Scarlett Davis.”

Aaron mengingatnya sekarang. Bagaimana ia bisa tidak mengingat hal sepenting itu?

Scarlett Davis? Mungkinkah wanita itu yang diidolakan Hailey?

***

“Apa yang kau pikirkan, Scar?” tanya seorang lelaki yang tampak berumur akhir tiga puluhan, ia duduk di samping Scarlett. “Akhir-akhir ini kau tampak berbeda. Bahkan kau lebih banyak diam di pemotretan tadi,” imbuh lelaki yang selalu memakai bucket hat itu, Tim.

Scarlett masih memandang ke luar jendela mobil. Ia masih memikirkan kue buatan Aaron yang mungkin membuatnya lupa keadaan sekitar dan sialnya, Tim, manajernya menyadari.

"Apa kau pernah makan makanan manis yang memberikan energi penuh dalam beberapa suapan saja?” tanyanya.

Mendengar pertanyaan Scarlett, Tim terpaku sejenak lalu tertawa keras hingga Alex melirik ke belakang dari kursi pengemudi.

“Pertanyaan apa itu, Scar? Sekali makan, aku bisa menghabiskan tiga buah roti tar berukuran besar supaya energiku bisa terisi penuh. Mana ada makanan manis yang bisa membuat energi penuh dalam beberapa suapan?”

Tawa Tim meledak lagi, meskipun bagi Scarlett tak ada hal yang patut ditertawakan oleh manajernya itu. Di mana letak lucunya?

Scarlett merasa percuma saja ia memberitahu Tim. Tim adalah vampir yang tak begitu peduli dengan hal-hal lain kecuali yang berhubungan dengan pekerjaan. Ia juga tak begitu menyukai manusia di luar pekerjaannya. Sifatnya itu juga yang mempengaruhi kinerja Tim. Tim tak segan-segan menegur jika Scarlett mempunyai teman manusia di luar hubungan pekerjaan. Ia akan secara terang-terangan melarang Scarlett.

“Tak ada manusia yang dapat dipercaya, Scar.”

Scarlett selalu mengingat kata-kata Tim itu. Ia sebenarnya tak keberatan jika Tim harus membatasi hubungannya dengan manusia. Toh bagi Scarlett, mempunyai teman dekat baik manusia ataupun vampir sama saja. Sama-sama merepotkan. Scarlett tidak senang terikat. Ia lebih senang menjalani hidupnya sendiri.

Namun, prinsip Scarlett sepertinya akan berubah sejak memakan kue buatan Aaron. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Scarlett menginginkan memasuki kehidupan seseorang. Jika ia bisa mengikat hubungan dengan Aaron, maka seumur hidup ia tak perlu menghabiskan waktu dan tenaganya hanya untuk mengisi energi.

“Kau benar, Tim. Mana ada kue tar yang seperti itu?” ujarnya datar.

“Tapi, kenapa kau bertanya begitu?” tanya Tim.

“Lupakan saja dan jangan banyak tanya.” Scarlett menyandarkan punggung, memakai kacamata hitamnya dan melipat tangannya di dada dengan anggun.

Tak ada percakapan lagi setelah itu, Tim hanya membacakan jadwal Scarlett esok hari dan hanya ditanggapi anggukan oleh Scarlett. Mobil mereka kemudian sampai di depan apartemen Scarlett.

“Sampai jumpa besok, Scar.”

“Sampai jumpa, Tim.”

Scarlett beranjak menuju apartemennya. Ketika melewati kamar 201, Scarlett berhenti sejenak. Ia melirik pintu kamar itu sambil tersenyum miring. Kemudian dia beranjak menuju kamarnya. Ia membuka pintu dan berhenti sejenak. Indera penciumannya mengendus kehadiran seseorang. Ia memutar bola mata jengah.

“Sejak kapan kau ada di sini?” tanyanya pada sosok di dalam ruang tamu yang lampunya tidak dinyalakan.

Tak ada jawaban. Ia pun dengan cuek menuju dapur yang berada di seberang ruang tamu. Dapur itu terhubung dengan ruang tamu tanpa sekat, sehingga ia dapat mengawasi tamu yang tak diundang itu sembari dia menyiapkan minuman. Dibukanya lemari es dan mengeluarkan botol wine.

Seseorang menyalakan lampu di ruang tamunya.

“Kau masih tetap saja dingin, Scar.” Seorang lelaki yang mengenakan sweater dan celana kulot santai muncul. Senyumnya mengembang, memperlihatkan lesung pipit di pipinya. “Surprise, Scarlett!”

“Apa kau sudah gila dengan menemuiku, Ian? Kau mau foto kita terpampang di majalah gosip lagi?” ujar Scarlett sambil menuang wine.

Ian Smith, teman sejak kecil Scarlett yang saat ini menjadi aktor papan atas berkat wajahnya yang tampan dan kemampuannya berakting. Film-film laga yang dibintanginya sebagai pemeran utama banyak yang memuncaki box office. Ian sedang naik daun dan Scarlett tak mau direpotkan dengan banyaknya wartawan yang menyerbunya seperti tahun lalu.

“Ayolah, Scarlett. Sudah tiga bulan kita tak bertemu. Apa kau tak merindukanku?” Ian mendekat dan memeluk Scarlett dari belakang.
Scarlett memutar bola matanya. Ian selalu berlebihan. Jika ia adalah bukanlah teman Ian sejak kecil dan sudah mengetahui sifat Ian, mungkin dia akan terbawa perasaan dengan sikap-sikap manis Ian. Apalagi dari segi wajah, Ian adalah lelaki sempurna idaman wanita. Wanita mana yang akan tahan dengan godaan lelaki yang seolah-olah menyukainya dan selalu bersikap manis?

Namun, itu semua tidak berlaku bagi Scarlett Davis. Baginya, Ian hanya menganggapnya sebagai teman perempuan, tak lebih.

“Berhentilah menggoda, Ian.” Scarlett menyikut rusuk Ian, membuat lelaki itu mengaduh dan menjauh. Ian tertawa keras.

“Lagipula, kenapa kau memakai baju itu?” tanya Scarlett kemudian. “Kau tampak tolol.”

“Kenapa? Jadi, Scar, malam ini aku akan menginap di sini.”

Scarlett memandang Ian dengan ekspresi datar. Ian selalu seenaknya sendiri.

“Terserah kau saja. Tapi kalau kau mengendap-endap masuk ke kamarku, aku akan membunuhmu.”

Ian tersenyum hiperbolis, “Thanks, Darling.”

“Ih, kau membuatku ingin muntah.”

“Ah, ya. Ngomong-ngomong, karena energiku hampir habis, aku memakan habis kue black forest di kulkas.”

Sontak saja perkataan Ian membuat Scarlett menyemburkan wine yang baru sama diminumnya.

“Apa?!”

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro