10.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Let us always meet each other with smile, for the smile is the beginning of love."

- Mother Teresa

Bintang-bintang fosfor yang menyala di langit-langit kamarku membuatku terpaku. Selama hidup, aku bukanlah tipe manusia yang imajinatif bin perasa seperti Nadhira. Aku juga bukan manusia yang terlalu mengikuti aliran hidup seperti Pinkan. Apalagi manusia berotak penuh analogi seperti Andre. Jika kami semua adalah bintang seperti yang kulihat sekarang, bisa jadi aku adalah yang paling redup di antara mereka, namun tetap indah bersinar ketika berkumpul bersama.

Biasanya, aku tidak pernah berharap memiliki apa yang orang lain miliki. Namun, melihat proses pemulihan patah hati Pinkan yang cepat – tak sampai seminggu – aku sungguh kagum. Energi positif yang Pinkan punya seolah bisa dengan cepat mengobati rasa sakit hati dan sakit wajahnya dilukai oleh mantan kekasihnya. Jika aku yang ada di posisi Pinkan, nampaknya aku akan mendendam untuk waktu yang cukup lama meski tidak akan sampai tega melukai orang lain atau diri sendiri.

Meski belum pernah patah hati, sama seperti aku belum pernah mati, situasi patah hati selalu membuatku tidak nyaman. Terutama jika aku teringat kembali akan lintasan-lintasan cahaya yang dengan sangat absurd masih dapat kulihat hingga sekarang. Untung saja Pinkan percaya dengan konsep jodoh, di mana setiap orang sudah memiliki pasangannya masing-masing. Jadi ketika kukatakan mungkin dia dan mantannya belum berjodoh, hal itu dapat diterimanya dengan baik.

Hanya satu pertanyaannya malam itu yang masih menghantuiku sampai saat ini – berhari-hari sesudahnya. "Kalau semua manusia sudah berjodoh, kenapa masih ada perceraian atau orang-orang yang tidak menikah?"

Pertanyaan Pinkan yang kurasa dia kemukakan sambil lalu itu sebetulnya adalah alasanku berjuang hingga hari ini. Berjuang keluar dari FE untuk pindah ke psikologi. Jika pernikahan bisa dipertahankan tanpa ada lintasan cahaya di antara keduanya, bukankah cahaya lain mungkin muncul dalam bentuk yang berbeda? Aku sungguh benci dengan kata cerai dan putus. Apalagi jika itu semata-mata karena sudah tidak ada lagi lintasan cahaya yang menghubungkan dua jiwa.

Bintang-bintang fosfor itu kini seperti mengolok-olokku yang bodoh dan lamban memproses banyak hal. Memang aku ini tidak pintar, tapi aku jelas lebih dalam urusan lain. Aku memegang teguh prinsip hidupku. Bukankah itu juga sebuah nilai positif? Lalu kenapa aku masih merasa kecil?

Perihal jodoh ini memusingkan bagiku hingga kemudian aku teringat bahwa masalah jodohku sendiri belum terselesaikan. Tentu saja ini tentang aku dan Kak Danuja. Berani bertaruh demi selai ubur-ubur di Bikini Bottom, sampai detik ini aku tidak memiliki rasa apapun untuknya. Padahal aku tahu dia sedang berusaha, mendekatiku dengan caranya sendiri, merusak tatanan bintang fosforku karena mencari celah untuk bersinar juga di antaranya. Menyebalkan. Dia sekarang selalu ada di mana-mana.

Termasuk di ponselku.

Ting!

Benar saja, dia muncul seolah bisa membaca pikiranku yang sedang mengingatnya.

Pesan masuk dari Kak Danuja.

+628012345678

Can you get to sleep tonight?I think the pain in my ribs has subsided, and then I will close my eyes. See you, see you in the next life. See you, see you in the next life

Aku nggak pernah membalas pesan yang Kak Danuja kirimkan, terutama karena aku merasa pesannya selalu punya makna lebih dari yang ingin dia sampaikan. Ada sensasi ketakutan yang begitu membelenggu acap kali pesan darinya tiba. Kalau aku harus menggambarkannya, ketakutan itu mirip detik-detik pemotongan hewan di rumah potong.

Saking takutnya, aku nggak berani menyimpan nomornya di ponselku. Padahal pesan pertamanya diberi kalimat pengenalan diri berupa 'Ini Cronius Danuja mau kirimin lo sms-sms lucu.' Iya, aku masih ingat karena semenyeramkan itu. Aku bahkan sampai sekarang belum berani bertanya dia tahu nomorku dari siapa. Tidak seorang pun dari teman-temanku yang tahu aku mendapat pesan-pesan entah berupa kutipan atau lirik lagu dari Kak Danuja hingga sekarang. Biasanya aku berani, tapi kali ini aku mendapat firasat bahwa Kak Danuja sungguh berbeda. Dia menyeramkan, bisa jadi karena memang sudah begitu dari sananya, atau karena lintasan cahaya di antara kami yang tidak juga kunjung sirna.

***

+628012345678

Tumbling faces I turn to you, tumbling water beneath heals

Layar ponselku menyala dan langsung menunjukkan sebuah pesan singkat masuk. Pinkan dan Andre yang sedang makan bersamaku di dalam kantin kepo seketika. Apalagi Pinkan yang sempat mencuri pandang ke layar ponsel di atas meja. "Ada sms, Mir. Kayaknya sih bukan dari provider atau papa minta pulsa," ujarnya santai tapi menjurus.

Kudiamkan saja semuanya. Lalu pesan itu muncul lagi.

+628012345678

There was orange on my mind, it was a different time

"Dari siapa, Mir? Kayaknya penting sampai hubunginnya lewat sms," Andre ikut-ikutan penasaran juga.

Kalau sudah Andre yang bertanya, aku lemah pakai banget. Suaranya seperti bisa menghipnotisku untuk langsung bicara jujur. Lebih kurang efeknya mirip dengan Lasso of Truth-nya Wonder Woman. Aku bisa langsung terjerat suaranya lalu mengungkapkan hal-hal yang tadinya ingin aku pendam sendirian saja. "Udah berapa hari ini gue dapat sms gaje gitu."

"Dari?" Andre masih terus mengorek informasi sambil makan nasi goreng dengan nikmatnya. Melihat Andre makan begitu lahap, kayaknya aku langsung kenyang mendadak.

"Ngakunya sih Kak Danuja, tapi gue nggak yakin itu dia. I mean, buat apa gitu dia iseng sms gue. Lagian dia tahu dari siapa nomor hape gue?"

Pinkan langsung histeris, "Sumpah demi Konoha? Jadi yang sms lo barusan itu Kak Danuja? Mana dong sini lihat!" Merasa tidak perlu menunggu konfirmasi dariku, Pinkan langsung mengambil ponselku dan membuka lockscreen-nya. Pesan singkat dari Kak Danuja yang nomornya masih belum kusimpan hingga sekarang pastilah langsung jadi target utamanya. "Demi Konoha dan seisinya, Mira, dia flirting sama lo? Lewat sms?"

"Apaan sih kok bawa-bawa flirting!" aku tidak suka Pinkan bicara seperti itu di depan Andre. Nanti kalau Andre kira aku suka dengan perlakuan Kak Danuja bagaimana? Aku kan maunya dia yang begini bukan malah Kak Danuja. "Dia bukan flirting sama gue. Baca dong sms dia semuanya tuh kebanyakan lirik lagu atau nggak kutipan buku. Udah gitu gloomy semua kayak lagi menghitung hari gue meninggal di tangannya."

"Oh, jadi ini lirik lagu. Lirik lagu apa, Mir?" Pinkan menyerahkan lagi ponsel di genggamannya padaku. "Kok gue kayak nggak familiar gitu."

"Udah empat sms dia isinya lirik lagu Young Wonder, mungkin yang baru ini lirik lagu dari Young Wonder lagi."

"Oh shit!" Andre mendadak mengumpat sambil memegang ponselnya sendiri. "Gue keluar dulu, deh. Kata grup himpunan, anak-anak BEM sama beberapa mahasiswa lain lagi berantem sama Satpol PP di depan kampus. Gue wajib ke sana anjir ini martabat kampus, coy!"

"Hah?" aku dan Pinkan berteriak bersamaan.

"Dari yang gue baca sih masalah penggusuran PKL yang biasa jualin makanan di trotoar depan kampus. BEM pada ngelindungin PKL sampai lempar-lemparan batu sama Satpol PP. Kalian di sini aja, kayaknya sih bahaya di depan."

"Gue ikut!!!" aku turut berdiri lalu berlari mencoba menyusul langkah Andre yang panjang-panjang dan cepat itu.

***

Rupanya peringatan Andre di kantin tadi seharusnya aku turuti. Suasana benar-benar kisruh di luar pagar kampus. Beberapa mahasiswa baik yang mengenakan jaket almet maupun nggak, berbondong-bondong melempari petugas polisi dengan batu atau barang apapun. Hal sama dilakukan polisi yang menangkis serangan tersebut sambil sesekali berusaha menumbangkan para mahasiswa dengan tangan kosong. Walau sebelas duabelas dengan tawuran yang dulu kerap kulihat di sekolahku, kali ini pemandangannya lebih mengerikan karena ada tiga pihak yang terlibat di sana – polisi, mahasiswa, dan PKL.

Dari antara mahasiswa-mahasiswa yang berteriak-teriak memaki PKL, aku bisa menemukan beberapa anak halte yang memang biasa nongkrong di tepian trotoar sambil menikmati makanan pinggir kali. Kurasa mereka hanya sedang melindungi kepentingannya sendiri juga. Bohong sekali kalau mereka bilang ingin melindungi PKL! Mereka cuma ingin mempertahankan tempat ngaso mereka karena tentu saja fasilitas tersebut akan lenyap begitu para PKL tidak lagi berjualan di depan kampus.

Kudengar Andre sekali lagi menginstruksikanku untuk masuk ke dalam kampus karena dia ingin bergabung dengan yang lain. Entah maksudnya bergabung untuk ikut membela PKL juga atau untuk menenangkan keadaan. Aku bingung karena kemudian tubuhnya hilang dimakan gelombang keributan massa.

Lebih kurang sepuluh menit kemudian, ketika aku masih sibuk mengamati dari tempat teraman di dekat pos satpam, kulihat suasana mulai berbeda. Ada suara-suara menggelegar penuh amarah meminta semua mahasiswa untuk mundur ke belakang dengan tertib. Suara itu berasal dari tubuh tegap Kak Danuja yang mulai menyisir jalanan dengan beberapa orang gerombolannya. Ada lima orang jumlah mereka semua dengan jaket almet yang sama berhiaskan emblem BPM.

"Balik woy! Balik!" Kak Danuja masih berteriak. "Rapat di dalam! Jangan kayak orang nggak berpendidikan mainnya kekerasan! Balik semua!!!"

Segerombolan anak halte yang tadi kulihat masih tak mau mengikuti himbauan Kak Danuja. Mereka balik membalasnya, "Woi anjing! Lo bela siapa, hah? Bukannya lo sering juga nongkrong di sini terus sekarang karena takut sama pemerintah terus lo lupain aja mereka? Gitu?"

Alih-alih marah, kulihat Kak Danuja mendekati mereka lalu berbicara entah apa. Mereka terlibat diskusi panjang yang berakhir dengan jabat tangan dan gerombolan anak halte itu kembali ke dalam kampus. Aku masih memerhatikan dengan saksama seluruh proses itu dengan khidmat. Seorang satpam yang kini ikut berdiri di sampingku mengomentari, "Akhirnya beres juga ini masalah. Harusnya dari tadi aja Mas Danu datang. Kamtibpus udah angkat tangan semua ngadepin geng halte, udah gitu ditambah ada Satpol PP pula. Ricuh banget hari ini." (red: Kamtibpus itu keamanan dan ketertiban kampus)

"Emang yang mulai anak halte, Pak?" mau tak mau aku jadi penasaran juga dengan gosip kelas berat semacam ini.

"Anak halte sama BEM Fisip, Dek. Langganan mereka mah kolaborasi soalnya satu tongkrongan. Mas Danu juga sama sebenarnya sering nongkrong sama mereka, jadi paling cepat kalau Mas Danu yang turun tangan di kondisi kayak gini," Pak Satpam terdengar sangat memuji Kak Danuja dengan berlebihan. Oke, mungkin groupies Kak Danuja membernya sangat bervariasi dan cuma aku yang masih belum tertarik mendaftar ke dalamnya.

"Lah kamu ngapain di sini? Tadi ikut berantem juga sama Satpol PP?" tiba-tiba Pak Satpam jadi bertanya dengan nada menghakimi padaku.

Aku sontak menggerakkan kedua tanganku membuat tanda penyangkalan. "Nggak kok, Pak. Kalau berantem sama mereka kasihan nanti mereka keburu koit semua baru saya tiup."

"Wah, sinis juga kamu. Gabung aja sama tongkrongan halte, kayaknya kamu cocok."

"Terima kasih, Pak. Saya masih mau hidup damai di dunia dan akhirat."

Pak Satpam nampaknya hanya bisa menggelengkan kepala. Dia lalu beranjak dari sampingku dan mulai menulis sesuatu di buku catatan. Mungkin sedang menulis laporan kericuhan di depan kampus hari ini. Aku baru akan kabur dari tempat persembunyian ketika sebuah suara memanggilku tanpa terdengar bahagia, "El Mira?"

"Ya?!" kubalikkan badan untuk menatap si empunya suara. Tentu saja Kak Danuja dengan rambutnya yang kini tergelung membuatku teringat pada tokoh beladiri Indonesia yang kalau nggak salah namanya Wiro Sableng. Seingatku Wiro Sableng juga sering mengonde rambutnya persis gaya Kak Danuja sekarang.

"Lo ngapain ada di sini?"

"Tadi nontonin tawuran, Kak."

"Di rumah lo tuh nggak ada tv sampai suasana kayak tadi aja lo kira tontonan untuk hiburan?" Kak Danuja nampak berdecak. Dia lalu mengalihkan perhatian pada Pak Satpam yang sudah menyodorkan rokok padanya. "Sebat lagi, Pak? Jatah makan siang jadi hilang gara-gara ngurus yang tadi?"

Pak Satpam hanya nyengir nggak jelas sementara aku masih tidak diacuhkan. Kak Danuja mengambil rokok itu dan mulai membakarnya dengan korek di kantung almamater. Sekali hisap dan asapnya mengebul di udara. "Mendingan lo cepat balik ke kampus, El Mira. Bukannya tontonan udah selesai? Atau lo lagi berharap ini cuma iklan biar nanti ada lagi lanjutannya?"

"Kok lo tahu sih gue berharap ada lanjutannya? Sebenarnya gue masih mau ending yang lain, kali aja di episode berikutnya lo bisa babak belur jadi hasrat gue buat lo memar-memar bisa terpenuhi," kulipat kedua tangan di dada.

Ini nih sosok yang mengirimiku sms sejak beberapa hari lalu? Kayaknya benar, lirik-lirik lagu yang dia kirimkan memang bukan untuk membangun suasana romantisme, melainkan untuk menandai hitung mundur hari penghabisanku.

"I think the pain in my ribs has subsided, and then I will close my eyes. See you, see you in the next life," dia bicara dengan fasihnya sambil berdendang. Aku ingat potongan lirik ini. Dia pernah mengirimkannya padaku lewat sms. Bukankah itu baru semalam? Atau dua malam yang lalu?

Mendadak jantungku semakin cepat berdetak. Wajahku pucat pasi. Aku sungguh ketakutan seolah-olah gelap bisa menelanku detik ini juga dan hanya menyisakan lintasan cahaya di atas kepala kami berdua yang saling terhubung satu sama lain. "Lo? Beneran? Kenapa?" tiga buah pertanyaan rancu tidak bermakna yang kukeluarkan tanpa diproses sebelumnya.

Kak Danuja tidak menjawab. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans belelnya. Beberapa saat dia mengetik. Beberapa saat kemudian sebuah pesan masuk ke ponselku. "Smile and maybe tomorrow, you'll see the sun come shining thru for you."

***

ps:

bagian ini ngeri banget sejujurnya, bagaimana kak danuja mengingatkan mira tentang kehidupan mereka sebelum dan setelah ini :'( 

I WANT TO HUG HIM SO BAD

my poor character. 


xoxo,

mongs

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro