2. Naga: Kandang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ilmu pengetahuan semakin berkembang dan kesadaran adalah hal yang menarik untuk dibahas. Aku yakin ada satu-dua atau lebih genius gila di luar sana yang mempelajari dan berambisi untuk memanipulasi kesadaran. Seperti memindai, memodifikasi, memperbanyak, dan mencangkokan kesadaran ke perangkat atau tubuh pinjamam. Menarik bukan?

Kalau saja Kelompok Diskusi Konspirasi--milik Allan--membahas pemindaian dan pencangkokan kesadaran, mungkin aku bakal hadir sebagai tamu--dan mempertimbangkan menjadi anggota.

Lagi, konsepnya sederhana, tubuh ini adalah kandang--dari kesadaran, dan orang-orang cenderung cepat bosan. Jadi, aku--dan mungkin juga genius gila di luar sana--mengidamkan perubahan, sesuatu yang baru, yang lebih seru, seperti robot raksasa setinggi lima belas meter dengan laser di kedua mata. Atau sesuatu yang lebih sederhana, seperti tubuh gembul milik Jacob Jacobman yang tidak punya kewajiban selain buang air di kotak pasir. "Begitu bukan?" aku bergumam sambil mengelus-elus perut Jacob Jacobman.

Kucing pemalas itu tidak merespon, tidak ada dengkuran apalagi sahutan. Ia hanya diam, terlentang, di atas kasur, dengan mata terbuka-tertutup, dan lidah menyembul, seperti pecandu narkoba yang kehilangan separuh kesadaran setelah pesta pora. "Kamu, butuh diet." Lanjutku sambil mengangkat Jacob Jacobman tinggi-tinggi. Beratnya hampir setara dengan tabung gas tiga kilogram.

Aku memang memanggil kucing oranye di hadapanku dengan sebutan Jacob Jacobman. Tapi sejujurnya, di rumah ini, Jacob Jacobman lebih dikenal sebagai Buddy, dan orang bodoh yang menamai seekor kucing dengan nama anjing, adalah Elang. Benar, adikku yang tidak menyukai matematika. Ia punya lebih banyak kebebasan, termasuk memungut kucing dari tempat sampah dan menamainya dengan nama anjing. Sekali lagi, nama anjing.

Lantas aku dengan rendah hati memperbaiki kesalahan Elang dan mengubah Buddy menjadi, Jacob Jacobman. Tentu Elang dan seisi rumah ini--kecuali aku--tetap memanggil Buddy dengan sebutan, Buddy. Kadang, aku membayangkan Jacob Jacobman diejek oleh kucing-kucing tetangga sebab para manusia--kecuali aku--memanggilnya Buddy.

Omong-omong, aku sedang menunggu kedatangan Allan sambil menjauhkan Jacob Jacobman dari kebodohan Elang. Kawanku yang senang bicara itu sedang kesulitan, dan kami diikat oleh perjanjian darah. Singkatnya, aku bakal mati kalau tidak membantu Allan, dan tentu saja aku sedang bercanda. Hal-hal mistis seperti Perjanjian darah tidak lebih dari omong kosong. Meski nyatanya, tanpa Allan, aku memang bakal mati--atau memang sudah mati. Seperti itu hubunganku dengan Allan, tidak tidak rumit, hanya sedikit sulit dijelaskan.

"Hei!" Suara Elang membuyarkan penjelasanku. Ia mengetuk pintu kamar beberapa kali sebelum mencoba memutar kenopnya, dan menyadari bahwa pintu kamarku dikunci rapat. "Kamu lihat Buddy?" Ia berteriak dan terdengar lumayan kesal.

"Tidak," jawabku sambil merebahkan Jacob Jacobman di pangkuan.

"Buddy!" Elang berusaha memanggil kucingnya dan Jacob Jacobman mengeong beberapa kali. Dasar kucing. "Aku dengar itu, buka pintunya." Adikku yang membenci matematika terdengar tidak senang, ia berteriak dengan menggebu-gebu dan mendobrak-dobrak pintu kamar. "Kembalikan kucingku! Apa kamu harus merebutnya juga?" Ia cukup gigih. "Kamu bahkan merebut kucingku, ha!" Umurnya lima belas tahun, dua tahun lebih muda dariku, dan ia sendiri yang memutuskan untuk mengabaikan hubungan kekerabatan di antara kami. "Sialan!" Ia bahkan tidak sudi memanggil namaku.

"Kamu tidak berhak menyebut Jacob Jacobman sebagai kucingmu," aku menjawab sambil memeluk Jacob Jacobman.

"Namanya Buddy, bodoh!" Dobrakannya semakin keras dan aku yakin pintu itu bakal hancur--jika Elang tidak kunjung menyerah. "Sialan!" Ia terus mengumpat, seolah aku baru saja merebut sesuatu yang sangat penting baginya. Padahal Elang tidak ikut serta merawat Jacob Jacobman. Justru aku--yang tidak punya cukup kebebasan untuk memelihara binatang--yang memberi Jacob Jacobman makan di pagi hari dan mengajaknya bermain di sela-sela waktu belajar. Jacob Jacobman lebih pantas disebut sebagai kucingku bukan?

Untungnya, kemarahan Elang disela oleh suara bel, ketukan, dan panggilan dari pintu depan. Seseorang datang bertamu, biar kutebak, Catherine, gadis incaran Elang yang kabarnya memelihara dua belas ekor kucing. Gadis itu yang membuat Elang mengitari rumah mencari-cari keberadaan Jacob Jacobman. Adik bodohku terlalu mudah dibaca dan ia sedang mengidamkan hubungan intim antar manusia.

Aku melepas pelukan Jacob Jacobman--setelah mendengar suara pintu depan dibuka dengan kasar--dan mengembalikan makhluk pemalas itu ke kasur. Ia menggeliat beberapa kali sebelum kembali ke posisi terlentang dengan wajah pecandu narkoba. Kucing itu tidak punya cukup kewarasan, ia mengeong saat dipanggil dengan nama anjing. Aku hendak memberinya pelajaran, tentang akal sehat, tetapi Allan menyembul dari kaca jendela dan menatapku tidak sabar.

Kawanku yang senang bicara itu melambai sambil melepas jaket, dan memamerkan memar di lengan kirinya. Sebuah kepura-puraan pun ia tampilkan sebagai pemanis, tentu di tempat yang tidak seharusnya. "Buka." Jendela kamarku diketuk-ketuk dan aku bergegas membuka kunciannya.

"Hei, sepatumu," aku mengingatkan sambil mendorong dan membuka daun jendela lebar-lebar.

"Adikmu membawa masuk gadis yang." Kalimatnya dihentikan oleh rengekan Jacob Jacobman. "Hai Jacob." Allan melompat masuk setelah menyembunyikan sepatunya di balik tanaman hias. Ia tidak menyapaku, apalagi menanyakan kabarku, si banyak omong itu justru lebih tertarik dengan keberadaan Jacob Jacobman. "Bisa dibilang, sangat cantik dan manis." Lanjutnya setelah bermain seruduk-serudukan dengan kucing pemalas.

"Bagaimana keadaanmu?" Aku bertanya sambil memungut ransel dan jaket Allan yang diletakan begitu saja di lantai, sementara pemiliknya menimang-nimang Jacob Jacobman. "Kamu dipukuli lagi?" Lanjutku setelah menutup dan mengunci jendela rapat-rapat.

"Ya, kucing gendut ini lebih beruntung daripada aku." Allan menggesek-gesekan pipinya ke kepala Jacob, membuat makhluk oranye itu merasa tidak nyaman. "Jacob lebih menggemaskan dari gadis incaran Elang." Dan rengekan keras beserta cakaran lolos dari tubuh gembul Jacob Jacobman. Mengundang Elang, dobrakan, dan bicaranya yang tidak enak didengar.

"Aku dengar itu sialan!" Anak itu sedang puber, emosinya meledak-ledak. "Kembalikan Buddy!"

"Galak seperti biasa." Allan berbisik sambil membungkan moncong Jacob Jacobman.

"Catherine, anak dokter hewan, si bodoh itu ingin pamer." Aku ikut berbisik.

"Oh, pantas." Jacob tidak berhenti mencakar lengan Allan sedang si pemilik lengan nampak tidak peduli. "Omong-omong, aku akan menginap." Allan tidak kunjung menaikan volume suaranya, meski Elang mungkin sudah melenggang meninggakkan pintu kamar.

"Ibuku pulang sebentar lagi, kamu yakin?"

"Ya, aku akan sembunyi di kolong." Allan membebaskan Jacob Jacobman dan mendudukan diri di kursi belajar. "Lebih baik daripada dihajar sampai mati." Sampai mati? Yang benar saja.

Aku mengambil buku cetak matematika dari rak dan merebahkan diri di kasur. "Tidak mungkin sampai mati." Allan mengedik lantas membongkar ranselnya.

"Bab berapa?" Ia bertanya sambil mengeluarkan alat tulis dan buku yang serupa dengan milikku. "Besok pertemuan kelompok diskusi konspirasi, kamu sudah berminat?"

"Bab dua belas."

"Terakhir aku datang, kita mengerjakan bab sepuluh bukan? Cepat sekali! Dasar curang." Allan melempar pensilnya ke arahku dan memasang tampang masam.

"Cepat selesaikan bab sepuluhmu, aku tunggu." Aku mengalah dan memilih mencoret-coret lembar kosong di bagian belakang buku. "Apa kamu bisa adakan diskusi tentang kesadaran?" tanyaku setengah serius.

"Kesadaran apa?" Allan tidak lagi berbisik dan ia sibuk memecahkan soal-soal dalam buku cetak.

"Ya kesadaran," jawabku malas. Aku menunggu beberapa saat tetapi Allan tidak kunjung membalas. Ia fokus dengan hitung-hitungan, sebab belajar--terutama hitung-hitungan--memang menjadi kegemarannya.

Aku ingat kawanku yang banyak bicara itu pernah berkata ingin menjadi peneliti, atau apa saja, yang bakal membuatnya bisa terus belajar. Entah meneliti apa, aku tidak tahu, dan aku rasa Allan juga belum memutuskan. Tapi mungkin, hanya Allan, anak SMA yang tidak ingin melarikan diri--dengan balon di ubun-ubun atau modifikasi kesadaran--dari kewajibannya sebagai pelajar.

Hanya saja, jika dikaji lebih dalam, kesukaan Allan pada belajar dapat dikategorikan sebagai bentuk pemberontakan. Ia melarikan diri dari kandang yang memaksanya untuk tidak belajar.

Sama saja bukan?
Dengan aku, kamu, dan penduduk Kota Sengkawa yang melayangkan protes lewat ubun-ubun.

Atau berbeda?
Rasanya aku semakin dekat dengan kegilaan.

"Kamu punya salep?"

"Tidak, kamu lupa? Terakhir kali ibuku curiga karena salep, ia kira aku habis berkelahi atau bakal berkelahi." Allan tertawa mengejek sambil menggelengkan kepalanya. "Tapi aku punya aspirin."

Allan menoleh ke belakang dan menatapku dengan senyum meremehkan. "Kamu tidak pantas berkelahi, kamu pasti kalah."

Aku melempar bantal padanya sebelum bangkit dan melenggang menuju lemari pakaian. "Sok tahu!"






__________

Is this bromance?
¯\_(ツ)_/¯

Pandu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro