5. Cendana: Orang Aneh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Kamu dapat salam Ce." Teman sebangkuku membuka pembicaraan. Namanya Laila, ia yang paling baik dan kompeten di kelas, hingga dipilih sebagai ketua.

"Salam? Dari siapa?" Sejak aku kembali bersekolah, tidak sedikit murid yang mencoba mendekatiku, jadi sebuah salam di pagi hari bukan hal mengejutkan.

"Murid kelas sebelah, kamu mungkin tidak kenal, tapi anak itu cukup populer." Laila tertawa sedikit, sepertinya ia senang bisa berinteraksi dengan siapapun itu yang mengirimiku salam. "Kamu pernah dengar rumor tentang anak aneh yang tidak pernah melepas jaketnya Ce? Bahkan saat pelajaran olah raga." Aku bisa menebak, tapi aku harap bukan anak laki-laki itu yang Laila maksud. "Namanya Allan, yang rambutnya agak ikal, biasanya dia satu paket dengan anak yang pintar matematika, kamu tahu?"

"Ya, sepertinya aku pernah dengar." Murid aneh itu sudah seperti misteri sekolah, seluruh murid SMA Sengkawa pasti mengenal Allan, atau paling tidak tahu siapa ia. Anak itu pula yang memergokiku kemarin, ia tanpa diminta menyeretku ke tepian dan membongkar rahasianya sendiri.

Bekas luka dan perban di balik jaket serta kemeja, ia pasti berandalan, yang senang berkelahi dan membuat masalah. Mungkin juga anggota geng motor. Apapun itu, yang jelas, ia dilindungi oleh sekolah sebab sepanjang pengetahuanku, tidak ada guru yang menegur gaya berpakaian Allan.

Dipikir lagi, Allan bisa menjadi sandungan. Berita-berita miring pasti bermunculan jika anak laki-laki itu memutuskan untuk memberitahu teman-temannya kalau, Cendana sakit jiwa menceburkan diri ke Sungai Sengkawa dan tenggelam. Aku memang mengancamnya kemarin dan semoga itu cukup. Aku juga memegang rahasia di balik jaketnya. Hanya saja, aku merasa informasi rahasia tentang Allan yang aku pegang jauh lebih murah dibanding kenyataan kalau, artis muda yang baru saja debut bertingkah tidak normal.

Tidak, tenang Cendana, aku hanya perlu bernegosiasi lagi dengan Allan dan membuat batasan yang jelas. "Aku ke belakang sebentar." Aku berkilah dan meninggalkan Laila. Semakin cepat masalah dengan Allan diselesaikan semakin baik, aku tidak ingin menghabiskan hari dengan banyak kecemasan. Aku sudah punya cukup banyak kecemasan.

Ruang kelas Allan tepat di samping ruang kelasku, sebelas IPA 4, rumornya pemegang nilai tertinggi ujian kenaikan kelas ditempatkan di sana. Rumornya lagi kelas itu yang paling kompetitif dan menakutkan.

Aku memeluk daun pintu dan menyembulkan kepala ke dalam, mencari anak laki-laki bernama Allan. "Cendana bukan?" Anak perempuan yang nampak sangat rapi dan duduk di barisan paling depan menegurku. "Ada perlu apa? Mencari seseorang?" Sepertinya ia baik.

"Halo." Aku tersenyum demi menpertahankan citra. "Aku mencari Allan." Anak perempuan berpakaian rapi menangguk lalu menunjuk ke belakang, bangku tengah paling belakang.

"Itu, yang pakai jaket." Allan duduk diam di balik mejanya dengan wajah aneh. Seperti sedang jengkel atau berpikir mengenai masa depan bumi. Baiklah, aku hanya perlu bicara dengan Allan, berdua, memaksanya membuat kesepakatan yang jelas, mencegah munculnya rumor, dan mempertahankan kepopuleranku. Kedengarannya mudah, tapi anak laki-laki itu punya banyak luka, ia mungkin anggota geng motor, berbahaya dan brutal. Ia bisa memarahiku, atau memukulku. Ia pasti marah, terlebih aku mengancamnya kemarin, aku bahkan tidak mengucapkan terima kasih.

"Mau aku panggilkan?" Perempuan berpakaian rapi menawarkan. Aku hendak menolak tapi seseorang menepuk pundak dan membuatku terkejut.

"Minggir." Anak laki-laki yang nampak lesu dan mengantuk mendorongku ke samping.

"Naga, kamu sakit?" Namanya Naga dan perempuan berpakaian rapi benar-benar teman sekelas yang baik, meski ia diabaikan oleh Naga. "Mau kupanggilkan?" Ia mengulang tawarannya. Aku cepat-cepat menggeleng sambil tersenyum.

"Aku hanya penasaran, kabarnya dia selalu pakai jaket." Anak perempuan berpakaian rapi memaklumi alasanku, ia sendiri tidak mengerti kenapa wali kelas mengabaikan selera berpakaian Allan--yang jelas-jelas melanggar aturan.

Aku rasa, aku harus menyusun kalimat dan rencana terlebih dahulu sebelum menghadapi Allan. Anak itu tidak boleh diremehkan, ia liar, lihat, sepagi ini dan ia sudah memulai pertikaian. "Mereka bertengkar." Tanpa sadar aku berkomentar, setelah mengamati interaksi antara Allan dan anak laki-laki yang mendorongku tadi. Ekspresi keduanya jelas menunjukkan ketidaksetujuan, senyum di wajah Allan pun nampak mengerikan. Benar, aku memang harus menyusun siasat terlebih dahulu, Allan pasti preman di kelas ini. Ia bahkan memukul Naga, tanpa ragu!

"Tidak-tidak, mereka memang begitu," Perempuan berpakaian rapi meluruskan. Tapi dilihat bagaimanapun Allan seperti sedang merundung anak laki-laki tadi. Siapa namanya tadi, ah iya, Naga, benar Naga.

"Allan lumayan menarik, terima kasih, sebentar lagi bel masuk, aku kembali dulu ke kelasku." Perempuan berpakaian rapi mengecek jam di tangannya dan aku diselamatkan oleh bel jam pertama. "Aku akan datang lagi nanti." Lanjutku sebelum kembali ke kelas.

Mata Laila mengekoriku begitu aku masuk, seperti ia curiga, atau tahu kalau aku tidak ke kamar mandi, mungkin juga berfirasat aku sedang dihantui kecemasan. "Ada yang salah?" tanyaku selidik, setelah mendudukan diri.

"Tidak." Laila menjawab sambil tersenyum. Sejatinya aku tidak ingin berbohong pada Laila, aku juga ingin bercerita tentang kecemasan-kecemasanku pada Laila, atau pada siapa saja. Tapi manusia tidak bisa ditebak, aku tidak tahu siapa yang akan berkhianat atau menggunakan cerita-ceritaku untuk mengancam. Aku juga harus menjaga citra, ada banyak tuntutan di pundakku, aku tidak boleh mengecewakan Mama, dan penggemarku, meski jumlah mereka tidak banyak.

"Kamu tahu Ce?" Laila kembali membuka percakapan. "Ada rumor yang menyebut Allan selalu memakai jaket untuk menyembunyikan tato di tangannya."

"Tato?" Aku sedikit takjub.

"Tato naga, seperti mafia-mafia di film barat, bukti kalau ia anggota dari kelompok tertentu." Orang-orang sangat kreatif dalam meramu rumor. "Ada juga yang menyebut Allan punya kelainan, seperti vampir, kulit tangannya akan melepuh kalau terkena sinar matahari langsung."

"Mafia-mafia seperti itu tidak akan ada di sini Lai." Aku tertawa pelan. Allan bukan mafia, ia mungkin hanya anggota gangster atau berandal lokal, iya bukan? Ini akan jadi lebih menegangkan dan aku mungkin tidak akan selamat jika Allan benar-benar anggota mafia. "Apalagi vampir." Ruang kelas mulai terisi penuh dan murid piket mulai mengabsen. "Siapa yang membuat rumor itu, kreatif sekali." Aku berusaha nampak normal.

"Siapa tahu, tapi aku tetap ingin tahu apa yang Allan sembunyikan di balik jaketnya, kamu tidak penasaran?" Maaf Laila, tapi aku sudah tahu apa yang coba Allan tutupi, dan itu tidak enak dipandang. Maaf juga sebab aku tidak bisa memberitahumu sekarang, mungkin suatu saat nanti di masa depan ketika aku dan Allan sudah menyepakati suatu perjanjian. Tentang menjaga rahasia dan lain-lainnya. "Kalau ada yang mengganjal, katakan saja Ce, kamu jadi lebih kaku setelah mendengar Allan mengirim salam, kamu bisa mengandalkanku."

Laila benar-benar baik dan perhatian. Tapi aku tidak mungkin mengaku kalau Cendana, artis muda yang baru saja debut, tidak benar-benar polos dan suci seperti imejnya. Kalau Cendana yang memenangkan ajang pencarian bakat lokal dipenuhi oleh keingingan gila untuk  menenggelamkan dirinya sendiri di Sungai Sengkawa. Kalau Cendana yang punya penggemar itu menganggap arus Sungai Sengkawa mampu membersihkan jejak kotor di tubuhnya.

Kemarin, aku mengira Sungai Sengkawa bisa melunturkan kecemasan-kecemasanku, sekarang, aku masih berpikir begitu.



____________________

¯\_(ツ)_/¯

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro