Piece of 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

West menggulung lengan kemeja hingga siku, lantas duduk di tepi ranjang. Koper di depan lemari jadi fokus pandang. Benda itu kembung lantaran beberapa baju dipaksa muat. Pria itu lalu mengitarkan penglihatan ke seisi kamar. Beberapa jam lagi apartemen ini menjadi kenangan. Entah kapan dia bisa kembali.

Bus menuju Antananarivo berangkat dua jam lagi

West menekan tangannya ke ranjang, kejadian semalam amat menghadirkan rasa bersalah. Mayang menangis, sulit menerima kenyataan, dan amat kecewa. Apa mau dikata, di dunia ini tak ada satupun manusia yang mentolerir kebohongan.

Pria itu bangkit dari ranjang, kegelisahan mencengkeram. Ada satu hal yang belum dia sampaikan pada Mayang. Perihal keinginan East—yaitu meminta wanita itu ikut bersamanya ke Istanbul.

West lantas memutuskan keluar apartemen. Dia harus menuju rumah mungil yang tak jauh dari apartemennya itu. Dia tidak peduli respons Mayang nanti. Yang penting dia harus menyampaikan apa keinginan East, meski tahu Mayang tak pernah mau.

Langkah-langkah West panjang, napasnya setengah sengal begitu berada di depan halaman Mayang. Pria itu berangsur memelankan jalan sembari membenarkan tarikan napas. Pintu rumah Mayang terbuka. West memanjangkan leher berusaha menjangkau ke dalam. namun—

Tiba-tiba Mayang keluar.

Wanita itu tercekat. Sesaat Mayang defensif.

Ada jeda empat detik sebelum suara West terdengar di udara, "May—"

Mayang balik badan dan langsung menutup pintu, keras. Braak!!!

West tersentak kaget.

"Mau apa kamu kemari?" ujar Mayang di balik pintu, posisinya menyandarkan punggung ke pintu.

"Aku—"

"Aku sudah menerima lamaran Jaide," sela Mayang dengan suara lantang.

West gagu sekian detik. Sementara Mayang tak tahu kenapa dia mengatakan demikian. Seolah-olah balas dendam dengan memberi tahu kalau dia sudah termiliki.

"Aku mau pergi," ujar West lemah. "Balik ke Istanbul."

Mayang tak membalas. Cewek itu menunduk. Air diam-diam mengumpul di sudut mata. West akan kembali ke Istanbul. Mayang menangkup wajah, membuat air matanya merembes ke pipi.

"Sebelum aku pergi, aku ingin membuat satu pengakuan lagi."

Mayang melepas tangan dari wajah.

"East sedang sakit."

Sakit?

"Dia mengidap multiple myeloma," jeda West. Istilah dokter itu mengingatkannya pada kondisi East yang kurus kering. "Penyakitnya stadium akhir. Menurut dokter harapan hidupnya tidak lama." West mendekatkan diri ke pintu, lalu menempelkan telapak tangan di pintu sembari menekuk kepala. "East menyuruhku datang ke sini. Berpura-pura menjadi dirinya. East melakukannya karena ingin menempati janji padamu." Giliran air mengumpul di sudut mata West.

Mendengar itu Mayang makin sesunggukan.

"Sebelum aku pergi, aku ingin menyampaikan permintaan East." West menyeka air mata yang mulai jatuh dan menegakkan kepala. "Meski mungkin kamu tak akan pernah melakukannya setelah tahu segalanya," jeda West. "East ingin bertemu denganmu. Dia memintaku mengajak kamu ke Istanbul."

Mendadak Mayang seperti menyesal mengatakan kalau dia sudah menerima lamaran Jaide.

West menghela napas, sepertinya Mayang belum memaafkannya. "Aku pamit."

West selangkah mundur, menatap pintu sekian detik, berharap ada respons atau setidaknya pintu terbuka.

West menggeleng—sudah tiga menit, tak ada tanda-tanda pintu terbuka. Pria itu lalu benar-benar memundurkan langkah. Pergi, dengan kepala tertunduk.

Andai saja dia tak pernah memenuhi keinginan kakaknya, mengikuti skenario kebohongan ini, mungkin dia tak akan terlibat dalam perkara hati dan meninggalkan luka.

Begitu West melewati dua bangunan. Pintu terbuka. Mayang menatap punggung West yang sudah semakin jauh dan spontan terduduk. Wanita itu lantas menangis sejadi-jadinya.

---

"Bukankah penerbanganmu besok?" kaget Paman Bien, ketika West pamit. Sedari rumah Mayang pria itu memang berniat pamit pada Paman Bien.

"Ingin istirahat aja dulu di Antananarivo. Perjalanan ke Istanbul kan panjang, butuh banyak tenaga."

"Kalau begitu hati-hati," Paman Bien menepuk pundak West. Lalu menatapnya saksama. Beliau berkaca-kaca. Setua ini, beliau baru mendapat teman curhat yang baik dan jauh lebih muda. "Kau tak ingin memeluk Paman?"

West langsung memeluk Paman Bien.

"Jangan sedih," sebut West.

"Paman tidak menangis," suara Paman bergetar. Beliau melepas pelukan. "Paman hanya terharu." Paman Bien menghapus air mata. Saat sedih begini, beliau masih tak mengaku. Jika dua orang sudah memiliki kedekatan, perpisahan menjadi hal yang berat.

"O iya," West mengeluarkan dompet, sekaligus mencegah paman agar tidak semakin sedih. "Ini alamatku ." West menyerahkan kartu nama. "Siapa tahu suatu saat Paman ke Turki."

Paman Bien meneliti kartu. "Seorang direksi?" Beliau mengerutkan dahi.

"Hanya jabatan," West merendah.

"Kau pintar ber-acting." Paman tertawa. "Terima kasih juga, karena kau sudah ikut merawat Paman." Paman Bien memang sudah pulih sejak beberapa hari lalu, bahkan beliau sudah melepas kursi roda dua hari ini.

"Entahlah Paman. Madagaskar benar-benar mengajarkan aku empati." West sadar segala yang membuatnya lebih peka adalah Mayang. Pria itu melihat jam di pergelangan tangan. "Kalau begitu aku pamit."

"Perlu Paman antar?"

"Tidak usah, aku bisa naik taksi ke terminal."

***

Senja tenggelam sewaktu West tiba di Antananarivo. Pria itu memilih inap di hotel kemarin. Selepas mandi dan istirahat, West menekuri diri di rooftop hotel. Meski kerlipan lampu benderang dan langit penuh bintang—semua itu tidak mampu membuat West nyaman, kepalanya penuh dengan Mayang

West duduk di bangku, dan menekuk kepala. Tercenung.

Tiba-tiba pria itu turun dari rooftop, dan meninggalkan hotel. Dia lalu menyetopkan taksi. Dan mengarahkan sopir ke tujuan.

Setelah membelah jalan kota, taksi menepi di sebuah kawasan penuh pohon. Cahaya sekitar temaram. Tampak danau tenang yang memantulkan cahaya—Lake Anosy. West turun dari taksi, entahlah apa yang mendorongnya datang ke sini. Sepertinya ingin mengulang kenangan. Pria itu terdiam sejenak, selepas taksi pergi.

West berdeham, lalu mengitarkan pandang ke sekililing. Suasana hening, yang terdengar hanyalah bunyi jangkrik.

Pria itu lantas menyusuri tepian danau. West ingat pertama kali ke sini—malam, kala itu menyambutnya dengan hujan, berbeda dengan malam ini yang lebih sunyi. Pria itu lalu berhenti sejenak. Tetap di depan sebuah bangku. West memasukkan tangan ke saku jaket.

Bangku ini pernah menemaninya semalaman. Bertahan dan menunggu seseorang yang tak pernah dia temui. Bangku yang menahannya hingga basah dan gigil. West tak tahu kenapa waktu itu harus kehujanan, padahal dia bisa saja kembali ke hotel malam itu. Entahlah, seperti ada keyakinan kalau wanita bernama Mayang akan datang.

West membuang pandang ke danau. Melihat air yang tenang, tampak pantulan bintang. Di tempat indah ini, East-lah yang memiliki kenangan bersama Mayang, bukan dirinya. Pria itu kemudian menyapu rambut. Apa kabar Mayang malam ini? West menyadari telah melukai wanita itu.

Semoga dia baik-baik saja...

***

"Aku tak menyangka," ujar Jaide di ruang pengajar. Di dalam ruangan tak seberapa luas itu hanya ada dia dan Mayang. Kelas terakhir sudah selesai. "Aku cukup was-was ketika kamu tidak memberi jawaban berminggu-minggu."

Mayang sedang menulis beberapa catatan. Dia tidak menyimak omongan Jaide. Pikirannya gundah. Setelah mendengar penyakit multiple myeloma tempo hari, hari-hari Mayang gulana. Hampir setiap hari wanita itu mencari informasi soal penyakit ini. Seberapa parah jika terjangkit, berapa persen kemungkinan sembuh, hingga bagaimana kondisi-kondisi pengidap dalam stadium akhir.

Faktanya semua miris. Tak ada hal yang mencerahkan dari informasi yang dibaca.

Pernah wanita itu tidur jam 2 pagi, lantaran membaca jurnal internasional multiple myeloma.

Penyakit inilah yang membawa West ke Madagaskar. Mengganti posisi kakaknya demi janji di Lake Anosy. Peran palsu West niatnya baik. East ingin memenuhi janjinya setahun lalu. Tapi ego Mayang dan merasa dibohongi terlalu besar. Parahnya hal terbalik terjadi, wanita itu merasa bersalah setelah tahu alasan dibalik peran palsu West. Kondisi East di kepalanya bikin gusar, East kurus, East tak berdaya, rambut East rontok.

Waktu East masih lama?

Bagaimana jika East benar-benar pergi, selamanya.

"Jujur kehadiran East bikin aku gentar," aku Jaide lanjut. "East saingan berat."

Mayang hanya mendongak sekali.

"Makanya aku meminta bantuan Umi Haifa, dan Ustad Salman," Jaide mengulum bibir. "Thanks sudah memilih aku."

Mayang menutup buku. Menyimpan pena di laci, lalu bangkit. "Aku balik duluan," ucap Mayang.

Jaide bingung sesaat. "Mau kuantar?"

"Tidak perlu," tolak Mayang, dia hampir mendekati pintu. "Kau masih punya kelas di kampus kan? Kalo mengantarku kamu bisa terlambat."

Jaide pasrah. "Baiklah."

Mayang meninggalkan ruang guru.

Di rumah Mayang tertegun di meja. Dua kakak beradik asal Turki benar-benar merusak pikiran. Gelang bulatan kayu yang tergantung menempel di dinding jadi fokus pandangan. Mayang mengambil gelang tersebut. Dia mengikis bulatan kayu dengan ujung jari. Satu per satu. Gelang ini pemberian Pak Elio. Perasaanya makin melankolis...

Mayang menyandarkan punggung. Menundukkan kepala. Dan kemudian tersedu-sedu. Hampir enam menit.

Kenapa kita harus bertemu setahun lalu.

Kenapa kita harus berjanji

Kenapa kamu menyuruh West datang

Dan kenapa kamu harus sakit, East...

Tak tahan Mayang bangkit. Cepat-cepat keluar kamar dan berhamburan keluar rumah. Mayang menuju rumah besar yang dikelilingi pagar—tak jauh dari huniannya. Langkahnya memelan tatkala tiba di teras rumah.

Mayang menghapus air mata dan menenangkan diri.

Wanita itu lanjut masuk, dan mendapati Paman Bien. Posisi beliau menghadap jendela samping—memperhatikan kolam renang.

Paman cengang begitu menoleh. Seseorang yang lama dirindukan tiba-tiba muncul. Sejak kejadian malam itu Paman Bien tidak pernah melihat Mayang. Mimik Paman Bien senang dengan mata berbinar. Dada beliau bahkan buncah.

Mayang mendekat. Dia mengatur napas.

Paman bisa melihat mata Mayang yang merah dan sedikit bengkak.

"Mungkin aku terlihat berani datang kemari setelah kejadian tempo hari," ujar Mayang seolah basa-basi. "Aku tak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa."

Paman Bien siaga.

Tak ada yang mampu menggambarkan sebahagia apa beliau berhadapan dengan Mayang saat ini.

"Ayah...," suara Mayang merendah.

Paman Bien mengangkat kepala. Sebutan yang tak pernah dia sangka sebelumnya, meluncur dari anak sendiri. Selama ini Paman Bien tak pernah berharap ada sapaan itu. Memantau Mayang tumbuh dengan baik sudah luar biasa baginya. Seketika beliau berkaca-kaca. "Sebutan itu," jeda beliau. "Ya, paman—ayah bahagia mendengarnya."

Mayang makin mendekat.

"Aku meminta bantuan Ayah."

Paman Bien merapatkan jarak. "Katakan, Ayah akan melakukan apa pun—yang Ayah bisa."

"Aku ingin ke Istanbul."

Paman Bien memegang pundak Mayang, menatapnya saksama. Lalu sekian detik memeluk Mayang. Erat. Tubuh inilah yang ingin dia peluk sejak lama. Satu-satunya yang membuatnya ingat Lintang Imrani.

Sementara itu dalam pelukan, Mayang merasa aman. Seolah ada banyak rindu yang tuntas di sana.

"Akan ayah kabulkan." Air mata Paman Bien jatuh di pundak Mayang.

***

On the plane, Air Madagascar

Mayang menatap langit-langit pesawat. Meneliti tombol ac dan lampu baca. Ini pertama kalinya dia naik pesawat. Paman Bien—ayahnya membiayai penerbangan ke Turki. Hubungannya dengan Paman mencair seketika saat kunjungan dua hari lalu. Mayang yang kukuh ego, tak mampu bertahan ketika Paman Bien memeluknya.

Wanita itu menyandarkan punggung. Menutup mata, perjalanan ke Istanbul masih 4 jam lagi.

---

Istanbul, Turki

Penerbangan dari Antanarivo mendarat pukul 11 siang. Mayang lumayan segar setelah 2 jam tidur di pesawat. Satu jam terakhir wanita itu habiskan dengan memandangi daratan eropa lewat jendela pesawat.

Taksi melaju setelah Mayang memberikan kartu nama. Kartu nama West yang dia dapat dari ayahnya. Sama seperti Paman Bien, Mayang sama kagetnya menemukan kata direksi dalam kartu. Wanita itu kemudian memaklumi, sebab West datang dengan identitas yang disembunyikan.

Mayang takjub melihat keindahan kota Istanbul. Meski hampir mirip Toamasina yang berada di pinggir laut, namun Istanbul memiliki gedung-gedung tinggi, banyak bangunan bergaya mediterania, di beberapa masih ada arsitektur Bizantium. Tak banyak pohon seperti Toamasina, sekilas amat modern. Jalan-jalan lebar, dengan teras kota yang membuat siapapun jatuh cinta.

Mayang mengeluarkan handphone begitu mobil melintasi jembatan Bosporus. Wanita itu merekam view sepanjang jembatan.

Mobil kemudian naik ke daerah perbukitan. Pohon-pohon di sekitar sedikit meranggas. Turki memang sedang musim gugur. Dan hawa lebih sejuk dari hari-hari biasanya.

"Hampir sampai," ujar sopir.

Mayang melongok ke depan.

"Kalau sesuai alamat, tinggal beberapa meter lagi."

Mobil kemudian berhenti di sebuah rumah, berpagar tinggi menjulang.

"Ini sudah sampai."

Mayang memantau dari jendela. Di depannya kukuh pagar yang melindungi sebuah rumah besar. Ada dua pilar di depan teras. Di samping-samping tampak rumah yang lebih kecil yang tersambung dengan banganan utama. Dindindingnya berhias bata mirip marmer. Halamannya super luas dan hijau. Sayang tak ada tetangga di sini. Sepertinya letak kediaman ini eksklusif. "Coba di cek lagi," ujar Mayang memastikan.

"Benar ini alamatnya."

Mayang melirik sopir dari spion di atas dasbor. Rumah seperti ini mirip set film-film hollywood.

Mayang turun dari mobil. Sesaat dia menghadang pagar dan memutar bola mata. Hunian ini lebih mirip istana. Jika benar ini rumah West dan East, alangkah polosnya selama ini dia tertipu. Dua orang kakak-beradik bisa pura-pura menjadi orang sederhana.

Mayang menderek koper. Pagar tak dikunci. Wanita itu memberanikan diri masuk. Sekilas Mayang takjub, taman di sini benar-benar hijau—hanya ada beberapa kembang. Rumput jalar yang menutupi halaman seolah menggelar karpet. Terlepas dari semua keindahan itu, di dalam sana dia akan berhadapan dengan West, lalu kondisi East.

Mayang deg-degan.

Wanita itu hampir sampai di teras. Manyang berangsur memelankah langkah. Dari arah samping, muncul seorang perempuan. Berumur namun masih amat memikat. Rambutnya panjang. Posturnya tinggi, dengan wajah tegas. Mata dan alisnya padu, enak dipandang.

Perempuan berumur itu menjeling Mayang, sebentar, dan lantas menyadari sesuatu. Cepat-cepat Beliau mendekati. "Kamu Mayang?"

Mayang kaget. Dari mana beliau tahu.

"Aku—"

"Saya, Tante Reyyen, ibu East dan West."

Mayang menarik napas.

"Dari cerita East, Tante bisa tahu kalau kamu pasti Mayang."

"Maaf—"

Belum sempat melanjutkan kalimat, Tante Reyyen langsung memeluk Mayang. "Kami merindukanmu. East merindukanmu." Tante Reyyen mengelus punggung Mayang, lalu melepas pelukan. Mimik beliau bahagia. "Kau bawa koper?"

"E—"

Tante Reyyen mengambil koper Mayang.

"Saya bisa sendiri Tan." Mayang menepis tangan Tante Reyyen.

"O, kalau begitu masuklah. Kau pasti capek. Istirahatlah di dalam."

Mayang mengekori Tante Reyyen seperti robot. Orangtua itu tak canggung dan seratus persen welcome seolah sudah lama mengenal Mayang. Jadi seberapa jauh East menceritakan soal dirinya pada Tante Reyyen? Mayang bertanya-tanya.

Tante Reyyen benar-benar semringah.

bersambung....

Author Note: Dear pembaca Madagaskar, mohon bantu subscribe Youtube Ello Aris ya... | thanks sebelumnya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro