Piece of 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak ada yang paling menyenangkan bagi Mayang selain bertemu Ustad Salman Adiba. Ustad yang meraih gelar doktor di Saudi ini memang kerap bersafari kota ke kota. Namun beliau jarang sekali ke Toamasina. Dulu, 2 tahun lalu Ustad Salman sempat ke Toamasina, namun Mayang tak ada kesempatan mengikuti kajian beliau.

Tapi sebentar lagi, Mayang akan melihat langsung Ustad karismatik tersebut.

Kini mobil Jaide penuh. Di dalam bukan hanya ada Mayang, namun turut ikut empat orang anak panti. Mereka berada di jok belakang. Jaide memang sengaja mengajak beberapa anak agar dia tak canggung semobil bareng Mayang.

Grand Mosque de Tamatave sore itu riuh. Halaman depan berdiri spanduk besar. Terdapat gambar Ustad Salman berukuran jumbo, dengan caption ajakan ke kajian. Orang-orang berdatangan. Didominasi bapak-bapak yang tentu saja antusias. Kendaraan-kendaraan berjajar di halaman parkir.

Jaide memarkir mobil agak jauh dari kerumunan.

Kajian Ustad Salman sore ini soal Kekhalifahan Ottoman. Kegiatan akan berlangsung setelah sholat Ashar.

Mayang dan Jaide lalu berpisah. Empat anak panti pun demikian. Dua cewek ikut Mayang, dan dua cowok ikut Jaide.

Sholat jemaah berlangsung cukup singkat. Kurang dari sepuluh menit. Ustad Salman bertugas sebagai imam. Mayang khusyuk, apalagi dipimpin ustad idola.

Panitia kemudian sibuk menyiapkan meja di depan mimbar khatib. Mereka memasang clip on, mengecek speaker, dan menyediakan air mineral. Seorang panitia mengarahkan jemaah agar merapatkan jarak. Lebih maju ke depan. Jemaah pria dan wanita dipisahkan sekat kain setinggi lutut. Jemaah pria tampak lebih banyak.

"Bismilllahi rahmanir rahim. Assalamu 'alaikum," terdengar seseorang membuka acara.

Mayang yang sibuk mengatur anak panti, mengalihkan pandang ke depan. Dia kenal suara itu. Jaide! Astaga kawannya ini bertugas sebagai presenter? Jujur ada rasa bangga melihat kawannya berbicara di depan dan duduk sejajar dengan Ustad Salman.

"Awal mengenal Ustad Salman, ketika saya mengikuti kongres mahasiswa islam luar negeri. Tak sengaja bertemu beliau," basa-basi Jaide sewaktu memperkenalkan narasumber. "Dari situ Ustad Salman dan saya sering membahas apapun, lewat telepon, lewat pesan. Saya banyak belajar dari beliau."

Kekaguman Mayang bertambah pada pria itu. Kenapa Jaide tidak pernah cerita cukup dekat dengan Ustad Salman?

Ustad Salman lantas membuka kajian dengan sejarah konstantinopel. Beliau menjelaskan bagaiman bangsa Turki pada zamannya mampu menjadi naungan muslim dunia. Setengah jam berjalan Mayang mengajukan tanya, sekaligus niat ingin mengobrol langsung dengan panutan. "Apa yang perlu kita jadikan pelajaran dari runtuhnya Kekhalifahan Ottoman ini?"

"Yang barusan bertanya, kebetulan datang bersama saya, Tad," celetuk Jaide, agak kikuk.

Jemaah kompak tertawa lantaran ekspresi Jaide mirip anak kecil.

Ustad Salman yang duduk, langsung bangkit. Beliau menaikkan kepala menjangkau sang penanya. Beliau sekilas memandang Mayang, lalu beralih pada Jaide di samping. "Gadis yang cantik," puji Ustad Salman, pandangan beliau seantero jemaah. Beliau kembali fokus pada Jaide. "Tak baik membiarkan sesuatu yang indah, menunggu. Jadilah Ali Bin Abi Talib yang berani melamar anak Rasulullah."

Kalimat itu membuat seisi ruangan riuh. Mayang yang sadar jadi fokus bahasan, menunduk. Sementara Jaide hanya mesem tipis. Ustad Salman kadang sering bercanda. "Maaf, biar tidak tegang," ujar Ustad Salman, lalu menjelaskan runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani.

Acara berlangsung hampir dua jam. Mayang puas, dapat bercakap langsung dengan Ustad Salman. Di akhir kajian, Jaide meminta Mayang dan anak-anak menunggu di parkiran. Pria itu hendak menyelesaikan sesuatu di dalam.

---

Langkah-langkah Jaide setengah kikuk mengekori Ustad Salman. Beliau hendakhendak ke bagian kanan saf pria. Beliau menenteng tiba buah buku besar.

"Ustad," tegur Jaide.

Ustad Salman menoleh.

"Ada apa Jaide?" tanya Ustad Salman. "Bagaimana kampusmu?" lanjut beliau.

"Baik Alhamdulillah." Jaide mengikis-ngikis telapak tangan. Sungkan menyerangnya tiba-tiba. "Saya ingin ngobrol sesuatu."

"Bilang saja," Ustad Salman mencengkram pangkal lengan Jaide. "Tak usah kikuk."

"Ustad masih ada tur kajian di Tomasina?"

"Setelah ini?" aju Ustad Salman, lalu melanjutkan setelah Jaide mengangguk. "Besok masih ada. Lusanya balik ke Antananarivo."

Jaide menarik napas "Ustad..., sebenarnya saya ingin melamar seseorang,"

"Kau ingin meminta nasihat?" Ustad selalu mengajukan tanya. "Dengan wanita tadi?"

Jaide mengangguk lagi. "Tapi bukan nasihat."

Ustad Salman lantas mengajak Jaide duduk. Mereka bersila dan saling hadap-hadapan. "Bicaralah. Sekiranya bisa, Ustad akan bantu."

"Aku sudah lama mengenal Mayang. Dari kecil. Dia wanita yang baik," tutur Jaide. "Ustad sendiri tahu, saya tidak memiliki keluarga. Untuk itu dengan segala kerendahan hati—jika tidak keberatan, Ustad jadi wali saya untuk melamar Mayang."

Kepala Ustad Salman terdorong ke belakang, kaget.

"Kenapa harus saya?"

"Mayang sangat mengidolakan Ustad," Jaide menjelaskan. "Meski itu bukan alasan nanti dia menerima saya, namun setidaknya Ustad bisa mendoakan agar aku bisa berjodoh dengannya."

Baik-baik Ustad Salman memperhatikan Jaide. Pria yang dikenalnya beberapa tahun silam ini memang sudah layak menikah. Apalagi secara finansial Jaide mampu membangun keluarga. Butuh sekian menit sebelum Ustad Salman bicara, "Kalau begitu kau urus segalanya. Besok sore kita akan menemui Mayang."

Jaide tersenyum, cepat-cepat dia memeluk Ustad Salman. "Syukron."

Usai mendapat kepastian, Jaide langsung menemui Mayang dan anak-anak di parkiran. Jaide sulit membendung bahagia. Mimik wajahnya berseri, bahkan sampai dia meloloskan mobil dari halaman masjid.

"Kau keliatan senang?" komentar Mayang. Tidak biasanya dia menemukan roman sohibnya ini cerah. "Kau dapat honor gede?"

Jaide memutar setir, dia tidak menjawab omongan Mayang. "Aku antar anak-anak duluan ya," ujar pria itu. "Setelah antar kamu, aku balik ke masjid. Masih ada yang keperluan."

"O," seru Mayang pendek. "Ngomong-ngomong, thanks. Ini untuk pertama kalinya aku bertemu dan bisa bicara langsung dengan Ustad Salman. Selama ini aku hanya melihat beliau di tv dan youtube."

Jaide melirik lawan bicara. Mayang tak tahu besok dia akan benar-benar berhadapan dengan Ustad Salman.

"Kenapa kau tidak bilang mengenal beliau?" Mayang sedikit protes. "Tahu begini kan—"

"Aku tak tahu kau mengidolakan Ustad Salman," Jaide memotong.

"Kapan-kapan kalau beliau datang lagi, kau harus mengajakku."

"Dengan senang hati."

***

Keesokan paginya sebelum ke kampus, Jaide menemui Umi Haifa. Memberi tahu lebih awal, lebih baik. Jaide masih ingat, dalam pembicaraan terakhir, Umi Haifa setuju membantu lamarannya.

Umi Haifa menyediakan dua cangkir teh.

"Ananda bikin repot aja," sungkan Jaide ketika menerima satu cangkir. Mereka duduk di sofa—jaraknya 1 meter dari meja kerja Umi.

"Tidak apa-apa," tepis Umi. "Dulu mungkin kau masih jadi anak panti. Tapi sekarang kau sudah jadi pengajar—relasi panti. Makanya Umi harus menjamu dengan baik."

Jaide menyeruput teh.

"Kamu tidak ke kampus?"

"Setelah ini, makanya aku sedikit rapi," ujar Jaide.

Umi membuka stoples kue. "Jadi apa yang kau ingin obrolkan."

Jaide mengatur napas. Dia perlu menyiapkan serangkaian kalimat agar terkesan baik di depan Umi. "Sebenarnya Ananda ingin membicarakan soal lamaran," tukas Jaide.

"Lamaran...," Umi langsung ingat permintaan Jaide tempo hari.

"Mungkin ini terkesan cepat, tapi—" jeda Jaide. "Tapi Ananda rasa inilah waktunya."

Umi angguk-angguk sembari menutup stoples kembali. Pria matang seperti Jaide memang sudah pantas berkeluarga. Pria itu memiliki pekerjaan, reputasi, dan finansial yang mendukung.

"Nanti sore Jaide ingin melamar Mayang."

"Sore ini?" bola mata Umi separuh belalak. Pikir Umi masih satu atau dua minggu lagi, atau paling tidak tiga hari. "Bukannya tempo hari kamu bilang—"

"Kebetulan wali Jaide bersedia sore ini."

Umi mengintai wajah Jaide. Baik dia maupun Mayang memang tidak punya keluarga satupun. Mereka dititipkan di panti dalam keadaan yatim piatu, kecuali Mayang yang masih memiliki ayah entah di mana. Jaide mungkin jelas bisa mengambil wali dari manapun karena statusnya tanpa keluarga, namun Mayang? Harusnya ketika lamaran terjadi, pihak keluarga—kiranya yang masih hidup, dapat mewakili.

Lagipula, Umi akhir-akhir ini menilai Mayang amat dekat dengan East.

"Kau yakin?" Umi memastikan.

"Tekadku sudah bulat. Menunda terlalu lama juga, buang buang waktu."

Umi diam sebentar. Dua menit, sebelum melanjutkan percakapan. "Apa yang bisa Umi bantu."

"Umi adalah orang paling dekat, paling tahu semua anak-anak di panti. Terlebih-lebih Mayang. Umi bahkan sudah kami anggap ibu kandung. Makanya Ananda merasa, Umi orang yang tepat memberi tahu tujuan lamaran ini pada Mayang."

"Hari ini Mayang tidak ada kelas." Umi tidak punya alasan meminta Mayang ke panti. "Tapi nanti Umi usahakan."

"Nanti sore bakda ashar, kami sudah di sini."

Ada kesungguhan dalam niat Jaide. Umi dapat membaca itu. Namun beliau bukanlah wali yang seharusnya menerima Jaide. Jika niat baik ini terlaksana, ini jadi kali pertama dalam hidup beliau menyaksikan lamaran anak didiknya selama memimpin panti. Jauh dari itu semua beliau memikirkan Mayang, sebab ada East yang kini bersama Mayang.

Setelah menyampaikan detail lamaran, Jaide pamit.

***

Mayang membawa seember kamelia. Dia menuju petakan belakang. Sembari menunduk cewek iu mengisi pot-pot di petakan kosong. Gerakannya amat cepat, mirip orang yang sudah ahli bertahun-tahun. West yang berada di petakan lili—jauhnya dua meter, menaikkan alis sembari menjungur mulut. Tak biasa Mayang kerja sekilat itu.

"Pelan-pelan," nasihat West, pria itu memegang lili.

Mayang tetap melanjutkan pekerjaan. "Tiba-tiba Umi Haifa menelepon. Beliau menyuruhku ke panti pagi ini," ceritanya tanpa menoleh lawan bicara.

"Ini kan bukan weekend?" Jadwal mengajar Mayang hanya Sabtu dan Ahad.

"Aku tak tahu. Tapi sepertinya penting. Makanya aku mesti selesaikan semua lebih awal."

West mendekat. Tangkas dia merebut ember yang berada di samping Mayang. "Kamu pergi saja, biar aku yang menyelesaikan tugasmu."

Mayang menegakkan badan. Dia mengintai West, entah sudah ke berapa banyak pria ini menolongnya. Mayang menghela napas dan menyeka tangan di belakang baju. Sedetik kemudian dia menemukan senyum di bibir West. Mayang tersipu, dia merasa senyum West lebih manis dan menenangkan pagi ini.

"Apa yang kau tunggu?" aju West.

Sungkan Mayang berucap, "Kalau gitu aku izin dulu ke Bu Miary." Wanita itu meninggalkan West. Dia langsung menemui Bu Miary di belakang meja kasir.

Dalam perjalanan ke panti, kepala Mayang dikerubung setumpuk pertanyaan. Kenapa Umi mendadak memintanya ke panti? Pagi-pagi sekali. Kalau soal gaji, tidak mungkin. Ini masih pertengahan bulan. Apakah pekerjaanku kurang beres di panti? Ataukah akan ada rapat khusus pengajar? Atau akan ada guru baru yang nanti akan menggantiku? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul.

---

Mayang tiba di panti setengah jam kemudian.

Umi Haifa mengajaknya mengelilingi halaman dan koridor panti. Beliau banyak bercerita soal masa kecil Mayang—Mayang yang manja, Mayang tak ingin disaingi, dan Mayang selalu memanfaatkan tenaga Jaide untuk apa saja. Mayang senyum-senyum mendengar kisahnya.

Selama bertahun-tahun, tumben Umi bercerita.

Omongan soal hidup, perjalanan dan tujuan jadi nasihat yang didengar Mayang ketika mereka naik ke lantai dua. Sampai di sini, Mayang belum menemukan hubungan Umi meneleponnya dengan obralan-obrolan ini. Umi Haifa menyapa dua anak yang berumur 7 tahun yang berada di sepanjang balkon lantai dua, sebelum memegang railing dan berhenti.

Umi memperhatikan halaman di bawah sana. "Sudah berapa lama kamu mengabdi di panti?"

"Sudah hampir 8 tahun."

"Bukan waktu yang singkat," jeda Umi. "Bahkan 12 tahun kamu menjadi anak Umi. Tapi sehebat apapun kalian, kau, Jaide dan lainnya, di mata Umi kalian tetap anak-anak. Yang bawel kalau disuruh mandi. Yang nangis kalau ditinggal, dan yang susah kalau disuruh makan."

"Ananda jadi malu, Umi," Mayang mengekeh.

Obrolan mereka lanjut hingga ke rooftop atas. Mayang dan Umi Haifa memenuhi kursi kusam yang tepat di bibir pembatas. Dari situ mereka mampu menangkap luasnya langit, jalan-jalan di sekitar, dan hiruk pikuk orang-orang di bawah sana.

Angin bertiup kencang.

Mayang beberapa kali merapikan hijab yang berantakan karena angin.

"East sudah menentukan tanggal pulang?" Umi membuka percakapan. Kali ini bahasa tubuh beliau lebih serius dari sebelumnya.

"Belum. Dia kelihatan betah di toko bunga."

"Di matamu dia pria seperti apa?"

Pertanyaan tersebut seperti todongan. Pelan-pelan senyum East melintas di kepala. "Dia baik, sangat baik."

"Umi juga bisa melihatnya."

Malah lebih dari sekadar baik, ada argumen tambahan di hati Mayang. Dia menepati janji mencari ayahnya, menyewa kendaraan, mengajaknya ke restoran mahal, membantu keluarga pak Elio, ikhlas jadi karyawan di toko agar gajinya tidak dipotong, dan masih banyak kebaikan kecil lainnya.

"Dengan hanya melihat rupamu, Umi tahu kau menaruh hati padanya."

Kepala Mayang turun sekian derajat. Dia tak menampik. Omongan Umi memang benar. Kedatangan pria Turki tersebut kali ini berbeda. Ada sisi lain yang ditawarkan; kedermawanan, kebaikan dan rasa peduli. Rela bekerja di toko tanpa gaji adalah kesia-siaan bukan? Dan harusnya pria itu sudah kembali ke Istanbul setelah balik dari Toliara.

"Namun membuka hati untuk orang lain, bukanlah sesuatu yang buruk," Umi mulai masuk ke pembicaraan inti. "Hidup adalah memilih dan menimbang. Pencarian akan selalu dilakukan semua orang, termasuk kau, Umi dan siapapun."

Mayang spontan menoleh. Dia menyadari omongan Umi. Perlahan Mayang meneliti pipi kiri Umi Haifa. Apakah ini inti dari percakapan mereka sedari lantai satu? Mayang menduga-duga.

"Usaimu sudah matang. Seharusnya kamu sudah punya plan lebih besar daripada sekadar mengajar atau menjaga toko bunga." Umi membalas tatapan Mayang.

Mayang perlu sekian menit menemukan satu benang merah dari kalimat-kalimat Umi. Omongan Umi menuju pada titik hubungan antara pria dan wanita. Umi ingin hubunganku lebih jelas dengan East? Mayang menduga lagi. Beliau khawatir dengan kedekatan kami yang tanpa komitmen?

Umi Haifa meraih tangan Mayang, mengelus lembut. "Ada seseorang yang ingin melamarmu."

Tubuh Mayang menegak! "Melamar Ananda?" East? Sebagai wanita dewasa Mayang juga ingin memiliki hubungan serius, namun mendengar kata lamaran dari Umi rasanya cepat sekali.

"Lamaran adalah niat baik," ujar Umi lanjut sebelum henti dua menit. "Orang yang hendak meminangmu, anggap Umi bagian keluarga kamu. Dia merasa Umi cocok jadi walimu."

"...."

"Kamu mempercayakan Umi jadi walimu kan?"

Dalam lamaran lazimnya pihak wanita memiliki wali. Namun tak ada satupun keluarga yang dikenal Mayang di Toamasina. Dia yatim, ayah tak tahu rimba. Maka umilah yang setidaknya paling berhak.

"Tadi orang itu datang menemui Umi. Dengan sungguh, pria itu mengutarakan maksudnya. Umi bisa menangkap ketulusan dan keseriusan darinya. Umi baik—dan mungkin akan cocok mendampingimu."

East...? Sangka Mayang lagi. "Siapa?"

"Jaide," lugas Umi menyampaikan.

Seketika mata Mayang lebar. Dia menoleh pada Umi seperti robot yang encok leher. Bukan East? Jadi... Jaide selama ini? Sesaat kata-kata Mayang lenyap dari kepala. Dulu sebelum ke Mesir, Jaide adalah pria paling dekat dengannya—malah condong mirip bodyguard yang siap membantu Mayang kapanpun. Namun sekembalinya dari Kairo, mereka seolah berjarak. Titel magister di belakang nama Jaide salah satu faktornya. Apalagi kehidupan pria itu kini mapan.

"Pagi tadi Jaide mengutarakan ke Umi." Umi sedang mencari kalimat yang pas untuk menyampaikan. "Barangkali ini terlalu cepat. Tapi Jaide sudah bulat ingin melamarmu sore ini."

Mayang masih melekatkan pandangan pada Umi Haifa. Seakan mengatakan kalau saat ini ada East di dekatnya. Ada East yang memberikannya warna baru dalam hidup, ada East yang mengajarkannya soal filantropi.

"Umi tahu, East sosok yang paling dekat denganmu saat ini," cakap Umi seolah paham isi kepala Mayang. "Tapi melihat jauh ke depan itu penting. East hanya sementara di Toamasina. Bisa besok, lusa atau minggu depan dia balik ke Istanbul. Sedangkan Jaide? Umi rasa dia bisa menawarkan lebih dari sekadar singgah lalu pergi."

Omongan Umi mirip ombak. Mempermainkan keputusan.

Umi Haifa kembali mengelus punggung tangan Mayang. "Sekarang keputusan ada di tangan kamu. Kamu yang menentukan."

Mayang menatap jauh ke bawah, memandangi sekawanan anak kecil yang berlarian di jalan utama. Wajah East mengerubung di kepala. Dia menaruh hati pada pria itu, namun beberapa jam lagi dia akan menghadapi hal besar—yang barangkali dapat menggoyahkan keyakinan soal perasaan.

"Jam berapa Jaide akan datang?"

"Sore ini bakda Ashar, dia datang dengan walinya," terang Umi. "Kau bersedia hadir kan?"

Mayang tak menggaguk dan juga tak menggeleng.

Sepulang dari panti, Mayang bengong tak keruan di kamar. Ranjang jadi saksi bagaimana dia terbungkus bingung. Telentang tak nyaman, miring ke kiri kurang sreg, miring ke kanan pun demikian. Dia tak habis pikir kenapa Jaide lihai menutupi semua, bahkan hingga kemarin mereka mengikuti kajian Ustad Salman.

Mayang bersila, meraih ponsel. Mencari nama Jaide di layar. Sedetik kemudian dia mematikan handphone, dan menumbangkan diri di ranjang.

---

Matahari makin condong, Ashar sudah selesai tiga menit yang lalu. Mayang masih berada di depan cermin. Wanita itu tak fokus pada wajah. Tak pula berniat memoles diri, apalagi mengganti pakaian dengan yang lebih bagus.

Ponselnya kemudian bergetar. Nama East muncul di layar.

"Huft," desahnya tanpa niat menjawab panggilan.

Mayang langsung bangkit. Dia harus ke panti, sebelum Jaide datang.

---

Langkah Mayang memelan, sewaktu tiba di panti.

Wanita itu sejenak berhenti di tengah gerbang panti. Dia mengitarkan pandang ke segala penjuru. Mengamati setiap detail bangunan entah apa. Lalu berganti fokus pada ruang tamu yang berada di tengah bangunan. Ruangan yang akan menjadi saksi lamaran Jaide.

Ternyata di ruang tamu, Umi Haifa sudah menyiapkan segala hal. Makanan, minuman. Sofa diatur lebih menarik. Taplak dan tirai diganti. Wangi citrus semerbak. Dan yang paling mengesankan adalah Umi Haifa yang kelihatan muda lima tahun berkat abaya renda dan jilbab cokelat model terbaru.

Beliau dandan maksimal.

"Tenanglah," ujar Umi Haifa sewaktu Mayang mengetuk-ngetuk meja.

Sejujurnya Mayang tak siap, baginya kemarin Jaide adalah teman, dan detik ini pun sama, hanya kawan. Wanita itu mencengkeram dua gelang yang saling bersanding di pergelangan tangan. Berusaha menenangkan diri.

"Minumlah dulu," saran Umi kemudian.

Sepuluh menit berikutnya! Suara ketukan sepatu terdengar. Umi dan Mayang kompak mengalihkan perhatian ke pintu. Sepertinya itu rombongan Jaide. Seketika Mayang terkesiap, dia melihat seorang pria berkulit cokelat dengan baju gamis panjang, serta sorban senada hadir di depan pintu.

Ustad Salman? pekik Mayang dalam hati.

"Assalamu alaikum," salam beliau.

Sebelum kekaguman Mayang meluntur, dari belakang sosok Jaide muncul. Pria mengenakan itu celana panjang hitam. Jas yang membuatnya lebih perlente dari biasanya. Rupa wajah Jaide lebih cemerlang.

Jaide menunjuk Ustad Salman sebagai wali?

Umi dan Mayang membalas salam. Umi Haifa langsung menyilakan kedua tamunya duduk. Ustad Salman menyapa dengan sedikit kekehan. Sementara Jaide melemparkan senyum kepada Mayang yang kini duduk berhadapan dengannya. Pria itu sekilas sedikit canggung.

"Terima kasih sudah datang," Umi membuka obrolan. "Saya sudah membicarakan kedatangan Ustad dan Jaide pada Mayang."

Mayang mengembus napas kuat-kuat. Dia menghindari bersirobok pandang dengan Jaide.

Ustad Salman mengawali proses ini dengan beberapa penjelasan lamaran dalam Islam. Mayang tak menyangka, beliau termasuk orang yang to the point. "Tentu dalam menjalankan sebuah rumah tangga, proses khitbah atau lamaran ini adalah awal. Tujuannya baik, untuk pelamar dan yang dilamar," jeda Ustad Salman. "Ketika Jaide meminta saya pribadi sebagai wali, saya langsung mengiyakan, karena saya rasa tujuannya jelas, menyempurnakan agama. Jaide lelaki dewasa, mapan dan pantas menikah. Sebaliknya Mayang juga demikian."

Umi Haifa menengok Mayang.

"Untuk itu, saya langsung saja kepada Umi—yang tahu Mayang sejak kecil. Kami datang dengan niat melamar Mayang sebagai calon istri untuk adik saya ini, Jaide." Ustad Salman menganggap Jaide seperti keluarga.

Detik ini jantung Mayang memompa ganda.

"Saya, terserah Mayang."

Mayang lantas menatap Jaide yang sejak tadi dihindari. Pria itu jauh lebih cemerlang hari ini. Jujur, banyak wanita yang lebih pantas mendampinginya. Yang barangkali sederajat secara ilmu dan finansial.

"Mayang?" Umi menggoyang tangan Mayang.

Mayang menegakkan badan, sempat bengong. Udara keluar dari mulutnya beberapa kali. Momen masa kecilnya bareng Jaide pelan-pelan mengalir di ingatan. Namun lagi-lagi di akhir lamunan, ada wajah East yang membuntuti. "Terima kasih untuk niat baiknya. Tapi sejujurnya saya kaget, sama kaget ketika tahu yang menjadi wali Jaide, Ustad Salman," Mayang akhirnya bersuara. "Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan setelah itu ada proses yang panjang, yang akan dilalui bertahun-tahun ke depannya. Maka dari itu berilah saya waktu. Saya butuh untuk memutuskan ini."

Kejap Jaide melirik Umi, lalu kembali pada Mayang.

bersambung....

***

Alhamdulillah bisa update kisah Mayang setelah banyak kendala.

Happy reading ya....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro