6th Story : The Last Happiness For Us

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Puluhan lampu warna-warni telah dipasang di setiap sudut bangunan. Hiasan kerajinan tangan telah di pamerkan di sekeliling. Panggung yang menampilkan berbagai macam pementasan telah digelar sejak pukul tujuh.

Hiruk piuk orang-orang yang memenuh sesaki festival, tak pernah memudar barang sejenak.

Belasan tenda telah didirikan, menjual beragam makanan, minuman, barang-barang, hingga membuka permainan kecil-kecilan.

Suasana di sini sudah seperti pasar malam, namun versi mininya.

Orang luar diperbolehkan memasuki area sekolah. Itu mengapa suasana di sini sangatlah ramai.

Kalau menurut Tomo, setiap tahun telah menjadi rutinitas rutin sekolah mengadakan festival di sini. Orang-orang juga telah menjadikannya bagian dari tradisi setempat.

Seharusnya ini menjadi malam yang membahagiaan. Seharunya. Namun, situasi kali ini berbeda.

Setelah mendengar perkataan Ibu tadi pagi, aku segera datang ke rumah Tomo dan Kento, memberi tahu mereka keputusan mendadak ini.

Seperti dugaanku, mereka jelas terkejut. Tapi tak ada yang dapat mereka lakukan untuk mencegahku.

Aku juga. Rasanya sangat berat untuk meninggalkan mereka. Karena ini pertama kalinya aku merasa cocok dengan lingkungan tempat tinggal.

Yah, tapi mau bagaimana lagi? Sudah menjadi resikoku sejak awal jika merasa nyaman, karena aku akan segera pergi.

Selalu saja begitu.

"Hei." Sebuah soda kalengan tertempel di pipiku, membuatku refleks menjerit tertahan. Aku menatap nanar sosok Tomo yang kini mengulurkan minuman itu padaku. Wajahnya dipenuhi sorot cahaya lampu dari panggung. "Jangan melamun, nanti kau dirasuki!"

"Huh," aku memutar bola mata. Tomo itu terlalu percaya dengan hal mistis, dan sifatnya yang satu itu kadang membuatku jengah. Meski begitu, aku tetap menerima minuman pemberian Tomo, tak lupa mengucapkan terima kasih.

Tomo duduk di kursi kosonh sebelahku, menatap lurus ke arah panggung yang sedang ada sekelompok orang menari. Dia meneguk minumannya, lalu berkata, "Kau jadi pindah?"

"Hm," aku bergumam sembari membuka minuman kalengan. "Jadi," lanjutku, kemudian meneguk setengah isi minuman. "Kento kemana?"

"Sedang mengurus antrean murid-murid yang akan tampil." Tomo terdiam. "Kau ... sudah bicara dengan Katsuri?"

"... belum," jawabku. Aku menghela napas berat. "Aku tidak tahu harus bagaimana."

"Utarakan saja isi hatimu," Tomo memberi saran. "Lakukanlah apa yang bisa kau lakukan sekarang sebelum kau menyesalinya di kemudian hari."

"Bagaimana jika dia kecewa?"

"Lebih baik dia kecewa karena kau yang memberi tahunya. Jangan sampai dia kecewa katena tahu dari orang lain," Tomo menepuk bahuku. "Belum tentu kita dapat bertemu lagi, Hinoto."

"Jangan bicara seperti itu!" aku menepis tangannya marah. "Kita bisa bertemu lagi! Meski aku pindah, tapi kita akan tetap berkomunikasi. Jangan mengatakan seolah-olah ini adalah malam terakhir kita bersama!"

"Tapi, jika seandainya ini memanglah adalah malam terakhir kita ...," Tomo menggantung ucapannya, "Apa yang akan kamu lakukan?"

"Tomo!" bentakku. "Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak! Aku tidak suka itu!"

"Haha, maaf." Tomo terkekeh. "Aku hanya bencanda." Meski mengatakan hasl sedemikian rupa, mimik wajah Tomo tetap begitu keras. Seakan, tersirat sesuatu yang sama sekali tidak bisa kuartikan.

"Tidak lucu," kataku membuang muka.

"Yah, intinya ya ...," Tomo merangkulku. "Katakan malam ini, atau tidak sama sekali. Aku yakin Katsuri juga merasakan perasaan yang sama denganmu."

"Kau yakin?"

"Hei, kenapa kau jadi pesimis begitu? Tentu saja aku yakin!"

"Cih, tahu dari mana?"

"Tentu saja tahu. Kita ini 'kan sahabat!" Tomo berseru bangga. "Naluri persahabatan kita itu terhubung, tahu!"

"Yeah, yeah. Terserahmu saja," kataku pura-pura tak peduli, padahal dalam hatiku sangatlah senang.

Tomo tersenyum miring. "Dasar tsundere!" Dia melepas rangkulan tangannya, lalu mendorongku pelan. "Sana, sebentar lagi kembang api akan dinyalakan."

Aku tersenyum penuh arti. "Terima kasih, Tomo. Aku akan menemui Hikari sekarang!"

"Semoga beruntung!"

Aku melompat berdiri, berlari membelah keramaian. Mencari sosok Hikari di setipa sudut festival. Sesekali tanpa sengaja aku menabrak orang-orang saking ramainya pengunjung yang hadir. Hingga selang setengah jam, penglihatanku menangkap sosok seorang gadis bersurai cokelat dengan manik senada yang cemerlang. Aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi, kemudiam berseru, "Hikari!"

Hikari menoleh, tampak terkejut. "Eh? Sedang apa kamu di sana?"

"K-Kita perlu bicara," aku menyambar pergelangan tangannya. Tanpa meminta izin, aku menariknya dari keramaian, keluar dari area festival sekolah. Jantungku bekerja terlalu cepat. Otakku bekerja secara tidak maksimal.

"H-Hei! Hentikan!" seruan dari Hikari membuat langkahku refleks terhenti. Aku menoleh, memutar tubuhku menghadap Hikari. Tanpa sadar, aku telah membawa Hikari ke pesisir pantai. "Ahonoto ... ah maksudku, Hinoto, ada apa denganmu? Tiba-tiba membawaku pergi.

Aku menggenggam pergelangan Hikari semakin erat. "A-Aku ... ada yang ingin aku katakan."

"Eh?" Hikari menatapku heran. "A-Apa yang ingin kau katakan?"

"Hikari," panggilku pelan. Aku menatap lurus, menyorot dalam manik cokelak cemerlang Hikari. Penampilan gadis itu malam ini begitu manis. Dia memakai topi pantai biru berpita merah, topi yang dulu mengantarkan kami kepada pertemuan ini. "Aku ..."

Suara letupan mulai terdengar. Kembang api telah diangkasakan ke langit lepas malam, membuat cahaya sekitar menjadi berwarna-warni. Aku memantapkan tekad, kemudian menyerukan perasaan yang selama ini kupendam, "Aku menyukaimu."

Mata Hikari membulat sempurna. Pupil matanya mengecil saking terkejutnya. Wajahnya merona merah muda, ah, tidak, mungkin sudah semerah tomat. "Kamu ... serius?"

"Astaga, apa aku terlihat sedang bercanda?" aku memutar bola mata, tanganku tetap setia menggenggam pergelangan tangannya. "Aku serius. Aku sangat menyukaimu, sejak pertama kali kita bertemu. Tapi ..."

"Tapi?"

"Aku takut kita tidak bisa bersama," ujarku lirih.

Hikari menatap tidak mengerti. "Kenapa? Aku juga menyukaimu, kok. Apa kamu takut aku tidak menyukaimu?"

"Meski kau balas menyukaiku, kita tetap tidak bisa bersama."

"Kenapa?"

"Karena ... aku akan segera pindah dari sini. Besok pagi, aku akan berangkat."

Hikari terdiam. Dia menatapku dalam. Sorot matanya memancarkan rasa sakit yang begitu mendalam. "Kamu tahu? Kamu itu memberikanku harapan, menerbangkanku hingga aku dapat bersanding bersama bintang-bintang. Namun setelah itu, kamu mendorongku, menghempaskanku hingga ke dasar bumi."

Aku terdiam. Perlahan, aku melepas genggaman tanganku.

"Ini menyakitkan, Hinoto." Air mata Hikari mulai berderai. "Ini ... menyakitkan."

"Jika aku bisa menulis takdir, maka aku ingin bisa terus bersama denganmu." Aku menunduk, menggigit bibir bagian bawahku. "Tapi, tidak ada yang dapat kulakan."

"Aku mengerti," Hikari mengusap air matanya. "Aku mengerti ... Hinoto." Gadis itu terdiam sesaat, dia melepas topi birunya, menatap topi itu dan aku secara bergantian. "Kemana kamu akan pindah selanjutnya?"

"Tokyo," jawabku.

"... Cukup jauh, ya?" Hikari tersenyum sendu. "Meskipun kamu pergi sangat jauh, aku harap kamu tidak melupakanku."

"Aku tidak akan melupakanmu," kataku teguh. "Justru aku yang khawatir jika kau akan melupakanku!"

"Haha, tidak kok," Hikari menyerahkan topi pantai birunya padaku. "Kalau begitu, ini untukmu!"

Aku mengerjap. "Eh?"

"Kamu sudah memberikanku kalung kerang buatanmu sebagai kenang-kenangan, 'kan?" Hikari tersenyum cerah, lebih cerah dari seribu kembang api yang sudah mengudara. "Kalau begitu, topi kesayanganku ini untukmu."

Aku menerima topi itu. "Terima kasih."

"Aku harap ... kita bisa terus berkomunikasi." Hikari menggigir bibir bawahnya. Matanya kembali berkaca-kaca. "Aku harap ... kamu tidak melupakanku."

Hatiku terasa hancur, berderai seperti ribuan buih pasir. Aku menarik Hikari ke dalam dekapanku, memeluknya erat. "Aku tidak akan melupakanmu."

"Aku menyukaimu," Hikari mencekeram erat kemejaku. Tangisnya pecah.

"Aku ... juga menyukaimu."

***END***

Ini rekor tercepat vara, nyelesain cerita dalam sepuluh hari. Woiya, orang cuman 6 chap :v

Tapi nyari ide buat cerita pendek itu ga gampang yah :v

Hampir aja vara mau alotin jadi 20 chap. Tapi pas inget dedlen, gajadi :"3

Btw, tokoh Hinoto ini akan ada hubungannya dengan World Miracle Series. Jadi, silakan ditunggu~

Papayyy!

Big Luv, Vara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro