Part 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matahari telah menanjak tinggi ketika permakaman Sulastri selesai. Isak tangis terdengar dari pihak keluarganya yang datang dari desa sebelah. Akan tetapi, dari pihak keluarga Juragan Hadiningrat hanya Asti dan Darma yang hadir di permakaman tersebut.

Darma menaburkan bunga terakhir lalu beranjak menghampiri ibunya. Tak banyak kata-kata, mereka masih amat syok dengan kematian Sulastri. Kematiannya tragis dan sangat aneh. Pelaku seolah-olah tahu seluk-beluk rumah Darma hingga berhasil masuk dan keluar tanpa ada yang mencurigai.

Berkali-kali Darma berpikir, apakah mungkin ada hubungannya antara pertunjukkan jaipong dan pembunuhan Sulastri tersebut. Jika saja Darma mengikuti Sulastri dan membujuknya, tentu istrinya tak kan mati mengenaskan seperti ini. Namun, untuk menuduh hal-hal yang belum terbukti, Darma tak bisa sembarangan. Terlebih, gadis bernama Laksmi itu.

“Keluarga kita sepertinya selalu dirundung ujian selalu.” Asti mendesah sambil memasuki mobil Jeep.

Darma menyalakan mobil kemudian menekan pedal gas, meninggalkan pemakaman. Dia mengembuskan napas beberapa kali dengan pikiran terus memikirkan kematian Sulastri.

“Bu, hari itu, aku dan Ayah dicegat oleh seorang wanita tua.”

“Wanita tua? Siapa?”

Darma menggeleng. “Aku tak tahu, Bu. Tapi dia berbicara kepada Ayah bahwa keluarga kita tengah dalam cekalan dendam wanita yang mati.”

Asti membelalak. Dia meremas-remas ujung selendang kuningnya sambil berpikir sesuatu. “Apa … apa mungkin, ini ulah Kamala?”

Darma tertegun sejenak, tetapi serta merta menggeleng tak percaya. “Orang yang mati mana mungkin hidup lagi.”

“Bagaimana jika dia menjadi hantu dan membunuh setiap orang yang bersangkut paut dengan kematiannya.”

“Ibu … Sulastri tak ada sangkut paut apa pun. Dia tetap mati juga. Alasan Ibu sangat konyol,” sergah Darma.

“Tapi Sulastri adalah istrimu, Darma. Dia ….”

“Sudahlah, Bu! Wanita yang mati karena kita bunuh bukan Kamala saja, kan? Dulu Ayah juga pernah membunuh seorang wanita juga.”

“Darma!” Asti memelototi anaknya. “Jangan kau ungkap lagi masalah itu.”

Darma terkekeh-kekeh. Kejadian itu bertahun-tahun lalu ketika dia berumur 10 tahun. Di depan matanya sendiri, ayahnya membunuh seorang pesinden wanita yang menolak melayaninya. Darma bahkan mengikuti centeng-centeng ayahnya yang membuang mayat wanita itu ke sungai. Hingga hari ini, rahasia itu amat terjaga.

“Sebenarnya siapa wanita itu, Bu? Meski waktu itu aku masih kecil, aku dapat melihat bagaimana Ayah sangat menyukainya.”

“Kau!”

Darma terkekeh-kekeh membuat ibunya melengos dengan tatapan mata sedingin angin.

“Dia hanya perempuan sundal yang berniat menggoda ayahmu.”

“Semua pesinden Ibu anggap sundal, bukan?”

Asti menghela napas dan mengembuskannya perlahan-lahan. “Dia … Sarlinah. Ibunda Kamala.”

Darma terperenyak. Senyumnya yang semula terkembang perlahan-lahan menguncup. Dia merasakan kemirisan untuk nasibnya dan ayahnya. Mereka sama-sama tak mendapatkan cinta dari dua perempuan yang masih satu darah.

“Itu kenapa dulu Ibu tak mengizinkanku menikahi Kamala?”

“Ya. Aku benci wajahnya yang mengingatkanku kepada Sarlinah. Jika Santika tak membunuhnya, barangkali aku yang akan bergerak merusak wajahnya.” Bara dalam dada Asti makin merebak ketika mengingat tatapan suaminya saat melihat Kamala. Tentu saja, pria itu pasti mengingat Sarlinah.

“Aku akan terus melindungi Santika. Aku tak peduli jika ayahmu menganggapnya Gila. Santika adalah pahlawanku.”

***

Di sebuah ruangan temaram, kamar terujung dari sanggar jaipong Nyai Sadimah, Kamala terdiam menunduk. Matanya memerah karena tangis yang tertahan. Meski begitu sebulir air mata menetes mengenai kepalan tangan kirinya.

Dia mendongak. Amarah menyelimuti wajahnya. Kobaran api berkelindan dalam tatapannya. Lewat Janur Jiwa yang disusupkan dalam raga Darma, dia dapat mendengar apa pun yang Darma dan sekelilingnya ucapkan. Sebab itulah, Kamala mendengar semua percakapan ibu dan anak itu.

Kamala hanya tahu ibu dan ayahnya telah meninggal kala dia masih bayi. Sang kakek hanya menjelaskan sekilas bahwa keduanya meninggal karena sakit. Tak pernah Kamala tahu ada cerita kelam dan kejam seperti itu.

Juragan Hadiningrat. Awalnya, Kamala hanya menargetkan Darma dan Santika. Namun, kenyataan yang didengarnya sekarang membuat api kesumat itu menyelar dan memberangus logika.

“Kalian … aku tak akan menyisakan satu pun keturunan dari kalian. Bahkan, jika aku harus diseret memasuki neraka terdalam, aku akan membawa kalian bersama.”

Gelang di pergelengan tangannya makin bersinar. Sinar hijau yang makin menyerap segala aura hitam dari hati Kamala.

***

Rinai gerimis disertai kabut mengelumuni Desa Ciwangi petang itu. Warga desa tak ada yang berani keluar. Menurut mitos kepercayaan mereka: keluar rumah pada sendakala berkabut dan gerimis seperti itu hanya akan mengantarkan diri kepada makhluk-makhluk gaib. Mereka percaya kabut dan gerimis merupakan pembuka gerbang gaib yang dapat menyesatkan siapa saja.

Pelataran rumah Juragan Hadiningrat tampak sepi dan dipenuhi kabut. Cuaca yang tak baik membuat para pelayan pun memilih berdiam di dalam rumah. Sang juragan tengah menekuri rincian keuangan yang dibawakan salah seorang kepercayaannya. Dengan menggunakan kaca pembesar, dia merinci setiap penghitungan keuntungan.

Juragan Hadiningrat berdecak dan menutup map laporan itu. Hasil kebunnya buruk. Isu tentang darah yang muncul di ladangnya membuat para pembeli menarik pesanan mereka. Meskipun hanya sebagian ladang yang tercemari, ladang lainnya terkena imbas.

“Besok, cari pembeli dari kota, usahakan rebut pembeli milik siapa pun itu.”

“Baik, Juragan.” Sapta mengangguk-angguk.

“Dan, keuntungan kebun mana yang sekarang masih normal?”

“Kebun tembakau di utara sampai saat ini tak ada kendala apa pun, Juragan. Dalam dua atau tiga hari ke depan akan dipanen, pabrik kretek dari Semarang sudah memesannya.”

Juragan Hadiningrat mengangguk-angguk. “Baguslah kalau begitu. Tolong urus dengan baik!”

“Baik, Juragan.”

“Nanti kau ….” Tak sempat melanjutkan ucapannya, sang juragan tersungkur dan menggeliat-geliat sambil memegangi perutnya.

Sapta membeliak kaget. Dia berjongkok mencoba membantu majikannya. Namun, Juragan Hadiningrat mendorongnya dengan keras hingga menabrak tembok.

“Aaargh!” Juragan Hadiningrat menjerit. Jeritan itu terdengar hingga ke kamar sang istri.

Seisi rumah bergegas menuju ruang kerja sang juragan. Asti yang terlebih dahulu masuk merasa panik melihat suaminya menggeliat sambil memegangi perut.

“Ada apa? Kenapa ini?” Asti bertanya panik kepada Sapta.

Sapta menggeleng-geleng. “Juragan semula baik-baik saja, tiba-tiba saja terjatuh dan kesakitan seperti ini.”

Asti mencoba meraih suaminya. Namun, sama seperti Sapta, dia pun didorong hingga terjengkang. “Kang ….”

Juragan Hadiningrat kembali menjerit ketika rasa panas bergolak di dalam perutnya. Dia meremas-remas bahkan mencakari kulit perut dan dadanya. Pakaiannya dikoyak secara tak sadar.

Asti menangis dan mencoba menutupi tubuh suaminya yang hampir telanjang dengan taplak meja. Akan tetapi, Juragan Hadiningrat menendangnya dengan keras hingga wanita itu terpental dan menabrak kaki seseorang. 

Asti tertegun ketika matanya melihat kain kumal dan sandal jerami yang mengalasi kaki yang tak terawat. Dia mendongak dan mendapati seorang wanita tua kumal, berwajah penuh sayatan luka, dan tongkat kayu hitam menyangga jalannya. Tak hanya Asti yang tertegun, pelayan lainnya pun terperanjat akan kehadiran wanita itu. Tak ada yang mengetahui kedatangannya, tahu-tahu dia sudah muncul berada di tengah pintu.

Wanita tua itu melangkah sambil mengangkat tongkatnya. Dia mendekati Juragan Hadiningrat yang menggeram-geram dengan wajah hampir memerah.

“Guriang … akhirnya aku menemukan jejak kalian,” ucap Nyai Bayan sambil tersenyum sinis.

Nyai Bayan merapalkan mantra-mantra kuno lalu mengentakkan tongkatnya ke dada sang juragan. Jeritan kembali berkumandang lalu disertai darah hitam yang bersimbur dari mulut Juragan Hadiningrat. Setelahnya, pria itu tak sadarkan diri.

Nyai Bayan memandang jendela yang terbuka. Di luar gerimis telah digantikan hujan yang rebas menggila. Gelegar petir bersahut-sahutan seakan-akan menandakan benturan energi yang amat dahsyat.

Di kamar sanggar jaipong, Kamala terlonjak dari semedinya. Dia memuntahkan darah dan terengah-engah. Gelang batu hijaunya bergetar lalu mengeluarkan tujuh cahaya yang membentuk sosok-sosok denawa.

“Kamala … musuh kami dari jutaan tahun yang lalu telah menemukan jejak kami.”

“Musuh …?”

Ketujuh guriang itu mengangguk. “Dia … seorang nambu, dewi yang dikutuk ke dunia. Dialah yang membantu Dayang Sumbi dulu mengalahkan Sangkuriang, junjungan kami. Nyai Bayan, dia masih hidup hingga hari ini.”

“Kamala, jalan ke depanmu akan sangat sulit berhadapan dengannya,” terang sang panglima guriang, “tapi kita telah terikat jiwa. Kami tak akan meninggalkanmu, Kamala.” 

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro