Part 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Matahari telah duduk di singgasananya ketika warga desa digegerkan oleh sirine mobil polisi. Para petani yang sedang mengolah sawah dan ladang menghentikan sejenak pekerjaan mereka dan bergerak mengikuti mobil tersebut. Polisi yang memasuki desa mereka amat sangat jarang. Setahun sekali pun tidak. Sebab itulah, warga desa terheran-heran.

Mereka tahu tentang Marti yang kesurupan dan membunuh beberapa warga kemarin malam. Namun, biasanya, kasus kriminal apa pun tak akan sampai pelaku itu ditangkap polisi. Juragan Hadiningrat dan Kepala Desa hanya akan memberlakukan denda kepada pihak yang dirugikan, lalu kasus akan selesai.

Warga desa melihat para polisi tersebut memasuki rumah Marti. Sejak kemarin malam, setelah membunuh salah satu anak buah Darma, Marti diikat dalam keadaan pingsan. Ini demi kebaikan bersama sebab Nurdi tak pernah tahu apakah Marti akan kembali kesurupan dan membunuh kembali. Namun demikian, pria itu tak pernah menebak bahwa polisi datang dan berniat membawa Marti ke penjara.

"Pak! Masalah Marti akan saya selesaikan. Tidak perlu dia dibawa ke kantor polisi." Nurdi mencoba bernegosiasi. Dia tak tega melihat Marti menangis meminta pertolongannya.

"Silakan Bapak menghadap ke kantor polisi nanti untuk menyelesaikan perkara. Sebab, hal yang dilakukan istri Anda telah melanggar hukum dan hak hidup manusia."

"Tapi ...." Nurdi ingin membantah, tetapi polisi tersebut segera memerintahkan yang lainnya memasukkan Marti ke mobil tahanan.

"Tunggu sebentar, Pak. Siapa yang melaporkan Marti? Apakah salah satu keluarga korban?" Nurdi menahan tangan polisi tersebut.

Nurdi tak akan percaya jika keluarga korban yang akan melaporkan mereka. Dia adalah kepala desa, orang yang dihormati mereka. Lagi pula, Nurdi telah memerintahkan sekretaris desa untuk memberikan uang santunan kepada para keluarga korban. Melihat watak warga desanya, tak akan mereka menuntut Marti.

"Bukan, Pak. Yang melapor kepada kami adalah Pak Darma. Beliu telah melakukan hal yang benar dengan melaporkan perkara ini." Setelah menjelaskan demikian, polisi tersebut beranjak dari hadapan Nurdi yang mematung.

Nurdi tak bisa berbuat apa-apa saat mobil polisi yang membawa Marti itu melaju meninggalkan kepulan debu di halaman rumah. Tangisan dan suara Marti yang berteriak memanggilnya perlahan-lahan menjadi sayup kemudian menghilang. Bahkan para warga desa yang menonton mulai membubarkan diri dengan berbisik-bisik, yang Nurdi yakini tengah membicarakan istrinya.

"Darma ...." Gigi geligi Nurdi bergemeletak ketika mengucapkannya. Tangannya mengepal kencang dengan mata memerah karena menahan air mata.

Dia selalu menuruti perintah Darma dan keluarganya, apa pun itu. Bahkan ketika Santika memerintahnya membawa Kamala waktu itu, Nurdi dan Marti menurutinya tanpa mempertimbangkan ikatan persahabatan. Semuanya karena Nurdi ingin mengabdi dan mendapatkan keuntungan besar. Dia perlu menempel pada inang yang kuat agar terus tumbuh berkuasa di desa ini.

Akan tetapi, apa yang diperolehnya sekarang? Marti ditangkap polisi dengan kasus yang serius. Akan sulit baginya membebaskan Marti tanpa dukungan keluarga Hadiningrat. Sekarang, dengan dilaporkannya Marti oleh Darma, mereka tentu ingin membuang dirinya juga.

"Darma, tunggu apa yang bisa kuperbuat sebagai imbalan atas hadiahmu ini." Nurdi meninju tembok hingga punggung tangannya berdarah.

Tak jauh dari halaman rumah, sosok pria mirip Darma berdiri di balik pohon sisi jalan. Pandangannya tajam menatap Nurdi yang terus memukuli tembok. Setelahnya, dia berbalik dan melangkah pergi. Perlahan-lahan, postur tubuhnya berubah seiring perubahan wajahnya menjadi sosok Kamala.

***

Juragan Hadiningrat mengangguk setelah mendengar laporan dari salah satu anak buahnya, Sarta. Dia baru saja mengetahui Marti ditangkap polisi. Mengetahui pelapor itu adalah anaknya, dia mengutuk Darma dalam pikirannya. Hatinya tak tenang karena Marti bisa saja membuka suara tentang Kamala di hadapan polisi.

"Kirim seseorang ke kantor polisi!" titahnya.

"Iya, Juragan. Apa kita harus memberikan uang kepada polisi-polisi itu?"

"Goblok!" Juragan Hadiningrat melepas cerutunya sambil memelototi anak buahnya. "Cukup kalian ancam si Marti itu. Gunakan nama suaminya, dia akan mengerti apa yang harus dilakukan jika ingin suaminya selamat!"

"Ya, Juragan. Juragan benar." Sarta mengangguk-angguk lalu pamit undur diri untuk melaksanakan perintah.

Seperginya Sarta, Juragan Hadiningrat beranjak dari ruangannya menuju mobil. Dia akan bertandang ke rumah Wiwin karena hanya di sana dia merasa nyaman. Wiwin selalu dapat menyejukan hatinya. Selain itu, gairah perempuan muda lebih memuaskan birahinya dibandingkan Asti.

"Kang!" Asti mencegah Juragan Hadiningrat memasuki mobil.

"Apa lagi?"

"Kang, cobalah Akang menjenguk keadaan Santika. Dia membutuhkan ayahnya, Kang."

Juragan Hadiningrat hendak mengelak. Namun, Asti lekas-lekas berkata, " Dia merindukan ayahnya. Akang lupa bagaimana ceria dan cantiknya Santika? Dia adalah anak kebanggaanmu, Kang. Tolong ... tengoklah dia."

Sinar mata pria itu berubah sekejap. Kenangan tentang Santika membuatnya tertegun sebentar kemudian mengangguk-angguk. Benar kata Asti, bagaimanapun Santika adalah anaknya.

Juragan Hadiningrat segera menutup pintu mobil lalu berbalik kembali memasuki rumah. Melihat hal tersebut, Asti tersenyum dan mengikuti suaminya. Akan tetapi, langkahnya berhenti saat sebuah suara menyapanya. Asti menoleh dan mendapati Nyai Sadimah menghampirinya bersama seorang gadis di belakangnya.

"Nyai Sadimah? Ada apa?"

"Juragan Istri, saya datang membawa ramuan dan bedak kaputren untuk Juragan Istri dan Neng Santika."

"Oooh, iya, Nyi." Asti menghela napas lega. Dia mengira Nyai Sadimah datang meminta ganti rugi karena peristiwa kemarin malam.

"Ayo masuk, Nyi. Saya juga akan menemui Santika sekarang." Asti melihat pada perempuan di belakang Nyai Sadimah. "Dia?"

"Ooh, ini ...." Nyai Sadimah tersekat. Dia tersenyum sambil menoleh sebentar kepada gadis di belakangnya.

"Namaku Laksmi, Juragan. Aku sinden baru di rombongan tari Nyai Sadimah," sahut gadis itu sambil tersenyum kepada Asti.

Asti sempat terperenyak melihat wajah Laksmi. Sekilas, dia melihat wajah Kamala. Namun, jika diperhatikan dengan saksama, wajah itu berbeda. Asti mengangguk sambil tersenyum. Akan tetapi, jantungnya terus berdegup kencang tanpa alasan apa pun.

"Mari, silakan masuk!"

"Hatur nuhun, Juragan Istri." Nyai Sadimah mengikuti Asti. Dia berjalan sedikit kaku. Dengan menggunakan selendang, berkali-kali dia mengelap keringat yang muncul di dahi.

"Santika sedang sakit. Kemungkinan jika sakitnya tak sembuh juga, kami akan membawanya ke kota." Tanpa diminta, Asti bercerita.

Dia menganggap Nyai Sadimah adalah temannya. Nyai Sadimah sering menolongnya, termasuk memberikan ajian-ajian pemikat yang dapat mengikat suaminya. Namun, telah tiga tahun ini sepertinya ajian itu luntur hingga suaminya mulai berpaling ke wanita lain. Karena itulah, kedatangan Nyai Sadimah kali ini mungkin dapat menolongnya.

Mereka tiba di depan kamar Santika. Pintu kamarnya terbuka sehingga mereka dapat masuk tanpa mengetuk pintu.

Asti melihat Juragan Hadiningrat tengah menggenggam tangan Santika. Santika pun tersenyum riang. Meskipun wajahnya pucat dan kuyu, tetapi semangatnya mulai tumbuh. Asti yakin itu pasti karena suaminya memberikan semangat kepada anaknya.

"Santika, lihatlah ... Nyai Sadimah datang untuk merawatmu. Dia membawakan ramuan-ramuan kecantikan supaya wajah dan tubuhmu segar kembali."

Santika menengok ketika namanya disebut. Dia tersenyum kepada Nyai Sadimah. Namun, senyumnya perlahan-lahan lenyap ketika memandang gadis yang berdiri di sisi Nyai Sadimah. Meskipun wajahnya berubah, Santika yakin, dia adalah Kamala.

"Ka ... kau ...." Santika menunjuk kepada Laksmi hingga membuat Juragan Hadiningrat menoleh.

"Ah, dia ini sinden baru di rombongan tarinya Nyai Sadimah. Dia akan membantu merawatmu juga. Lagi pula ...."

"Usir dia dari sini, Bu! Dia adalah Kamala! Dia datang untuk membunuhku dan kalian. Usir dia!" Santika memotong ucapan ibunya. Dia menunjuk dan memelototi Laksmi yang tercengang ketakutan.

Melihat ekspresi ketakutan pada wajah Laksmi, Asti segera mendekati Santika. "Santika! Jangan ngomong begitu!"

"Bu! Percaya kepadaku! Aku tidak gila. Dia Kamala yang kubunuh. Dia belum mati!"

"Cukup!" Juragan Hadiningrat meninggikan suaranya sambil memelototi Santika.

"Ayah, percaya kepadaku! Dia adalah Kamala! Di ib ...."

Plaaak!

Suara tamparan bergema keras di ruangan persegi tersebut. Asti menanap suaminya yang tega menampar keras Santika. Sementara Nyai Sadimah beringsut sambil meremas-remas selendangnya.

Dada Juragan Hadiningrat bergerak naik turun menahan amarah. Dia tak tahan lagi atas sikap Santika. Semua orang selalu dianggapnya Kamala. Jika terus begini, dia lebih baik mengirim Santika kembali ke kota untuk dirawat.

"Besok, kau harus kembali ke kota! Aku tak menerima alasan apa pun!" Juragan Hadiningrat meninggikan suaranya saat Asti berniat membantah.

Tak lagi melihat Santika, sang juragan bergegas meninggalkannya. Namun, dia sempat tertegun kala melewati Laksmi. Sepoi angin membawa aroma kenanga, begitu pekat hingga jantungnya merenyut. Ketika dia menoleh dan mengamati Laksmi, gadis itu beringsut dengan ekspresi ketakutan.

Juragan Hadiningrat menggeleng karena berpikir terpengaruh ucapan anaknya yang gila. Akan tetapi, tak ada yang melihat senyum sinis yang terkembang dengan kerlip iblis di mata Laksmi.

"Santika, permainanku baru saja dimulai," gumam perempuan itu amat lirih.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro