02 ~ (Bukan) Kesayangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setiap jalan adalah pilihan.
Tergantung jalan mana yang mau dipilih.
Ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sulit,
maka yang diharapkan adalah yang ketiga yaitu tidak ingin memilih.

(L.K)

🍁🍁🍁

Jalanan kampung sekitar tempat tinggal Dama belum begitu sepi meski waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dama berjalan kaki sampai sebuah warung mulai terlihat dan ia mulai berlari.

Beberapa teman yang biasa nongkrong bersamanya menyambut kehadiran yang tak di duga. Dama menjabat tangan teman-temannya secara bergantian dan langsung menuju kursi kosong yang ada di pojok ruangan.

Belum juga sepuluh menit duduk dan bercanda dengan temannya, Dama dikejutkan dengan kedatangan sosok lelaki yang sering menjadi rekan tengkarnya di rumah.

"Dam, disuruh balik sama Bapak. Si bocil nangis nyariin kamu terus," ujar Satya si tengah.

"Kan ada Bang Sa sama mamanya, Kak!"

"Kayak nggak paham saja sama si bocil. Hayuk, balik." Satya menghampiri Dama dan menarik tangannya.

Mau tak mau Dama menurut dan berpamitan pada mereka yang ada di sana. Selanjutnya, Dama dan Satya berjalan pelan menuju rumah. Si bungsu yang sudah merasa canggung sejak pulang sekolah memilih berjalan lebih cepat dan mendahului kakaknya.

"Dama, Dama, Dama," panggil Satya.

"Apa?"

"Kakak mau tanya."

"Tanya aja sambil jalan. Biar cepat sampai rumah."

"Emangnya bis isi bahan bakar di pom? Terus kalau pecah ban nggak punya serep gitu? Setahu kakak, bis itu nggak pernah isi bahan bakar."

"Kakak sekolah S1, tapi urusan bis isi bahan bakar aja nggak tau."

Dama meninggalkan kakaknya dan memilih berlari supaya cepat sampai dan menenangkan keponakan tersayangnya. Sementara itu, Satya tersenyum mendengar jawaban Dama.

Lelaki yang memiliki jarak usia dua belas tahun dengan adiknya segera menyusul si bungsu. Ia hanya sekadar bertanya untuk mengurai kecanggungan, tapi Tak disangka jawaban Dama justru ketus seperti itu.

Bapak Renan dan Ibu Laras rupanya sudah menunggu kedatangan kedua anaknya ini. Dama yang terburu-buru langsung mencari keberadaan keponakannya.

"Bocil di mana, Bu?" tanya Dama.

"Sudah di bawa ke kamarmu. Dia minta tidur di sana. Boleh?"

"Ta-tapi, Bu ..."

"Sudah, ngalah dulu sama keponakannya. Jarang-jarang juga minta tidur di sini," ujar Pak Renan sambil meraih cangkir teh yang disajikan sang istri.

"Dam, tidur di kamar Kakak saja." Satya menawarkan pilihan pada adiknya karena ia sadar Dama adalah tipe orang yang susah tidur jika tidak di kamarnya sendiri.

"Dama ambil selimut sama bantal dulu. Malam ini mau tidur di ruang keluarga saja."

Beruntunglah besok dia masuk waktu libur kenaikan kelas. Semisal malam ini ia susah tidur, setidaknya sehabis salat subuh bisa berdalih untuk tidur lagi. Meski kemungkinan itu dirasa kecil untuk dilaksanakan.

Dama berjalan pelan memasuki kamarnya. Hanya ada abang dan keponakannya yang berbaring membelakangi pintu. Ia mengambil selimut dan bantal yang tidak digunakan dan memilih pergi tanpa bersuara.

"Om, Yaya bobok sini dulu, yaa sama Ayah."

Rupanya si kecil masih terjaga dan langsung duduk saat melihat bayangan di dinding kamar.

Dama mengangguk, "Yaya boleh pakai kamar Om. Tidur, sudah malam."

"Dek, Bang Asa pinjam kamarnya bentar, Yaya penginnya tidur di sini sama Abang. Mamanya aja diusir."

Dama kembali mengangguk dan meninggalkan kamarnya. Lelaki itu ingin protes sebab hampir seluruh keluarganya tahu tentang kebiasaan tidurnya. Namun, kali ini saja dia tidak ingin egois dan mempersilakan keponakan tersayang menempati ruangan yang seharusnya paling privasi.

Pagi menjelang, hari pertama liburan kenaikan kelas. Benar dugaannya, Dama yang baru saja terlelap pukul tiga dini hari, harus tetap membuka mata saat adzan subuh berkumandang.

Ia hanya memejamkan mata tidak lebih dari seratus menit. Hasratnya untuk kembali tidur sangat kuat, tetapi keponakannya justru mengajaknya bermain saat matahari saja masih malu-malu menampakkan sinarnya.

"Om ngantuk, Ya. Boleh tidur?"

"No! Kata Nenek Laras tidur sehabis subuh bikin rezekinya dipatok ayam."

"Allahuakbar, Bu, Dama masih ngantuk. Tadi baru tidur jam tiga," rengek Dama pada ibunya yang sudah sibuk di dapur.

"Dek, biar Om Dama tidur lagi, yaa. Yaya main sama Ayah dulu." Salsabilia—ibu Yaya—berusaha membujuk Yaya karena melihat Dama yang benar-benar kesusahan menahan kantuknya.

"Dama, temani dulu sebentar. Lagian nggak baik tidur lagi setelah subuh, Nak." Ibu Laras mencoba membujuk Dama lagi.

"Kak Satya tidur lagi nggak apa-apa, kenapa Dama harus tetap melek?"

"Kasihan kakakmu, semalam dia begadang, bantuin nyelesaikan tugasnya Mbak Syifa."

Pembelaan sang ibu pada kakaknya membuat Dama bungkam dan memilih menemani Yaya untuk bermain di halaman rumah. Meski kantuk masih bergelayut, Dama mencoba mengimbangi keponakannya yang super aktif itu.

Sejak awal kelahiran Yaya, orang tuanya membiasakannya setiap akhir pekan selalu menginap di rumah kakek-nenek. Entah dari pihak ibu ataupun dari pihak ayah. Namun, baru semalam Yaya berani merengek dan meminta tidur di kamar omnya.

"Yaya!" panggil Pak Renan sambil membuka tangannya untuk menyambut cucu tersayang dan membawanya dalam pelukan.

"Tumben Bapak nggak sibuk?"

"Ada Yaya di sini, mana bisa Bapak tinggal, Dam?"

Dama mengangguk paham, sebab memang begitulah rasa sayang bapak dan ibunya pada cucu pertama di keluarga ini. Ia memilih untuk berselonjor di teras sambil melihat pasangan kakek dan cucu saling bercanda dan tertawa lebar.

Pak Renan membawa Yaya duduk bersila di sebelah Dama. Sepiring gorengan dan dua cangkir teh diturunkan ke lantai oleh Pak Renan. Dama yang memang kehausan langsung menyambar cangkir yang masih penuh.

"Pelan-pelan, Dek. Nanti tersedak." Pak Renan mengingatkannya.

Dama menghapus tetesan di sudut bibirnya dan mengambil gorengan hangat di hadapannya. Begitu juga dengan Pak Renan, beliau begitu telaten menyuapi cucu kesayangannya.

"Dek, tahu nggak apa yang jadi penyesalan Bapak?"

"Apa?"

"Nggak bisa sekolahin Abang seperti Kakak."

"Terus?"

"Bapak itu menyesal, dulu memang kita keluarga kurang mampu. Bapak terlalu takut menerima tantangan orang luar untuk menyekolahkan Abang setelah SMA. Padahal kalau Bapak berani, Abang bisa jadi dokter."

"Terus, Abang nikahnya karena dipaksa?"

"Itu kemauan Abang sendiri setelah Bapak bilang tidak ada biaya untuk dia melanjutkan sekolah. Karena kalau Abang lanjut sekolah, Bapak nggak yakin bisa membiayai sekolah Kakak dan kamu."

Dama terdiam mendengar ucapan bapaknya. Rupanya benar dugaannya selama ini. Akhirnya Dama paham mengapa sang kepala keluarga tampak lebih membela kepada abangnya.

Meski dalam keluarga tidak ada yang namanya membeda-bedakan anak, tetapi pada dasarnya ketika ada penyesalan yang disandang akan tampak pada sikap yang ditunjukkan. Selama ini yang Dama lihat bapaknya lebih memihak pada abangnya, si anak sulung. Sementara ibunya lebih membela pada kakaknya, si tengah.

Pantesan, kalau sama Yaya aku disuruh ngalah karena aku gedean. Giliran sama Kak Satya aku juga yang disuruh ngalah karena aku yang lebih kecil. Nah, siapa yang bakal disuruh ngalah kalau sama aku? Nggak ada. Aku aja yang ngalah terus, batin Dama.

"Apa yang mau Bapak sampaikan ke Dama?"

"Titip Yaya, pendidikannya jangan sampai selesai seperti ayahnya. Kalau ayahnya nggak sanggup sekolahin tinggi, kamu sama Kakak yang harus bantu. Setidaknya, bantu untuk menjadi tempat cerita ketika Abang Asa menghadapi kesulitan."

Dama hanya mengangguk paham. Kantuk yang sedari tadi ditahan akhirnya hilang bersamaan dengan beban tanggung jawab yang diberikan di pundaknya. Meski tidak harus terlaksana sekarang, setidaknya beban itu sudah mulai ia pikirkan dari sekarang.

🍁🍁🍁

Dama balik lagi, nih.
Masih mau nungguin cerita ini?
Hayukk tungguin terus, yaa 😍😍

🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 06 November 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro