05 ~ Terjebak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terjebak, lalu tersudut.
Menjadi bagian yang tersingkir tanpa berpikir.
Semua karena salahku, kebodohanku.
Jadi, untuk apa protes? Untuk apa tak terima?
Apa yang kau tanam, maka itulah yang kau tuai.

(L.K)

🍁🍁🍁

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, keluarga Pak Renan masih duduk di tempat yang sama, melingkari meja makan dengan sebagian hidangan pagi yang hanya tersisa sedikit saja. Si kepala kelaurga tampak diam, hanya sesekali saja menjawab celotehan cucunya.

Begitu Dama berpamitan untuk berangkat ke sekolah, seluruh keluarga memilih untuk membahas sedikit soal si bungsu yang sudah mulai memasuki tahap pencarian jati diri. Hal yang perlu dibahas bersama keluarga supaya bisa saling membantu untuk mengawasi.

"Bang, gimana soal adikmu? Apa nggak sebaiknya dipindah saja ke pesantren?" tanya Pak Renan pada putra sulungnya.

"Apa Bapak yakin Dama perlu dipindah ke pesantren? Ibu kurang setuju. Apalagi selama ini Dama nggak pernah jauh dari Ibu."

"Pak, ini pertama kalinya Dama ketahuan bohong, bahkan sampai nggak pulang. Kita kasih kesempatan dia untuk menata lagi supaya bisa dipercaya." Bang Asa memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan.

"Bapak takut dia bakal di luar kendali. Teman-teman di sekelilingnya itu berbeda dengan teman-teman di sekeliling Abang dan Kakak. Terlalu bebas."

"Pak, Abang paham apa yang ditakutkan. Cuma apa nggak terlalu dini untuk memilih pesantren untuk Dama?"

"Bapak, Salsa boleh ikut bicara?" pinta Salsabila. "Kalau menurut Salsa, kita kasih kepercayaan untuk Dama supaya dia bisa memilih dan memilah yang baik untuknya. Dia perlu kepercayaa, Pak. Semisal mau dipindah ke pesantren, setidaknya tanyakan dulu pendapatnya," lanjut Salsa sambil menyuapi Yaya yang belum juga selesai sarapan.

"Benar kata Mbak Salsa, Pak. Kalau jaman Abang sama Kakak dulu sambunga telepon susah, hp juga nggak ada, motor apalagi. Kalau Dama pemikirannya sempit bukan nggak mungkin dengan banyaknya akses dia bakalan minggat." Satya akhirnya bersuara mengeluarkan pendapatnya.

"Wes lah. Nggak usah masuk pesantren. Lebih sering ngawasi Dama saja. Benar kata Kakak, makin dikekang potensi minggat jauh lebih besar. Anak jaman sekarang itu nggak bisa disamain sama yang dulu-dulu, pak." Ibu Laras menegaskan pendapatnya.

Pak Renan mengangguk mendengar pendapat keluarganya. Setelah pembicaraan ini ia memutuskan untuk lebih memperhatikan Dama. Setidaknya, sebagai kepala keluarga ia melakukan hal yang benar dengan meminta pendapat seluruh keluarga termasuk anak menantunya.

🍁🍁🍁

Baru saja bel pulang berbunyi, siswa SMA Patriot Pancasila berhamburan meninggalkan kelas. Sebagian besar mereka menuju halaman parkir siswa dan langsung berebut untuk keluar pagar yang menjadi benteng pembatas dengan dunia luar sekolah.

Namun, belum juga siswa pertama berhasil keluar, satpam yang bertugas justru menutup gerbang. Tiga orang satpam langsung berbagi tugas, dua orang menutup gerbang, semntara yang satu berlari menuju kantor guru.

Dari sebagian mata yang melihat, segerombolan siswa dengan dengan seragam putih abu-abu sudah berkumpul di sekitar SMA Patriot Pancasila. Hanya atribut sekolah yang menjadi pembeda di antaranya. Setidaknya ada tiga atribut berbeda yang terlihat. Bisa disimpulkan mereka berasal dari tiga sekolah berbeda yang datang bertandang ke SMA Patriot Pancasila.

Dama yang hendak pulang dan akan menuju halte depan sekolah hanya sanggup melompat-lompat untuk melihat apa yang menghalangi motor teman-temannya untuk lewat.

"Ada apa, Za?" tanya Dama saat melihat Irza berusaha melewati beberapa motor dan hendak mendekati gerbang.

"Anak-anak kota sebelah datangnya rombongan, Dam. Tiga sekolah yang main ke sini," jawab Irza sambil berjalan meninggalkan Dama.

Fokus Dama terpecah saat ia melihat beberapa teman laki-laki sekelasnya termasuk Irza dan Rizvan beserta kakak tingkat melompati pagar sekolah. Beberapa guru laki-laki juga turut berlari hendak menghalangi, tetapi terlambat. Mereka sudah ada di luar pagar.

"Pak, bilang sama Pak Kepsek! Telepon kantor polisi dan sekolah mereka." Seorang guru yang mengajar Penjasorkes berteriak pada satpam.

Sementara itu, Pak Surya si guru Agama berlari mendekati pagar, "Nak, balik ke dalam lagi. Nggak ada gunanya meladeni mereka. Sebentar lagi polisi datang. Jangan membayakan diri kalian!"

"Mereka datang untuk bertamu, Pak. Harus disambut dengan meriah. Jangan sampai mereka kecewa dengan penyambutan kita."

"Sambutan opo? Disambit pake engkol bocor kepalamu! Lihat yang mereka bawa. Nggak usah banyak omong, balik cepat!" Pak Surya mendadak khawatir pada anak-anaknya begitu melihat apa yang dibawa oleh siswa dari kota sebelah.

Tidak sedikit dari mereka yang membawa peralatan bengkel seperti engkol, kunci inggris dengan berbagai ukuran, rantai sepeda motor, gir sepeda motor, setang sepeda, dan beberapa alat yang bisa dikategorikan sebagai senjata tajam.

"Ini mereka niatnya mau sekolah apa buka bengkel? Asli anak sekarang mainannya nggak serem-serem, Pak," celetuk salah seorang satpam.

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja banyak batu berterbangan melintasi pagar. Sebagian siswa perempuan menjerit ketakutan dan memilih masuk dan berlindung di dalam gedung sekolah.

Sebagian guru perempuan berteriak dan menggiring anak didiknya untuk masuk. Sementara guru lelaki berusaha untuk melewati pagar dan menyeret anak didiknya untuk kembali ke halaman sekolah.

Bukannya kembali, justru sebagian siswa lelaki merasa terpanggil untuk ikut membela teman-temannya. Jumlah guru dan murid yang memang tidak seimbang membuat para guru kewalahan.

Begitu juga dengan Dama, lelaki enam belas tahun itu ikut melompati pagar dan mulai memukul acak siapa saja yang mengenakan atribut sekolah yang berbeda darinya. Saat mereka tengah berkelahi dan sudah tidak tahu di mana teman yang lain, terdengar sirine mobil polisi dari kejauhan.

Para tamu tidak diundang itu mulai kelabakan dan kocar-kacir. Mereka mengendari motor dan kabur ke berbagai arah. Beberapa yang tertinggal masih berusaha untuk menyerang. Hingga sudut mata Dama melihat sosok di belakang Irza hendak menyabet punggung sahabatnya dengan rantai sepeda motor.

"Za!" teriak Dama sambil berlari mendekatinya dan merangkul temannya itu.

Sosok itu masih tetap melancarkan aksinya dan tepat saat Dama merangkul, tangan kiri yang ada di punggung Irza yang terkena sabetan. Luka memanjang bekas sabetan mulai muncul. Memar kemerahan tampak begitu mengerikan melintang di bawah siku Dama.

Tersangka langsung kabur, apalagi suara sirine semakin mendekat. Mereka yang kabur berlawanan arah dari kedatangannya ke SMA Patriot Pancasila sudah pasti tertangkap karena polisi yang datang sudah memblok jalan.

"Thanks, Dam. Kalau nggak ada kamu sudah bocor kepalaku kena rantai sepeda," ujar Irza sambil meraih tangan Dama dan memeriksa dengan seksama tangan temannya itu. "Harus segera diobat, sakit?"

"Kalau udah kayak gini masih ditanya sakit apa nggak, ya mending aku biarin kepalamu aja yang bocor, Za."

"Ah, iya, iya, maaf. Makasih, Dam." Irza melihat sekelilingnya, kekacauan terlihat jelas.

Taman di depan sekolah hancur, beberapa alat dan batu bertebaran di jalan depan sekolah. Belum lagi siswa yang terluka ada yang terduduk menunggu pertolongan. Rupanya, beberapa korban juga berasal dari sekolah sebelah yang ditinggalkan oleh temannya.

Guru laki-laki akhirnya ditugaskan untuk menempatkan korban tawuran dari sekolah kota sebelah di tempat terpisah. Sementara itu, guru perempuan ditugaskan untuk memberikan pertolongan pertama sebelum ambulans dan petugas kesehatan datang untuk menangani.

"Kalian yang terluka akan kami kabarkan pada keluarga masing-masing. Selain itu bersiap juga untuk konsekuensi yang kalian terima. Terutama untuk kalian kakak kelas yang menjadi contoh tidak baik untuk adik kelasnya." Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan bersuara di aula yang menampung korban tawuran dari SMA Patriot Pancasila.

"Pak, boleh saya pulang sendiri?" pinta Dama.

"Tidak bisa, kami sudah menghubungi walimu dan mereka sedang dalam perjalanan ke sini."

Mampuslah kau, Dam. Persiapkan penjelasan sebaik mungkin jika tak ingin dicoret dari kartu keluarga, batin Dama.

🍁🍁🍁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 15 November 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro