17 ~ Sama Saja

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mau begini, nyatanya salah.
Mau begitu nyatanya juga salah.
Lalu, mau aku yang bagaimana?
Berdiam tanpa melawan?
Melawan, lalu menjadi tersangka?
Ah, terlalu sulit untuk berdiam, terlalu rumit untuk melawan.
Aku ingin berhenti saja.
(L.K)

🍂🍂🍂

Tidak ada hari yang bisa dilewati dengan tenang. Tidak di rumah, tidak juga di sekolah. Jika biasanya saat suntuk di sekolah terobati saat di rumah atau sebaliknya, kini Dama hanya memiliki satu tempat untuk nyaman yaitu warung Mang Rizal.

Segala bentuk pelarian dari masalah di rumah dan di sekolah ia lampiaskan di sana. Membolos saat jam pelajaran guru tertentu atau saat ia memang sudah berniat untuk kabur dari kakaknya.

Semua bermula saat satu persatu guru yang masuk di kelasnya mulai mengenal siapa Dama yang sebenarnya.

"Kalian tahu? Kedua kakak Dama ini sama-sama berprestasi. Mereka pernah menyumbangkan piala dalam beberapa perlombaan antar kelas."

Pak Surya membuka pelajaran hari ini dengan sebait kalimat serupa dengan beberapa guru yang heboh. Entah apa motivasinya sehingga guru-guru begitu kompak membuka kenangan masa kejayaan kedua saudaranya itu.

Bang Asa dan Satya yang hanya terpaut dua tahun memang terkenal sebagai kakak adik berprestasi. Sementara si bungsu sendiri berjarak belasan tahun dengan keduanya.

Mungkin beberapa guru di SMA Patriot Pancasila juga menaruh harapan yang sama kepada Dama. Berharap ia bisa menorehkan prestasi dalam bidang akademik dan non akademik.

Namun, tahukah mereka? Dengan membahas prestasi kedua kakaknya, seolah menambah beban di pundak Dama. Ia yang memang tidak begitu pandai dan cakap dalam pelajaran merasa tertekan dengan cerita yang sama.

"Bapak bisa mulai saja pelajarannya? Saya rasa teman-teman sudah mulai bosan dengan cerita soal Pak Satya." Dama berujar dengan intonasi sepelan mungkin karena takut menyakiti gurunya itu.

"Ah, maaf. Bapak terlalu senang akhirnya bertemu dengan anak yang dulunya siswa dan sekarang justru menjadi rekan kerja. Baiklah, mari kita lanjutkan pelajaran hari ini."

Berikutnya, Pak Surya menampilkan slide power point berisikan materi pembelajaran hari ini. Beberapa pembahasan tentang Bab Haji mulai ditampilkan satu-persatu.

Suasana kelas memang kondusif, tetapi suasana hati Dama sedang tidak baik-baik saja. Ia benar-benar kesal dengan keadaan setelah kakaknya menjadi guru di sekolahnya.

Beberapa kali sang kakak diperingatkan untuk menjaga jarak, tetapi selalu saja dilanggarnya. Seperti saat jam pulang sekolah. Dama meminta menunggunya di gang yang berjarak beberapa meter dari sekolahnya, tetapi Satya malah menariknya ke area parkir guru.

"Langsung saja dari sini biar nggak kelamaan."

"Sudah dibilang nunggu di depan gang saja," ujar Dama sambil menghempas tangan Satya.

"Beneran mirip, ya? Perpaduan Asa sama Satya. Nggak heran kalau cakep."

Beberapa guru yang hendak mengambil kendaraannya untuk pulang memergoki kakak beradik itu sedang berduaan. Keduanya terlihat sangat canggung.

Satya mengangguk sambil memamerkan senyumnya yang manis. Sederet gigi putih menghias dan memberikan daya tarik tersendiri. Dama yang tidak ingin dicap sebagai murid kurang ajar memilih mendekati dan menyalami guru-guru yang menyapanya.

Meski hatinya tidak selaras dengan tampilan wajah sumringah dan manis. Gemuruh di dadanya tidak bisa ditahan lagi. Sementara wajahnya mau tidak mau harus tetap ramah pada beberapa guru.

"Saya pamit, Pak, Bu. Permisi," ujar Dama sambil berjalan melewati beberapa motor yang berada di depannya.

"Saya duluan, Pak, Bu." Satya langsung menyalakan motor dan bergegas mengejar si bungsu.

"Ya, ya, kita belakangan, Pak," celetuk salah satu guru lelaki.

🍂🍂🍂

Kesalnya Dama rupanya tidak terobati meski Satya sudah mengajaknya berhenti di warung bakso dan makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Justru suasana terasa canggung.

"Kenapa, sih? Ngambek?"

"Nggak."

"Kumat ngomong singkatnya. Jangan kayak cewek, Dam."

"Aku sudah pernah bilang nggak suka ada orang dekat satu tempat. Ya begini ini yang nggak aku suka."

"Apanya yang nggak suka?"

"Nggak di rumah, nggak di sekolah, sama saja. Orang-orang suka bandingin antara aku, Abang, dan Kakak."

"Oh, masalah itu? Nggak usah didengar saja."

"Kakak nggak tau rasanya dibandingkan setiap saat. Kakak ngira sebagai bungsu aku dimanja Bapak sama Ibu, tapi tau nggak? Aku capek dibandingkan."

"Dan kamu juga nggak pernah tau gimana rasanya jadi anak kedua yang keberadaannya sebagai pelengkap saja. Mengalah dibandingkan dengan si sulung, disuruh mengalah demi si bungsu. Impas 'kan?"

Dama terdiam selama ini ia merasa tidak dipahami oleh keluarganya. Selama ini ia merasa dirinya paling susah. Ternyata kakaknya juga dalam posisi yang sulit.

"Terus? Salah aku jadi anak bungsu? Aku cuma pengin Bapak sama semuanya itu tau apa yang aku mau."

"Kalau kamu nggak bilang, gimana mereka tahu?"

Lelaki belasan tahun itu berpaling saat sang kakak menanyakan hal itu. Ia juga bingung harus berkata apa lagi.

"Mereka terlalu sibuk, nggak peduli lagi sama anak bungsunya."

Satya yang mendengar ucapan itu naik pitam. Ia menggebrak meja dan membuat beberapa pengunjung warung bakso.

"Bapak sama ibu banting tulang buat kita, itu yang kamu bilang nggak peduli?"

Dama mengambil tas ransel dan langsung keluar tanpa berpamitan pada sang kakak. Keduanya dilingkupi amarah yang sama-sama tidak terbendung.

Satya membayar dua porsi bakso dan dua gelas es teh terlebih dahulu. Barulah ia berlari menyusul sang adik. Begitu sampai diluar warung, ia tidak melihat keberadaan si bungsu.

Lelaki bermata bulat itu bergegas menyalakan motor dan memacunya menuju jalan pulang dengan kecepatan yang tidak seberapa. Berharap di jalan bisa bertemu dengan si bungsu.

Jarak untuk sampai di rumah memang tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan motor, tetapi lumayan juga jika berjalan kaki. Satya berpikir mungkin Dama bertemu dengan teman atau kenalan dan membawanya pulang.

Buktinya, di sepanjang jalan ia tidak menemukan keberadaan si bungsu. Yakinlah bahwa Dama sudah sampai terlebih dahulu.

Terbukti, begitu sampai di rumah, sepatu Dama sudah bertengger di rak sepatu.

"Loh, kok nggak bareng sama Adek?" tanya Ibu Laras.

"Dama sudah sampai? Sama siapa, Bu?"

"Sendiri. Adiknya gobyos. Keringetan sampai bajunya basah."

Satya salah menduga. Adiknya ternyata berjalan kaki untuk sampai di rumah. Rasa bersalah hadir dalam hati Satya. Tidak seharusnya ia begitu.

Bukannya memberikan pengertian, justru gebrakan meja yang ia berikan. Kini ia membandingkan dirinya dengan Bang Asa.

Bang Asa begitu telaten dan sabar menemaninya saat kecil, membimbing dan selalu mengajarkan hal baik padanya. Berbeda dengan dirinya saay berhadapan dengan Dama.

Terkadang, Satya lepas kendali, sering emosi, dan tidak bisa memberikan solusi saat adiknya sedang merajuk meminta perhatiannya.

"Kenapa? Kalian nggak pulang bareng? Ada apa, Kak?"

"Nggak apa-apa, Bu. Cuma salah paham saja. Kakak ngebentak Dama tadi. Padahal dia nggak salah."

"Nanti kalau mood Dama sudah mendingan, baikan, ya?"

Satya mengangguk, "Oh iya, Bu. Kemarin Dama sempat bilang pengin bawa motor ke sekolah. Kalau Ibu kasih izin, biar kakak bilang sama Bapak."

"Kan berangkat sama pulangnya sama kamu, Kak. Nggak naik bus lagi."

"Mungkin Dama pengin bawa motor sendiri. Nggak usah yang baru, second juga boleh. Asal ada, Bu."

"Ibu masih nggak pasrah kalau adikmu bawa motor. Apalagi masih belum bisa bikin SIM. Cukup keliling di sekitar sini saja, nggak perlu sampai ke kota."

"Nanti coba Kakak ajak ngobrol lagi dah kalau gitu. Kakak ke kamar dulu, Bu."

"Kak ... jangan lama-lama ngambekan sama Adik, ya? Cepat diselesaikan."

Satya mengangguk dan bergegas ke kamarnya. Saat sampai di lantai dua rumahnya, ia mengintip berdiri sejenak di depan kamar si bungsu. Niat hati ingin membuka kamar dan meminta maaf atas perlakuannya tadi.

Namun, belum juga mengetuk pintu, si pemilik kamar terlebih dulu muncul dan melewatinya begitu saja. Satya membeku untuk sejenak sampai sang adik benar-benar menjauh dari pandangannya.

Barulah ia tersenyum dan menepuk jidatnya. Ia lupa bahwa begitulah tabiat adiknya saat mood sedang buruk. Tinggal menunggu beberapa saat, barulah ia bisa mendapat kesempatan untuk meminta maaf dan kembali lagi seperti semula.

🍁🍁🍁

Bahagiakah kalian dapat double up?
Maka, izinkanlah saya bernapas sejenak.
😁😁

ANFIGHT FTV Series 2021

Bondowoso, 18 Desember 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro