[WOOZI] Happy Anniversary! 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jihoon terbangun. Pria itu menguap lebar dan duduk di atas kasur. Butuh beberapa saat untuknya benar-benar sadar. Setelah nyawanya terkumpul, pria bermarga Lee itu menyeret kedua kakinya keluar kamar.

"Hyesung-ah," panggilnya mencari-cari sang kekasih. "Han Hyesung."

Tidak ada jawaban. Jihoon melangkahkan kakinya ke lantai dua, tempat favorit gadis itu. Nihil. Batang hidungnya sama sekali tidak terlihat.

"Apa dia ada pekerjaan dan pergi ke rumah sakit ya?" Gumam Jihoon pada diri sendiri.

Pria itu kembali menuruni tangga dan berjalan menuju ruang tengah. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Saat akan membuka kotak pesan dari kantor, matanya menangkap bayangan makanan di meja bar. Jihoon mengurungkan niatnya. Pria itu berjalan menuju dapur dan melihat segala jenis masakan yang sudah tersedia di sana tanpa tersentuh sama sekali.

Jihoon menarik secarik kertas dari bawah gelas wine. Dalam hati, dia tertawa. Hyesung berniat mengajaknya minum? Padahal di antara member Seventeen, mereka berdua terkenal sebagai pasangan yang paling buruk dalam hal minuman alkohol.

Senyum Jihoon berkembang membaca untaian kalimat buatan Hyesung dalam surat untuk dirinya. Gadis itu merangkai kata-kata manis sebagai perayaan hari jadi mereka. Tiba-tiba tubuh Jihoon menegang. Ia bahkan baru ingat kalau hari ini adalah hari yang spesial untuk mereka berdua.

Jihoon memijit pangkal hidungnya pelan. Gawat, gadisnya pasti akan marah hebat karena seharian ini ia justru sibuk bekerja. Ajakan Hyesung untuk berkencan ke taman hiburan yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari pun terpaksa ia tolak karena semalam kelelahan sehabis lembur.

Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Sial, sudah berapa lama dirinya tertidur? Jihoon segera menekan tombol dial pada kontak Hyesung. Ia menunggu dengan tidak sabar agar panggilannya dijawab.

Jihoon mengernyitkan dahi ketika mendengar sebuah suara ponsel dari dalam kamar. Ia mengikuti sumber suara. Ditemukannya ponsel Hyesung bergetar di atas nakas samping dipan. Sontak, pria itu bergegas memeriksa meja dimana kekasihnya itu biasa menyimpan tas dan kunci mobilnya. Sial! Hyesung bahkan pergi tanpa membawa ponsel. Bagaimana ia bisa mencarinya?

Pria itu mondar-mandir di kamarnya, berpikir keras. Ia mencoba memutar balik kilas pikirannya. Jihoon terdiam. Tak lama kemudian ia mengacak rambut frustasi. Jihoon teringat bahwa ia tidak sengaja membentak gadisnya ketika sedang tidur!

Dengan pikiran kalut, ia mencari nomor Jisoo di ponsel. Jihoon langsung menghubungi hyung-nya itu. Tak perlu menunggu lama, panggilannya diangkat.

"Hyung, hari ini Hyesung menghubungimu tidak?" sambar Jihoon tanpa menunggu sapaan dari seberang.

"Wow, keep calm, Bro," seru Jisoo begitu menangkap nada panik dari suara Jihoon. "Hyesung? Hm, sepertinya tidak." Jisoo menggantung kalimatnya. "Dibandingkan aku, sebenarnya anak itu lebih dekat dengan Mingyu. Biar kutanyakan dulu padanya."

Jihoon menunggu dengan harap-harap cemas. Dari suaranya, ia bisa tahu bahwa kini Jisoo sedang berada di dorm Seventeen. Seruan pria kelahiran 1995 itu bahkan terdengar ketika menanyakan kabar Hyesung pada para member.

"Ah, Mingyu juga tidak tahu. Member lain pun tidak dihubunginya hari ini," jawab Jisoo setelah beberapa saat. "Ada masalah? Sudah seminggu kan kau tinggal bersamanya."

Jihoon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah... begitulah. Aku bangun tidur dan dia sudah tidak ada di rumah. Ponselnya pun tidak dia bawa."

"Kalau tidak bawa ponsel, seharusnya ia tidak pergi lama," ucap Jisoo logis sembari menenangkan dongsaeng-nya.

"Hmm, masalahnya hyung," Jihoon tampak ragu mengutarakan kegelisahannya. "Sepertinya aku baru saja membuat kesalahan."

"Maksudmu?" tanya Jisoo tidak mengerti.

"Aku melupakan hari jadiku dengannya," Jihoon menghela napas panjang. "Selain itu aku secara tidak sengaja membentak Hyesung saat sedang tidur. Seharian ini pun aku bekerja dan mengabaikannya."

"You need to learn more about love, Jihoon-ah. With me, the romanticist Joshua Hong." Bukannya membantu, orang di seberang sana malah membuat mood Jihoon makin turun.

"Terima kasih hyung. Kalau Hyesung menghubungi salah satu dari kalian atau mampir ke dorm segera beritahu aku, okay?"

"Kau sudah menelepon Jisung hyung?" tanya Jisoo lagi.

"Hmm, belum. Bisa dipanggang hidup-hidup kalau dia tahu aku menyakiti adiknya lagi," ucap Jihoon dengan suara selirih angin.

"Ya! Kau lebih memilih kehilangannya lagi dibandingkan kena ceramah Jisung hyung?!" Jihoon menjauhkan teleponnya dari telinga ketika mendengar suara melengking Jisoo.

"Iya iya. Aku akan mencarinya sebisaku. Sudah dulu ya hyung," Jihoon segera memutus sambungan teleponnya sebelum omelan Jisoo makin panjang.

Jihoon mengambil hoodie hitam dan kunci mobil miliknya sendiri. Dengan tergesa pria itu memakai alas kaki dan bergegas turun ke basement tempat mobilnya berada. Rasa takut akan kehilangan gadis itu semakin besar. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika Hyesung kembali memilih untuk menjauh darinya. Tidak, tidak. Sebisa mungkin Jihoon tidak akan jatuh pada lubang yang sama.

---

Dengan langkah gontai Jihoon menyeret kedua kakinya kembali ke unit apartemen Hyesung. Ia menghela napas panjang. Sudah hampir dua jam dirinya berkeliling seluruh kota Seoul, ke tempat dimana gadisnya itu kemungkinan bersembunyi. Namun hasilnya nihil. Sepertinya ia harus menghubungi Jisung. Hanya rumah kakak sepupu Hyesung sekaligus direktur agensinya itu saja yang belum ia sambangi.

Jihoon memasukkan password pada panel pintu. Ia melepas sandal dan meletakkannya dengan rapi di dalam rak. Kedua mata Jihoon melebar ketika mendapati sneakers putih andalan Hyesung terserak di lantai begitu saja. Gadis itu sudah pulang!

Dengan tergesa, Jihoon masuk ke dalam rumah. Ia cukup terkejut ketika mendapati lampu ruangan mati semua. Seingatnya tadi, ia tidak mematikan satu pun lampu ketika pergi meninggalkan rumah karena hanya ada Hyesung di pikirannya saat itu.

Pria itu hampir saja berseru memanggil nama Hyesung ketika menyadari ada bayangan seseorang sedang duduk menghadap meja bar. Walaupun tanpa pencahayaan, Jihoon yakin bahwa ia adalah Hyesung. Dengan perlahan, Jihoon berjalan menghampirinya.

"Hyesung-ah," panggil Jihoon dengan suara lembut. Tidak ada jawaban.

Jihoon memberanikan diri memegang pundak gadis itu. Tidak ada respon. Dengan perlahan, Jihoon menyibak rambut panjang Hyesung yang menutupi wajahnya.

Hyesung menangis tanpa suara. Sebelah tangannya menusuk-nusuk daging steak buatannya yang sudah mendingin. Melihat hal itu, hati Jihoon teriris. Ia segera membawa Hyesung masuk ke dalam dekapannya.

"Maafkan aku," ucap Jihoon dengan suara bergetar, terdengar sangat menyedihkan. Saking takutnya Jihoon akan kehilangan Hyesung, ia sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa mengelus lembut punggung Hyesung yang masih bergetar karena tangisannya. Pria itu pun berusaha keras menahan agar air matanya tidak ikut jatuh.

"Oppa jahat," ucap Hyesung disela isakannya. Tangan kecil Hyesung memukul-mukul dada Jihoon, berusaha membebaskan dirinya dari pelukan pria itu.

Jihoon tidak menurut. Ia justru makin mengetatkan pelukan. Dari mulutnya selalu keluar kata-kata maaf. Pria itu bahkan berkata pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan melepaskan pelukannya sampai tangis Hyesung mereda.

Sepuluh menit mereka berdua bertahan pada posisi yang sama. Jihoon berdiri memeluk Hyesung yang duduk di kursi bar. Kini tangisan Hyesung sudah mereda. Gadis itu bahkan sudah tidak menolak pelukan Jihoon. Karena lelah, kepalanya bersandar pada dada kekasihnya itu.

"Hm, mau makan dulu?" tawar Jihoon pada akhirnya. Ia meregangkan pelukannya. Dengan kedua ibu jari, Jihoon menghapus jejak-jejak air mata Hyesung. Diciumnya kedua kelopak mata gadis itu yang membengkak akibat menangis hebat.

Hyesung mengangguk. Ia enggan buka suara pada pria di sisinya.

Jihoon memaklumi. Ia duduk di kursi kosong sebelah gadis itu. Dengan perhatian, ia memotong-motong daging steak di piring Hyesung dan menyodorkannya pada gadis itu. Tanpa banyak bicara, Hyesung memasukkan satu demi satu potongan daging ke dalam mulut. Makanan adalah obat stress yang cukup ampuh baginya.

"Mau wine?" tawar Jihoon ketika ia melihat gelas berkaki tinggi di atas meja yang telah gadis itu siapkan.

"Cola," Jihoon menghela napas tanpa kentara. Gadisnya masih marah rupanya.

Jihoon berdiri dan berjalan menuju lemari pendingin. Ia mengeluarkan dua buah kaleng minuman berkarbonasi dan kembali duduk di tempatnya semula. Pria itu membuka kaleng cola milik Hyesung dan menyodorkannya ke hadapan gadis itu. Jihoon bertopang dagu. Dengan tatapan lembut, ia memandangi Hyesung yang makan tanpa banyak bicara.

Jengah, Hyesung menghela napas panjang. "Oppa tidak makan? Masakanku tidak enak? Ya sudah biar aku habiskan saja," tangan Hyesung terulur menarik piring makan Jihoon.

Jihoon mencegahnya. "Ets, ini kan sengaja kau buat untuk aku. Aku makan ya." Tanpa menunggu lama, pria itu mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Enak. Benar-benar sesuai seleraku."

Hyesung diam saja. Ia tidak terpengaruh sedikit pun dengan pujian yang dilontarkan Jihoon barusan.

Setelah selesai makan, Hyesung berdiri. Ia membawa piring kotor miliknya ke bak cuci piring. Jihoon buru-buru menyusul. Ia mencegah tangan gadis itu yang sudah akan meraih sarung tangan karet yang biasa ia gunakan untuk mencuci piring.

"Biar aku saja yang membereskan. Sebaiknya kau sikat gigi dan bersiap tidur. Sekarang sudah pukul satu dini hari," ucap Jihoon. Hyesung melengos pergi menuju kamarnya tanpa memberi respon apapun pada ucapan kekasihnya.

Jihoon telah menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Kalau mau hidup bersama Hyesung, ia harus membiasakan diri untuk lebih bersih dan teratur. Jihoon mengelap tangannya yang basah dan berlalu masuk ke dalam kamar.

Hyesung sedang memakai krim malam menghadap meja rias. Pandangan mata gadis itu sempat bersirobok dengan milik Jihoon yang baru saja masuk ke dalam kamar. Hyesung melengos. Ia melanjutkan kegiatannya seperti tidak ada seorang pun disana.

Jihoon melirik baju tidur yang dikenakan Hyesung. Sudut-sudut bibirnya sedikit terangkat. Pria itu berlalu ke arah lemari dan menarik sepasang baju tidur dengan motif serupa dengan yang saat ini dipakai kekasihnya. Biasanya Jihoon lebih memilih untuk mengenakan kaos dan celana pendek untuk tidur. Tapi untuk malam ini sepertinya ia harus mengalah dengan memakai piyama imut yang dibelikan Hyesung untuknya. Jihoon berlalu ke arah kamar mandi.

Tidak sampai lima belas menit, Jihoon sudah keluar. Ia menghampiri Hyesung yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur dengan ponsel bersarang di tangannya. Jihoon merangkak masuk ke dalam selimut dan duduk di sisi gadis itu. Hyesung tidak menanggapinya sama sekali.

"Mau bicara dulu?" tanya Jihoon lembut. Gadis di sampingnya ini memang jarang sekali marah, namun sekalinya ngambek bisa lama dan membuat banyak orang khawatir. Tipikal seorang Han Hyesung.

Hyesung meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia memandang tajam ke arah Jihoon di sebelahnya. Akhirnya setelah menunggu lama, gadis itu membalas tatapannya. Walaupun bukan dengan respon yang diinginkan Jihoon.

"Happy anniversary, Han Hyesung!" seru Jihoon dengan suara dibuat seceria mungkin. Tak kunjung mendapat tanggapan, pria itu hanya dapat tertawa kaku.

Hyesung menyerah. Ia sendiri tidak tahan dengan kecanggungan yang terjadi diantara mereka. Ia berusaha memahami Jihoon. Mungkin saja tadi Jihoon benar-benar sedang lelah hingga tanpa sadar membentaknya.

Gadis itu membenahi posisi duduknya hingga menghadap ke arah Jihoon. Yang ditatap salah tingkah. Hyesung kemudian merentangkan kedua tangannya. Mengerti dengan apa yang diminta oleh kekasihnya itu, Jihoon tersenyum kecil. Ia menarik gadis itu masuk ke dalam pelukannya. Dengan begini, pertengkaran di antara keduanya dianggap sudah selesai.

Jihoon berkali-kali menciumi kepala gadis itu. Ia lega karena mampu membuat gadisnya kembali. Sebelah tangannya membelai surai Hyesung tanpa henti.

"Maafkan aku karena telah membentakmu. Aku juga minta maaf karena seharian ini telah mengabaikanmu. Aku pasti membuatmu sangat kesal ya?"

"Iya," jawab Hyesung. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Jihoon. "Hampir saja aku berpikir untuk menginap di rumah Jisung oppa. Tapi aku takut malah hanya akan mengganggunya. Lagipula aku tidak bisa terus-terusan kabur kesana tiap ada masalah denganmu."

Jihoon terkekeh pelan. Untung saja Hyesung tidak jadi kesana. Pria itu merenggangkan pelukannya. Ia mengamati wajah gadis itu dengan tatapan lembut.

"Kalau ada perbuatanku yang tidak kau suka, kau bisa langsung mengatakannya. Jangan kabur lagi seperti tadi. Apalagi sampai tidak membawa ponsel. Kau membuatku khawatir setengah mati."

Hyesung mengerucutkan bibir. "Aku takut. Kalau aku langsung protes, maka perdebatan kita jadi makin besar. Aku tidak mau kejadian yang lalu terulang lagi. Jadi aku lebih memilih pergi untuk menenangkan pikiran."

Jihoon tersenyum. Ia mengecup bibir gadis itu pelan. Jihoon kembali membawa masuk Hyesung ke dalam pelukannya. "Hah, kau ini... benar-benar menggemaskan. Aku jadi makin sayang padamu."

"Memang seharusnya begitu," ucap Hyesung menanggapi.

Jihoon tertawa pelan. Ia mencium puncak kepala Hyesung lama. "Sejak umurku 22 tahun cuma ada kau di hati dan pikiran. Kurang sayang apa lagi aku padamu, hm?"

"Menggelikan. Ini bukan Jihoon oppa yang aku kenal," Hyesung mendorong dada Jihoon pelan. Ia tertawa mendengar ucapan cheesy Jihoon barusan.

"Tuh kan, kau lebih cantik kalau ketawa."

"Oppa terlalu banyak bermain dengan Jeonghan oppa ya? Nari eonni sering cerita kalau sedang marahan, pasti Jeonghan oppa mulai menggombal." Hyesung tidak bisa menahan tawanya.

Jihoon menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Yah, tidak mempan ya ternyata. Dikirain bakal tersipu, ternyata malah diketawain."

Hyesung menghentikan tawanya. Ia tersenyum lebar. "Aku suka Jihoon oppa yang biasa."

Jihoon membalas senyum manis Hyesung. Bersama dengan gadis ini, membuatnya lebih banyak tersenyum dari biasanya. Yah, Hyesung memang tidak pernah menuntut hal-hal muluk padanya. Itu juga yang membuat Jihoon nyaman bersanding dengannya. Apalagi pengalaman Jihoon dalam hal berkencan sungguh buruk. Hyesung benar-benar sabar dalam mengerti dirinya.

Hyesung meraih ponselnya kembali. Ia sibuk men-scroll hal yang tadi sedang dilihatnya.

"Oppa, aku menemukan tempat makan yang baru buka. Tempatnya bagus lho," kata gadis itu dengan nada ceria.

Jihoon terkekeh kecil. Hyesung benar-benar hebat dalam mencairkan suasana. Padahal baru beberapa menit yang lalu gadis itu masih merajuk, sekarang ia sudah kembali senang dengan hal lain. Hah, bagaimana Jihoon bisa melepaskan diri dari pesona gadis itu. Menghabiskan bertahun-tahun bersama Hyesung tidak akan membuatnya bosan sedikit pun.

Jihoon menyusun beberapa bantal. Ia kemudian memasang posisi setengah berbaring. Pria itu menarik Hyesung mendekat. Kini gadis itu sudah bersandar dengan nyaman di dadanya. Jihoon jadi bisa ikut melihat apa yang ditampilkan di layar ponsel Hyesung. Sebelah tangan Jihoon sibuk memainkan rambut panjang nan halus kekasihnya.

"Lihat deh, oppa. Beneran bagus kan?" Hyesung menunjukkan gambar-gambar itu dengan antusias.

Jihoon bergumam mengiyakan. Sesekali ia menciumi kepala gadis itu. "Menu spesialnya apa?"

"Seafood!" seru Hyesung dengan mata berbinar. "Aku mau makan kepiting raksasa. Atau lobster. Atau gurita. Ah, semuanyaaa."

Jihoon terkekeh pelan. "Jadi besok mau ke taman hiburan atau mau makan seafood?"

Hyesung tampak berpikir. "Dua-duanya hehe," gadis itu tertawa kecil.

Jihoon mencubit ujung hidung Hyesung dengan gemas. "Okay. Tapi aku tidak yakin kita berdua bisa bangun pagi. Lihat sekarang sudah pukul berapa dan kita belum tidur."

"Sudah jam dua!" pekik Hyesung terkejut. Ia menegekkan punggung dan meletakkan ponsel kembali ke atas nakas. "Pokoknya besok kita harus keluar! Aku tidak mau tahu."

"Iya, iya," jawab Jihoon dengan sabar karena merasa dirinya sedang disindir. Pria itu menyiapkan tempat untuk gadisnya agar nyaman berbaring. "Sini."

Hyesung menurut. Ia masuk ke dalam pelukan Jihoon. "Selamat tidur, Oppa!"

"Kau tidak melupakan sesuatu?" tanya Jihoon dengan nada menggoda. Hyesung hanya menelengkan kepalanya heran. "Kau belum mengucapkan selamat padaku. Bahkan ucapanku tadi kau anggap anggap lalu."

Hyesung meringis. "Happy anniversary, Oppa!"

"Hanya itu?" Hyesung mengedip-edipkan matanya lucu karena tidak mengerti. Jihoon tersenyum penuh arti. "Kau tidak mau memberiku sesuatu? Ciuman misalnya?"

Blush! Wajah Hyesung berubah hingga warnanya tidak ada bedanya dengan tomat matang. Gadis itu menunduk. Bukan karena ia tidak mau, tapi ia bingung bagaimana harus memulai terlebih dahulu. Walaupun bukan untuk yang pertama kalinya, tetap saja Hyesung masih merasa malu jika harus melakukan hal itu. Yang diminta Jihoon sebuah ciuman, bukan sekadar kecupan ringan.

Jihoon mengangkat dagu Hyesung dengan sebelah ibu jarinya. "Boleh?" Hyesung tersenyum gugup. Ia kemudian mengangguk kecil.

Sebelah tangan Jihoon menangkup sekaligus mengelus pelan pipi kanan Hyesung. Hal tersebut menghantarkan gelenyar aneh nan memabukkan di perut gadis itu. Ia menutup matanya. Jihoon tersenyum. Gadisnya sangat menggemaskan!

Perlahan, Jihoon mendaratkan bibirnya pada bibir Hyesung. Ia melumatnya dengan penuh kasih sayang. Gadis itu kini mulai terbiasa dan mengikuti permainan. Jihoon tersenyum di sela ciuman mereka, ia senang Hyesung membalasnya. Setelah keduanya kehabisan napas, mereka saling melepaskan pagutan. Hyesung yang malu segera menelusup masuk ke dada Jihoon.

Jihoon mengusap kepala Hyesung. Ia kemudian menepuk-nepuk punggung gadis itu.

"Terima kasih, Han Hyesung. Aku mencintaimu," ucapnya lirih.

Hyesung mengangguk kecil. Ia masih tidak berani menatap kedua mata cowok itu. "Aku juga mencintaimu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro