3. PECAH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada kehidupan dan ada kematian

Ada kebahagiaan dan kesedihan

Semua hal di dunia membutuhkan keseimbangan

Di mana keseimbangan itu memberikan pelajaran

Tidak semua bisa kita dapatkan

* * * * *

Menjelang malam, tubuh Ruby menegang dan perasaan ngeri menyergap dirinya. Bukan kengerian yang berhubungan dengan hantu atau pembunuhan yang membuat wanita itu merinding. Tapi kengerian itu berasal dari sebuah ranjang berukuran besar dengan selimut abu-abu hitam telah menimbulkan reaksi gelisah dalam dirinya.

Tatapan Ruby beralih pada Max yang saat ini tersenyum puas setelah mengatakan jika wanita itu akan tidur di ranjang bersama pria itu. Ingin rasanya Ruby memukul wajahnya dan melenyapkan kepuasan yang menghiasinya. Alih-alih mengikuti keinginannya, Ruby justru melipat tangan di dadanya dan tak menyurutkan ketajaman dari tatapannya.

"Aku akan meremukkan tulangmu jika kau main-main denganku, Max."

Max pun menoleh semakin memperlebar senyumannya. Sialnya senyuman pria itu memberikan efek getaran dalam tubuh Ruby. Benar-benar bertolak belakang dengan amarah yang melanda dirinya beberapa detik yang lalu.

"Sejak tadi pagi aku selalu serius dengan ucapanku, Mawarku sayang. Aku tidak main-main."

Ruby menggelengkan kepalanya keras, "Aku tidak akan mau tidur satu ranjang denganmu."

"Mengapa? Bukankah kita sudah pernah melakukannya."

Lagi-lagi Max berhasil membuat Ruby tidak berkutik. Wanita itu merutuki dirinya sendiri karena telah memperlihatkan kerapuhannya kepada Max. Dan sekarang pria itu memanfaatkan momen itu untuk menyerang Ruby.

"Apa kau tidak mendengarkan ucapanku siang tadi, Max? Sudah kukatakan kau tidak akan mendapatkanku."

"Jadi kau sedang berpikir nakal rupanya, Mawarku."

"Be-berpikir nakal? Jangan mimpi, Max."

Max melangkah mengitari ranjangnya untuk menghampiri Ruby, Melihat pria itu semakin mendekat membuat Ruby memasang sikap waspadanya.

"Apa yang kau lakukan, Max?" Ruby melayangkan tatapan tajamnya.

Namun Max sama sekali tidak terpengaruh. Kedua tangannya terulur dan mendorong Ruby hingga duduk di tepi ranjang. Pria itu membungkukkan tubuhnya hingga wajahnya tepat berada di depan Ruby.

"Apa kau tidak menyadarinya, Mawarku? Siapapun yang telah menyeretku keluar hingga ke taman belakang, artinya dia bisa memasuki kamar ini. Jika melihat kau tidur terpisah denganku, bukankah usaha kita akan sia-sia?" Max sengaja merendahkan suaranya.

Mendengar ucapan Max membuat Ruby mau tidak mau membenarkan ucapan pria itu. Seseorang yang telah memindahkan Max keluar kamar memiliki akses bebas di rumah ini tanpa terekam kamera CCTV. Dengan status Ruby sebagai kekasih Max, maka tidak mungkin mereka tidur di kamar yang terpisah.

Pada akhirnya Ruby menghela nafas berat, "Baiklah, Max. Kau selalu mendapatkan apapun yang kau inginkan. Tapi percayalah jika kau memanfaatkan kesempatan ini, aku tidak akan bersikap lembut."

Max tersenyum puas mendengar persetujuan Ruby, "Mulutmu setajam duri, Mawarku. Membuatku ingin mencicipinya kembali."

"Silahkan saja, Max. Kupastikan kau mendarat di rumah sakit besok."

Pria itu mendesis mendengar ucapan tajam Ruby. Dia menegakkan tubuhnya kembali dan berpura-pura memasang ekspresi wajah ngeri.

"Aku harus berusaha keras merontokkan duri tajam dalam dirimu, Ruby. Percayalah saat itu kau akan menjadi mawar yang mekar dengan indahnya."

Ruby tersenyum. Bukan senyuman tulus tapi senyuman sinis.

"Masih saja bermimpi, Max. Selamat malam."

Ruby langsung berbaring di atas ranjang dan menyelimuti tubuhnya. Wanita itu juga memasang guling di tengah-tengah untuk mencegak tangan nakal Max menyentuhnya.

Max tidak bisa menahan senyuman. Membangkitkan amarah Ruby membuat pria itu merasa senang. Sikap Ruby yang jauh dari kata menggoda serta balasan-balasan tidak terduga dari mulut tajam wanita itu membuat Max menikmati setiap pertengkaran mereka.

Akhirnya Max pun kembali mengitari ranjang dan berbaring di samping Ruby. Setelah beberapa menit berlalu tapi mata Max masih belum kunjung terpejam. Dia mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Ruby.

Seperti akhir pekan biasanya, Max mengunjungi klub malam Paradiso milik temannya. Di sanalah dia melihat Ruby yang tenggelam dalam minuman sendirian. Beberapa pria berusaha mendekatinya, tapi wanita itu begitu dingin dan tidak mempedulikannya. Namun yang lebih mengusik Max adalah manik mata coklat Ruby yang misterius.

Max pun tertantang untuk menaklukan Ruby. Tidak mudah untuk menarik perhatian mawar miliknya. Tapi Max selalu mendapatkan apapun yang diinginkannya termasuk Ruby. Dengan kelihaiannya menilai apa yang sedang dialami Ruby mampu menarik perhatian wanita itu. Hingga akhirnya Max tahu alasan Ruby terdampar di klub malam adalah karena dia baru saja kehilangan adik laki-lakinya dalam sebuah kecelakaan. Saat itulah Max berhasil merengkuh Ruby dalam pelukannya.

"Ruby." Panggil Max.

Meskipun belum tidur, tapi Ruby yang saat ini memunggungi Max tidak ingin terlibat obrolan dengan pria itu.

"Aku tahu kau belum tidur. Aku hanya ingin bertanya apa kau sudah menerima kenyataan mengenai adikmu?"

Tepat sasaran. Ruby langsung berbalik saat Max membahas mengenai adik Ruby. Wanita itu tampak terkejut memandang Max.

"Mengapa menatapku seperti itu?" bingung pria itu.

"Kau masih mengingatnya? Kupikir kau hanya sengaja menjadi pendengar baik untuk membuatku jatuh dalam pelukanmu." Ucap Ruby tidak percaya.

"Harus kuakui memang itu rencana awalku, Ruby. Tapi percayalah setelah itu semua hal yang berhubungan denganmu tidak bisa kulupakan. Termasuk alasan yang membuatmu berada di klub malam itu."

Ruby memicingkan matanya, "Apa kau sedang berusaha menggunakan cara yang sama, Max?"

"Tidak, Ruby. Aku serius menanyakan perasaanmu. Aku melihat kau mengalami waktu yang berat sebulan lalu karena kehilangan Derek. Tidak ada alasan tersembunyi dari pertanyaanku."

Ruby terdiam masih mengamati Max dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Saat wanita itu mengetahui siapa yang telah menghabiskan malam indah bersamanya, Ruby berpikir Max hanya anak manja yang selalu bermain-main dengan wanita. Pria itu tidak pernah serius menyangkut makhluk berlawan jenis darinya. Tapi sekarang apa yang dilihat Ruby jauh berbeda dengan pemikirannya.

Max pikir Ruby tidak akan menjawab pertanyaannya. Dia yakin mawarnya ini sulit untuk membuka diri. Hanya satu kali saja wanita itu melakukannya. Dan Max mendapatkan kesempatan emas itu untuk lebih dekat pada Ruby.

"Aku... Aku sudah merasa jauh lebih baik. Kau benar saat mengatakan 'Derek pasti tidak akan suka jika aku berkubang dalam kesedihan'. Dia sangat menyayangiku dan selalu ingin aku bahagia. Karena itu aku mengikuti saranmu untuk merelakannya pergi."

Bahkan hanya mendengar Ruby melakukan sarannya sudah membuat pria itu merasa senang. Dia meraih tangan Ruby dan meremasnya lembut.

"Kau melakukan tindakan yang tepat, Ruby. Aku yakin Derek pasti sedang tersenyum lega melihat tindakan yang kau ambil."

Sebuah kejutan bagi Ruby karena bisa kembali terbuka pada Max. Padahal selama ini Ruby tak pernah membicarakan perasaannya tentang Derek kepada siapapun. Hanya Max yang mampu membuat Ruby mengeluarkan isi hatinya.

"Aku juga pernah mengalaminya, Ruby. Jadi aku tahu apa yang kau rasakan."

"Apa maksudmu pernah mengalaminya? Kau pernah kehilangan seseorang?"

Max menganggukan kepalanya, "Aku kehilangan adikku."

"Kau memiliki adik? Tapi aku membaca di internet jika kau anak tunggal."

"Jadi kau menyelidikiku, Mawarku?" Max tersenyum lebar.

"Jangan senang dulu, Max. Aku hanya memastikan kau bukanlah penjahat yang bisa mengusikku kembali."

"Kau memang pematah kebahagiaan." Max mendengus kesal.

"Apa yang terjadi dengan adikmu? Kau sama sekali belum menjawab pertanyaanku tadi, Max."

"Aku memang anak tunggal, Ruby. Adikku meninggal saat berada dalam kandungan."

"Oh... God. Maafkan aku, Max. Aku turut sedih mendengarnya. Berapa usiamu saat itu?"

"Dua belas tahun. Mom sangat ingin memiliki anak perempuan. Jadi ketika dia mengetahui jika bayi yang dikandungnya adalah bayi perempuan, mom sangat senang. Karena itu dia sangat terpuruk saat dia menderita penyakit Miom yang menyebabkan keguguran serta kemandulan."

"Pasti berat untukmu, ibumu juga ayahmu." Ruby bisa membayangkan kesedihan yang melanda keluarga Max karena harus kehilangan bayi kecil yang belum sempat melihat dunia.

"Aku sangat sedih saat itu. Aku menyayanginya, Ruby. Setiap hari aku akan mengelus perut mom dan berbicara padanya. Tapi yang paling terpuruk adalah mom."

Ruby menyentuh punggung tangan Max yang menggenggam tangannya. Wanita itu tersenyum lembut pada Max.

"Aku yakin jika adikmu lahir, dia pasti beruntung memiliki kakak sebaik kau, Max. Dan untuk ibumu, mendapatkan dua cobaan sekaligus pasti membuatnya terpuruk. Dia kehilangan putri tercintanya dan mendapati dirinya tidak sempurna lagi karena mandul. Itu adalah mimpi buruk setiap wanita, Max."

"Terimakasih, Ruby. Aku tidak pernah membicarakan hal ini pada siapapun. Dan setelah melakukannya, aku merasa ada beban berat dalam hatiku terbang. Semua berkat dirimu."

Max menyentuh pipi Ruby dan mengelus lembut. Stimulus halus itu membuat Ruby merasa begitu nyaman. Seharusnya dia menepis tangan Max, tapi sesuatu dalam dirinya tidak ingin Max berhenti membuatnya begitu nyaman.

Tiba-tiba terdengar suara benda pecah sehingga kedua insan manusia itu langsung menegakkan tubuh mereka. Baik Max maupun Ruby saling memandang.

"Kita cek bersama." Ucap Max menyingkap selimut dan turun dari ranjang.

Ruby melakukan hal yang sama dan berjalan mengikuti Max. Mereka melangkah menuju bar kecil yang diyakini di mana sumber suara berasal. Dan benar saja mereka melihat gelas bertangkai hancur berantakan di atas lantai. Ruby ingat gelas itu adalah gelas yang digunakan Max untuk minum anggur sebelum mereka bersama masuk ke dalam kamar. Ruby sendirilah yang meminta pria itu untuk melakukannya. Dia ingin melihat sendiri bukti kejanggalan yang diceritakan Max.

Kepala Ruby menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat apakah sang pelaku masih berada di sekitar sana. Tapi tidak ada siapapun di sekitar mereka. Bahkan tidak ada jejak kaki atau jejak apapun yang tertinggal. Seperti kata Max sang pelaku mengerjakan dengan sangat sempurna seakan pelakunya adalah hantu tak kasat mata.

"Akhirnya kau bisa merasakan sendiri kejanggalan itu, Ruby. Dan kupastikan CCTV pun tidak akan menangkap sosoknya. Aku sudah berkali-kali mengeceknya. Sangat bersih."

Ruby berlutut dan mengamati pecahan gelas yang berserakan. Tidak ada hal yang mencurigakan. Hanya serpihan-serpihan kaca dari gelas. Tidak ada petunjuk sama sekali.

Tidak. Ini bukanlah hantu. Pasti ada penjelasan dibalik keanehan ini. Ruby menolak pemikiran jika semua kejadian aneh ini disebabkan oleh hantu.

"Kalau begitu kita akan membersihkan pecahan gelas ini saja."

Ruby mengambil kantong kertas dan menyerahkannya pada Max. Pria itu menatap kantong kertas itu seakan benda itu adalah benda paling aneh yang belum pernah dilihatnya.

"Kau menyuruhku membersihkan pecahan kaca ini?" tanya Max tidak percaya.

Bagaimana bisa CEO Baxley Company harus melakukan tindakan sepele untuk membersihkan pecahan gelas? Pikir Max.

"Kenapa tidak? Bukankah hanya ada kita di sekitar pecahan gelas ini? Jadi kita membersihkan bersama."

"Aku akan meminta seseorang untuk membersihkannya." Max yang hendak berbalik pun ditahan oleh Ruby.

"Ini sudah tengah malam, Max. Kau tega sekali membangunkan orang hanya untuk membersihkan serpihan kaca ini."

"Bukankah aku menggaji mereka untuk melakukan tugas ini."

Kekaguman dan simpati yang dirasakan Ruby untuk Max beberapa saat yang lalu pun lenyap. Max kembali menyebalkan dengan sikap sok berkuasanya itu. Ruby menyesal telah sedikit lengah pada pria itu. Akhirnya Ruby mengambil kantong kertas di tangan Max dan berjongkok.

"Apa yang kau lakukan, Ruby? Tanganmu bisa terluka." Max berusaha menghentikan Ruby yang sedang memasukkan pecahan gelas itu ke dalam kantong kertas.

"Aku tidak akan terluka jika aku berhati-hati, Anak manja."

"Anak manja?" Max tidak percaya dengan sebutan yang dilontarkan Ruby.

"Hanya menyuruh orang untuk pekerjaan kecil seperti ini. Bukankah itu terdengar anak manja?"

Tidak terima dengan julukan itu, Max akhirnya mengambil pecahan kaca yang masih tergeletak di lantai dan memasukkannya ke dalam kantong kertas yang dibawa Ruby. Melihat Max mengambil pecahan kaca itu dengan sangat hati-hati serta wajahnya yang memandang ngeri ke arah kaca yang bisa menggores kulitnya membuat Ruby menahan senyumannya.

Setidaknya hari ini pemimpin perusahan mobil besar di Amerika Serikat bisa belajar menggunakan tangannya sendiri untuk pekerjaan sepele seperti ini. Ada perasaan puas dalam hati Ruby karena Max tidak bersikeras membangunkan seseorang untuk membereskan kekacauan itu. Dia memilih membantu Ruby menyingkirkan pecahan itu.

Setelah selesai, Ruby membuangkan kantong kertas itu ke dalam tempat sampah. Kemudian dia menggunakan penyedot debu untuk membersihkan serpihan yang halus.

"Selesai. Mudah bukan, Anak manja?" Ruby menatap Max masih terdiam.

"Terkadang aku ingin menciummu untuk membuatmu berhenti memanggilku seperti itu, Ruby."

"Terkadang aku ingin menyumpal mulutmu dengan kantong kertas sampai kau tidak bisa berkata-kata." Balas Ruby.

"Bagaimana jika menyumpal mulutku dengan bibirmu."

"Selamat malam, Max." Ruby yang lelah menghadapi rayuan Max langsung melangkah menuju kamar.

Sedangkan Max masih tersenyum memandang punggung Ruby yang menghilang ke dalam kamar. Pria itu merasa dunianya kembali hidup dengan perdebatan-perdebatan yang dilakukannya bersama Ruby. Wanita itu jauh berbeda dengan wanita-wanita disekeliling Max yang dengan senang hati melemparkan diri dalam pelukan pria itu. Max harus berusaha keras memanjat duri-duri Ruby untuk bisa menggapai hati wanita itu. Membuat kelopak bunga mawar wanita itu mekar dengan indahnya.

* * * * *

Baca kelanjutannya hanya di CABACA.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro