BAB 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Di luar sana mana ada laki-laki umur dua sembilan yang masih menganggur kayak kamu, Ren?” Jari telunjuk laki-laki tua itu mengarah tepat di depan wajah Narendra.

“Papa keterlaluan. Segala bawa-bawa umur. Itu salah satu bentuk shaming tahu!” Suara Narendra tidak kalah tinggi dari Mahardika, ayahnya.

“Lihat dirimu, Narendra. Apa yang kamu lakukan setiap hari?” Mahardika melotot mencoba mengontrol emosi yang sejak tadi telah meledak.

Pada usia senjanya, Mahardika hanya memiliki Narendra Mahardika Tjandra untuk meneruskan perusahaan warisan mendiang ayahnya. Namun, melihat Narendra yang enggan masuk ke perusahaan meski telah lulus dari McGill university, yang merupakan salah satu universitas terbaik di Kanada dengan jurusan bisnis itu membuatnya sakit kepala setiap hari.

“Tidur, makan, belanja... Uhmmm apa lagi ya?” Naren tampak berpikir dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Ah, buang air besar. Tentu itu nggak boleh kelewat. Iya kan, Pa?”

Mahardika meraup udara dengan rakus mendengar jawaban putranya. Lantas tertawa sarkas. “Kamu melupakan hal paling penting, Narendra Mahardika Tjandra.”

“Apa? Aku melupakan apa, Pa?” Narendra ikut berkacak pinggang saat melihat sang ayah melakukannya.

“Uang.”

Narendra ber-oh ria seraya mengangguk-anggukkan kepala. “Kalau uang kan tinggal minta Papa.”

Seketika pukulan mengenai kepala Narendra. Pelakunya tidak lain adalah Mahardika. Narendra mengelus kepala dengan wajah memelas. Tapi segera tersenyum jahil.

“Nggak sakit tuh.” Naren menjulurkan lidah.

Seperti sengaja menguji kesabaran sang ayah. Narenda tidak pernah menanggapi kemarahan ayahnya dengan serius. Keduanya bagai kucing dan tikus yang tidak pernah akur. Pelayan di rumah mewah itu telah terbiasa dengan kebisingan anak ayah yang terdengar lucu juga manis itu.

“Untuk tidur, kamu butuh sebuah kamar dengan kasur empuk, AC, lemari dan yang lainnya. Hitung berapa yang harus kamu bayar untuk semua itu. Makan, kamu butuh pelayan untuk membuatkan makanan. Makanan itu diolah dengan bahan berkualitas. Hitung berapa yang harus kamu bayar untuk sepiring makananmu yang diolah oleh seorang chef berpengalaman. Untuk belanja...” urung melanjutkan kalimatnya, Narendra memotong.

“Stop, Pa! Masa sama aku Papa mau ngitung semuanya? Kebangetan. Pantes nggak ada janda yang mau sama Papa. Pak tua pelit yang perhitungan,” cemooh Naren dengan wajah menyebalkan. Satu pukulan mendarat lagi di kepalanya.

“Nggak ada hubungan darah dalam urusan uang.”

“Selain pelit dan perhitungan, ternyata Papa juga picik, ck ck.” Narendra menggeleng dramatis.

“Kalau nggak mau dengar Papa, pergi aja dari sini. Jangan pulang lagi!”

“Papa ngusir aku?” protes Narendra mendapat anggukan dari Mahardika.

Bibi Em mendengar keributan datang menghampiri anak ayah itu. Perdebatan Kakak dan keponakannya tidak akan berakhir sampai ada yang menengahi. Terbiasa dengan cek cok mereka membuat Bibi Em pah betul harus muncul kapan. Wanita paruh baya itu berdehem meminta perhatian keduanya.

“Wasit dateng. Jadi siapa yang menang? Coba kita lihat skornya.” Wanita yang selalu merias wajah meski di rumah itu memulai aksi menjadi penengah.

Narendra melompat ke belakang Bibi Em, mengejek ayahnya di balik punggung Bibinya. Karena kehilangan ibu di usia yang sangat muda, Narendra sangat dekat dengan Bibi Em. Menganggapnya seperti tempat bersandar setelah kepergian sang ibu. Bibi Em sangat memanjakan Naren melebihi anaknya sendiri.

“Lihat hasil perlakuanmu yang terlalu memanjakan anak itu, Em. Udah tua tapi nggak dewasa sama sekali.” Mahardika menunjuk-nunjuk ke arah Narendra.

“Siapa yang lebih tua dan lebih nggak dewasa?” Narendra tidak mau kalah.

“Stop! Kalian bisa dilaporin polisi sama tetangga karena berisik.” Bibi Em geleng-geleng tidak habis pikir dengan dua orang yang hanya fisiknya saja dewasa. Semenjak tinggal bersama di rumah utama, Bibi Em merasa kerutan di wajahnya lebih cepat bertambah. Kendati demikian, demi melancarkan rencana, ia rela menahan kesal setiap hari.

“Papa kesepian ya, sampai nyari-nyari kesalahanku.” Kalimat Narendra berhasil memancing keributan kembali. Bibi Em membuang napas panjang, lantas menjatuhkan diri pada sofa ruang tengah itu. Menyaksikan kejar-kejaran antara kucing dan tikus.

“Sini kamu anak nakal! Bisa apa kamu tanpa Papa, hah?” Mahardika berhenti mengejar karena kelebihan. Dengan tangan kanan memegangi pinggang dan tangan lain menunjuk-nunjuk Narendra.

Bibi Em memejamkan mata, menahan dongkol pada dua orang menyebalkan itu dalam hati. Misinya adalah membuat Narendra tetap menjadi pribadi bebas yang tidak peduli dengan masa depan perusahaan.

“Aku bisa hidup tanpa Papa!”

Kalimat Narendra sukses membuat Mahardika tertawa meremehkan. “Bicara apa kamu? Sedangkan untuk beli celana dalam saja pakai kartu kredit dariku.”

Narendra tersinggung meski membenarkan perkataan sang ayah. Melihat anaknya tidak menjawab, Mahardika terkekeh penuh kemenangan. Membawa kaki lelahnya sehabis kejar-kejaran mendekati putranya yang masih bergeming. Sorot mata tajam Narendra tidak mempengaruhi perolehan skor kemenangan Mahardika kali ini.

“Buktikan. Laki-laki itu yang dipegang adalah perkataannya. Buktikan kalau kamu bisa hidup tanpa Papa.”

“Mas!” Bibi Em berdiri. Memegang lengan Mahardika. “Sudah. Jangan keterlaluan!” Tatapannya beralih pada Narendra yang masih menatap tajam ayahnya. “Cepat minta maaf, Naren!”

“Apa Bibi juga menganggapku nggak bisa hidup tanpa bantuan pria tua ini?” tanya Narendra tanpa mengalihkan tatapannya dari Mahardika. Dalam hati ia paham betul bahwa mengurus Grup dengan tiga anak perusahaan besar ternama sudah membuat ayahnya kewalahan. Namun, mengingat lagi betapa sedikit waktu bersama Mahardika semasa Narendra kecil dulu, membuatnya ingin terus menjadi anak kecil yang mendapat perhatian penuh dari seorang ayah.

“Bukan begitu, Naren. Kamu hanya belum tahu bagaimana kehidupan di luar sana.”

“Aku hanya perlu menjadi tahu kan, Bi?”

“Jadi mau membuktikan?” pancing Mahardika dengan nada menantang. Narendra balas menatapnya. Seperti ada percikan listrik tak terlihat dari mata mereka masing-masing.

Bibi Em bersedekap menyaksikan perang melotot di hadapannya. Tidak lagi berniat untuk melerai. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana pun Narendra tidak boleh lepas dari pengawasannya.

“Okay. Aku bakal buktiin ke Papa dengan pergi dari rumah ini,” ucap Narendra sama sekali tidak yakin. Berharap sang ayah mencegahnya. Ia membalikkan badan, tapi tidak juga beranjak dari tempat semula. Kesal tidak mendengar jawaban apa pun dari Mahardika setelah sepuluh detik terlewat. Lantas berbalik lagi, melihat Mahardika yang kini bersedekap dan menatapnya heran.

“Apa lagi?” Mahardika membenarkan kaca matanya, lantas kembali melipat tangan di depan dada.

“Hishh, Papa nggak nyegah aku pergi?” protes Narendra membuat kedua alis ayahnya bertaut.

“Apa?”

“Sudahlah. Lagian aku bakal tetap pergi meski dicegah. Bye, Pak tua.”

“Mau ke mana kamu?” pertanyaan Mahardika menerbitkan senyum di bibir Narendra yang baru maju tiga langkah.

Kan, sudah gue duga Papa emang pandai bercanda. Pasti nggak dibolehin pergi. Batinnya menyanyi. Memutar kaki panjangnya hendak menuju hadapan Mahardika. Urung melangkah maju, ia terhenti lagi oleh ucapan laki-laki itu.

“Pintu keluar di sebelah sana.” Tangan dengan keriput di mana-mana itu menunjuk arah berlawanan dengan arah yang dituju oleh kaki Narendra. Narendra melongo. Sama sekali bukan kalimat yang baru saja dibayangkan.

“Aku kan mau kemas-kemas barang di kamar, Pa.”

“Siapa bilang kamu boleh membawa barang dari rumah ini? Mau pergi ya pergi saja. Semua yang ada di kamarmu dibeli dengan uang Papa.”

“Hahh, Pak tua pelit! Aku cuma mau ambil baju.”

“Adakah baju yang kamu beli dengan uangmu sendiri?”

Narendra melotot tidak percaya ayahnya bisa setega itu. Ia mengerang tidak habis pikir. “Terus nanti aku di luar sana nggak ganti baju gitu? Tega banget Papa ini.”

“Mas. Udah dong ributnya. Narendra pasti cuma bercanda tadi. Tolong maafkan dia.” Bibi Em membujuk kakaknya lembut.

“Pak tua keras kepala. Semoga keriputnya tambah banyak!” Teriak Narendra, gegas berlari saat Mahardika mengejarnya setelah memungut sebuah stik golf dari sudut ruangan dan mengacungkan benda itu padanya. Sampai keluar dari pintu utama rumah berlantai dua itu, Narendra masih sempat mengejek ayahnya ketika berlari melewati taman depan.

“Berhenti kamu anak nakal!”

“Papa nggak akan bisa mengejarku. Ayo sini!”

Narendra yang awalnya berniat melupakan kejadian gagal menggoda Seruni pagi tadi dengan tidur tenang di kamar megahnya, malah berakhir dikunci di luar pagar rumah oleh ayahnya. Bukan kali pertama Mahardika melarangnya masuk rumah sehabis debat. Tentu saja ia tetap bisa masuk dengan berbagai cara.

“Jangan biarkan bocah itu masuk rumah, Em! Biar dia buktikan kalau dia masih laki-laki.”

Narendra mencebik di luar pagar. “Yah Papa ngambek. Nggak seru!” Melihat punggung sang ayah hilang ditelan belokan taman depan, Narendra tersenyum. Bagaimana pun, laki-laki tua itu adalah hal paling berharga yang ia miliki. Dengan bertingkah menyebalkan, Mahardika akan selalu memikirkannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro