ཻུ☽。Sweet Dream 〜

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🌙 ·  ·  ·  ──────── · ·  · 🌙
The Moon, The Stars, and Illussion
NakanoDistrict Project
🌙 ·  ·  ·  ────────  · ·  · 🌙

Nampak jauh di sana sang mentari mulai menenggelamkan diri secara perlahan ke dalam cakrawala. Menciptakan sebuah suasana baru yang indah dari perpaduan unik antara kuning dan oranye hingga senja ada. Burung camar ikut meramaikan indahnya senja yang dilukis sempurna oleh tangan Sang Maha Kuasa. Bayang-bayang gedung Yokohama semakin memanjang seiring berjalannya waktu sampai mentari terlelap, langit terselimuti oleh gulita, pun hari berubah.

Namun, bukan berarti waktunya untuk menurunkan semangat dalam bekerja, karena masih banyak orang yang berlalu lalang rupanya. Membentuk arus manusia dengan tujuan langkah kaki yang berbeda.

Sialnya, ini merupakan pemandangan yang sangat memanjakan mata pun sungguh disayangkan apabila hanya dilewatkan dengan kegiatan yang kurang memuaskan jiwa walaupun sekadar jalan-jalan yang akan terasa biasa-biasa saja.

Berbeda dengan hal-hal biasa yang dilakukan dengan senang hati oleh Iruma Jyuto sang polisi kelinci Yokohama yang tengah menikmati perjalanannya menuju tempat di mana ia akan menjemput sang istri tercinta. Alih-alih dapat menikmati detik-detik mentari tenggelam bersama dengan sosok yang dicinta selama perjalanan menuju ke kediaman keluarga kecilnya.

Sesaat ketika pria itu sampai di lokasi sang istri berada, tak terlintas sedikit pun dalam otak cerdasnya mengenai pertanyaan mengapa di gedung pengadilan Yokohama. Namun, wajah lesu sang istri yang baru saja keluar dari gedung pengadilan tersebut membuatnya bertanya, " ... Apa yang kau lakukan di sana? Apa ada masalah?" Terlukis kekhawatiran di wajah tampan Jyuto seketika.

Netra mereka bertumbuk, hingga menciptakan keheningan yang berlangsung cukup lama. Hawa sekitar seketika berubah. Tak santai, tetapi bukan berarti awal mula dari sebuah perang dingin yang seolah akan pecah di antara mereka. Namun, syukur sang nona Iruma mulai angkat bicara. "Ya dan tidak. Hanya tentang kita dan sedikit berita."

Alis Jyuto bertaut. "Begitu? Berita baik dan buruk?" Pria itu mengamati sang istri dengan saksama saking penasarannya.

" ... Ya."

"Katakan padaku berita buruk terlebih dahulu, Kazumi," jawab Jyuto sebelum sang istri mulai memberikan salah satu dari berita yang dibawanya tersebut.

Iruma Akazumi menghela napas panjang, sebelum akhirnya berkata, "Aku mengajukan gugatan perceraian pada pengadilan barusan saat mengandung anak kedua kita, tapi sayang sekali kau bukan lagi ayah dari dia yang kukandung sekarang."

To the point yang dilakukan oleh sang istri membuat waktu seolah berhenti, jantung tak berdetak sedetik, tenggorakan pun kerongkongan terasa kering, hingga tak terasa jika napas Jyuto tercekat sedikit. Namun, itu merupakan hal-hal kecil yang seketika menciptakan rasa sakit dalam hati.

" ... Jadi, ini yang kau maksud tentang kita?" tanya Jyuto kemudian sambil menahan segala emosi yang menyatu seolah menutup luka dalam dada.

" ... Ya dan aku ingin kau menyetujuinya," jawab Akazumi dengan entengnya walau sesungguhnya ia menjerit dalam lara yang tak terkira jua.

"Benarkah? Begitu saja? Kau benar-benar ingin kita bercerai? Bagaimana bisa kau mewujudkannya dengan mudah?" Ucapan Akazumi tak dapat membuat Jyuto menahan segala emosinya lebih lama lagi saking semakin pedih rasanya dalam hati.

Sementara Akazumi menahan diri untuk tidak meluapkan banyak emosi apalagi tersulut dengan percikan api dari emosi sang suami. Ditambah dengan sifatnya yang mudah meneteskan tangis pun tak heran jika ia memalingkan wajah sedari tadi. "Aku rasa ini yang terbaik untuk kita yang tak lagi bisa bersama. Kita benar-benar ... tak bisa bersama. Kumohon mengertilah ... . Jadi, jangan memaksa," katanya kemudian.

"Jadi, jangan memaksaku juga, karena aku tidak terima jika harus bercerai denganmu begitu saja," jawab Jyuto cepat bahkan tak segan merengkuh kedua bahu istrinya.

" ... Sudah kubilang jika kita tak bisa bersama."

Jyuto menggertakkan giginya. "Kita juga tidak bisa bercerai, karena aku tidak terima!"

"Untuk apa kalau kita tidak bisa bersama!"

"Karena aku mencintaimu, wanita bodoh!"

"Aku tidak!"

Seketika perdebatan itu kembali menjadi sebuah keheningan dengan bumbu ketegangan. Masing-masing dari mereka terdiam dengan rasa sakit yang teramat sangat dalam dada. Entah karena satu dua kalimat atau memang gugatan perceraian yang terasa berat sebelah.

" ... Selama ... dua tahun kita ... menikah?" Ucapan Jyuto jadi terbata-bata. Pun kedua tangan yang merengkuh kuat kedua bahu istrinya itu perlahan terlepas.

Sadar dengan suasana yang ada pun Akazumi angkat bicara. "Aku tidak peduli seberapa besar, berat, panjang perjalanan kita dalam berkeluarga jika pada dasarnya hubungan ini hanya sebatas perjodohan semata ... walau seiring berjalannya waktu cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya, tapi ... tidak bisa. Kita tidak bisa bersama kalau cinta berpihak pada salah satu sisi, Iruma ... Jadi, aku ingin kita bercerai saja ... daripada aku harus mencintaimu dengan paksa." Wanita itu mencoba untuk tidak bergetar dalam nadanya.

Jyuto kembali menggertakkan giginya pun kali ini diikuti dengan kepalan tangan yang berlapis sarung tangan merah. "Kau-"

"Kumohon, mengertilah. Pulang, tenangkan dirimu, dan berikan tanda tanganmu di surat gugatan cerai kita ... " Akazumi memotong dengan segera sambil menyodorkan amplop yang berisi surat gugatan cerai.

"Akan aku tandatangani saat kita selesaikan semuanya di rumah."

"Aku ingin ini selesai saat ini juga."

Rupanya mereka saling memaksa. Sepertinya memang tidak bisa bersama. Masing-masing dari mereka telah dikuasai dengan egonya.

"Akh! Terserah!" seru Jyuto seraya mengambil amplop tersebut secara kasar dari tangan sesosok wanita yang membuatnya kecewa akan cinta, kemudian meninggalkan Akazumi seorang diri di depan gedung pengadilan sana. Entah menuruti ucapan sang calon mantan istrinya atau karena terlanjur dikuasai dengan kekecewaan dalam dada.

Pun pada akhirnya, Jyuto memilih tancap gas menuju ke kediaman keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan menjadi kediaman pribadinya tanpa sesuatu yang berharga. Pasti akan terasa hampa, setelah berpecah-belah.

Terlebih retak hati semakin menjadi. Benar rupanya jika sedikit demi sedikit akan menjadi sebuah bukit. Berat sudah batin yang benar-benar tak mampu menampung segala pedih dalam hati, apalagi ketika melihat amplop yang berisikan gugatan cerai yang diinginkan langsung dari sang istri. Dapat Jyuto rasakan jeritan sakit dari dada kiri. Luka yang membuatnya dikuasai emosi.

DIN! DIN!

"Hey!"

Sementara Akazumi hanya berdiri di tempat bersama dengan lara hati yang teramat sangat. Tak dapat dipungkiri jika ini adalah kenyataan yang berat, terlebih untuk sang calon mantan suami yang telah terikat oleh benang merah begitu erat.

Namun, tak Akazumi sangka jika lara yang dirasakan oleh Jyuto membuat sang calon mantan suami berkendara tak karuan. Memunculkan ketakutan pun kekhawatiran dalam diri Akazumi secara bersamaan. Membuat wanita itu reflek melangkahkan kakinya seraya berteriak, "Jyuto!"

Dengan amat sangat Akazumi berharap jika Jyuto akan baik-baik saja dan sampai di tujuan dengan selamat.

Jyuto tak menyadari jika emosi yang menguasai diri membuatnya nyaris tertabrak salah satu mobil tadi. Pria itu masih bersyukur akan napas yang masih ia hirup hingga detik ini, walaupun keterkejutan yang dirasa tak sebanding dengan luka akan kekecewaan terhadap sang calon mantan istri, karena sungguh ini sebuah bencana yang tak ia kira, apalagi dari Akazumi, sang istri yang dia cintai selama dua tahun pernikahan jalur perjodohan mereka ini.

Sesaat tak banyak waktu bagi Jyuto untuk bersedih, ketika sesuatu yang lain mengejutkannya kembali, yaitu sebuah kecelakaan yang terjadi pada mobil yang hendak menabraknya tadi.

Kenapa ini? Sungguh hari ini terasa kacau sekali, pikir Jyuto yang sempat melirik kecelakaan yang sedang terjadi. Namun, sayang sekali Jyuto tak ingin putar balik, hanya karena takut bertatap wajah dengan sang calon mantan istri. Pun pria itu tahu jika Akazumi akan menangani hal semacam ini, secara ia yakin jika wanita itu masih setia di sekitar kecelakaan yang terjadi sesaat tadi.

Betapa miris sekali, ketika membayangkan sikap heroik Akazumi yang tertuju pada seorang asing, sementara dirinya menguatkan diri dalam mengumpulkan kepingan hati yang berceceran dalam diri. Lebih-lebih makin hancur lebur, setelah melihat kembali surat cerai yang ia rampas dari sang calon mantan istri.

Tak ingin tahu-menahu apa yang akan terjadi nanti, Jyuto memilih untuk merebahkan diri. Mencoba larut dalam kenyamanan ranjangnya seorang diri, alih-alih sedang mencoba untuk tidak mendadak sentimentil, walau perih dalam dada makin menjadi.

Semilir angin seolah membuka jendela. Memudahkannya masuk untuk mencoba menyejukkan Jyuto yang kini mendudukkan diri di tepi ranjang seraya menatap kosong ke arah kertas gugatan cerai yang nyaris tak berbentuk saking banyak ia meremas benda tersebut, ketika harus tetap ia tandatangani segera dengan bantuan cahaya remang-remang sang rembulan indah yang membentuk siluet dirinya seorang di lantai sana.

Tibalah saat di mana seseorang membuka pintu kamarnya. Sesaat Jyuto enggan mengalihkan pandangan, sebelum akhirnya sebuah suara yang tak asing berkata, "Papa ... ." Entah mengapa suara rendahnya terdengar seperti seorang yang bersedih saja.

Tentu saja dengan cepat Jyuto menoleh ke asal sumber suara. "Yuuto?" gumamnya sesaat, kemudian menghampiri dan mengambil posisi jongkok guna menyamakan tinggi dengan si bocah yang dia panggil Yuuto barusan, setelah menyembunyikan sebuah kertas yang menjadi sumber lukanya, terlebih bagi si bocah juga. "Ada apa?" tanyanya dengan khawatir, setelah menyadari suara rendah si bocah.

"Di mana Mama? Apa dia baik-baik saja dan akan pulang dengan segera?"

Pertanyaan dari bocah bernama Iruma June Yuuto yang merupakan anak pertama dari sepasang suami-istri Iruma itu sukses membuat dada Jyuto yang penuh luka pun ditindih dengan rasa gundah.

Dengan sangat terpaksa Jyuto menyunggingkan senyum terbaik yang ia bisa seraya berkata, "Kenapa tiba-tiba seperti itu? Tentu saja Mama akan menjalankan hari dan pulang seperti biasa."

Sesungguhnya Jyuto tak yakin.

Yuuto terdiam sesaat. "Souka? Aku hanya ... heran mengapa Papa pulang sendiri begitu cepat tanpa Mama. Aku tidak keberatan sendirian, karena aku bisa menemui kalian ... !" katanya dengan sangat antusias, walau masih bertanya-tanya mengenai sang ibunda.

"Keinginannya bisa berubah-ubah."

"Eh?"

Sesaat Jyuto kelu, ketika ucapannya membuat si kecil terpaku. "Ah, kau tahu Mamamu, bukan? Terkadang meminta sesuatu yang membuat Papa bingung ... Dan, yah, akhirnya Mama meminta Papa pulang tanpa harus ... menjemput. Yah, mungkin Mama harus menginap di sana untuk menjaga pasien, 'kan?" ucapnya panjang lebar alih-alih membujuk.

Wajah Yuuto malah cemberut. Tentu dengan imut. "Aku tidak mau kalau Mama sampai diantar-jemputkan Izanami itu," katanya.

"Sst, dasar pria kecil~ Tidak mungkin Papa biarkan begitu." Jyuto terkekeh seraya meletakkan jari telunjuk di depan bibir mungil anaknya itu.

Hey, apa mungkin benar ada permainan selingkuh? Karena Yuuto membuat beban pikiran dalam diri Jyuto.

"Baiklah." Seketika ucapan Yuuto menyadarkan Jyuto dengan segera. "Berjanjilah jika kalian tidak akan pergi ke mana-mana ... , ya?" tanyanya sebelum ia meninggalkan kamar kedua orang tuanya.

Senyum tipis yang terkesan miris, tetapi memancarkan tulus dari hati pun terlukis di wajah Jyuto saat ini. "Tidak perlu. Kita akan selalu bersama-sama, Yuuto."

Dan ucapan itu cukup membuat si kecil Iruma tersenyum bahagia saat meninggalkan kamar kedua orang tua yang tak ia ketahui akan segera bercerai kala ia memiliki adik yang mungkin tak akan ia temui, setelah perpisahan mereka.

Hal itu membuat dada Jyuto penuh dengan emosi-emosi yang berubah, bercampur, teracak di dalam. Entah reaksi seperti apa yang harus ia keluarkan untuk menanggapi semua kekacauan hari ini yang masih berupa awal dari sebuah pecahnya keluarga Iruma, terlebih apa yang harus ia lakukan pada anaknya? Senyum polos yang tak mengetahui luka dalam dari sebuah sakitnya perpisahan itu membuat Jyuto tak tega.

Namun, bagaimana dengan istrinya? Bagaimana bisa wanita itu tega? Jyuto tak habis pikir dengan surat cerai yang sekarang harus ia tandatangani agar sah berpisah.

"Keinginannya bisa berubah-ubah."

Senyum miris kembali terlukiskan. "Tidak untuk yang satu ini, 'kan?"

"Di mana Mama? Apa dia baik-baik saja dan akan pulang dengan segera?"

"Kau ... apa yang kau inginkan sebenarnya?" Dan segera setelah itu, remuk sudah surat cerai di tangannya. Sebisa mungkin ia melampiaskan amarahnya pada kertas itu saja daripada membuat Yuuto kembali bertanya-tanya.

" ... Walau tak ditandatangani pun kau akan pergi ... ," gumam Jyuto seraya mencoba terlelap sebisa mungkin. Entah untuk menghindari sakit di hati dan melupakan semua drama ini atau memang berniat terlelap dalam mimpi.

Manik emerald yang terlepas dari kacamata yang Jyuto kenakan selama sehari masih bisa menangkap cahaya rembulan yang lembut dengan ditemani satu buah bintang di samping kiri. Entah karena penglihatannya atau memang hanya satu bintang kecil yang rela menemani.

Lagi-lagi terasa perih. Jyuto berhenti mengamati. " ... Malam ini akan jadi malam terakhir kita bersama-sama seperti ini ... di sini ... rumah ini ... keluarga ini ... ."

Sungguh suatu malam indah yang tiada guna pun menyedihkan kala diakhiri dengan sebuah perpisahan dadakan disusul kesepian sepanjang lelap damai Jyuto yang sendirian.

Namun, dengan lelap ini, Jyuto berharap jika ia tak lagi merasakan sakit hati, walau harus diobati dengan ilusi, yaitu sebuah mimpi indah, sebelum ia benar-benar bercerai dengan Akazumi.

Sialnya, betapa Jyuto terganggu dengan perih yang terasa pada dada kiri yang kian menjadi. Membuatnya meremas kain pakaian yang tepat pada bagian dada kirinya seolah menekan denyutnya agar berhenti mengalirkan rasa sakit.

"Aku mengajukan gugatan perceraian pada pengadilan barusan saat mengandung anak kedua kita ... kau bukan ayah dari dia yang kukandung sekarang."

Separah itukah sakit hati? Jyuto tak dapat melakukan apapun, selain menahan dan meringis, ketika perih, pedih, sakit yang dirasakan oleh dada kirinya adalah ini seolah membuatnya untuk mencicipi bagaimana rasanya mati.

" ... Jyuto!"

" ... Hey!"

"To ... !"

"Berisik! Ini ... sakit!"

"To! ... Jyuto! Hey! Dengarkan aku! Buka matamu!"

Begitu terpaksa Jyuto membuka mata dengan pandangan kabur pun berkunang-kunang yang membuat manik permata pria itu tak dapat menggambarkan dengan jelas siapa yang sempat berisik dengan memanggil namanya.

"Hey, tenanglah ... ! Kumohon, buka matamu! Lihat aku ... !"

Namun, indra peraba pria itu dapat dengan jelas menangkap kehangatan yang tak asing lagi dirasakannya pun membuat detak jantung yang sempat berdenyut perih itu tenang seketika, kemudian sebuah suara yang sama seperti sebelumnya kembali berkata, "Tenanglah, kau baik-baik saja ... ." Bahkan kehangatan itu semakin terasa nyaman sekali di sekujur tubuhnya, ketika tahu suara yang sempat kembali berkata tersebut memberi sebuah dekapan hangat yang membuat matanya terpejam dengan rasa damai.

Sayangnya tidak semudah yang Jyuto kira, ketika merasakan segala sesuatunya terasa familiar.

Pun pria itu kembali membuka netra permatanya. Pancaran cahaya putih yang menyilaukan menyambutnya saat itu juga. Jyuto segera menyesuaikan penglihatan dengan cahaya silau yang ada, sebelum akhirnya terbelalak, ketika tahu di mana ia berada.

"Kau merasa lebih baik sekarang?"

Dan dengan segera Jyuto melepas diri dari sebuah pelukan sesosok wanita yang tak disangka-sangka kehadirannya.

" ... Jyuto ... ?" Tersirat ekspresi penuh tanda tanya yang terlukis di wajah Iruma Akazumi yang tak Jyuto percaya jika wanita yang berada di hadapannya ini benar dia.

Suhu ruangan dengan suasana canggung nan menenggangkan pun membuat keringat dingin mengucur dari dahi Jyuto perlahan. "B-bagaimana bisa ... kau di sini?" katanya kemudian dengan gemetaran.

Kekhawatiran pun keheranan menjadi satu ekspresi di wajah Akazumi, setelah mendengar apa yang dikatakan sang suami. "Bukankah hal biasa aku di sini? Terlebih aku khawatir saat kau meringis sakit tadi." Akazumi menjawab apa adanya seraya memeriksa kembali keadaan Jyuto terlebih detak jantung yang sedari tadi di remas dada kirinya. "Apakah dadamu masih terasa sakit?"

Jyuto dengan segera menghindar walau nihil hasilnya. "T-tidak, maksudku, kita-" Pun pria itu terpaksa menepis tangan Akazumi, sebelum benar-benar menyentuh dada kirinya. "-seharusnya kita ... , seharusnya kita bercerai ... Kau yang meminta perceraian semalam, 'kan?"

" ... Begitu? Jadi, kau memang benar bermimpi buruk."

Seketika lidah Jyuto kelu. Hey, bagaimana bisa mengambil kesimpulan secepat itu?

"Apa yang-" Ucapan Jyuto berhenti begitu saja kala kehangatan dari telapak tangan wanita yang masih tak bisa dia percaya kehadirannya pun bergesekan lembut dengan pipinya.

Terasa nyaman pun indah. Apa benar ini semua nyata? Jyuto tak bisa berhenti bertanya-tanya.

Sementara wanita itu berkata, "Tenanglah, aku masih di sini bersamamu. Kenapa kau seolah memaksakan sesuatu yang ada pada mimpi burukmu itu?" Akazumi tak bisa berhenti keheranan sebenarnya.

"Mimpi buruk? Apa maksudmu dengan mengatakannya semudah itu? Kau anggap semalam itu lelucon yang menghibur?" Jyuto raih pergelangan tangan Akazumi secara perlahan. "Kau berniat membodohiku?" Pun berniat menepis tanpa segan mengingat gugatan perceraian dadakan yang dilakukan Akazumi membuatnya sempat dan terus kesakitan, tetapi dengan cepat dilupakan ... ?

"Kalau begitu, berikan surat cerai padaku agar mimpi buruk itu terwujud," kata Akazumi yang tak kalah cepat agar tak mendengar ocehan menyedihkan dari sang suami yang terus mengeluh akan mimpi buruk yang membuatnya bersikukuh jika memang kenyataannya seperti itu.

Ah, ya, surat cerai. Satu benda yang membuat Jyuto membebaskan pergelangan tangan Akazumi dari cengkeraman amarahnya seketika. Satu benda yang membuat Jyuto menggertakkan gigi, ketika tak dapat mengingat di mana benda itu berada kala ia terlelap pulas begitu saja semalam. Satu benda yang akan melenyapkan hubungan pernikahan mereka dengan segera.

" ... Itu bahkan tidak ada ... ," ucap Akazumi yang tentu saja mengetahui maksud diamnya sang suami.

"Kau-" Jyuto menahan diri untuk tidak meludahi sang (calon mantan) istri dengan berbagai caci-maki. Pun Jyuto hanya mengepalkan kedua tangan dan melepaskannya dalam sekali hantam pada dinding di samping yang jelas tak ada sangkut-pautnya dengan masalah sepele antara ia dengan Akazumi. "Jika bukan karena kenyataan dari keinginanmu, aku tidak akan repot mengurus lagi surat cerai itu." Tanpa segan dia memilih untuk beranjak pergi.

Segera setelah ucapan yang tak sempat terbalaskan pun pintu dari kamar yang menjadi saksi kebersamaan sepasang suami-istri Iruma itu sepenuhnya tertutup.

Sementara Akazumi yang senantiasa duduk hanya bisa menatap pintu tertutup itu seraya menyunggingkan senyum sendu. " ... Sebelum itu, maafkan aku jika nanti kau tahu ... ," lirihnya dengan pilu.

Entah kata seperti apa lagi yang dapat mengungkapkan luka dalam hati yang terus mengalirkan sakit setiap detik denyut jantung mereka masing-masing.

Bahkan setelah semua kejadian menyedihkan kemarin sampai detik ini pun semesta tak mendukung suasana hati Jyuto yang tengah menahan perih sepanjang hari, terlebih ketika ia mengurus surat cerai dengan sang (calon mantan) istri. Gulita yang ia harapkan bersuasana suram itu malah bertabur bintang kecil dengan tambahan cahaya remang-remang dari sang rembulan yang cukup menenangkan batin. Namun, entah sampai kapan ketenangan itu akan terus menemani.

"Aku mengajukan gugatan perceraian pada pengadilan barusan saat mengandung anak kedua kita ... kau bukan ayah dari dia yang kukandung sekarang."

"Kalau begitu, berikan surat cerai padaku agar mimpi buruk itu terwujud."

" ... Itu bahkan tidak ada ... ."

Jyuto menggertakkan gigi. " ... Mimpi ... ?" Lagi-lagi surat cerai yang baru saja selesai diurus oleh pihak berwajib pun ia remas, ketika rasa sakit yang sama terasa kembali, bahkan itu lebih sakit dari kemarin.

Bagaimana tidak jika sesuatu yang seharusnya terasa begitu pedih malah dianggap mimpi?

Pun semakin gulita langit, semakin terang bintang kecil. Namun, tidak untuk Iruma Jyuto yang masih dengan suasana hati yang belum membaik, ketika tahu ia harus menghadapi suatu hal yang membuat hati kecilnya kembali tersakiti.

Dan di sinilah pria polisi tersebut berada, setelah keluar dari mobil mewah dengan surat cerai yang dia bawa di tangan menuju ke dalam rumah yang hampa rasanya mengingat apa yang akan terjadi saat ia menginjakkan kaki di sana.

Dengan ini, malam ini, Jyuto dan Akazumi akan resmi berpisah. Namun, mengingat percakapannya dengan sang buah hati semalam tentu membuat hati tak tega. Lebih-lebih pria itu menuju kamar Yuuto guna memastikannya terlelap dalam mimpi indah, walau setelah malam ini berakhir tak akan mungkin baginya untuk bermimpi indah.

Jyuto menghela napas, kemudian menutup pintu kamar Yuuto secara perlahan. Mau tidak mau dia harus merasakan sakit dalam diam daripada membiarkan anaknya melihat perpisahan dia dengan Akazumi malam ini.

Enggan berbasa-basi dengan makan malam pun Jyuto memilih menuju lantai atas, lebih tepatnya kamar tidurnya, hingga netra permatanya segera menangkap sesosok wanita dengan balutan piyama manis yang terkesan anggun di bawah sinar rembulan dari balik jendela yang terus ditatapnya, hingga tak lama wanita itu berbalik dan menatapnya.

Namun, siapa sangka dia tersenyum dan berkata, "Okaeri."

Jyuto sempat menggigit bibir. Sayang sekali ia mendecih, "Cih, menyedihkan sekali. Kau di sini menikmati kesendirian seolah menunggu kepulanganku seperti seorang istri, sementara membiarkan Yuuto tidur sendiri." Pun dia enggan melangkahkan kaki untuk memasuki kamar tidur tersebut.

Wanita itu Akazumi hanya menghela napas. "Ya, kau bahkan tidak tahu jika dia berkata bahwa sungguh sebuah mimpi indah, ketika dia masih bisa melihatku dan bersama-sama denganku. Dia berharap akan terus seperti itu ... . Itu, maksudku itu tak kudapatkan darimu saat aku masih menetap beberapa saat hanya untuk bersamamu kau tahu ... ," katanya panjang lebar dengan senyum tipis di wajah.

"Kau pikir siapa yang membuatku begitu hancur? Aku hanya menuruti keinginanmu," sarkas Jyuto membalas ucapan panjang lebar sang calon mantan istrinya itu.

" ... Begitu." Lagi-lagi Akazumi hanya bisa mengakhirinya dengan senyum tanpa ada niatan mendekati sang suami yang seharusnya dia bantu ini dan itu untuk persiapan tidur.

"Ya, tadaima." Entah atas dasar apa Jyuto menjawab salam sederhana dari sesosok wanita yang tak lama lagi bukan miliknya, ketika ia sudah memberikan surat cerai itu pada Akazumi beserta pena. "Tandatangani ini sekarang juga," katanya yang kemudian berlalu pergi menuju kamar mandi begitu saja.

Sementara Akazumi menerima surat cerai tersebut dengan tangan gemetaran. Namun, yang dia lakukan hanyalah membaca kalimat demi kalimat yang tertuliskan yang cukup menyakitkan. Terus seperti itu sampai akhirnya Jyuto selesai membersihkan badan.

Hal itu membuat Jyuto keheranan. "Apa yang kau pikirkan? Cepat berikan tanda tangan. Kau ingin semuanya selesai dengan segera, bukan?" Pun Jyuto enggan menghadapi kepahitan sebuah perpisahan yang ditahan-tahan.

" ... Aku tahu," jawab Akazumi yang beberapa detik setelahnya ia mulai mengangkat pena di tangan yang bersiap mengukir sebuah tanda tangan miliknya.

"Ya, kau bahkan tidak tahu jika dia berkata bahwa sungguh sebuah mimpi indah, ketika dia masih bisa melihatku dan bersama-sama denganku ... ."

"Sebelum itu-"

Ucapan Jyuto membuat tangan Akazumi terhenti. Wanita itu berbalik dan menatap sang suami yang baru saja selesai merebahkan diri dengan kedua mata yang tak lagi bersembunyi di balik kaca bertingkat itu kini tertutup lengan tangannya sendiri. Akazumi menunggu ucapan Jyuto yang nampak menggantung tadi.

" ... Bisakah kau menciumku, sebelum aku benar-benar kehilanganmu ... ?" pinta Jyuto seperti sebuah lirihan pilu. Pun ia memberanikan diri untuk menatap reaksi Akazumi mengenai permintaannya tersebut. "Karena, mungkin ... ini benar-benar mimpi indah, sebelum kau pergi dari pelukanku ... selamanya," gumamnya kemudian dengan harapan Akazumi tak mendengar sepatah kata darinya.

Karenanya menciptakan keheningan yang berlangsung cukup lama. Rasanya Jyuto membuat permintaan bodoh yang malah mempermalukan dirinya. Namun, ia hanya ingin bahagia untuk terakhir kalinya bersama dengan orang yang dia cinta. Itu saja ... .

Pun tak disangka kedua tangan dengan telapak yang memancarkan kehangatan yang begitu lembut itu menangkup pipi sang pria menyedihkan yang enggan ditinggalkan. Sesaat Jyuto tersipu dengan gemetaran. Namun, rasanya ia dipenuhi dengan kupu-kupu yang berterbangan.

Oh, kapan terakhir kali ia begitu dipenuhi dengan luapan bahagia yang nyaris berlebihan? Jyuto bertanya-tanya.

" ... Kau tidak terpaksa, 'kan?" Jyuto mendadak menatap Akazumi dengan sendu, karena ia tahu rasa dari ciuman dengan suasana hati yang berbeda itu akan sangat mungkin terasa buruk.

Akazumi hanya tersenyum, sebelum akhirnya menempelkan keningnya pada suaminya tersebut, kemudian berkata, "Kau tidak akan pernah kehilangan aku, karena aku senantiasa di sisimu, walau sebatas mimpi indah dalam tidurmu."

"Ta-" Jyuto tak bisa lagi melanjutkan sepatah kata dari kalimatnya, ketika bibirnya telah dikunci dengan segera oleh kelembutan manis dari bibir ranum Akazumi cukup lama, ketika ia mulai membalas ciuman yang membuat pandangannya buram kian detiknya.

"Oyasumi. Sweet dream."

Hey, Jyuto masih ingin bertanya mengenai kalimat calon mantan istrinya barusan.

"Maafkan aku, ya, yang telah membuat perpisahan yang buruk daripada perpisahan pada umumnya ... "

Dan itu apa maksudnya.

"Setidaknya aku lega saat kau baik-baik saja ... . "

Sesungguhnya Jyuto masih bertanya-tanya. Tentang semuanya di tengah kelembutan manis yang masih dia rasa.

"Hey, kalimat seperti apa yang lebih berkesan daripada 'aku mencintaimu selamanya', Jyuto-kun?"

Sayang sekali pria itu terlanjur menutup mata.

" ... Aku tidak tahu, Kazumi ... . Kenapa tidak coba kau katakan itu saja padaku, walau terkesan klise?"

"Terima kasih."

"Aku hanya berharap kau tidak pergi."

Perlahan kelembutan kasih dari manisnya bibir Akazumi tak lagi dirasa. Ciuman mereka pun telah usai. Bibir mereka saling terpisah. Pun Jyuto mulai menampakkan netra permata miliknya. Alih-alih kembali menatap jauh ke dalam netra gulita calon mantan istrinya. Namun, bukan cahaya rembulan yang lembut sinarnya, tetapi sebuah cahaya menyilaukan mata. Entah memang karena minus Jyuto atau benar cahaya itu yang terlalu terang sinarnya.

Pria itu hanya bisa melenguh di tengah keramaian di sekita drengan aroma khas obat-obatan menyeruak indra penciumannya. Sekilas membuat Jyuto bertanya-tanya di mana pun ia mendadak tak memiliki tenaga untuk menggerakan salah satu anggota tubuhnya, kecuali kepala yang menoleh ke keramaian berada, yaitu di satu tempat di mana ada seorang yang berada terbaring tak berdaya di ranjang sebelah.

Dengan pandangan samar-samar antara rabun dan mengumpulkan kesadaran pun Jyuto mencoba memperjelas objek yang tertangkap netra.

"Mama ... ? Mama mendengarkanku? Nee, Mama dengar aku, 'kan? Karenamu, Papa baik-baik saja, loh ... Papa, Papa, baik, loh ... "

Ah, sepertinya percuma. Jyuto malah nyaris kehilangan kesadaran jika terus memaksa demi melihat siapa yang berada di ranjang sebelah. Ia hanya bisa mendengar sebuah suara asing dan tak asing di sekitarnya.

Namun, mengapa ada tangisan juga? Ada apa sebenarnya?

"Hiks ... , tapi, kenapa Mama tidak?"

Isak tangis yang terus menyebut seorang di sebelah sebagai mama membuat Jyuto yakin jika yang terbaring di ranjang sana adalah seorang wanita. Apakah ibu dari anak tersebut, ya? Memang benar begitu sampai satu fakta membuat Jyuto terkejut seketika, yaitu ketika melihat sebuah tangan sang wanita yang tergelantung di samping ranjang tersebut tersematkan sebuah cincin pernikahan di jari manisnya yang sama seperti yang istrinya punya.

Dan saat itu juga suara berisik dari elektrokardiogram menambah suasana ramai di sana. Kebisingan resah, karena detak jantung Jyuto tak baik-baik saja.

"Papa!"

"Polisi bodoh!"

BAGH!

"Samatoki!"

Kekacauan pun tercipta, ketika Jyuto dengan bodohnya melompat bangun tiba-tiba. Membuat tenaga medis di sana, kedua temannya, terlebih anaknya menghampirinya dengan segera, ketika detak jantung Jyuto kritis seketika.

Namun, pria itu nampak tak peduli pada detak jantung yang sedang tidak baik-baik saja pun hantaman yang dia terima dari salah satu temannya itu tak terasa. Syukur ia masih bernyawa di tengah kritisannya jantung ditambah dengan hantaman maut temannya, saking tak percaya akan siapa yang terbaring di ranjang sebelah, hanya karena cincin pernikahan istrinya yang tersemat di jari manis sang wanita.

Itu hanya kebetulan, bukan? Jyuto tak perlu seterkejut itu, 'kan? Ya, 'kan?

"Kau kelinci gila!" Tiba-tiba pakaian Jyuto yang entah sejak kapan berubah menjadi pakaian pasien pun ditarik oleh salah satu temannya yang sempat melayangkan tinju di wajahnya. "Kau pikir apa yang kau lakukan, hah?! Kau ingin mati setelah sadar?! Bajingan sekali kau menyia-nyiakan istrimu yang mengorbankan jantungnya!"

"Samatoki juga tidak boleh begitu ... !"

"Asal kau tahu dia bodoh!"

Seruan itu membuat napas Jyuto tercekat, detak jantung makin cepat, pun dia sendiri terdiam di tempat.

Jadi ... benar, ya, jika yang terbaring di sana dengan cincin pernikahan istrinya itu adalah istrinya sendiri, yaitu Iruma Akazumi?

"M-maksudmu ... dia, tapi ... a-aku baru saja .... Dia baru saja .... K-kazumi, dia-" Ucapannya terhenti, ketika merasakan sentuhan dari kedua tangan kecil, bersamaan dengan bulir-bulir bening yang tanpa Jyuto sadari mengalir tanpa izin, kemudian beralih pada sesosok bocah yang tak lain adalah darah dagingnya sendiri yang kini sedang menahan isak tangis.

Kedua lengan tangan kecil itu memeluk sang ayah dengan penuh kasih, walau hati berduka tiada henti, terlihat dari bulir bening yang terus-menerus mengalir. "Tenanglah, Papa ... P-papa baik-baik saja ... J-jangan seperti Mama yang meninggalkan kita ... M-mama, Mama, M-mama sudah-" Sungguh sakit tenggorokan si bocah. Iruma June Yuuto tak tahan dengan duka yang memenuhi dada, karena sang ibunda yang telah tiada, setelah mengorbankan nyawa untuk sang ayah, dan semua itu diketahui olehnya segera tanpa perantara.

Dengan tangan gemetaran Jyuto mendekap erat putra yang satu-satunya dia miliki sekarang. "B-bagaimana bisa ... ?" Dan dengan semua itu Jyuto masih tak percaya.

"Itu karena kau yang sentimental!" Aohitsugi Samatoki tak hentinya memaki saking panasnya hati.

"D-dan salah saya juga." Seseorang berkata sesaat memasuki ruang rawat Jyuto, hingga menari semua pandangan mata di sana, tak terkecuali Jyuto sendiri dengan wajah bertanya-tanya.

Seseorang yang merupakan pria tersebut sempat meneguk ludah dengan susah payah, sebelum akhirnya berkata, "Saya adalah pelaku yang bertanggung jawab atas kecelakan yang menimpa Anda, Iruma-san. Itu karena saya berkendara dalam keadaan setengah mabuk ...

"Dan wanita ini yang meminta saya untuk membawa Anda ke rumah sakit segera, karena katanya daripada fokus pada penyesalan, lebih baik perbaiki dengan apa yang bisa lakukan. Namun, saya masih merasa bersalah, walau wanita ini juga berkata jika Anda juga dalam keadaan yang tidak baik-baik saja .... " Benar saja. Terlihat jelas sekali rasa penyesalan yang mendalam di wajah sang pria.

"'Kan? Kau dengar sendiri, 'kan?" timpal Samatoki seraya menatap Jyuto tajam, setelah mendengar semua kesaksian dari pelaku kecelakaan tadi.

Sementara Jyuto hanya menganga dengan bulir bening yang tak henti mengalir. Sungguh tak ia ketahui jika kecelakaan yang ia lihat di sekitar Akazumi itu nyatanya menimpa dia sendiri.

Namun, bagaimana bisa semuanya masih terasa begitu sakit, sebelum ciuman terakhir dari Akazumi?

"Kita keluar saja, Samatoki," ucap Rio Mason Busujima yang juga salah seorang teman Jyuto lainnya seraya memegang pundak Samatoki yang kali ini dengan penuh penekanan agar pria berambut putih tersebut berhenti.

"Cih. Rugi sekali." Samatoki memilih menetap di sini, alih-alih menggantikan perjalanannya hanya untuk teman bodohnya satu ini, walau sesungguhnya ada sedikit rasa ingin menemani Jyuto di saat kehilangan sosok yang dicintai. Samatoki mengerti.

Pria berambut putih itu kembali mengamati ayah dan anak yang terus bersedih, terlebih Jyuto yang menatap kosong dengan bulir bening yang terus mengalir pada sesosok wanita yang temannya itu cintai yang kini dibawa ke luar menuju kamar mayat oleh semua tim medis yang sempat memberikan penghormatan pada mayat dokter wanita yang juga bekerja di rumah sakit ini.

Badan Jyuto seolah tergerak sendiri untuk mengikuti ke mana mayat sang istri pergi.

"Tenanglah, Jyuto. Tidak akan ada yang bisa membuatnya kembali," ucap Samatoki yang dengan kejamnya membangunkan Jyuto dari mimpi.

"Jadi, kau pikir ini yang namanya ilusi? Atau aku yang masih bermimpi?" Sungguh Jyuto tak mau melepas Akazumi pergi.

" ... Kau pikir orang mati bisa hidup kembali? Bagaimana aku tidak emosi denganmu yang rewel begini?" Samatoki kembali mencengkeram erat kerah pakaian Jyuto.

"Apakah kau cukup pintar untuk menjelaskan mengapa dia bisa memberikanku ciuman terakhir? Sejauh mana kau bisa menjelaskannya, Samatoki!"

"Papa!" Yuuto menegur sang ayah sampai tak segan meninggikan nada bicaranya.

"Itu hanya mimpi, bajingan!"

"Kami mohon pada kalian berdua untuk tenang! Ingat, Iruma-san, Anda masih belum pulih sepenuhnya!" Dokter yang bertanggung jawab di ruangan tersebut pun turun tangan.

"Sejak kapan mimpi terasa menyakitkan!" Nyatanya Jyuto menulikan pendengaran. Justru karena ucapannyalah yang menciptakan keheningan. Persetan dengan memalukan. Jyuto memilih meluapkan tangisan di pundak putranya. " ... Mimpi macam apa yang terasa menyakitkan ... ," gumamnya kemudian.

Sesaat Jyuto tak dapat membedakan mimpi pun ilusi dengan realita, ketika sama-sama menorehkan luka, walau telah bersama dengan orang yang dicinta.

Sang dokter menepuk pelan pundak Jyuto seraya berkata, "Bahkan tanpa kecelakaan pun Akazumi-san akan tetap memberikan jantungnya pada Anda, karena penyakit yang Anda punya."

"Dan memilih bercerai saja daripada aku terluka karena cinta?"

" ... Lebih baik seperti itu, karena cinta tak menciptakan luka, Tuan ... "

Pelukan Jyuto pada Yuuto mengerat perlahan. " ... Menyedihkan .... " Tak Jyuto sangka jika semua itu adalah bentuk perjuangan untuk menutupi kenyataan dari sebuah perpisahan. Namun, tetap saja terasa begitu menyakitkan saat melepaskan, terlebih anak keduanya yang juga jadi korban, walau tahu semua atas dasar keinginan.

"J-jangan seperti Mama yang meninggalkan kita."

" ... Maaf, kita telah kehilangan Mama yang telah berkorban hanya demi Papa, Yuuto ... " Jyuto hanya bisa menyesali diri yang sempat egois di tengah keadaannya yang masih kritis.

"Tidak mungkin, Papa." Yuuto mengangkat wajah kusamnya setelah menangis itu untuk menatap sang ayah yang tak kalah kusam. "Mama di sini bersama-sama dengan kita. Iya, di sini, Papa," ucapnya lagi seraya menempelkan telinga pada dada Jyuto seraya memejamkan mata. Menghayati detakan demi detakan jantung ibunda yang ada pada sang ayah, sebelum akhirnya menyinggungkan senyuman dan kembali berkata, "Aku bisa membayangkan Mama bahagia di sana ...

"Nee, Papa, kau pria hebat yang bisa menepati janjinya. Kau benar-benar membuat kita bersama selamanya ... Benar, begitu, 'kan, Mama?" Dengan polosnya Yuuto berkata seraya berkomunikasi pada sang ibunda di sana.

Sementara lidah Jyuto kelu. Ya, apa yang dikatakan Yuuto benar begitu, ketika Jyuto merasakan detak jantung yang berdegub lembut dalam menyalurkan kehangatannya ke seluruh tubuh. Rasanya seperti di peluk. Sebuah bukti ajaib dari Akazumi yang tak larut dalam haru-biru. Detak jantung wanita itu dapat dengan cepat cocok dalam tubuh Jyuto.

Justru pria itu yang larut dalam haru. Ia hanya bisa menyunggingkan senyum seraya memeluk Yuuto yang nampaknya akan tertidur. " ... Ya, memang benar begitu .... "

Dan dalam sekejap, Yuuto terlelap dengan senyum bahagia. Pria kecil itu yakin jika ia akan kembali bermimpi indah, yaitu bertemu kembali dengan sang ibunda di sana melalui detak jantung sang ayah.

Berbaring, menutup mata, kemudian bahagia dalam mimpi indah. Namun, sesungguhnya rasanya tak semudah yang Iruma Jyuto kira. Bagaimanapun, mimpi adalah sesuatu yang tidak nyata. Setidaknya, Jyuto berbahagia dalam mimpi bersama orang yang dia cinta. Tak heran jika disebut sebagai mimpi indah.

Sekarang Jyuto tahu jika perjuangan dan pengorbanan adalah dua hal yang berbeda jauh, setelah merasakan kebahagiaan yang tercipta dari dua hal tersebut.

"Nih." Samatoki memberikan sekotak tisu pada Jyuto, kemudian berlalu meninggalkan pria rewel tersebut. "Wajahmu jelek," katanya yang tak terlihat lagi, setelah menutup pintu ruang rawatnya itu.

Jyuto hanya terkekeh, sebelum akhirnya menerima tisu, mengusap air mata, membersihkan kacamatanya, kemudian mengenakannya, terakhir mengelus lembut surai putranya yang tertidur pulas seraya terus mendengarkan detak jantung milik istrinya yang berada dalam dadanya.

Jyuto ingin mendengarkannya juga. Matanya pun terpejam seketika. Dapat dengan jelas ia dengar detak jantung di dalamnya kian detiknya. Rasanya seperti mendengar Akazumi berbicara ...

"Oyasumi. Sweet dream."

"Maafkan aku, ya, yang telah membuat perpisahan yang buruk daripada perpisahan pada umumnya ... "
"Tidak, terima kasih. Oyasumi, sweet dream, Kazumi."

Perjuangan yang cukup berkesan di antara khayalan dan kenyataan yang sama-sama menyakitkan hanya dapat mempertemukan mereka dalam bayangan mimpi indah yang setidaknya meninggalkan secercah kebahagiaan, walau sesaat kemudian hanya akan tinggal kenangan.

Kebahagiaan miris yang hanya sebatas mimpi untuk memutar ulang memori.

🌙 ·  ·  ·  ──────── · ·  · 🌙
The End
Story By -MrsIrm
🌙 ·  ·  ·  ────────  · ·  · 🌙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro