08. Lena's Father

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hana, apa kau baik-baik saja?" Kai melangkah menghampiriku ketika siang itu aku tengah ada di ruang kostum, fitting gaun untuk acara nanti malam.

"Hm? Memang aku kenapa?" tanyaku balik.

Kai menelengkan kepalanya.
"Mm, kau kelihatan tak sehat, dan kau pucat."

Aku cepat-cepat tersenyum.
"Aku tak apa-apa. Sedikit lelah mungkin," ucapku.

"Nanti malam adalah pemilihan top 3, satu peserta akan dipulangkan lagi. Jadi kau tak boleh sakit. Jujur aku lebih suka kau yang pulang, tapi apapun keputusanmu, aku akan mendukungmu."

Aku tersenyum hambar, lalu mengangguk.

"Dan maaf kemarin aku tak bisa mengantarkanmu pulang. Tiba-tiba saja aku ingat kalau aku harus menggantikan rekan yang ijin." Kai meminta maaf dengan tulus.

Aku kembali tersenyum seraya merapikan gaun yang telah selesai kucoba, dan menggantungkannya kembali ke dalam lemari kaca.

"Tak apa-apa," jawabku pendek.

"Bagaimana keadaan Lena?"

"Dia sudah sehat. Lizzy merawatnya dengan baik."

"Oh, syukurlah kalau begitu. Oh iya, kalau kau tak keberatan---" Kalimat Kai tertahan ketika fokus pandanganku beralih ke sosok figur yang berkelebat di depan pintu ruang kostum.

"Sean!" panggilku spontan.

Aku menatap Kai dengan sorot permintaan maaf. "Kai, sebentar ya. Aku harus bicara dengannya."

Sempat menangkap kekecewaan di mata lelaki berhidung mancung itu, toh aku tetap berlalu meninggalkannya. Mengejar Sean.

"Sean!" Aku berlari kecil menyamai langkahnya. Lelaki itu melirikku sekilas, tak berniat menghentikan langkah.

"Kalau ada yang ingin kau bicarakan, ke ruang kerjaku saja." Ia berucap tanpa melihat ke arahku.

"Oke." Aku menjawab cepat, dan terus mengikuti langkahnya.

°°°

Sean duduk di pinggiran meja dengan kaki disilangkan, sementara tangannya bersedekap dengan angkuh. Raut mukanya dingin, tatapan matanya tak terbaca.

"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" Suaranya rendah.

Aku menelan ludah. Berdiri agak canggung di hadapannya.
"Itu. Tentang permintaanku yang ...." Rasanya aku tak mampu melanjutkan kalimatku.

"Kau pikir kau siapa berani memerintah diriku, huh?" Senyum sinis terbentuk di bibir Sean.

"Aku yang punya kuasa untuk menentukan siapa yang akan pulang, siapa yang akan tinggal. Tak seorang  pun boleh ikut campur, termasuk dirimu."

Tapi aku ingin pulang, ratapku dalam hati.

"Jangan karena kau telah menyerahkan tubuhmu padaku, maka kau berhak memerintah diriku. Setidaknya aku harus menidurimu beberapa kali, baru kau berhak mengajukan permintaan padaku. Bagaimana? Tertarik mencobanya?"

Tanganku terkepal. Nyaris saja aku melangkah menghampiri Sean lalu menampar pipinya atas semua hinaan yang ia lontarkan.

Tapi begitu melihat tatapan matanya yang jijik ke arahku, tubuhku lebur seperti butiran abu.

Kenapa aku harus marah atas penghinaannya?

Toh aku sudah bertingkah seperti wanita murahan di hadapan lelaki itu.

Aku menyerahkan tubuhku padanya dalam keadaan putus asa, aku bahkan menikmati berhubungan seks dengannya.

Terkutuk kau, Hana. Aku mengumpat dalam hati.

Merasa apa yang kuhadapi sia-sia, aku menarik napas, lalu berbalik. Melangkahkan kakiku dengan hati remuk meninggalkan ruang kerja Sean.

Tepat ketika aku sampai di ambang pintu, Sean kembali berujar datar, "Aku tidak akan mengirimmu pulang, Hana. Kau akan ikut acara ini hingga episode terakhir. Camkan itu."

Aku memejamkan mata sesaat. Dan tanpa menoleh kembali ke arahnya, aku beranjak.

Dan perlahan air mataku berjatuhan.

***

Aku buru-buru melangkahkan kakiku ke kamar tidur ketika mendengar suara ribut di dapur.

Sempat ingin mengabaikan, aku malah melangkahkan kakiku ke dapur, mencoba memeriksa apa yang terjadi.

Dan ketika sampai di sana, aku melihat Jenny dan Irene terlibat keributan verbal. Jenny terlihat meluapkan amarah dan sumpah serapah, sementara Irene pucat separti mayat, seakan bingung hendak menjawab.

Beberapa peserta juga ada di sana. Ada yang hanya menonton canggung, ada juga yang berusaha menghentikan keributan.

Tapi Jenny tetap saja berteriak menggebu-gebu.

"Apa-apaan ini? Hentikan." Aku menyeruak di antara mereka, mencoba melerai.

"Irene, kembalilah ke kamar. Jenny, sudahlah." Aku menghalau tubuhnya untuk menjauh dari Irene.

"Kalian berdua tak pantas berada di sini! Kau dan wanita itu sama!"Jenny berteriak di depan mukaku.

Aku mencoba mengabaikannya.

"Sudahlah. Hentikan pertengkaran ini dan kembalilah ke kamar," ucapku lagi.

"Kalian sama saja! Irene munafik, dan kau, kau perempuan murahan yang punya anak haram! Harusnya kalian enyah dari acara ini!"

Aku menatap Jenny tajam.
"Kau bilang apa?" desisku marah.

Jenny berjengit dan balas menatapku marah.

"Kenapa? Tak terima? Kenyataannya kau memang punya anak haram, kan?!" teriaknya sambil mendorong tubuhku.

Aku yang ganti berjengit ke arahnya.

"ANAKKU BUKAN ANAK HARAM!! DIA PUNYA AYAH!!" jeritku.

"Tapi lelaki itu meninggalkanmu, kan? Ia tak mau bertanggung jawab! Itu artinya kau punya anak haram!!" Jenny ikut menjerit.

"KAU BOLEH MENYEBUTKU APA SAJA, SEMAUMU! TAPI JANGAN BAWA-BAWA PUTRIKU! DIA BUKAN ANAK HARAM! DIA PUTRI TERCANTIK DAN PALING BERHARGA BUATKU! KAU TAK BERHAK MEMBAWANYA DALAM MASALAH DI ANTARA KITA!" Air mataku merebak.

"You're so pathetic!" Jenny mendekatkan wajahnya padaku.

"Aku tahu! Tapi jangan bawa-bawa putriku!"

Jenny mendorong tubuhku kembali, lebih keras, aku membalas mendorongnya.

Sempat terlibat saling dorong, akhirnya perempuan itu menjerit kesakitan ketika aku bergerak, lalu menjambak rambut panjangnya.

Jenny membela diri dengan membalas menarik rambutku.

Tak pelak akhirnya kami terlibat perkelahian. Saling menjambak,  bahkan sempat bergumul di lantai, mencoba saling memukul dan melukai.

Aku yakin sedang duduk di atas pinggulnya ketika kurasakan sepasang lengan kekar, mencoba melerai kami, lalu mengangkat tubuhku dari atas tubuh Jenny.

"Hentikan semua ini, tolong. Bantu aku memegangi Jenny." Ia memberi perintah. Beberapa perempuan di sekitar kami bergerak dan mencoba membantu Jenny bangun lalu memeganginya.

Aku menoleh dan mendapati Kai di sisiku. Ia mencengkeram lenganku erat.
Raut mukanya terlihat syok.

"Kameranya menyala." Ia seolah tengah memberitahukan berita buruk.

"Apanya?" Aku dan Jenny nyaris berteriak bersamaan.

Kai menunjuk ke arah kamera kecil di atas pintu dapur. "Kamera itu menyala. Merekam semua adegan perkelahian kalian. Tadi aku berlari ke sini secepat mungkin dan berusaha mematikannya. Tapi ternyata tetap tak cukup membantu, adegan perkelahian sudah terekam." Kai nyaris mendesis kesal.

"Dan berita yang lebih buruk ..."

Aku dan Jenny ternganga, menatap ke arah Kai secara bersamaan, was-was.

"Kamera itu terkoneksi secara langsung dengan alat transmisi dan ... video perkelahian kalian baru saja tayang secara live di channel youtube kita."

Jenny tampak syok.
Aku sendiri merasakan lututku lemas.

Video perkelahianku dengan Jenny tayang secara live?

Oh tidak.

***

Dalam waktu singkat, video perkelahian itu menjadi viral, bahkan lebih viral dari acara Sweet Home sendiri.
Namaku bertengger di posisi satu sebagai key word yang paling banyak dicari di mesin pencarian.

Di video itu diketahui secara gamblang bahwa aku perempuan yang sudah punya anak satu, sementara ayah anak itu entah kemana.
Dan orang-orang mulai penasaran akan diriku.

Kukira riwayatku sudah tamat.

Ternyata tidak.

Tiba-tiba saja aku menerima banyak dukungan dari banyak pihak. Mereka meninggalkan komentar penyemangat padaku. Menganggap bahwa diriku adalah perempuan kasihan yang tengah berjuang menjadi single mother, sendirian, sementara ayah si anak entah kemana.

Aku seperti menjadi simbol baru bagi para ibu tunggal di luar sana yang tangguh, yang bekerja keras dan berjuang demi sang buah hati.

Aku memperoleh banyak simpati dari publik.

Namun begitu, tak sedikit pula yang meninggalkan komentar hujatan dan caci maki padaku. Menganggap bahwa aku perempuan yang tak pantas berada di Sweet Home dan bersanding dengan Sean.
Mereka mengatakan bahwa tak seharusnya penyelenggara membiarkan perempuan yang sudah punya anak bersanding dengannya.

Keadaan Jenny lain lagi.

Setelah video itu tersebar, ia lebih banyak menerima caci maki dan hujatan. Banyak yang beranggapan bahwa Jenny lah yang memulai perkelahian itu terlebih dahulu.

Sikapnya yang arogan dan mengataiku sebagai perempuan murahan dan juga sebutan anak haram untuk putriku, dianggap terlalu berlebihan dan syarat hinaan. Tak seharusnya ia berkata seperti itu, karena kata-kata seperti itu dianggap melecehkan perempuan.

Alhasil, hujatan-hujatan akibat video itu membuat popularitasnya turun drastis.
Berdasarkan polling, ia berada di urutan terbawah.

Walau polling tak berpengaruh pada eliminasi, di episode pemilihan tiga besar, perempuan itu dipulangkan.

***

Aku duduk tak nyaman di pinggir ranjang sambil menatap Jenny yang sedang berkemas. Ia akan pulang.

Irene diam terpekur di samping kusen pintu, sementara Miranda duduk tenang di depan notebooknya yang mati.

Menyaksikan Jenny berkemas dengan wajah berantakan, aku merasa iba.

Aku tahu ia telah menciptakan kekisruhan dan melukai hatiku, tapi tetap saja aku tak tega melihatnya tersingkir dengan cara tak terhormat seperti ini.
Diabaikan Sean, dan dicaci maki publik. Seolah-olah karirnya telah habis.

Aku tahu kami punya motif yang sama ketika mengikuti acara ini. Popularitas.
Yang dia incar adalah karir dunia modelling, bukan menjadi istri Sean. Dan aku juga.

Tapi jika sudah seperti ini, ia pasti kesulitan mendapat tawaran maupun agency.

"Maafkan aku." Aku berucap lirih.

"Tidak, aku yang minta maaf." Jenny menjawab tanpa melihat ke arahku.

Mataku mengerjap. Tak percaya dengan apa yang aku dengar.

Jenny meminta maaf padaku?

"Hana, mungkin aku jahat dan beberapa kali aku berusaha mencelakaimu. Tapi ada beberapa hal yang tidak kau ketahui." Perempuan itu menatapku.

"Di malam pertama ketika gaunmu terpotong, bukan aku yang melakukannya, tapi dia." Ia menunjuk ke arah Irene yang berdiri kaku.

"Aku melihatnya sendiri, dia yang memotong gaunmu. Aku hanya terlalu malas memberitahumu," ucap Jenny lagi.

Aku terbelalak, menatap Irene dengan tatapan tak mengerti, sementara perempuan itu tampak terpukul.
Buru-buru ia berujar padaku.

"Maafkan aku, Hana. Aku tak punya cara lain. Aku putus asa. Kau terlihat begitu cantik dan menarik. Aku merasa, kau akan menjadi peserta yang merepotkan buatku. Kau akan jadi  saingan terberatku untuk mendapatkan Sean. Jadi, a-aku hanya merasa bahwa ... aku harus melakukan sesuatu." Air matanya merebak.

Aku tercengang. Nyaris tak percaya dengan kenyataan yang sekarang kuhadapi.

"Dia bahkan pernah memasukkan obat penenang ke minumanku. Untung aku mengetahuinya. Kau ingat ketika tiba-tiba ia jatuh pingsan di hadapanku? Waktu itu aku berniat melakukan konfirmasi langsung padanya. Sayang sekali dia berpura-pura pingsan dan rencanaku gagal." Jenny mengumpat.

Lagi-lagi aku menatap Irene dengan tatapan tak percaya.

Irene?

Yang kalem? Yang keibuan?  Yang terlihat begitu hangat dan baik hati?

Ini sungguh tak dapat dipercaya.

"Keributan di dapur kemarin sepertinya dia juga yang telah merencanakannya. Aku ingat ia yang melakukan provokasi terlebih dahulu. Menumpahkan minuman ke bajuku, melontarkan kalimat buruk padaku, ia bahkan mengatakan bahwa payudaraku palsu? Hah, yang benar saja? Hana, kita sudah tahu satu sama lain sejak lama, dan kau tahu bahwa payudaraku asli!" Jenny terdengar gemas.

Perempuan itu benar. Jenny cantik, dan aku tahu kecantikannya asli. Aku bisa membedakan mana bagian tubuh hasil oplas dan yang bukan.

Jenny sangat sensitif jika ada yang mengatakan dia operasi plastik. Pantas saja ia marah.

"Ah, aku gemas sekali padanya. Dia perempuan berbahaya, Hana. Berhati-hatilah padanya." Jenny menatap Irene dengan jijik.

"Apa kamera itu kau yang menyalakannya?" tanyaku langsung tanpa mengalihkan pandanganku dari Irene.

"I-itu..." Dia tampak gugup.

Aku berjingkat dan mendekatinya.
"Apa kau yang melakukannya?! Hah?!" teriakku. "Apa kau yang menyalakan kamera dan memprovokasi aku dan Jenny agar terlibat perkelahian? Apa kau yang telah merencanakan semua ini?" geramku.

Tangis Irene pecah.

"Maafkan aku, Hana. Aku bersalah. A-aku, tak punya pilihan lagi." Perempuan manis itu sesenggukkan.

Amarahku meledak. Nyaris saja aku melayangkan tamparan jika saja Jenny dan Miranda tidak segera mendekatiku dan menghalau diriku.

"Sudahlah, Hana. Ini sudah terlanjur terjadi." Miranda berbisik dan mendorong tubuhku kembali ke ranjang. Betisku menabrak pinggiran ranjang dan aku terduduk dengan kesal.

Jenny beranjak dan merapikan kopernya.

"Aku juga bersalah, Hana. Seharusnya aku tak membawa-bawa putrimu. Waktu itu aku marah dan kesal sekali. Maafkan aku." Perempuan itu terlihat tulus.

"Semoga kalian sukses. Aku pergi." Ia meraih handle koper dan melangkah membuka pintu, lalu keluar.

Ia pergi, tanpa ada jabat tangan, tanpa pelukan.

Tatapanku beralih kembali kepada Irene yang masih sesenggukkan di tempatnya semula.

"Aku kecewa sekali padamu, Irene. Padahal aku menyukaimu, kau tampak begitu baik dan menyenangkan. Aku bahkan sudah menganggapmu sebagai sahabat terdekatku," ratapku.

"Maafkan aku, Hana. Aku salah. Aku putus asa. Acara ini membuatku stres. Aku terlalu fokus ingin mendapatkan Sean sebagai suamiku sehingga aku tega melakukan semua. Tolong jangan bilang siapa-siapa ya. Kumohon, aku memang bersalah." Bahunya berguncang.

Aku meremas kepalaku dan sempat mengacak pelan rambutku sendiri. Sampai akhirnya aku bangkit, lalu beranjak meninggalkan Irene dan Miranda, keluar kamar.

Aku butuh tempat untuk menenangkan diri.

Aku berniat pergi ke balkon ketika berpapasan dengan Kai di anak tangga.

"Oh, kebetulan aku bertemu denganmu di sini." Raut mukanya tampak serius.

"Ada apa lagi?" tanyaku malas.

"Seseorang ingin bertemu denganmu. Sekarang sedang ada di ruanganku."

"Siapa?" tanyaku bingung.

Kai meletakkan tangan di punggungku dan kami melangkah berdampingan.

"Aku tidak yakin kau mengenalnya. Tapi jika kau sering membaca majalah bisnis, atau menonton channel bisnis di tivi kabel, kau pasti tahu dia familiar. Salah satu Crazy Rich Asian yang punya kerajaan bisnis di mana-mana. Kalau tidak salah, dia pernah masuk jajaran sebagai salah satu pengusaha muda yang sukses, bersamaan dengan Sean."

Dadaku berdesir.

"Agak aneh saja ketika tiba-tiba ia datang ke sini secara diam-diam dan meminta waktu khusus pada pihak televisi agar bisa bertemu denganmu. Mengingat selama ini dia lebih akfif mengurusi bisnis di Hongkong, Korea dan---"

"Kai, siapa namanya?" tanyaku lagi.
Kali ini aku menghentikan langkah dan memutar tubuh ke arah pria tersebut.

"Joshua Hong."

Dan kedua kakiku rasanya tak berpijak lagi di bumi.

***

Aku memasuki ruangan Kai sendirian, sementara pria itu menungguku di luar.

Ketika sampai di sana, seorang lelaki berperawakam tinggi tengah mondar-mandir dengan gusar. Wajah asianya begitu menawan.

Melihat kedatanganku, lelaki bermata indah itu menghambur ke arahku lalu mencengkeram kedua bahuku dengan erat.

"Hana, aku menonton video perkelahianmu. Apa yang kau bicarakan itu adalah putriku?" Sorot matanya menghujam langsung ke manik mataku hingga diriku nyaris tak berkutik.

"Yang kau bicarakan itu putriku, kan?" Ia bertanya lagi.

Aku menelan ludah.
Tak mengira akan melihat lelaki itu lagi.

Joshua Hong.

Ayah Selena.

Ayah dari putriku.

***

to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro