29. Pulang Tidak Sama dengan Kalah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cewek pasti enggak mau nikah sama cowok yang jelas-jelas nggak suka sama dia."

***

"Kamu suka pantai, Miy?"

Pertanyaan Dirga membuat Miya yang sedang memandang pemandangan laut di hadapannya menatap pria itu. Miya mengangguk lalu kembali menyeruput es kepala kelapa segar. Mereka berdua sedang duduk di sebuah kafe yang menghadap ke pantai. Sama-sama menikmati semilir angin yang menerpa wajah, pemandangan indah, dan es kelapa. Setelah jalan-jalan sambil menemani Dirga membeli oleh-oleh, menikmati waktu di kafe ini membayar semua lelah yang dirasakan. Miya juga agak melupakan rasa bersalahnya karena menolak ajakan Wren tadi. Sambil berusaha menikmati waktunya dengan Dirga, Miya mensugesti diri sendiri kalau penolakan itu adalah keputusan yang tepat.

"Waktu kecil dulu, aku sering main ke pantai. Ayah sering banget ajak kami sekeluarga ke pantai," pandangan Miya menerawang jauh. "Kami sudah pernah ke Bali waktu aku SMA, pergi ke pantai Pantai Balekambang, Pantai Parangtritis, Pantai Karimun Jawa, dan lain-lain." Miya terkekeh pelan. "Aku udah lupa lagi aku pernah pergi ke pantai mana aja saking seringnya.Yap. Dulu aku suka banget sama pantai."

"Oh, gitu," sahut Dirga sambil angguk-angguk. Dia tidak bertanya lebih jauh kenapa sekarang Miya tidak pergi ke pantai lagi karena ucapan perempuan itu dipenuhi kata "dulu". Itu adalah pertanyaan retoris yang siapa pun bisa tebak jawabannya dengan tepat. "Ke pangandaran kenapa belum pernah?" tanya Dirga.

"Aku dan Ayah rencananya mau pergi ke sini waktu kelulusan SMA aku. Tapi nggak jadi."

"Kenapa?"

"Waktunya nggak cocok aja." kata Miya, tidak menceritakan lebih rinci. Malah, tampak menarik diri.

"Terus kenapa kamu mau pergi ke pantai Pedn Vounder?"

Miya tersenyum, teringat kenangan lama. "Dulu, waktu kecil, aku pernah baca artikel soal pantai itu di koran, dan... pengen ke sana. Pantai itu kayak... indah banget. Video-videonya di Internet juga tidak pernah mengecewakan."

"Kalau gitu kita harus ke sana," tegas Dirga.

Miya tersenyum tipis. "Jangan janjiin hal yang nggak akan kamu tepati."

"Kita bisa langsung berangkat sekarang juga kalau kamu mau."

Melihat Dirga serius, Miya tersenyum tipis. "Kapan-kapan?"

"Kamu hanya tinggal bilang aku."

"Makasih, Dirga."

Dirga mengangguk dengan penuh percaya diri. "Kalau pergi ke gunung, kamu suka? Sejujurnya, dibanding pantai, aku lebih suka main ke gunung."

Miya berpikir sebentar. "Um...nggak terlalu? Main ke gunung, bikin capek."

"Nggak setelah kamu lihat pemandangan dari atas sana."

"Pemandangan dari atas gunung Rinjani dan Semeru, indah?"

Dirga mengerjap. "Kamu tahu aku pernah ke sana?"

"Dulu kamu pernah cerita."

Dirga tersenyum lebar. Dulu, dia bercerita sambil lalu dan tidak mengira Miya akan mengingatnya. "Makasih sudah ingat, Miy. Pemandangan dari atas sana indah banget. Matahari terbit dan terbenam, langit biru yang kayak sejengkal lagi bisa digapai, kawah, kabut, padang rumput, banyak hal cantik yang bisa kamu lihat."

Miya tersenyum tipis. "Pasti indah banget."

Dirga mengangguk. "Gunung selalu kasih ketenangan, sama kayak hutan. Sepi, tenang, dan bikin rileks"

"Itu alasan kamu bikin minimarket di kawasan tertinggal? Yang masih belum rame dan dekat dengan hutan."

Dirga mengangguk. "Supaya mereka bisa beli produk-produk yang diperjualbelikan di perkotaan dengan mudah dan harga terjangkau."

"Kamu kayaknya suka sama kerjaan kamu."

Dirga mengangguk. Awalnya, Miya mengira pria itu tidak memiliki pekerjaan. Hanya pria pengangguran, serampangan, yang sedang cari hiburan. Namun ternyata, Dirga mengembangkan bisnis minimarket yang saat ini sudah mulai cukup terkenal "Jangkau Mart". Minimarket itu menargetkan tempat-tempat terpencil yang lumayan sulit mendapat akses transportasi pangan dengan tujuan untuk mempermudah masyarakat di daerah tersebut membeli berbagai jenis produk yang diinginkan.

"Tentu. Kerjaan aku memang nggak kasih untung gede banget, tapi aku suka sama kerjaan ini. Kalau kamu mau gabung kerja bareng aku, ayo aja, Miy."

Miya terdiam lalu menggeleng. Menerima setiap tawaran Dirga berarti memperpanjang harapan pria itu. Jelas Miya tidak mau berurusan makin jauh dengan Dirga, apalagi dengan urusan-urusan yang bikin perempuan itu merasa berhutang budi pada Dirga. "Nggak perlu. Aku kayaknya mau bikin kerjaan lain yang lebih aku suka. Thank Dirga, buat tawarannya."

***

Semua pegawai Kesempatan Kedua berjalan-jalan sampai pukul satu siang. Mereka pulang dengan cukup banyak oleh-oleh mulai dari baju, pernak-pernik, dan makanan laut seperti ikan asin, udang, atau kepiting. Pada pukul dua siang, mereka harus keluar dari hotel, oleh karena itu, segera setelah pulang berbelanja, mereka berkemas untuk pulang.

Perasaan Wren selama berbelanja oleh-oleh dengan Qis terasa tidak baik. Wren kepo apa yang dilakukan Miya dan Dirga. Kenapa pula mereka harus jalan berpisah dan tidak bareng-bareng. Namun, kalau dipikir-pikir, Regi dan Citra juga berbelanja terpisah.

Wren menghela napas. Menjadi satu di antara 3 lajang tidak menyenangkan. Tiga itu adalah Wren, Qis, dan Irma. Benar dugaannya. Miya marah atas perkataan dan perilakunya tadi malam. Perempuan itu jadi menghindarinya habis-habisan. Wren tahu ciuman dan pernyataan sukanya yang tidak dipikirkan secara matang itu adalah sumber masalah. Tapi... ya dia suka, Miya. Terus harus gimana kalau tidak diungkapkan?

Kini, saat waktu pulang tiba, semua orang berkumpul di tempat parkir hotel. Barang-barang pribadi dan belanjaan setiap orang sudah dimasukan ke bagasi, membuat mobil Wren jadi penuh. Jok paling belakang terpaksa harus dijadikan bagasi. Mobil Wren dan Qis terparkir berdampingan sedangkan semua pegawai Kesempatan Kedua berdiri di belakang mobil, menunggu instruksi memasuki mobil.

Wren belum bercakap-cakap lebih jauh dengan Miya. Pria itu berencana untuk mencairkan suasana dengan Miya saat duduk di mobil nanti. Soalnya kan, Miya akan duduk di sampingnya.

Sampai...

"Miy!"

Seorang pria pengganggu yang membuat hari-hari Wren buruk sejak pagi muncul di hadapan mereka. Dirga sudah rapi dengan jaket jeans dan topi hitam serta celana pendek. Pria itu tersenyum lebar pada semua orang.

"Pulang bareng aku yuk, Miy," ajaknya. Dia menyalakan alarm mobil lalu menunjuk mobil di samping mobil Wren. "Ini mobil aku."

Wren terbeliak. Apa-apaan pria menyebalkan ini! Main nikung saja. Dan letak mobil ini... kebetulan yang mengerikan!

"Miya pulang bareng kita," potong Wren dengan sorot tajam.

Dirga melirik mobil Wren. "Apa cukup semua orang masuk ke mobil, lo?" sindir Dirga tajam."Barang bawaan udah sebanyak itu?"

Wren menunjuk mobil Qis. "Ada mobil Qis."

Dirga mengabaikannya. "Gimana, Miy?"

Wren menyipitkan mata. "Enggak."

Qis menghela napas. Mulai deh, pikirnya. Qis melirik Miya yang mukanya sudah memerah. Perempuan itu pasti malu menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana. Pegawai lain pun merasa tidak nyaman. Qis sengaja mendesah muram.

"Lain kali, kalau mutusin sesuatu, tanya dulu orang yang bersangkutan," potong Qis. Pria itu memandang Miya. "Kamu mau pulang bareng siapa, Miy?"

Kini, semua pandangan terarah pada Miya. Perempuan itu tampak tidak nyaman dengan situasi ini. Miya melirik Wren sekilas lalu Dirga. Dia tampak menimang dan akhirnya menunjuk Qis. "Saya pulang bareng Pak Qis aja, boleh?"

Qis mengangguk paham dan memandang Wren dan Dirga dengan senyum culas. "Oke. Miya pulang bareng saya."

Menelan rasa kesal, Dirga mengangguk dengan senyum tulus pada Miya. "Hati-hati di jalan, oke?"

Miya mengangguk. Wren merasa senang karena Miya tidak perlu pulang bareng Dirga. Asal tidak bareng Dirga, semuanya tidak apa-apa. Yah, meski pria itu harus menunda rencananya mencairkan suasana mereka di dalam mobil.

Dirga melirik Qis dan berkata dengan pelan, "Saya titip Miya."

Ucapan itu membuat Wren mengernyitkan alis. Sialan. Kenapa Dirga bilang hal itu? Itu racun yang menghanyutkan bagi perempuan. Wren melirik Miya dan perempuan itu tampak tersentuh dengan tindakan Dirga.

"Ya udah, yuk. Saya juga pulang bareng Miya aja," seru Citra. "Boleh kan, Pak?"

Qis mengangguk dan Miya tersenyum lega.

***

Mobil Qis diisi oleh Qis, Miya, Citra, dan Regi, sedangkan mobil Wren diisi oleh Wren, Irma, Nari, dan Harya. Di dalam mobil Qis, Miya duduk di samping Qis sedang Citra dan Regi duduk di jok belakang. Mereka berjalan diiringi lagu berjudul Remember dari New Hope Club atas permintaan Miya. Mereka cukup ramai membicarakan hal-hal yang tidak Qis ikuti, seperti naik perahu, Wren yang muntah, dan jalan-jalan di Cagar Alam. Sampai saat percakapan mereka terhenti karena kehabisan topik, Qis bertanya,

"Misal nih ya, misal," kata Qis penuh penekanan, membuat perhatian Miya dan Citra terfokus padanya, sedangkan Regi sudah pergi ke alam mimpi.

"Apa, Pak?" sahut Miya penasaran.

"Misal kalau kalian dijodohkan sama saya, kalian mau?"

Pertanyaan itu membuat masing-masing alis kedua pegawai itu bertaut. "Kenapa nanya gitu, Pak?" tanya Miya. "Bapak dijodohin?"

Qis menghela napas muram. "Saya malu sebenernya bilang ini," jeda sejenak. "Iya. Saya mau dijodohin. Tapi ini bukan karena saya nggak laku atau apa, ya. Tapi karena ... yah, gitu lah."

Miya melirik Citra lalu mereka tertawa kecil.

"Jangan ketawain saya," tegur Qis pura-pura marah.

"Kalau saya sih, Pak. Kalau lihat Bapak yang..." Citra menunjuk Qis dari atas sampai bawah. "Ganteng dan mapan gini, ya, mau." Ucapan itu ditutup kekehan ringan. "Tapi masa sih, Pak. Masih musim jodoh-jodohan gini," tukas Citra lagi.

"Udah zaman modern, Pak. Kalau bapak dijodohin terus enggak suka, ya tolak aja," tambah Miya.

Qis menghela napas. "Nolak enggak akan bikin masalah beres," keluhnya saat mengingat sikap Bi Hanhan.

"Kalau gitu, buat ceweknya yang nolak," saran Citra.

Kedua bola mata Qis berbinar. "Betul juga," katanya seolah baru menemukan ide. "Tapi... apa saya bisa ditolak sama cewek?"

Mendengar kalimat terlalu percaya diri itu, Citra dan Miya menghela napas dengan delikan mata gemas. "Ya bisa kalau bapaknya ngeselin atau bilang dari awal enggak mau dijodohin sama itu cewek," kata Citra.

"Setuju. Saran saya, bilang aja dari awal enggak setuju sama perjodohan-perjodohan gitu. Soalnya, cewek pasti enggak mau nikah sama cowok yang jelas-jelas nggak suka sama dia."

"Hmm. Oke si, bisa dicoba nanti."

"Bingung ya, Pak, cinta-cintaan tuh." Miya menghela napas.

"Kamu juga bingung ya, Miy?" Qis balik bertanya dan dibalas senyum kecut perempuan itu.

"Saya juga suka bingung, Pak," desah Citra ikut-ikutan.

"Kamu itu bilang aja langsung kalau suka sama Regi, nggak akan nolak dia."

Kedua mata Citra terbeliak lalu melirik khawatir ke arah Regi yang untungnya masih terlelap tidur. "Kok Bapak bisa tahu?!" tanya perempuan itu dengan suara berbisik.

"Jelas banget, tahu."

Citra cemberut. "Saya tuh ya, udah diem-diem deketin Regi. Tapi kan, kalau liburan, terus pura-pura nggak pedekate kan sayang ya. Suasananya mendukung buat jadi couple gitu, Pak."

Qis tertawa dan Citra protes. Percakapan mereka berdua tidak Miya perhatikan lagi karena perempuan itu sudah menatap jalanan di luar yang ramai. Kepalanya mengulang tentang kejadian kemarin malam dan tadi. Kini, liburannya sudah selesai, saatnya kembali pada realita. Dia sudah tidak nyaman bekerja di kafe Kesempatan Kedua. Dirga dan Wren yang tidak akan menyerah... Hm. Perempuan itu menghela napas lalu mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor yang Vira kasih untuk melamar menjadi baby sitter. Melalui pesan itu, dia mengajukan waktu wawancara pekerjaan yang direkomendasikan sahabatnya itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro