10. Keputusan Sepihak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perlahan mata itu terbuka. Irisnya menyipit menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Bina tersadar, semalam ia pulang dengan keadaan mabuk. Hingga membuat sang papa muak dan memarahinya.

Satu hal yang membuat langkahnya terhenti. "Lusa kamu pindah."

Degup jantung Bina terhenti mengingat perkataan Ariel semalam. Apa sang papa akan setega itu padanya? Bina akan menangis saja agar Ariel kembali luluh padanya. Benar, seperti itu.

Usai membersihkan wajah, Bina langsung turun menuju lantai bawah. Semua keluarganya tengah sarapan bersama, hatinya tercubit mengetahui mereka makan tanpa menunggunya. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

"Pagi." Bina tetap menyapa seperti hari-hari kemarin.

"Makan, Bin. Mama ambilin," ucap Dessy membuat hati Bina menjadi lega.

"Makasih, Ma."

Dari saat mulai sarapan, sampai sarapan selesai, sama sekali tak ada pembicaraan apapun. Memang selalu seperti itu, tetapi vibes nya berbeda. Ada yang tidak beres, pasti.

Asyik memikirkan itu semua, Bina tersadar saat pintu diketuk dari luar. Matanya mengekor ke arah pintu. Alangkah terkejutnya Bina saat yang ia lihat ternyata adalah Agam.

"Udah sarapan, Gam?" tanya Dessy ramah. Mamanya memang selalu seperti itu. Baik pada Agam atau siapapun itu tamunya.

"Udah, Ma. Tinggal ke kantor aja," balasnya sembari tersenyum.

"Pesanan Papa udah?" tanya Ariel yang akhirnya membuka suara.

"Sebentar." Lelaki tua bangka itu meninggalkan ruangan. Syukurlah, lebih baik jangan berada di sini. Lama-lama malas juga melihatnya di sini.

"Ini Pa." Terdengar lagi suara itu.

Bina mengerutkan keningnya. Koper? Milik siapa itu?

"Nanti bantu Bina beresin pakaian ya, Ma."

Bina membulatkan mata. "Kok?"

"Lusa lo pindah, masa lupa," sindir Bumi.

"Tapi gue nggak mau!" tegasnya.

"Papa nggak minta persetujuan kamu," tandas Ariel.

Bina menatap Ariel. Lelaki itu langsung membuang muka. "Papa jahat."

Bina berlari ke lantai atas. Ia menutup pintu dengan kencang hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Sudut mata Dessy terasa berair, degup jantungnya pun tak menentu. Ia juga tak bisa apa-apa. Keputusan Ariel sebagai kepala keluarga, sudahlah bulat dan tidak bisa diganggu gugat.

"Makasih, Gam. Kamu nggak perlu terlalu urusin Bina lagi, biarin dia belajar cara hidup yang bener," ucap Ariel.

"Pa, Bina nggak seburuk itu," tegur Dessy kurang setuju dengan penuturan suaminya.

Ariel mengangguk. "Semoga dia ngerti."

"Kalau boleh, saya mau kasihin koper ini ke kamarnya Bina," ucap Agam.

"Tapi apa Bina ...."

"Boleh," potong Ariel membuat Dessy menghela napas lelah.

Ia pun pergi ke dapur dan membiarkan tiga lelaki itu di ruang makan. Agam berterima kasih karena Ariel sudah percaya padanya.

"Mama tenang aja, Papa nggak mungkin biarin Bina sendirian di sana."

Dessy yang tengah mengelap meja itu menoleh. Bumi meyakinkan Dessy hingga wanita itu bisa bernapas lega.

***

"Bina, buka pintunya!" Sedari tadi Bina terus berusaha tak acuh terhadap teriakan papanya.

Bina menghela napas saat teriakan itu tak kunjung berhenti. Ia pun membukanya dan di sana hanya terlihat Agam seorang. Makin marahlah Bina. Ia menutup kembali pintu.

Beruntung Agam cekatan. Ia menahan pintu itu. "Saya cuma mau nganterin koper kamu."

Bina membuka pintu dengan kasar. "Bukan koper gue."

"Papa kamu beli ini katanya buat kamu pake," katanya jujur.

Bina mengambil koper berwarna hitam itu dengan kasar. "Nggak usah sok baik lagi sama gue."

Pintu ditutup dengan keras. "Kamu sabar ya."

Agam menoleh mendapati Ariel yang tengah berjalan mendekatinya. Agam hanya tersenyum tipis.

"Semoga Mama saya yang bisa sabar, kalau saya pasti sabar."

"Maksud kamu apa?"

Agam terkekeh. "Bercanda."

Ariel ikut terkekeh. "Ada-ada saja."

***

"Papa nggak sayang sama gue. Terus ngapain gue bertahan di sini?" Bina tersenyum getir.

Dengan langkah yakin, ia bangkit dari ranjang dan membuka lemarinya. Bina mengeluarkan semua bajunya dari dalam sana dan memasukkannya ke koper baru itu.

"Mau nggak mau, suka nggak suka, Papa bakal tetep maksa gue buat pindah."

"Bina, lagi apa ...."

Dessy membeku melihat Bina yang tengah memasukkan pakaiannya ke koper. Ia masuk dan menutup pintu.

"Bina minta maaf, Ma."

Dessy terdiam. Ia masih berjalan pelan mendekati Bina. Begitu berdiri di hadapan Bina, ia langsung memeluknya erat.

"Mama nggak bisa tahan semuanya, Bin. Maaf," ucap Dessy.

Bina mengurai pelukannya. "Emang salah Bina juga, sih. Nggak papa."

"Mama bantuin, ya."

"Bina pasti baik-baik aja kan, Ma?"

Dessy mengangguk yakin. "Kalau ada apa-apa, Bina bisa cerita ke Mama."

Dessy menunjukkan ponselnya. Bina tersenyum mengetahui fakta jika kini sang mama memiliki ponsel sendiri. "Makasih, Ma."

***

Desa Cempaka adalah salah satu Desa di Jawa Barat yang terkenal dengan suasana yang masih asri. Tak banyak kendaraan, juga pabrik membuat Desa ini menjadi desa dengan kawasan bebas polusi. Kendati begitu, sama sekali tak membuat Bina untuk kemudian bersyukur.

Gadis itu terus saja diam dengan wajah kusut selama perjalanan. Mereka menuruni mobil setelah tiga jam lebih menempuh perjalanan Jakarta-Bandung dengan kondisi jalanan yang cukup lenggang. Bina membuang muka saat ada beberapa mahasiswa di sana yang memerhatikan ke arahnya.

"Apa lo liat-liat? Mau gue colok tuh mata!" ketus Bina tak tahan lagi saat mahasiswi berhijab merah muda itu terus saja menatapnya.

Bukannya membantah atau marah, gadis berhijab itu malah tersenyum ke arah Bina. Lagi, Bina mendelik. Baru saja hendak membuka ponselnya, Bumi datang dan mengajaknya berkenalan dengan dosen-dosen yang mengajar di sana.

"Sabrina, ya?" tanya salah seorang dosen dengan wajah cukup tampan itu.

Bina memandangnya, tetapi kemudian membuang muka. "Ya."

"Anak saya memang gitu, mohon pengertiannya ya." Ariel merasa tak enak karena sikap Bina.

"Masih diaku anak ternyata," gumam Bina yang sialnya terdengar semua orang. Dengar, Bina itu sengaja. Dasar ratu julid.

"Ah, tidak apa-apa. Memang itu tujuan kami, menuntun muda-mudi agar kembali ke jalan yang diridhoi Allah."

Bina berdecak. Baru sampai sudah mendengar ceramah. Matanya menangkap sosok yang sangat ia kenali. Matanya mendelik malas.

Agam tampak tersenyum padanya. Lelaki itu berdiri di samping mobil dengan tangan yang dilipat. Seperti biasa, cool.

"Kamu cantik, Bin."

Agam kagum melihat pesona Bina yang saat ini tengah memandangnya seolah penuh kebencian. Hijab yang dililit di leher itu terkesan acak-acakan. Rambut hitamnya keluar dari sana-sini.

Keringat membasahi dahi. Namun, Agam tetap terpesona. Baginya, Bina adalah sosok sempurna. Kebahagiannya dan orang terkasihnya adalah, Sabrina Ghassani. Namun, sayang. Bina tak sebersyukur itu dimiliki Agam.

***
Diketik dengan : 990 kata (hanya isi).

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro