❄ 01. Reina and Jeno

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengapa kau bisa sejauh ini?

Yang benar-benar tak aku inginkan ...

Ini terasa sulit.

Aku tak bisa mengakhirinya dengan mudah

Masih ada rasa yang sama bertahun-tahun dengan namamu di sana.

Aku ingin egois sekali lagi

Aku tak serakah sama sekali

Kau juga sama

Aku menunggumu untuk datang kembali

Aku ingin menjadi cinta terakhirmu

▪︎▪︎▪︎

"Hey! Nulis lirik lagi?"

Reina terjengit sedetik saat lawannya menepuk pundaknya cukup kuat. Ia sedang seorang diri di kantin fakultas, posisi duduk kesukaannya, di paling pojok dalam kantin, bersandar pada jendela kantin yang tembus pandang mengarah pada jalan di luar.

Walaupun, dia harus menelan banyak pandangan sinis dari banyak mahasiswa satu kampusnya dengan terpaksa. Cemilan yang cukup membuatnya pasrah karena, terbiasa dan tidak bisa membalas.

Satu melawan ratusan mahasiswa.

Jangan bercanda!

Reina masih ingin menikmati hidupnya sampai ajalnya sendiri yang menjemput jiwanya. Bukan tidur dengan banyak anggota tubuh yang terluka karena aksi brutal mahasiswa. Selama mereka tidak menyentuhnya, gadis itu masih menganggap hanya sebuah angin lalu.

Reina memicing, ia melepaskan pensil yang digunakan untuk menulis tadi diatas kertas selembar dan melayangkan tangannya ke lengan pemilik suara yang mengusik waktu tenangnya.

"Aw! Aw! Iya! Iya! Ampun! Jangan dipukul lagi! Aw! Sakit tahu!" Pekik suara berat yang sebagai lawan bicaranya itu.

"Itu balasanmu, Tuan. Lee yang terhormat." Kata Reina yang belum mau melepaskan sosok yang dikatakan Tuan. Lee dari pukulannya.

Walaupun wanita, pukulan Reina patut diperhitungkan.

Tuan. Lee mencengkram tangan Reina yang digunakan untuk memukul tadi. "Sudah hentikan ... sakit ...." Desis si Tuan. Lee dengan ringisan. Reina tertawa kecil, ia berbalas mengusap bekas pukulannya dengan pelan.

"Amat sakit ya?" Tanya Reina saat melihat warna merah di lengan, ketika lengan kaus hitam disingkap ke atas.

"Tidak apa-apa. Mungkin memang pantas aku dapatkan." Kata Tuan. Lee dengan pelan, telapak tangannya menggapai telapak tangan Reina, menautkan jari jemari mereka tanpa mempedulikan dunia.

"Hentikan ...." lirih Reina pelan. Ia akui ia menyukai hal ini, tapi, di sisi lain, hatinya tersayat, entah sudah berapa kali ia terluka. Lagi-lagi dia memilih untuk melukai hatinya dalam kebahagiaannya sendiri.

"Berhenti, Jeno-ya ...." kata Reina yang memandang Tuan. Lee atau Jeno dengan sendu.

Jeno mengusap pipi kiri Reina, mata berwarna coklat itu memandang Reina sama sendunya. Hatinya terasa sesak di setiap detik bersama Reina.

Berkali-kali Jeno merutuki dirinya yang mengambil langkah besar dalam hidup, setahun yang lalu.

"Maaf, Na." Kata Jeno dengan pelan. Reina tersenyum tipis, kepala gadis itu menggeleng kecil, bibirnya terbuka tanpa suara mengucapkan bahwa dirinya tidak mengapa.

"Apa yang kamu tulis?" Tanya Jeno lalu menarik secarik kertas yang terabaikan sedaritadi.

"Hanya penggalan lirik. Itu belum selesai."

Jeno tersenyum sedih, penggalan lirik yang menjelaskan kondisi mereka dengan baik. Ia menyenderkan kepalanya ke pundak sempit Reina tanpa mengatakan apapun. Tidak peduli jika Reina sedikit mengangkat kecil pundaknya, memberikan isyarat untuk segera meninggalkan pundaknya itu.

"Maaf ...." kata Jeno dengan pelan. Matanya memejam dengan lembut. Biarkan dia beristirahat sebentar. Reina dengan kehangatan yang dia miliki, adalah kelemahan Jeno serta membuat pemuda  dua puluh satu tahun itu menjadi semakin merasa bersalah.

Jika saja saat itu ia tidak melihat buku itu.

Jika saja saat itu ia segera menyadari perasaannya.

Jika saja saat itu ia tidak takut untuk menyatakan perasaannya.

Mungkin situasi akan berbeda sekarang.

Tidak akan ada banyak korban di sini.

Reina menggeleng, ia tersenyum kecil saat melihat sosok gadis yang menatap mereka dengan judes dan penuh aura mencekam.

"Jika hanya dengan minta maaf bisa menyelesaikan masalah ini. Aku yang akan mengatakannya, Jen." Kata Reina.

Jeno tersenyum, sudah lama sahabatnya ini tidak memanggilnya dengan panggilan kecil, 'Jen'. Setitik kerinduan datang saat Reina mengucap panggilan itu.

"Katakan lagi, Na." Kata Jeno dengan pelan.

"Maaf ...."

"Bukan itu. Katakan lagi, aku mau mendengarnya sekali lagi." Kata Jeno dengan pelan. Pria berumur dua puluh tahun itu tidak menyadari ada aura mencekam mengintimidasi dirinya.

"Jen?" Tanya Reina dengan ragu.

"Katakan lagi ... panggil aku seperti itu sekali lagi."

"Jen," panggil Reina.

Kepala Jeno menjauh dari pundak Reina, retina hitam itu memandang Reina dengan bahagia.

"Panggil lagi." kata Jeno dengan pelan.

"Jen." Panggil Reina dan sedetik kemudian tubuh gadis itu diberi pelukan hangat seorang Jeno.

Pelukan yang menyalurkan agar Reina selalu tegar.

Pelukan yang menyalurkan rasa maaf sebesar-besarnya. Karena, Jeno tega menyakiti hati gadis rapuh itu.

"Terimakasih ...." kata Jeno dengan pelan, dan mengecup pucuk kepala Reina dengan penuh sayang.

"Berhenti ...." kata Reina dengan pelan. Ia menjauhkan dirinya dari pelukan Jeno. Sebuah rasa tak terima melepaskan pelukan itu datang menyergap Reina, namun, segera ditepis oleh gadis fakultas Seni itu.

"Kenapa?"

"Aku masih mau hidup lebih lama, Jen. Yena bisa membunuhku dengan tatapannya itu jika terlalu lama memelukmu." Kata Reina dengan senyum tipis.

Hilang sudah suasana mellow tersebut.

Gadis itu tertawa kecil, saat melihat Jeno dengan wajah bingungnya. Ia sedikit menunjuk kearah dekat pintu kantin dengan kepalanya. Dan, gadis itu tertawa saat melihat wajah pucat Jeno.

Sosok dekat pintu itu sedikit mendengus, lalu keluar dari kantin fakultas.

Jeno mematung. Tungkainya tidak bisa digerakkan.

"Tidak mau dikejar? Nanti semakin sulit untuk merayunya." Kata Reina sambil mendorong tubuh Jeno, agar bangkit dari tempatnya.

"Harus ya?" Tanya Jeno.

Reina menghembuskan nafas dengan kasar, "Ya. Harus. Banget. Sana! Pacarmu ngambek." Kata Reina dengan nada tinggi.

"Emangnya kamu bukan pacar aku?" Tanya Jeno sambil menaik turunkan alisnya.

"Aku selingkuhan berkedok sahabat. Puas? Sudah sana kejar Yena. Aku tidak mau dijadikan alasan." Kata Reina lalu bangkit untuk mengemasi barang-barangnya.

"Mau kemana?" Tanya Jeno.

"Ke kelas. Jangan lupa duap uluh menit lagi matkulnya Profesor Jung. Jika masih ingin hidup baik-baik, ingat untuk masuk kelas." Kata Reina dan meletakkan tas selempangnya dipundak kanan.

Tangan kiri Reina menepuk pundak Jeno dua kali, memberikan semangat untuk Jeno sebelum meninggalkan kantin fakultas.

Memangnya siapa yang berani melewatkan kelas profesor yang terkenal tidak akan memberikan tugas tambah untuk nilai mahasiswa?

Reina keluar dengan menunduk, pikirannya melayang dengan baik tanpa disuruh.

'Bagaimana pun juga, aku akan berusaha menghapus perasaan ini. Karena dari awal, ini tentang kamu dan dia, Jen. Bukan tentang aku dan kamu.'
-Reina

▪︎▪︎▪︎

Sweetest Problem
Chapter 01. Reina and Jeno | Done

▪︎▪︎▪︎

Haiii, aku kembali lagi. Oh, ya, lupa memberi tahu kalau cerita ini akan dipublish setiap Senin, Rabu, dan Sabtu.

Gimana kabarnya?

Stay healthy, ya. Minum air.

See ya ^^

▪︎▪︎▪︎

To Be Continue

▪︎▪︎▪︎

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro