❄ 04

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reina menghembuskan napas lega saat berhasil menutup pintu rumah setelah memasukkan dirinya ke dalam bangunan bertingkat tiga itu.

"Aku pulang." seru Reina sambil melepaskan sepatu yang menutupi kakinya, dan meletakkannya di dalam rak sepatu.

Sosok wanita yang memiliki wajah mirip dengan Reina tersenyum lembut saat melihat putri sulungnya pulang dengan selamat tanpa cacat. "Sudah makan, Ren?" Tanya wanita tersebut.

Reina tersenyum lebar, "Belum. Mama bilang hari ini mama masak. Jadi, Ren tidak makan di kampus." Terang Reina dengan semangat. Ia meletakkan tasnya dengan asal diatas ruang tamu. Lalu, mengekori sang mama sampai ke meja makan.

Perihal nama panggilan Ren. Memang Reina dipanggil begitu oleh wanita yang mengandung dirinya sembilan bulan, dan seluruh anggota keluarga mereka.

"Bagaimana dengan Jeno? Sudah lama mama tidak melihat dia berjalan di rumah." Kata Barbara, mamanya Reina sambil memberikan semangkuk nasi kepada putri sulungnya.

Reina langsung berubah raut muka. Padahal, ia hampir melupakan Jeno sebentar saja. Tapi, mungkin takdir berkehendak lain.

"Dia baik. Yah ... walaupun, tugas masih menyalin punyaku, mama. Tapi, lebih baik daripada masa sekolah dulu." Jawab Reina seadanya. Barbara tersenyum sedih.

Dia sendiri sering menjadi tempat curhat putri sulungnya. Bukan karena Reina tidak memiliki sahabat sejenis kelamin dengannya. Tapi, Reina merasa, hal seperti ini lebih pantas diceritakan kepada wanita yang telah berumah tangga bukan kepada gadis labil yang memikirkan pangeran berkuda putih.

"Jeno masih dengannya?" Tanya Barbara sembari meletakkan sesendok sayur di atas piring Reina. Bukankah dimata seorang ibu, kita tetap menjadi anak-anak?
Reina membeku sebentar sebelum mengangguk kepalanya dengan pelan. Gadis itu memasukkan sesendok nasi yang telah bercampur dengan lauk yang ada kedalam mulutnya.

Barbara mengangguk, ia menuangkan segelas air putih kepada putri sulungnya.

"Minumlah." Ucap Barbara dengan lembut.
Reina menuruti perkataan ibunya. "Lina belum pulang juga?" Tanya Reina saat tidak melihat adiknya berkeliaran dirumah.
Barbara menggeleng, "Katanya ada perlombaan cheerleader minggu depan. Ia harus ekstra latihan, agar bisa menang." Tutur Barbara yang dibalas dengan anggukan Reina.

"So, how's your day?" Tanya Barbara yang ingin lebih dekat dengan anaknya.

"Everything's fine. Kecuali dengan Jeno dan pacarnya. Mama, aku berniat move on. Would you help me?" Tanya Reina yang memulai sesi curhat singkat dengan mamanya.

Barbara tersenyum, "Kenapa, sayang? Jeno menjauhimu?"

Reina menggeleng, "Tidak. Malah dia memanjakanku secara berlebihan. Aku ... Aku sedikit risih." Kata Reina dengan jujur.

"Lalu, kenapa?"

Reina menghembuskan nafasnya pelan. Ia menyimpan alat-alat makan di piring begitu saja, dan bangkit untuk memeluk Barbara dari samping.

"Karna, aku merasa ini salah. Dari awal, semuanya salah. Harusnya, saat hari itu, aku berontak, bukan diam saat Jeno bersi tegang dengan pendapatnya. Harusnya, buku sialan itu terbakar jauh dari hari itu." Reina menumpukkan kepalanya diatas pundak Barbara.

"Kamu meminta Mama mencarikan pengganti Jeno?" Tanya Barbara to the point.

Reina langsung menggeleng. "Bukan seperti itu. Jangan terburu-buru. Maksudnya, jika Jeno mampir kemari, katakan saja Reina sedang tidur atau keluar jalan-jalan. Aku bertekad melakukan ini," kata Reina dengan tegas.

"Biarkan Jeno dengan Yena selamanya. Aku bisa mendapatkan yang baik bagiku." Sambung Reina dengan mantap.

Barbara tersenyum, dan mengelus surai rambut Reina, "Katakan padaku, jika kamu tidak kuat lagi. Kamu tahu kan, akan kepada siapa kamu menceritakan kegundahanmu?" Tanya Barbara dengan nada lembut.

Mama yang menjadi kebanggaan bagi Reina. Barbara terkesan anggun, bertutur lembut, dan tidak mudah terpancing amarah.

Reina mengangguk, "Aku akan mengatakan semuanya pada mama."

"Karna, Mama ingin menjadi segalanya untuk Reina. Mama tidak ingin menakutimu, sampai kamu tidak berani mencurahkan semuanya pada Mama, dan lebih memilih mengatakannya pada di luar sana yang bisa saja menjerumuskan anak Mama ke lubang yang salah." Kata Barbara dengan lugas. Reina tersenyum.

Rasanya, ia adalah putri yang paling bahagia di muka Bumi ini. Memiliki sosok ibu yang dapat mengerti dirinya. Ia menyegani Barbara, bukan takut dengan wanita berkepala empat itu.

"Mama akan menjadi temanmu, sayang."

▪︎▪︎▪︎

Mark tersenyum bahagia, setidaknya ia mendapatkan kesempatan lagi untuk bersama Yena.

Ia tahu Jeno memiliki mobil yang tidak dipandang sebelah mata oleh mahasiswa disini, ia juga sadar jika ia hanya memiliki motor yang ia beli dengan tabungannya setahun yang lalu.

"Kita mau kemana dulu, Choi Yena?" Tanya Mark di balik helm full-face berwarna hitam. Ia berhenti di belakang garis belang hitam-putih.

"Terserah denganmu." Kata Yena dengan cuek.

"Kalau begitu, kita ke rumahku saja." Kata Mark yang tersenyum jahil tanpa melihat Yena yang terbelalak.

"Ah! Apalagi, sekarang rumah sedang sepi. Mama sedang ke rumah nenek, papa juga sedang dinas. Gimana, Choi Yena?" Tanya Mark sembari menjalankan motornya kembali dengan kecepatan penuh.

"KE TOKO KUE!!! MARK!!!" Pekik Yen sembari memeluk pria itu dengan erat, melawan hembusan angin karena kecepatan motornya Mark.

Mark tertawa bahagia, lalu melajukan motornya.

'Aku senang kamu berteriak lagi padaku, Choi Yena.'
- Mark Lee

▪︎▪︎▪︎

Sweetest Problem
Chapter 04 | Done

︎▪︎▪︎▪︎

Haii, bagaimana kabarnya?

Maaf telat update. Kemarin ada sedikit kendala.

Krisar diterima, ya.

See ya ^^

︎▪︎▪︎▪︎

To Be Continue

︎▪︎▪︎▪︎

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro