1: Firasat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Deretan warung kecil hingga pedagang asongan memenuhi pinggiran jalan stasiun Pondok Cina. Hiruk pikuk manusia dengan kegiatannya masing-masing semakin kentara di sore hari. Rindu sering berkunjung untuk mengisi perut sampai beberapa pedagang di sana hapal. Yang buat tidak tahan adalah aroma wangi khas dari masing-masing makanan untuk mampir membeli meski uang pas-pasan.

"Makasih ya Pak," ujar Rindu sambil menerima tahu gejrot kesukaannya. Cabainya cukup dua, sudah membuat telinga gadis setinggi 155 sentimeter itu kemerahan menahan pedas. "Mas Danu beneran nggak mau? Ini aku makan sendiri dong."

Pria berkulit cukup gelap mengenakan kameja garis-garis biru itu menoleh sambil sunggingkan senyum. "Nggak, tadi kan udah baso. Nanti aku diajak lunch juga sama klien habis take foto makanan mereka, takutnya kekenyangan," jelas Danu sambil merapatkan kursi baksonya.

Rindu bergeming sambil mengunyah makanan perlahan, tendasnya mengangguk-angguk kecil dengan isi kepala memikirkan sesuatu. "Mas Danu, kapan aku bisa ketemu Mama lagi? Beliau masih nggak berubah pikiran ya?"

Danu membetulkan letak kacamata diikuti senyumannya yang perlahan pudar. "Mama masih nggak berkenan ketemu kamu, tapi aku selalu usaha kok buat yakinin mama. Memang sampai sekarang belum terketuk hatinya untuk ngerestuin hubungan kita ke jenjang yang lebih serius."

"Tapi aku merasa harus ketemu mama, dulu beliau suka banget lho sama masakanku. Tapi kenapa sekarang berubah pikiran? Aku ada salah apa? Terakhir ketemu 6 bulan yang lalu di rumah sakit dan mamamu keliatan senang banget kok aku jenguk."

Keduanya telah menjalin hubungan selama dua tahun, bukan waktu yang sebentar untuk pasangan itu saling mengenal satu sama lain. Mereka berjumpa saat salah satu anak panti yang Rindu ajak pergi ke luar seketika menghilang, lalu datang Danu sambil menggendong si anak bak seorang pahlawan. Dari situ mereka pun semakin dekat dan merasa cocok.

Pria lebih tua 3 tahun itu senantiasa mendengarkan semua cerita keluh kesah Rindu dan berperilaku sangat baik, bahkan kerap menawarkan bantuan uang meski selalu Rindu tolak dengan halus. Minusnya, sering meminta jatah cuddle. Sebagai seorang anak yatim yang merindukan kehangatan keluarga kandung, Rindu telah menaruh keyakinan dan seluruh kasih sayangnya kepada Danu. Ia merasa Danu adalah rumah yang selama ini dicari.

Danu meraih tangan Rindu dengan lembut. "Maaf ya, Rin. Aku juga bingung kenapa mama tiba-tiba berubah pikiran dan nggak ngerestuin pas aku bilang kita mau menikah. Jadi terpaksa kita harus undur lagi rencana baik itu."

"Makanya, gapapa aku yang dateng sendiri ke rumah. Mas Danu kan sibuk, jadiー"

"Jangan. Pokoknya kamu nggak perlu ke rumah, takut kondisi mama drop kalau harus berdebat nanti. Ini aku cari celah dulu, oke? Kamu tenang aja, kita pasti menikah." Manik hitam Danu mengisyaratkan kesungguhan, ekspresi serius yang terpatri cukup membuat Rindu yakin. "Aku pasti nikahin kamu, Rindu."

Tapi kenapa Rindu merasa gelisah sekarang? Sejak kecil ia sudah di anugerahi firasat yang kuat, bahkan sampai gambaran-gambaran masa lalu dan masa depan yang terkadang muncul sebagai pertanda di mimpinya. Entah itu untuk dirinya sendiri atau hidup orang lain. Namun memang, semua itu tidak selalu menjadi kenyataan meski sebagian besar penglihatannya sering benar terjadi.

Gawai Danu bergetar, ia melepaskan genggaman seraya merogoh saku celana polo yang dikenakan. Nama si pengirim pesan pun tampil pada layar. "Aku harus ketemu klien sekarang," jelas Danu sambil mengelus pipi Rindu menenangkan. "Jangan cemberut gitu dong, calon istri."

Hanya bisa kembali pasrah, Rindu menganggukkan kepalanya pelan. Keduanya pun berdiri saling bertatapan. "Oke, aku juga harus ke Panti dulu, takutnya kesorean."

"Ya udah aku duluan ya? Kamu hati-hati di jalan, salam buat ibu dan anak-anak Panti." Danu mengulas senyum hangat sebelum benar-benar pergi meninggalkan Rindu.

Helaan napas berat dilaku Rindu seraya kembali duduk untuk menandaskan tahu gejrot. Hatinya masih terasa mengganjal sembari berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran negatif yang seketika terbayang. Entah itu hanya perasaan cemas atau memang suatu pertanda?

Setelah beberapa meter kepergiannya dari sang kekasih, Danu kembali berkutat pada gawai untuk menelepon orang yang tadi mengirimi pesan. "Halo Merry sayang? Maaf ya agak telat, aku on the way ke sana."

***

Ramainya kerumunan orang di dalam stasiun Pondok Cina sebanding dengan pergelutan batin yang sedang gadis berambut wavy sepinggang itu timbang. Beberapa orang yang lewat menatapnya sekilas karena menghalangi jalan. Sayangnya, pikiran Rindu masih terfokus pada sosok pria tinggi yang baru saja berjalan mendahului.

"Nggak, Rindu." Langkah gadis 23 tahun itu terhenti. Manik hitamnya melirik pria itu lagi yang berjalan semakin menjauh. Ia mengenakan hoodie warna putih tulang, celana kain hitam dan masker beserta topi cokelat muda.

Wangi woody ... persis kayak di mimpi. Untuk kesekian kalinya, bisa jadi Rindu akan menjalankan aksi heroik layaknya super hero.

Tapi itu nggak ada hubungannya sama lo, Rindu! Hidup, hidup dia kok, kenapa gue yang repot? Anggukan mantap dilaku sambil meyakinkan diri. Tungkainya dengan tegas kembali berjalan mencari tempat untuk menunggu kedatangan kereta tujuan Jakarta Kota.

Suara bising gesekan roda kereta terhadap rel beserta pengumuman melalui pengeras suara sempat mengalihkan atensinya sekilas. Transportasi besi nan panjang itu hanya lewat, menimbulkan hembusan angin kuat hingga Rindu menyipitkan mata. Lagi-lagi pandangnya menangkap pria jangkung tadi, berdiri menghadap ke jalur kereta. Entah kenapa Rindu dapat melihat gurat kesedihan dari raut wajahnya.

Tubuh pria itu tegap dan dari jarak lumayan dekat membuat Rindu harus menengadah sebab tinggi sekali. Namun, sorot mata lelah dan kantung mata berlapis sangat kontras dengan warna outfit cerah yang ia kenakan.

"Mbak." Sebuah tepukan dari belakang yang dilaku wanita paruh baya membuat Rindu menoleh kaget. "Itu tembus lho, kamu bawa pembalut ngga?"

Malu bukan main pupil Rindu sempat membesar sembari mengkonfirmasi ucapan si ibu dan benar, bagian belakang rok hijau toscanya terdapat noda merah. Namun, ekspresinya masih tampak tenang terkendali. "Ya ampun ... saya bawa di tas Bu," ia mengulas senyum seramah mungkin pada paras judesnya, seraya buru-buru menutupi noda dengan tas selempang, "makasih banyak ya Bu."

Pengumuman di pengeras suara oleh petugas kembali terdengar. Akan ada satu kereta jurusan Bogor yang datang bersamaan dengan perginya wanita paruh baya barusan. Mencoba tenang sambil berjalan gelisah, Rindu malah berakhir tepat disebelah pria jangkung tadi. Eh geblek. Kenapa gue jadi deketin cowok ini sih?

"Tunggu!" seru Rindu sambil menahan lengan pria disebelahnya yang hendak beranjak. Sumpah, refleksnya sangat jelek.

Pria itu tersentak kaget. Terpaksa ia menolehkan kepala hendak layangkan protes.

"Mas, dari pada nabrakin diri ke kereta terus masuk neraka, mending berbuat baik aja. Misal, pinjemin jaketnya ke saya." Rindu semakin mengeratkan genggaman kala si pria mencoba menarik tangan.

"Kamu gila ya?" Suara bariton itu sangat menusuk hati seorang Rindu Sediakala. Ditambah tatapan aneh dari mata legamnya.

"Masnya yang gila," ekspresi Rindu kembali ke mode normal, tetapi disetujui banyak orang tidaklah bersahabat, "orang waras mana yang kepikiran buat bunuh diri?"

Pria berambut hitam itu mengkerutkan keningnya bingung. "Tolong lepasin tangan saya."

"Nggak." Rindu masih bersikukuh. Suara bel kereta pun terdengar hingga benda raksasa itu berhenti di depan sana. "Pinjemin jaket terus ikut ke luar stasiun atau saya teriak 'copeeet' sekarang?"

***

Pojok Author 🍯:

Halooo terima kasih sudah mampir yaaa.

Jam upload setiap hari jam 5 sore. Selebihnya tentang ceritaku dan teman-teman projek romance lainnya bisa cek di bagian bab PRAKATA.

Have a nice day honey.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro