17: Bersyukur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya lagi malas meladeni kamu, Dira."

Bibir Lanang seketika dikecup oleh Dira sembari menulikan pendengaran. Ekspresi geram yang pria di hadapannya layangkan seakan tidak ia pedulikan. "I want you now," bisiknya seraya mengulas senyum tipis. Jarak sedekat itu lantas tercium aroma alkohol.

"You are drunk, dan silakan lakukan 'itu' dengan Arsa." Lanang mengernyitkan kening. "Saya pulang sekarang."

Dira masih bersikeras memeluk Lanang dengan erat, seakan enggan melepaskan. "Aku tahu kita sama-sama masih ada rasa. Kenapa nggak kamu terima saja kenyataannya?"

"Kenyataan apa?" Lanang melepas paksa pelukan Dira. "Kamu lupa ya kalau saya kembali ke kamu hanya sebatas rencana menghilangkan fokus Arsa? Menyerang psikis jauh lebih efektif, Dira. Ingatlah batasannya." Rencana ini sudah berlangsung selama dua tahun.

"Nggak. Kamu ngelakuin ini karena masih ada rasa sayang. Udah ratusan kali aku nurunin ego lalu minta maaf ke kamu tapi kenapa nggak terima saja sih maafku? Jangan menyangkal hal yang udah jelas kamu rasakan terhadap aku!" bentak Dira diselubungi emosi. "Kita bisa mulai dari awal lagi."

Lanang enggan merespon. Cukup memperhatikan ekspresi serius yang Dira agihkan tanpa ucap sepatah kata. Mata cokelat, bibir tebal menggoda, juga dua gundukan padat milik Dira yang tampak penuh diapit bra. Tentu dapat langsung menumbuhkan gairah kaum adam. Seharusnya efek itu juga berpengaruh pada Lanang untuk segera menyentuh seluruhnya. Apa daya, hasrat menggebu nan murni itu sudah lama tertimbun dalam-dalam. Telah berubah menjadi usang.

"Mulai dari awal lagi? Saya dengarnya mustahil." Lanang sekilas membuang muka sembari terkekeh meremehkan.

"Bisa! Aku bakal ceraikan Arsa terus balik ke kamu, kita—"

"Bullshit. Saat saya terpuruk waktu itu, kamu lebih memilih Arsa dan menikah sama dia." Amarah pada eskpresi Lanang mulai kentara. "Itu sangat jelas. Kita sudah selesai 9 tahun yang lalu. Saya sama kamu ngga akan bisa lagi jadi kita yang kamu maksud."

"Saat itu aku hanya berpikiran realistis, Lanang. Kamu seharusnya juga paham waktu itu kondisiku sangat sulit dalam memilih. Semua demi masa depanku!"

"Bukannya seharusnya demi masa depan kita? Masa depanmu dan masa depan saya." Lanang menarik senyum miring seraya berujar dengan nada rendah. "Dulu saya memohon dengan sangat baik, meminta kita berjuang bersama-sama, bukan akan bersusah-susah bareng. Saya tahu masih ada jalan keluar lain jika diusahakan. Tapi apa kenyataannya? Kamu ngga percaya sama saya."

Dira menggigit bibirnya kuat-kuat, kuku jemarinya menusuk-nusuk kulit telapak tangannya sendiri untuk meredakan rasa kesal, juga terselip rasa penyesalan. Kalimat Lanang terdengar sangat gamblang dan benar adanya. Usaha mengemis juga merendahkan diri selalu saja berakhir dengan kegagalan besar.

"Yang saya sadari dan syukuri sekarang, untungnya pilihanmu untuk meninggalkan saya adalah keputusan yang sangat tepat karena kamu bukan wanita terbaik, Dira."

***

Aroma wangi nasi telah menyebar ke area dapur. Matang sejak satu jam yang lalu jadi sudah tidak terlalu pulen, Rindu lantas mengolahnya menjadi nasi goreng. Ternyata sepiring mi goreng instan tidak lantas mengenyangkan perutnya. Tetap harus terisi nasi.

Melihat isi dapur Lanang yang sangat lengkap, Rindu pun bersemangat memasak untuk porsi dua orang. Ia memulai dengan memanaskan margarin di wajan hingga meleleh, aroma menyengat dapat ditahan sejenak hingga selanjutnya menambahkan dua butir telur kemudian dengan lincah tangannya bergerak mengorak-arik telur sampai matang.

Rindu menaruh wajan lainnya di atas kompor lalu mengisinya dengan minyak goreng dan bumbu yang sudah dihaluskan; bawang merah, bawang putih, cabai rawit, kecap manis, garam dan gula masing-masing secukupnya. Aktivitas Rindu ini langsung menaikkan suasana hatinya. Senyum merekah sembari bersenandung lagu karya Count Basie dan Frank Sinatra dengan merdu, meramaikan apartemen Lanang yang sebelumnya membosankan.

Lebih tepatnya Rindu cukup dibuat kesal. Rasa aneh yang seharusnya tidak perlu muncul sedikit menggerogoti hati Rindu. Tak ingin mengiyakan tapi semua itu disebabkan oleh Lanang.

Suara bel tunggal menginterupsi kegiatan Rindu ketika memasukkan nasi ke dalam wajan. Gadis itu pun beranjak membukakan pintu setelah mengecilkan api. Tanpa disangka Lanang langsung merengkuh tubuh mungil Rindu hingga ia memekik kaget. Sepertinya sudah jadi hobi pria itu untuk menggendong sang gadis dengan gaya karung goni.

"Eh, Mas! Nanti aku jatuh!" Rindu panik juga kebingungan dengan tingkah ajaib Lanang yang terlalu mendadak. Senyuman Rindu tanpa sadar terangkat tinggi. Kekosongan pada hatinya kembali terisi. Sepertinya kedepannya nanti ia harus mulai terbiasa.

"Ngga, tenang aja," ujar Lanang sambil mengunci pintu kemudian mendudukkan Rindu di atas counter table. Dua lengannya mengungkung pemilik tubuh mungil yang menghadirkan aura menenangkan. Suntuk setelah bertemu Dira sekekita menghilang.

Rindu berniat berpegangan. Leher Lanang yang menjadi pilihannya untuk melingkarkan lengan di sana. Lagi-lagi dengan mengejutkan tendas Lanang mendekat lalu menempelkan bibir keduanya kemudian tidak lama kehangatan pada area itu menghilang sebab kepala Lanang telah menjauh. "Lain kali bisa nggak izin dulu sebelum nyosor?"

"Ngga sempat. Ingin cepat-cepat bersihin bibir," jawab Lanang dengan entengnya lalu dihadiahi tatapan penuh curiga dari Rindu.

"Maksudnya apa bersihin bibir?" Datang ide usil. Jemari Rindu menyentuh rahang Lanang dengan lembut. Menyusurnya dari atas hingga ke bawah.

"Rin, ini bau apa? Amis," keluh Lanang terhadap tangan kecil Rindu yang bergerak dengan sensual.

Rindu mengulum senyum sangat manis. "Aku lagi masak nasi goreng. Tanganku juga bekas telur sama bumbu, tadi belum sempat cuci tangan." Sedetik kemudian setelah menjulurkan lidah ekspresinya pun berubah galak. "Lagian kamu kenapa sih? Dateng-dateng main nyeruduk aja."

Lanang mengangkat bahu. "Ingin saja. Lagian itu meluk, Rindu, bukan nyeruduk. Memangnya banteng." Ia terpaksa beralih membasuh wajahnya di wastafel, sedangkan Rindu pun turun untuk mengaduk nasi di dalam wajan.

"Kamu nggak masalah kan sama makanan pedas?" tanya Rindu seraya mencicipi masakannya.

"Ngga apa-apa," Lanang menghampiri seraya mengusap kepala Rindu, "masalahnya, jam segini saya sudah ngga makan nasi, tapi pengecualian karena kamu terlalu manis."

"Ih, basah!" Rindu memberengut sambil menangkis tangan Lanang kemudian mengambil dua piring dari kabinet bawah dapur. "Nggak nyambung tau, yang terlalu manis itu kalimatmu barusan. Bikin eneg! Perlu dikasih micin yang banyak."

"Yang ada nanti pusing," sahut Lanang diikuti kekehan rendah. "Kamu kenapa ngga melamar di restoran? Seharusnya banyak yang mencari lulusan SMK Tata Boga buat jadi bagian dari kru mereka."

"Udah coba melamar ke situ kok, tapi belum ada yang nyangkut. Malah rezekinya selalu di tempat lain. Kayak sekarang jadi staf." Rindu menjawab dengan ringan seraya menyajikan piring berisi nasi goreng di meja pantry. Tidak lupa garpu juga sendok.

"Masakanmu enak, tapi mereka lebih mencari yang pasti-pasti saja ya." Lanang pun duduk di kursi. Harum aroma nasi goreng buatan Rindu menaikkan selera makannya. Hal seperti itu sangat jarang terjadi.

"Gitu deh, tapi nggakpapa. Sekarang aku bisa otodidak belajar terus buka katering sendiri. Nggak perlu lewat jalur nyusahin." Rindu menjatuhkan bokongnya di kursi sebelah Lanang.

"Sekarang?" ulang Lanang seraya menyuap makanan.

Rindu mengangguk penuh percaya diri. "Sekarang ada kamu, modal buat buka katering. Aku jadi ada ide buat ngabisin uangmu nanti."

"Kalau tiba-tiba saya ngga punya uang, gimana?"

Pengandaian Lanang barusan tidak terlintas pada benak Rindu, sedikit pun. Ia tampak menimbang. Berhasil menelan makanannya, sebuah kalimat tanggapan pun terlontarkan dengan tegas. "Kalau pun nanti kamu nggak punya uang, aku yakin ibu atau saudaramu bakal tetap membantu buat mengusahakan sesuatu. Kekayaan keluargamu tuh nggak bakal habis sembilan turunan tau. Nggak perlu deh nakut-nakutin aku."

Lanang terkekeh pelan. Pemikiran yang sederhana. "Loh, yang megang kendali itu papa dan koleganya. Bisa saja di rapat umum nanti saya tiba-tiba dicabut jabatannya."

"Ayahmu itu cuma lagi bimbang," celetuk Rindu. Namun, ia enggan melanjutkan penjelasannya. "Ya intinya di dalam pernikahan nggak ada yang berjalan mulus. Aku pun udah terbiasa hidup pas-pasan, tapi kalau diajak hidup susah terus ya nggak mau lah."

"Jadi, kamu bakal ninggalin saya atau ngga?" Lanang menyilangkan kedua lengannya lalu bertumpu pada meja, sedikit menunduk sambil memperhatikan Rindu.

"Menurutku akhir dari menikah itu cuma ada dua. Cerai hidup atau cerai mati. Aku nggak berani melangkahi Tuhan buat kasih jawaban yang muluk banget. Pengalaman kemarin langsung aku jadiin pelajaran, sesuai sama perkataanmu waktu itu juga kan." Rindu meraih botol minum di dekatnya.

Tidak ada lagi tanggapan dari Lanang untuk menimpali. Pertemuannya dengan Dira tadi cukup mempengaruhinya untuk iseng bertanya kepada Rindu, lalu ternyata gadis itu benar-benar menjawab dengan serius.

Namun, semua penuturan itu masih terdengar rumpang, sekalipun Rindu memang hanya mengincar harta. Yang menjadi perhatian di sini memang soal kejujuran gadis itu. Ia telah menyatakan langsung tentang niatan buruknya. Setidaknya Lanang sudah merasakan sakit dari awal, tidak seperti Dira yang menusuknya dari belakang. Jalan ini memang terlihat gegabah, tetapi menjadikan Rindu tameng agar Dira menyerah sangat bisa untuk dicoba.

Rasa bisa datang belakangan. Mungkin hati Rindu sekarang diibaratkan nasi yang berkerak. Lanang akan merendamnya dengan air hingga perasaan gadis itu kelak dapat melunak.

"Besok mama ngundang kita buat makan bersama. Ada Yasa, Frisanti," Lanang sedikit menurunkan suara, "Dira juga Arsa."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro