22: Terbakar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rindu langsung menggeser tombol hijau pada layar gawai. "Kenapa Mbak? Gatel banget kayaknya sama calon suami orang, sini gue yang garukin."

[Kenapa lo yang angkat?]

"Kenapa lo telepon Mas Lanang? Nggak inget kalau udah punya suami? Kasian banget suami lo."

Sambungan terputus. Wajah galak nan judes seketika terpatri pada wajah, bibirnya memberengut dengan alis menukik tajam. "Idih, cewek nggak jelas."

Ari yang diam-diam memperhatikan akhirnya menghela napas lega. Awalnya takut jika gerobaknya akan terguling indah ke aspaljadi pelampiasan Rindu—karena curi dengar ada orang ketiga. Sedangkan Lanang yang sudah menerima gawainya kembali pun mengerjap pelan. Memperhatikan Rindu yang mendengkus sembari menyilangkan kedua tangan.

"Makasih Bang Ari, gue duluan ya." Rindu berlalu begitu saja setelah menerima sebuah plastik kecil berisikan pesanannya.

Barusan, Lanang merasa seperti diabaikan. Ia pun membayar cilok sembari mengawasi Rindu yang beralih ke gerobak gorengan tidak jauh dari sana.

"Kejar Bang. Kalo bisa beliin minuman yang seger biar hatinye adem." Ari memberikan uang kembalian. "Begitu memang ujiannya kalo udah mau serius nikah, kayak saya sama bini saya dulu. Semangat dah ya."

"Terima kasih, Bang. Saya duluan ya." Lanang mengulum senyum sopan lalu berjalan mendekat ke sebelah Rindu yang masih menunggu pesanannya di masak dulu. Harum aroma gorengan semerbak, menggelitik perutnya untuk segera mencoba.

"Kamu nggak tegas sama Mbak Dira," tukas Rindu tanpa menoleh. "Kalau kamu masih kasih harapan ke dia atau diri kamu sendiri, ya gimana mau cepet move on?"

"Sebentar, kamu kayaknya salah paham." Lanang terkekeh pelan, menanggapinya dengan santai. Sejujurnya perangai Rindu sangatlah menarik. Gadis itu terlalu serius menyikapi telepon dari Dira tadi. "Aku sebelumnya pernah bilang kalau sudah move on sepenuhnya dari Dira."

"Tatapan mata nggak bisa berbohong."

"Memangnya tatapanku seperti apa, hm?" Lanang menjawil hidung Rindu, lalu mendapatkan lirikan tajam dari si empunya. "Kamu sudah tau semua alasanku mendekati Dira kan. Sekarang kami sudah benar-benar selesai, tapi dia yang masih ngejar-ngejar."

Lagi pula, mengapa Rindu harus merasa kesal? Ia perlahan mengerjap seperti baru tersadarkan dari sesuatu, refleks gadis itu memang tidak bagus. Rasanya ingin merutuki diri sendiri.

"Aku tambahkan, sekarang fokusku hanya ke kamu," ujar Lanang dengan pelan.

"Sayangnya perasaanku nggak enak setelah dengar itu dari kamu."

"Mungkin karena Arsa," celetuk Lanang sembari menerima pesanan gorengan milik Rindu dan membayarnya.

"Kenapa jadi mas Arsa?" Tangan Rindu digenggam oleh Lanang, lalu mengambil langkah kecil ke tujuan selanjutnya—penjual tahu gejrot

"Si brengsek itu mengincar kamu." Sorot matanya menggelap, suasana hatinya bisa seketika berubah buruk bila membahas Arsa. Ditambah jika mengingat niatan bejat terhadap Rindu yang dilayangkan dengan sungguh-sungguh waktu itu. Darah Lanang terasa mendidih. "Sekarang status kita apa, Rin?"

Rindu sendiri tidak begitu paham dengan ucapan Lanang, tetapi ia tahu kalau Arsa adalah laki-laki yang berbahaya. Tebakannya pria itu sering bermain wanita. Setiap bertemu atau dekat dirinya pun langsung timbul perasaan tak nyaman. Sama saja seperti Dira—istri pria itu. Mereka benar-benar terlihat cocok.

"Status? Apa ya, pacar?" Agaknya lebih cocok bila hubungan tanpa status yang tersemat sekarang.

"Kenapa ragu? Padahal tadi bilang calon suami dengan lantang begitu ke Dira."

Jujur Rindu bingung jika ditanyai kejelasan seperti itu. Memang sebelumnya Lanang sudah menyatakan terlebih dahulu, tetapi kesannya ada sesuatu yang janggal. Namun kalau Lanang bisa sesantai itu menanggapinya, kenapa Rindu tidak?

"Berarti pacar merangkap calon suami," timpal Rindu kemudian.

"Bang, tahu gejrotnya empat. Cabenya dua saja ya." Lanang menarik satu bangku bakso yang tersisa ke dekat Rindu. "Duduk."

Sejenak Rindu menatap bangku yang diberikan untuknya kemudian duduk dengan manis di sana. Maniknya lantas memperhatikan Lanang yang berdiri menjulang tepat di sebelahnya. Sudah seperti tiang listrik untuk dirinya yang termasuk mini. Pria itu menyilangkan kedua tangan, mengamati sekitar.

"Banyak banget beli empat?" Jika diingat-ingat kenangan indah terakhir bersama Danu ya di tahu gejrot ini.

"Kamu dua, aku dua. Cukup kan?"

"Cukup banget, paling nanti aku minta punyamu setengah." Rindu menyandarkan kepala dan sisi tubuhnya pada pinggang Lanang dengan fokus ke abang tahu gejrot yang sedang mengulek.

Lanang menunduk. "Habis ini pulang ya? Sebentar lagi jam sibuk."

Rindu mengangguk kecil. Semilir angin yang menyapa lambat-laun membangkitkan rasa kantuk yang tidak tertahankan.

Tangan Lanang mencubit pipi Rindu dan menariknya perlahan hingga membuat gadis itu menyipit kemudian menegakkan tubuh. "Aku ke sana dulu beli rokok."

Selepas kerpergian Lanang, cibiran tak hentinya Rindu lontarkan seraya mengelus pipinya yang kembali jadi sasaran. Ada apa sih dengan pria itu? Sepertinya memiliki dendam terpendam. Namun bila diperhatikan baik-baik, Lanang tampak santai berjalan-jalan di pinggiran stasiun seperti ini tanpa mengeluh kepanasan atau pun merasa jijik bahkan malu.

Rindu memang belum mengenal Lanang terlalu jauh. Soal circle pertemanan atau masa lalunya. Media sosial miliknya bahkan di private dan hanya memposting beberapa foto. Gadis itu jadi sangat tertarik untuk mencari tahu.

***

[Assalamu'alaikum, Rindu. Gimana, Mbak Norma kan yang pegang kamu langsung?]

"Wa'alaikumsalam. Iya Ma, tadi Mbak Norma yang styling rambut Rindu. Ini abis selesai makeup."

Pagi tadi Rindu mendapat pesan dari Ira bahwa ia sudah mem-booking salon untuknya bahkan sampai baju telah dibelikan. Mau tidak mau gadis itu harus menerima. Lokasi pun dipilihkan satu arah menuju rumah Ira dan pemiliknya adalah kenalan baiknya. Fasilitas di sana sangatlah lengkap, tempatnya juga bersih dan nyaman. Konsep yang diusung adalah salon tradisional. Warna cokelat mendominasi. Pencahayaan yang terpancar dari lampu putih berpadu oranye hingga memberikan kesan hangat nan klasik. Kayu dipilih sebagai pelengkap dinding serta beberapa barang di sana seperti meja, kursi sampai lemari. Ada pula beberapa kerajinan tangan yang difungsikan sebagai pajangan. Definisi mewah yang sederhana.

[Sip. Kalau gitu Mama dan Papa tunggu di rumah ya, hati-hati di jalan sayang.]

Mama dan papa. Entah kenapa terdengar hangat hingga ke hati.

Setelah menimpali, sambungan itu usai. Rindu sejenak bergeming memperhatikan cermin. Makeup tipis pada rupa memberi kesan fresh. Gaya rambut tousled waved menjadi pilihannya, pula dress batik tenun selutut berwarna ungu abu berlengan pendek tampak indah membentuk lekuk tubuh rampingnya. Rindu berubah dalam sekejab bak dewi berkat Ira.

Setelah menghela napas panjang dan memantapkan diri, ia pun segera keluar salon. Hari ini waktu terasa berjalan begitu cepat, Rindu disuguhi gelapnya pemandangan malam yang diramaikan dengan lampu-lampu jalan serta kendaraan. Ia lantas duduk di tempat yang tersedia di depan salon.

"Eh iya, lupa belum pesen ojek daring," monolog Rindu sambil mengecek gawai. Seketika matanya melotot kemudian menggoyangkan benda itu meski tahu jika sia-sia. "Pake mati segala HP gue, aduuuh." Baterainya habis. Sok-sokan sih sebelumnya menolak halus tawaran Ira untuk dijemput sopir.

Seseorang dengan kemeja biru dongker dan celana jeans duduk di sebelah Rindu yang terlihat panik. Ia tidak sadar kalau sedang diperhatikan dari samping. Perlahan pria itu pun menyunggingkan senyum mempesona.

"HP-nya kenapa Rin? Rusak?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro