3: Panti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langkah Rindu terhenti di pinggir jalan raya tepat di depan sebuah warung kopi, padahal tinggal beberapa langkah lagi sampai di Panti Asuhan Amanah. Mengindahkan hari yang sudah berganti warna menjadi gelap, benaknya sibuk memikirkan kejadian sebelumnya. Bagaimana bisa Rindu sampai tidak menyadari rupa pria itu? Lanang Lakeswara, generasi ketiga sekaligus salah satu penerus dari Lakeswara Group. Perusahaan yang telah membangun citra selama 45 tahun dan memiliki banyak anak perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan properti.

Lanang sendiri adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Memang tidak semua orang dapat langsung mengenalinya, sebab ia cukup menutup diri soal kehidupan pribadi. Berbeda dengan sang kakakYasa Lakeswara—yang sering muncul di artikel berita dan aktif di media sosial. Padahal selama ini informasi cukup sering ia gali soal keluarga Lakeswara. Namun, siapa sangka wajah Lanang terlihat berbeda dari foto yang tersebar di internet? Maksudnya, jika bertemu langsung tidak terlihat seperti pria berumur 35 tahun.

Semakin dipikirkan, denyutan pilu pada hatinya tambah terasa nyata. Terlalu sibuk dengan urusan bertahan hidup, Rindu jadi melunak soal niatan membalaskan dendam bahkan rasa amarah seolah terlupakan, tetapi pertemuannya dengan Lanang seakan membangkitkan kembali memori lama menyakitkan yang berkaitan dengan keluarga Lakeswara.

Tepukan pelan dan sebuah genggaman pada tangannya membuyarkan lamunan Rindu. "E-eh, bu Erna." Ia pun salim sembari ulas senyum hangat.

Erna—pengurus panti—menyipitkan matanya tampak tidak suka. "Kamu tuh, kebiasaan ngalamun gitu, mikirin apa hayo? Ayo ke rumah." Wanita paruh baya berperawakan kecil itu dengan sabar menuntun Rindu sampai ke dalam Panti Asuhan Amanah.

Bangunan sederhana perpaduan warna cokelat muda dan cokelat tua beserta tanaman-tanaman hijau di pekarangan memberikan kesan hangat. Setiap sabtu dan minggu atau sepulang kerja, Rindu memang kerap datang ke Panti untuk sekadar membantu. Sebagai rumah yang membesarkannya, ia merasa sulit lepas dari tempat itu meskipun dulu pernah diperlakukan kurang baik oleh salah satu pengurus panti.

Di ruang tamu, Rindu duduk bersebelahan dengan Erna. Sofa kecil yang menjadi dudukan tidak menghilangkan kenyamanan berbincang mereka. Kepulan asap halus dari cangkir teh pun ikut menghidupkan suasana yang hening.

"Anak-anak udah pada tidur ya? Tadi ibu dari mana?" tanya Rindu untuk memastikan sambil melepas jaket yang melilit pinggang.

"Iya sudah pada tidur. Tadi ibu—"

"Oh iya bu, tadi ada salam dari Mas Danu." Rindu mengulum senyum manisnya, terpaksa menyela karena pas ingat.

Raut wajah Erna sedikit berubah, ia seakan hendak mengatakan sesuatu ketika mendengar nama Danu. "Oh ... iya. Salam juga untuk Danu ya."

"Ibu kenapa?"

Buru-buru Erna menggeleng pelan diikuti senyuman tipis. "Ngga Rin, itu tadi ibu habis dari rumahnya Bu Nilam, membicarakan soal nasib bayi yang ditemukan dekat penjual sayur. Bersyukur bayinya masih sehat."

Ekspresi Rindu berubah masam, helaan napas panjang menjadi bukti jika ia cukup muak dengan kelakuan orang tua yang tega membuang anaknya. "Sebetulnya Rindu bingung harus gimana merespon hal kayak gini. Nggak tau harus senang karena dapat keluarga baru atau kasihan karena bayi itu sudah dibuang."

"Semuanya sudah terjadi, Rin. Kita sebagai manusia yang memiliki hati nurani hanya bisa membantu memberikan tempat yang nyaman untuk anak-anak kurang beruntung itu. Tapi masalahnya sekarang ... donatur paling berpengaruh yang selama ini menyalurkan dana terbesar tiba-tiba memilih berhenti, Rin."

Rindu mengkerutkan keningnya. "Siapa bu? Alasannya apa? Bukannya sokongan paling besar itu dari keluarganya Mbak Frisanti? Nggak mungkin kan—"

Erna mengangguk lemah seraya mengelus pundak Rindu. "Iya, keluarga Lakeswara. Frisanti sulit untuk ibu hubungi, jadi sampai sekarang belum tahu pasti alasannya."

Ah, lagi-lagi keluarga konglomerat itu. "Tapi, bukannya Mbak Frisanti sudah janji bakal mendanai terus? Apa dia mulai lupa, kalau pernah jadi satu keluarga dengan kita?" Dada Rindu terasa sesak menahan kesal, bagaimana nanti nasib 25 anak di Panti? Memang masih ada donatur yang lain, tetapi mana bisa dengan cepat menutup lubang dana sebesar itu.

"Jangan begitu, Rin. Kita tidak tahu bagaimana kebenarannya, kamu seharusnya tahu Frisanti tidak akan berbuat seperti itu kan. Tapi tenang aja ya, ibu akan diskusikan lagi dengan pengurus yang lain dan mempertimbangkan pengeluaran untuk beberapa bulan ke depan." Erna mencoba menenangkan seraya mengulas senyum lembut. "Oh iya, Rindu. Kamu ... maaf ya kalau ibu lancang, kamu lagi butuh uang?"

Ditanyai begitu, Rindu jadi mengerjap kebingungan sebab semua orang pasti membutuhkan uang kan. "Maksud ibu?"

"Sebetulnya kemarin ada orang yang mengaku debt collector datang ke sini, terus nyariin kamu. Dua orang Rin, untungnya baik-baik sih mereka."

"Betulan nyariin Rindu, bu?"

Erna mengangguk yakin. "Makanya ibu tanya, apa kamu lagi butuh banget uang sampai pinjam ke mereka?"

Rindu menggeleng cepat disertai gurat wajah khawatir dan setitik rasa gelisah.

***

Langkah tegas dua pria yang baru keluar dari executive lift, cukup menyorot atensi beberapa orang di lobi gedung Lakespangan. Bukan karena ketukan kaki yang menggema, melainkan presensi sosok Lanang yang menjabat sebagai direktur termuda di sana. Kali ini dengan baju batik biru dimasukkan rapi beserta celana kain hitam, tidak lupa ikat pinggang yang terpasang masih terlihat modis bila Lanang yang mengenakan. Lalu disebelahnya, sosok asisten dengan setelan jas senada yang selalu setia mendampingi—Auriga Tara—terlihat sibuk dengan gawai disertai kening berkerut.

Bisik-bisik tidak terhindarkan. Seorang Lanang Lakeswara dengan segala rumor yang beredar sudah seperti camilan sehari-hari pekerja di sana. Yang masih hangat dibicarakan adalah kerenggangan hubungan antara Ayah dan Anak keluarga Lakeswara. Sementara itu, yang menjadi objek gibahan tetap terlihat tenang dan tidak ingin memusingkannya.

"Selamat malam Pak Lanang dan Pak Auriga," sapa satpam dengan sigap seraya mengikuti dari samping.

Dalam bentuk keramahtamahan, seulas tarikan penuh pada dua ujung bibir dilaku oleh Lanang. "Malam Pak Ujang, tolong mobil saya ya." Selepas kepergian Ujang, tungkainya pun berhenti di luar gedung kantor. Lengkungan pada bibirnya perlahan sirna.

"Pak, untuk kunjungan besok—"

"Ga," Lanang mengecek jam tangannya, "karena sudah bukan jam kantor, kamu bisa bahas data perempuan yang saya suruh cari, sumpah itu lebih menarik."

Auriga berdeham sambil ukir ekspresi datar. "Lo benar, kesejahteraan pegawai. Karena sudah di luar kantor, dan bukan lagi jam kerja jadinya pembahasan apa pun bisa dilanjut besok kan ya, Nang?"

Lanang melirik sang asisten dengan malas sembari mengeluarkan gawai.

Begitulah interaksi keduanya jika sebagai sahabat. Auriga yang jauh lebih tua dua tahun lantas terkekeh pelan sambil memasukkan gawainya ke dalam kantung jas. "Rindu sediakala, lulusan SMK jurusan tata boga. Dia besar di Panti Asuhan Amanah, pemilik akun rindu_sediakala9 di sebuah platform video dengan dua puluh lima ribu pengikut. Gokil sih, karena cukup populer diantara pedagang daerah Pondok Cina, jadi gue lebih gampang dapat informasinya. Selebihnya sudah gue kirim ke ­e-mail."

"Akun anonimnya sudah ada?" tanya Lanang tanpa menoleh.

"Sudah gue kirim, cek aja e-mail lo." Seketika Auriga penasaran dengan sesuatu. "Selama tiga hari ini memangnya nggak ada tanda-tanda dia hubungin lo, Nang? Kalau gue jadi dia nih ya, isi tabungan lo udah gue kuras habis atau lebih ekstrim lagi minta dijadiin istri." Ia melihat mobil Mercedes Benz yang melaju mendekat.

"Dia sudah mau menikah."

Auriga pun tertawa ringan. "Perempuan setia, ya."

Baru saja Lanang menerima satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ketika dibuka, isinya menyedot seluruh atesi sembari mengukir senyum tipis pada rupa. "Setia?" Kekehan pelan suara baritonnya terdengar meragukan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro