7: Hoodie

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Refleks, Rindu terlihat panik sembari terbatuk-batuk. Ia gelagapan, mengedarkan pandangan untuk mencari tempat bersembunyi. Tanpa berpikir panjang, gadis itu berlari kecil masuk ke dalam area kasir di mana Padma berdiam diri. Bawah meja menjadi pilihan karena merasa badannya kecil sehingga bisa menyelip.

Seperti orang bodoh, Rindu merutuki sikapnya. Kenapa ia harus melakukan hal itu?

Bersamaan dengan masuknya sosok pria tinggi ke dalam, Padma cukup kebingungan dengan tingkah Rindu. Karena gadis itu memohon untuk mengabaikan, jadinya ia memilih menyapa pengunjung yang datang. "Halo, silakan kak," sebuah menu di sodorkan dengan ulas senyum ramah, "seminggu ini ada diskon khusus paket Renjana—"

"Maaf menyela. Saya Lanang Lakeswara, mungkin ibu sudah tau maksud kedatangan saya kemari dari Auriga." Lanang duduk di kursi bekas Rindu, matanya sempat melirik sisa kue di meja.

Seraya memeluk kedua lutut, Rindu dapat melihat perubahan ekspresi pada rupa Padma dari bawah sana. Wajah wanita paruh baya itu menjadi tegang meski berusaha ditutupi dengan senyuman kaku.

"Sebentar ya, Pak Lanang." Padma beranjak ke pintu untuk membalikkan tulisan open menjadi closed, lalu menarik tirai tipis pada jendela hingga menyamarkan situasi di dalam. "Saya bukan orang yang Bapak cari."

"Lanang saja, Bu," cetus pria itu dengan sopan.

Padma kembali ke area dalam kasir sembari mengangguk. "Orang yang kamu cari enggan buat muncul, itu terlalu berisiko." Wanita itu menggaruk hidung mancung hasil operasi plastik dengan jari telunjuk. "Jadi kalau berkenan, semua interaksi bisa melalui saya sebagai pihak penengah yang diutus langsung oleh beliau."

Lanang terlihat menimbang seraya mengetukkan jari telunjuk pada meja. "Can you prove any of your claims? I mean with factual evidence." (Bisakah buktikan klaimnya? Maksud saya, dengan bukti faktual).

"Beliau dan ibu yakin, bukan kamu yang melakukannya," ujar Padma seraya menambahkan susu putih ke dalam racikan cokelat buatannya, "Chandra murni dibunuh, bukan karena serangan jantung. Iya kan?"

Lanang merasa tertarik dengan penuturan barusan. "Hm, keluarga saya sudah menutupinya dengan headline berita soal kematian natural karena serangan jantung, tapi orang-orang tetap percaya dengan kebocoran info pembunuhan itu."

"Kami bukan orang-orang itu, Lanang," tegas Padma sambil menekan tutup gelas plastik. "Memang waktunya juga ngga pas, kamu naik jabatan saat kejadian itu masih hangat jadi perbincangan publik."

"Saya kira satu tahun sudah cukup untuk memulihkan nama baik." Ketukan terhadap meja pun berhenti.

"Memang keputusan bagus untuk berhenti sebagai brand manajer selama setahun, tapi hasil RUPS waktu itu langsung mengangkat kamu sebagai direktur perusahaan Lakespangan menggantikan Chandra, masyarakat jadi mensangkut pautkan lagi dengan informasi yang bocor."

Kekehan pelan dilaku Lanang. Padahal satu tahun itu hampir kehilangan segalanya; pekerjaan hingga kekasih. Sang ayah meyakini fakta bahwa Lanang yang berada di tempat kejadian maka ialah pembunuhnya pun selalu berpegang teguh dengan pendirian tersebut, tidak menerima pembelaan apa pun dari Lanang. Bersyukur ia memiliki ibu yang percaya dan membelanya mati-matian. Melalui beliau, Lanang berhasil mendapatkan kepercayaan dewan komisaris dan memulai kembali dengan posisi yang lebih tinggi. Ia pun bisa membuktikkannya lewat kinerja yang mumpuni hingga saat ini.

"Tapi, kalau betulan saya yang melakukan hal itu, what do you think?"

"Kembali ke dirimu sendiri, apa kamu kelihatan seperti seseorang yang tega membunuh kakak kandung demi sebuah jabatan?" Padma terkekeh pelan, lalu gelengan kecil dilaku. "Kayaknya ngga, Nang. I doubt it (Aku meragukannya). Semenjak itu kami selalu memonitor, sampai kamu akhirnya sekarang datang sendiri ... berapa tahun berarti?"

"Delapan tahun," Lanang menggaruk ujung alisnya dengan ibu jari. "Setelah sekian lama bahkan saya ngga dapat nama asli dari wartawan freelance itu—kawanmu terlalu ketakutan untuk mati, kayaknya?"

Sebentar, sebentar. Ini seharusnya pembicaraan yang nggak boleh gue denger kan? Sialnya Rindu mendengar semuanya. Pembahasan itu, ia tahu betul akan sangat 'menjual' jika sembarang orang curi dengar. Aduh, hidungnya terasa gatal! Nggak, nggak, jangan sekarang please, tidaaak.

"Bukan, tapi demi kebaikan semuanya," timpal Padma.

Suara bersin patah-patah yang cukup terdengar melengking berhasil mengalihkan fokus Lanang dan Padma. Kepala mereka bergerak bersamaan ke sumber bunyi.

Padma pun berdeham. "itu, kucingnya ibu—"

Bersin terakhir ditutup dengan suara yang lebih besar. Lantas Lanang beranjak untuk memastikan sendiri peliharaan Padma di bawah meja kasir. Sosok jangkung itu menunduk, hingga pandangnya bersirobok dengan manik bulat milik Rindu yang berair. Sebuah cengiran canggung pun terpatri pada rupa lucu gadis itu.

"Oh ... ini kucingnya, bu?" Lanang bercangkung tepat di hadapan Rindu. "Jam segini bukannya kerja malah main petak umpet."

"Minggir!" Rindu menyundul Lanang dengan kepalanya untuk berusaha kabur. Namun, lengannya ditahan oleh tangan besar pria itu, sembari perlahan berdiri.

"Sebentar, kamu mau ke mana?" Sejenak Lanang mengerjap karena keningnya terasa berdenyut nyeri, sepertinya kepala Rindu terbuat dari batu marmer.

Dari luar gerai terlihat dua orang melongok seperti mengecek keadaan, lantas membuat Padma mengalihkan fokus. Sudah waktunya membuka gerai lagi. Ia pun beranjak untuk segera melayani pelanggan yang datang.

"Anggap aja gue nggak denger apa-apa," cetus Rindu sambil berusaha melepaskan genggaman Lanang. Pria itu menariknya hingga duduk berhadapan di meja dekat jendela.

"Ngga bisa. Kamu dengar semuanya dan itu setara dengan nyawa saya." Suara bariton Lanang terdengar mengintimidasi. "Tapi sayangnya nyawa cuma ada satu, Rindu."

"Nah, itu tau. Padahal waktu itu ada niatan akhirin hidup, tapi kenapa sekarang kayak sayang nyawa banget? Ke mana semangatnya buat mati? Berubah pikiran?" sarkas Rindu sembari menaikkan dagu.

"Ini berkaitan juga sama nama baik keluarga." Tanpa mengindahkan ucapan, Lanang menarik lengan Rindu mendekat. "Kayaknya kita perlu bernegosiasi."

"Nggak ada negosiasi apaanlah itu. Ribet! Gue nggak bakal buka mulut ke siapa pun. Lagian kalau ada niatan jelek juga dari kemarin lo udah gue viralin ke viewers, dengan bukti kartu nama eksklusif itu."

"Kamu lagi nyari keberadaan ibumu kan?" Lanang berujar telak, raut wajah Rindu mulai berubah menegang. "Nina Mukti Wibisono. Setiap potongan video yang kamu unggah selalu mengingatkan viewers-mu, mungkin aja ada yang kenal sama nama itu. Betul?"

Kepalan tangan Rindu semakan menguat.

"Saya bisa bantu. Mencari calon suamimu yang kabur itu then you can kick his ass (lalu kamu bisa menendang bokongnya), dan menemukan ibumu. Oh ya, hoodie saya juga masih ada di kamu."

Nah, itu! Hal penting yang Rindu lupakan adalah mengembalikan jaket Lanang yang ... entah sekarang berada di mana. Soal tawaran lainnya tentu sangat menggiurkan karena Rindu tidak hanya ingin menendang bokong Danu, tapi juga menarik rambutnya sampai botak, lalu menendang selangkangannya. Ditambah lagi bisa lebih efisien bila Lanang membantunya untuk mencari keberadaan sang ibu.

"Gimana?" Alias Lanang sangat ingin mengikat Rindu. Kelebihan yang katanya dapat melihat masa lalu dan masa depan itu juga tidak luput dari perhatiannya.

Rindu menarik napas dalam-dalam, kepalanya berdenyut memikirkan penawaran ini. Sedang tidak dalam keadaan prima membuatya berpikir lebih lama. "Lo cuma takut gue bakal bocor kan? Oke, nggak masalah, lagian itu juga menguntungkan buat gue. Tapi hoodie-nya, gue ... cari dulu."

"Oke." Lanang mengulum senyum tipis penuh makna. "Dan hoodie itu harus ketemu. Saya ngga mau terima kalau sampai lecet apa lagi bolong."

"Ya elah, gue ganti kalau sampai lecet. Berapa sih? Gue beliin sepuluh dengan warna yang sama."

Lanang kembali menegapkan tubuh diikuti anggukan pelan meremehkan. Sepertinya gadis itu lupa sedang berbicara dengan siapa. "Kalau nanti hoodie-nya hilang atau kamu ngga mampu ganti rugi, bayarannya dengan tubuhmu ya? Jadi partner tidur saya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro