9: Rencana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Memasuki apartemen Lanang, pelototan mata Rindu terhadap layar gawai tampak mengerikan. Ia bergeming di ambang pintu dengan kaki yang mulai terasa lemas. "Zegna cotton zip hoodie, sembilan puluh empat juta? Jaket kelewat simpel kayak gini hampir seratus juta? Pasti ertikelnya bercanda."

"Kamu bersedia ganti rugi sampai sepuluh kali lipat, kan? Seperti janjimu sebelumnya." Lanang melepas sweater, lalu terganti dengan kemeja putih yang membalut tubuh. Tungkainya berjalan santai ke arah pantry, mengambil botol red wine dari dalam kulkas dan membawanya ke ruang tengah.

Rindu berjalan cepat kemudian duduk tepat di sebelah Lanang pada sofa panjang nan empuk. "Di Tanah Abang cuma kisaran seratus ribuan!" Lagi pula saat itu hanya asal bicara. Misal harganya jadi seratus ribuan pun Rindu tetap tidak mampu memberikan ganti rugi bila dikali sepuluh!

"Itu brand Italia." Lanang menuangkan red wine ke gelas lalu bersandar pada sofa, diteguknya minuman itu perlahan.

Begitu pun Rindu. Ia ikut-ikutan menuang minuman itu ke dalam gelas hingga setengah gelas, diteguknya dengan cepat lalu berhasil menyita perhatian Lanang. "Oke, makasih infonya." Rasanya aneh. Hal baru bagi indera pengecap gadis itu hingga membuatnya mengernyit menahan gelenyar asing yang muncul.

"AAA! Apes banget sih gue!" teriakan Rindu sedikit mengagetkan Lanang. "Nggak di kantor, nggak di sini, suruh ganti rugi. Matahari aja belum tenggelem gue udah kecolongan banyak banget." Ia langsung menegakkan tubuh kemudian menoleh sambil menuding pria di sebelahnya. "Bukannya lo utang satu nyawa? Nyawa lo itu harusnya nggak ada tandingan harganya kan? Berarti anggap aja lunas!"

"Rindu, tapi waktu itu saya ngga minta kamu buat jadi super hero. Inisiatif siapa emang?" Lanang memiringkan tubuh dengan kepala menumpu pada satu tangan tertekuk.

Rindu meneguk minumannya hingga habis. "Jadi lo maunya gue tetap ganti rugi?" Dengan raut wajah kesal ia kembali memastikan dan anggukan dari Lanang tambah membuatnya naik darah. Sebagai bentuk protes, Rindu menyahut gelas red wine yang tinggal seperempat pada genggaman Lanang, lalu menandaskannya dalam hitungan detik. Sumpah, pahit!

"Kamu ... kuat minum?" Lanang menerima gelasnya yang sudah kosong dengan ekspresi heran.

Tidak menjawab ucapan itu, Rindu tanpa sadar mulai menceritakan keluh kesahnya. Seperti sesi curhat dadakan selama dua jam lebih ditemani segelas alkohol yang selalu kembali terisi, tetapi yang terakhir langsung Lanang cegah demi kebaikan sang gadis.

"Karena itu! Aku benci banget sama orang kaya kayak kamu." Rindu memajukan tendas sembari menekan-nekan keras dada Lanang dengan telunjuk. "Ngerampas hak orang! Main-main sama idup orang! Terus ...." Gadis itu mengerjap pelan menahan pening yang terus menyerang.

Lanang menaruh dua gelas kosong ke meja seraya menahan tubuh Rindu yang linglung. "Okay enough. Saya kira kamu ngga akan senekat ini." Ia terperanjat kala Rindu mengalungkan tangan pada lehernya.

Rindu pun sangat lincah menghadang Lanang menggunakan tubuhnya, membuka kedua paha seraya bertumpu pada lutut. Ia membusungkan dada, lalu menunduk menatap Lanang. "Mas Lanang. Matamu ada empat tapi tetep ganteng. Awet muda banget. Maskerannya pake apa sih? Susu berang-berang ya?"

"Maksudmu susu beruang?" Masih saja Lanang menimpali dengan tenang.

Mata Rindu mengerjap lucu. Tanganya aktif mengelus pipi Lanang, lalu ibu jari menyentuh bibir bawah pria itu. "Ini rasanya kayak apa? Cokelat? Vanila? Aku boleh cobain?"

Lanang sedikit mengangkat kepala. Kilat matanya bertanda tidak baik bagi Rindu, tapi sayangnya gadis itu tak menerima sinyal bahaya yang ada. Ia malah terkikik geli memperhatikan ekspresi serius yang menurutnya menggemaskan.

"Sure."

Suara rendah pria itu seperti memanggil sisi liar Rindu. Ia kian menunduk kala leher belakangnya ditekan oleh telapak besar Lanang hingga bibir mereka bertemu. Dengan mata terpejam, gadis itu sedikit memiringkan kepala dan mulai menggerakkan bibir. Kedua tangan Lanang pun turun menarik kedua paha Rindu hingga terduduk di pangkuannya.

Rindu jadi menengadah, sedangkan Lanang semakin dalam memagut bibir ranum gadis itu dengan lembut. Napas tertahan saling bersahutan menambah hasrat kian melambung. Lambat laun ciuman itu semakin menuntut, keduanya seperti berlomba meraup kepuasan melalui pagutan penuh gairah. Lanang kemudia beralih mengecup leher jenjang Rindu seraya membuka kancing kemeja gadis itu, memberikan ruang untuk menghirup pasokan oksigen.

Bagian atas tubuh Rindu berhasil terekspos, bra abu-abu yang menutupi pandangan pun Lanang singkirkan hingga menyembul gundukan kembar dengan ujungnya yang telah mengeras. Senyuman tipis terpatri pada wajah pria itu, sebab tubuh Rindu juga menginginkan dirinya. Titik sensitif gadis itu disambut oleh lidah Lanang, sengat kenikmatan pun menjalar pada tubuhnya bagai candu hingga membawa keduanya saling menindih.

Pandangan Rindu kabur menatap langit-langit sembari menahan desahan. Antara sadar dan tidak, saat itu pula ia bertekad untuk mempunyai anak dari Lanang, sambil membuktikan ucapan mendiang sang ayah atau jika perlu, mengambil nyawa pria itu.

Sudah saatnya, ia akan mencari jalan lain untuk mendapatkan hak yang tertunda. Jadi, langkah pertama yang harus gue lakukan adalah ... membuat Lanang jatuh cinta.

***

Tamparan keras sang ayah pada pipi seorang laki-laki berusia di penghujung dua puluhan terlihat menyakitkan. Bekas kemerahan langsung terlihat jelas pada pipinya.

"Kamu mau berulah apa lagi setelah ini? Contoh itu si Arsa. Dia penurut dan bisa diatur sama ayahnya!" maki pria paruh baya itu.

"Aku Lanang, Pa. Bukan Arsa," bela Lanang dengan intonasi rendah.

"Nyawa kakakmu itu tidak cukup, Nang? Setelah ini siapa? Nyawa ayahmu? Seingin itu ya kamu dengan kedudukan di perusahaan?" Dengan sorot mata penuh amarah, ayah Lanang—Gala Lakeswara—detik itu juga membenci anak ketiganya.

"Bukan Lanang yang melakukan hal itu ke Chandra." Senyuman miring mengembang pada wajah Lanang yang semakin memicu amarah Gala.

Perlahan gambaran situasi itu semakin menjauh, suara mereka mengecil lalu menghilang sepenuhnya. Lambat laun tergantikan dengan sebuah cahaya yang terasa menusuk penglihatan Rindu. Pandangan kabur dalam hitungan beberapa detik berubah menjadi jelas; ada lemari di hadapannya, lalu selimut putih, dan tangan kekar—tangan siapa?

Rindu mengerjap pelan, kepalanya masih sedikit pening. Ia berada di kamar. Terasa dari belakang ada satu tangan yang memeluknya erat diikuti dengkuran halus. Kehangatan kulit saling bersentuhan pun membuatnya nyaman, jadi enggan bergerak. Bergeming cukup lama sambil mengumpulkan kesadaran dan mengatur napas adalah awalan untuk mulai fokus pada niatan awal.

Tendas Rindu sedikit tertoleh ke belakang, hingga perlahan membalikkan badan sepenuhnya. Wajah rupawan Lanang beserta dada bidang dengan otot membingkai kini menjadi tontonan gratis. Pria itu tampak nyenyak terlelap, napasnya teratur.

Rindu tidak memperlihatkan ekspresi kaget, malah sebaliknya. Tidak dapat dipungkiri kala teringat potongan kejadian kemarin dapat memerahkan daun telinganya. Ia masih memakai rok kerja, sepertinya tadi malam memang tidak sampai bagian inti.

"Iya, pa. Perseroan ... rencana transaksi akuisisi saham sudah berhasil ...." Lanang mengigau.

Kalimat itu terdengar asing di telinga Rindu. "Apa tekanan itu yang buat lo mau akhirin hidup?" Kedua tangan mungilnya menangkup wajah Lanang. Gadis itu merasa iba? Sedikit. Maniknya seketika bersirobok dengan mata sayu pria itu. Tarikan senyum Rindu buat tinggi-tinggi, berusaha terlihat manis.

"Kesambet apa?" Suara parau Lanang sedikit mengendurkan tarikan pada sudut bibir Rindu. Habisnya, pria itu terbiasa dengan wajah galak si gadis. "Saya kira bakal dapat tamparan ketimbang perlakuan manis kayak gini."

Lantas Rindu pun mencubit kedua pipi Lanang sekuat tenaga hingga kuasa pria itu menepuk-nepuk pelan tangan si gadis, meminta dilepaskan. "Oh, mau aku tampar? Masih pagi ya, Om. Jangan mulai perang."

"Kedua kalinya saya bisa tidur nyenyak," aku Lanang tiba-tiba. "Jadi, besok dan seterusnya ingin terus seperti ini."

"Paling lama ngga bisa tidur berapa hari?" Rindu melepaskan cubitannya.

"4 hari, sepertinya."

Alis Rindu terangkat kala mendengar jawaban itu. "Kenapa ngga bisa tidur?"

Tidak langsung merespon, Lanang pun memilih mengalihkan pembicaraan. "Hari ini saya antar ke kantor ya?"

"Nggak usah. Nanti aku repot ditanyain teman kantor. Bosku juga kadang kepo orangnya." Omong-omong soal kantor, ia harus segera mandi. Rindu pun mengubah posisi menjadi duduk seraya memindai sekitar untuk mencari tasnya.

Pagi-pagi Lanang disuguhi dua bukit indah yang terpampang jelas di hadapannya tentu membuat sesuatu di dalam dirinya bangkit. Ia pun mendengkus seraya memejamkan mata kembali. Tadi malam Rindu langsung tidak sadarkan diri padahal baru mau memulai. Ya sudah, terpaksa Lanang hentikan kegiatannya dan menyelesaikan sisa nafsunya sendirian di kamar mandi.

"Dompetku yang satunya ilang?" monolog Rindu seraya merogoh dalam-dalam tas selempangnya.

Lanang kembali membuka mata, punggung yang tertutup rambut panjang sepinggang Rindu kini menjadi pusat atensinya. "Dompet kotak merah muda, yang kecil?"

Sontak Rindu membalikkan tubuh seraya mengangguk cepat. "Kamu liat? Itu isinya ikat rambut sama uang recehan." Baru terasa dingin karena pendingin ruangan masih menyala, ia pun menarik selimut hingga menutupi dada.

"Kamu baru sadar sekarang kalau hilang?" Lanang bangun seraya menyugar rambutnya.

Kernyitan pada kening Rindu seketika terbentuk. "Aku ... memang baru cek lagi karena butuh ikat rambut."

"Ibu-ibu di stasiun waktu itu yang ngambil dompet kamu." Lanang turun dari ranjang menuju nakas di samping Rindu.

"Kamu tau dari mana? Ibu-ibu itu baik kok."

"Saya lihat sendiri. Sebelum negur kamu, dia sudah ambil dompetmu duluan. Ibu-ibu itu memang sering berkeliaran di sana," jelas Lanang seraya mengambil sebuah ikat rambut berwarna merah dari dalam nakas, lalu menyodorkannya pada Rindu. "Makanya jangan suka melamun, lain kali lebih hati-hati lagi."

"Oh ya? Aku udah sering ke stasiun Pondok Cina loh, tapi nggak pernah liat ibu itu." Rindu pun menahan tangan Lanang kala hendak beranjak. "Kenapa kamu bisa yakin banget?"

Sang pria mengulum senyum tipis. "Saat nolong saya waktu itu, bukannya kamu juga yakin banget?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro