24. Getting Back Together

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Karena cowok itu nggak ada yang sudi jadi obat nyamuk

"Emma?"

Kayaknya ini baru pertama kalinya dalam sejarah, Emma datang tanpa pemberitahuan bukan buat ngajak perang badar, melainkan ngasih bingkisan. Gue sempat bengong sebentar, setelah beberapa hari nggak ngelihat mukanya, tau-tau dia muncul depan pintu rumah. Mana dandanannya manis banget sore-sore gini, pakai kerudung yang disampirin di bahu. Coba mama lihat ini.

Mama lagi nggak di rumah, pikiran gue langsung ke mana-mana.

"Kamu dateng kok nggak nelepon dulu, Sayang?" gue nanya dengan suara selembut kapas mama yang buat bersihin muka.

Bibir Emma mengerucut gue panggil sayang. "Soalnya aku datang bukan buat ngapa-ngapain," katanya gugup, bola matanya gerak-gerak salting gue perhatiin. "Aku cuma mau ngasih itu."

Gue mengintip isi bingkisan yang diantarnya, "Ini apa?"

"Syukuran kesembuhan papi," bilangnya.

Gue langsung manyun, "Kok aku nggak diundang?"

Emma menarik sudut bibir kirinya, katanya pelan, "Kamu kan nggak pernah mau ketemu papi."

Dari manyun, gue ubah haluan jadi cemberut, "Siapa bilang aku nggak mau ketemu? Kan udah dijelasin dan kita sepakat salah paham. Aku pikir ketemu calon mertua itu mestinya kalau sudah siap dan serius, sedangkan kamu cuma pengin papi tahu kamu berhubungan sama siapa biar nggak mikir macam-macam. Masa mau diungkit-ungkit terus?"

Cewek yang sore ini pakai knit shirt pink lengan panjang itu mendengung seperti lebah dengan kepala tertunduk, "Lagian kita udah putus ...."

"Tapi aku nggak mau putus."

"Bodo, ah. Aku nggak mau bahas ini lagi. Sampein ke mama aja ... kalau beliau masih mau dapet salam dari aku."

Gue cekal lengan berbalut bahan rajut itu sebelum dia berbalik dan menjauh. "Kamu nggak pengin ketemu mama dulu?"

"Memangnya mama di rumah?"

"Iya," dusta gue. "Yuk masuk dulu."

"Enggak, ah. Aku takut."

"Kok takut?"

"Mama nggak suka sama aku."

"Kata siapa?"

"Mama kamu kan lebih sayang sama Kiki."

"Tapi kan anaknya lebih sayang sama kamu."

Makin Emma berdecih sambil meronta, gue malah mengeratkan cengkeraman. Akibatnya kami tarik-tarikan kayak anak kecil dan gue nggak menyerah sampai Emma malu sendiri.

"Ayo, dong. Masuk dulu," bujuk gue. "Kamu dari kemarin dicariin mama. Yakin banget si mama kalau kita bakal balikan."

"Ish!"-mukanya merah-"Mana ada mama ngomong gitu."

"Ya udah sih ayo masuk dulu kalau nggak percaya, biar kamu bisa nanya langsung sama mama."

Gue sih yakin Emma datang karena masih kangen, makanya it's not too hard to persuade her. Bahkan, gue yakin dia datang buat ngasih gue alasan melakukan ini. Dia tahu gue nggak mungkin datang duluan karena pernyataannya tempo hari absolut, meski dalam keadaan emosional.

In fact, nggak ada putus hubungan yang langgeng kalau penyebabnya hanya salah paham. Apalagi selama masa idah gue bersikap baik, nggak macem-macem. Selalu update kabar, bahkan lebih rajin daripada waktu masih pacaran. Namanya juga usaha pendekatan kedua, harus lebih meyakinkan daripada yang pertama.

Gue memang banyak mikirin Kiki, tapi mikirin Emma dan mikirin Kiki itu ada dalam dua kotak yang berbeda. Bukan berarti gue selingkuh hati, yang satu sahabat yang gue sayang, yang satu pacar yang gue sayang. Buat cowok, sayang itu bisa kami bedain definisinya, meski kadang susah dijabarkan dalam kata-kata. Pokoknya gue tahu lah kalau hati gue nggak jahat.

"Lho ... Saya ...," Emma kebingungan waktu kami melewati ruang depan yang biasa dipakai buat nemuin tamu.

Gue pura-pura nggak dengar, nggak sabar mau bawa Emma ke kamar. Bukan mau ngapa-ngapain, sorry ya gini-gini gue anak soleh. Soalnya kalau ngomong di ruang tamu, Kak Kita bisa turun kapan aja. Kalau sampai dia nguping, rayuan maut gue bisa jadi bahan olokan seumur hidup. Tapi, sampai di ambang pintu dapur, pertahanan kuat tangan Emma nggak mampu gue lawan.

Dengan kepaksa, gue nengok.

"Saya ... kita mau ke mana?"

"Ke atas aja," kata gue, masih berusaha maksa.

"Saya kamu bohong, ya ... mama kamu nggak di rumah, kan? Pantesan ... hari Kamis gini mama kamu pasti pengajian!"

"Pengajian kan masih nanti malem."

"Terus mana mamanya?"

Gue mendengus, nggak bisa mengelak lagi, "Ke tempat Tante Lut."

"Ke tempat Kiki?"

Tanpa nanya pun, Emma udah tahu jawabannya. Ke tempat Tante Lut, mau ke rumah Kiki atau bukan, ya intinya mama dengan mama sedang mengadakan pertemuan. Gue bisa ngerti perasaan terancamnya tiap kali melihat kedekatan mama dan Tante Lut. But what can I say? Mereka memang sahabatan.

Saat gue pikir usaha gue udah nggak akan berhasil, Emma malah menunjuk hidung gue. "Awas ya kalau kamu macam-macam!"

"Macam-macam kayak gimana?"

"Ya gimana gitu, kan kita cuma berduaan."

"Ih ... ngarep banget berduaan, ada Kak Kita di kamar. Jam segini kan Kak Kita udah pulang kantor, nggak kemana-mana kalau lagi nggak punya pacar. Memangnya kamu mau dimacem-macemin kayak gimana?"

Emma mencubit lengan gue sambil mengentakkan kaki, "Aku pulang, nih!" rajuknya.

Sigap, gue cekal kembali lengannya. "Jangaaan," cegah gue manja. "Aku kangen banget sama kamu, Yang .... Please ... kasih aku kesempatan sekali lagi. Emang kamu nggak kangen sama aku apa?"

"Enggak," gelengnya penuh semangat. "Aku sibuk, nggak ada waktu buat kangen sama kamu."

Oh my God ... kemana aja sih gue selama ini?

Sembilan belas tahun gue hidup, sejak kenal lawan jenis, gue selalu dikepung teori-teori tentang betapa susahnya memahami perempuan. Katanya, mereka susah dimengerti, selalu mau menang sendiri, ucapan dan isi hati mereka sering kali tak seiya sekata.

Kalau hanya itu, gue juga. Nggak selamanya gue jujur, lalu apa bedanya cewek sama cowok?

Bedanya ada di pancaran mata mereka saat kalimat itu terucap. Mama pernah bilang, sekali kamu pegang hati seorang perempuan, selamanya kamu akan mudah memahami isinya. Cowok bukannya selalu mengatakan apa yang mereka ingin katakan, mereka hanya lebih mampu menguasai emosi saat mengatakannya. Dan mama benar, nggak terlalu sulit untuk tahu apa yang sebenarnya ada di hati Emma asal gue lihat bagaimana dia mengatakannya.

Dan asal gue tahu apa yang dia sembunyikan di balik kebohongannya, gue akan tahu apa yang harus gue lakuin.

Dia ingin gue nggak memercayai kata-katanya.

"Kalau kamu nggak kangen, kamu pasti nggak akan ada di sini," kata gue tegas tanpa keraguan. Bibirnya udah komat-kamit tanpa suara, siap-siap mengelak, tapi hanya dengan menajamkan tatapan, Emma langsung bungkam total. Hati gue senyum, tapi bibir gue tak bergerak. Gue nggak ingin mengacau momen ini. Sekali gue senyum, dia akan berpikir gue nggak serius.

Burung yang lepas sudah kembali dalam sangkar, gue hanya perlu kembali membuatnya nyaman sehingga dia nggak kepikiran buat ke mana-mana lagi. Emma menurut saat gue mengamit tangannya sepanjang menaiki tangga dan masuk kamar.

Kak Kita sedang sibuk dengerin musik, aman.

"Kalau mama kamu tahu aku masuk kamar, dia pasti makin kesel sama aku," sungutnya.

Gue duduk di tepi kasur, menepuk ruang kosong di sisi gue. Emma yang masih jual mahal mengambil jarak beberapa jengkal. Gue yang merapatinya. Tanpa canggung, gue ambil tangannya dan gue genggam.

"Kalau kita udah putus, ngapain kamu masih mikirin pendapat mama?"

Lihat, gampang banget kan membaca isi hatinya. Bahkan egonya yang terluka saat gue ngomong gitu aja langsung terpapar jelas di ekspresi wajahnya.

Cepat-cepat gue mengimbuhi sebelum dia marah beneran, "Itu artinya kamu masih peduli sama mama. Peduli sama mama levelnya lebih tinggi daripada hanya peduli sama aku, jadi nggak usah bilang kamu masih mau putus."

"Aku kan udah bilang, aku bukan putus karena aku udah nggak sayang sama kamu."

Gue terhenyak hebat. Sial. Bagian mananya yang kelewatan gue baca barusan, kok jawabannya jauh dari prediksi gue? Gue pikir kalimat barusan udah jitu, bakal mengunci semua penyangkalannya. Gue pikir dia akan diam, menunduk malu-malu. Eh masih meleset juga. Perempuan memang aneh, gue tarik ucapan yang bilang mereka mudah dipahami asal hatinya sudah kita genggam. Gue pikir dia udah masuk dalam sangkar begitu gue berhasil tarik ke dalam kamar, ternyata Emma hanya memikirkan waktu yang tepat buat serangan balasan.

"Aku minta putus karena aku nggak bisa bersaing sama Kiki, sama sahabat yang kamu sayang, sama seseorang yang udah lebih banyak tahu tentang masa lalumu. Bukan cuma itu, mungkin aku memang nggak bisa jadi nomor satu kamu, Saya. Ada atau nggak ada Kiki pun, mungkin cara pandang kita tentang pacaran udah beda."

"Beda gimana?"

"Ya ... aku bukan cewek yang menganggap hubungan pacaran itu main-main hanya karena aku masih muda."

"Aku juga enggak!"-jujur, kalau ini impulsif. Gue memang belum terlalu serius mikirin hubungan, yah gue anggap buat ngisi satu ruang kosong yang muncul begitu coming of age. Apakah hubungan ini akan berlanjut atau enggak, belum pernah gue pikirin.

"Kalau gitu mungkin aku memang belum bisa menangin hati kamu, Saya, sebab aku nggak ngerasa kamu serius."

"Memangnya serius dalam koridor kamu seperti apa? Seperti yang kamu bilang kemarin, soal ketemu sama papi kamu? Aku mau, kok, dan jujur ... aku malah makin bisa ngelihat kebaikan hati kamu waktu kamu ngomong gitu. Kamu bikin kata 'serius' itu nggak lagi jadi momok buat aku."

Emma membisu. Tatapannya fokus ke ujung jempol kakinya.

"Aku butuh tahu serius buat kamu itu seperti apa, sebab aku baru sekali jadi cowok berumur sembilan belas tahun, aku juga baru sekali ini jadi cowok bernama Saya. Aku nggak pernah jadi cowok berumur dua lima, atau jadi seseorang bernama lain sehingga aku bisa tahu apa artinya pacaran yang serius. Tapi, jujur, aku nggak pernah ada pikiran buat main-main. Aku selalu serius kalau pacaran, meski seriusku belum menjurus ke hal-hal yang dewasa.

"Kalau selama ini aku berkesan meremehkan hubungan, gampang minta maaf, bukan lantas aku nggak serius. Karena memang aku belum ngerti aja. Aku bikin salah, ya aku minta maaf. Soal aku mengabaikan telepon kamu kemarin itu, bukannya aku udah kasih tahu alasannya?"

"Alasannya Kiki ...," gumamnya.

"Kamu nggak ada alasan buat cemburu sama Kiki."

"Kenapa?" Emma menyergah cepat. "Karena dia tuli? Karena dia nggak sempurna? Selama ini aku ngebentengin diri aku dengan keenggaksempurnaan Kiki. Ah nggak mungkin kamu suka Kiki, nggak pantes aku cemburu sama dia, tapi kenyataannya ... dia memang lebih daripada aku. Seenggaknya di mata kamu."

"Kiki itu udah jadi bagian dari hidupku."

Emma mengembuskan napas berat saat kalimat itu nggak terhindarkan meluncur dari bibir gue. Tapi gue nggak ingin bohong lagi.

"Mungkin kamu benar, aku agak meremehkan karena selalu ada Kiki di sisi aku. Tapi ... sekarang aku paham, kami hidup masing-masing. Kiki punya hidupnya sendiri dan aku juga harus ngejalanin bagian hidup yang nggak ada dianya."

"Memangnya ada bagian hidup Kiki yang nggak ada kamunya?"

"Ada. Sudah ada."

"Maksudnya?"

"Aku selalu tahu Kiki punya rasa sama aku. Aku akuin. Tapi sekarang ... mungkin karena aku juga yang nggak pernah memasukkan dia dalam hitungan, dia udah milih buat menganggapku salah satu bagian dari hidupnya saja. Aku sama Kiki udah selesai, nggak akan ada lagi aku yang selalu ngerasa ada Kiki. Nggak akan ada lagi aku yang ngeremehin hubungan karena masih ada Kiki. Sekarang tinggal kamu aja gimana ... kalau kamu tetap mau putus ...."

Gue nggak sampai hati melanjutkan. Gue diam. Kami sama-sama diam. Perlahan, jemari Emma dalam genggaman gue mengerat.

"Aku mungkin belum bisa nunjukin keseriusan, tapi bukan berarti nggak serius," imbuh gue tulus.

"Aku juga nggak lantas mikir sejauh itu hanya karena aku pengin serius dalam pacaran," katanya.

"Kita masih muda."

"Ya ... kita masih muda."

"Tapi bukan berarti nggak serius," gue mulai berani berbisik tepat di daun telinga Emma, menyentuh lembut pipinya dengan puncak bibir gue. Samar. Takut kelewatan karena sekarang sekujur tubuh gue rasanya bergetar menghidu aroma parfum yang berasal dari tengkuknya.

"Aku jadi nggak enak sama Kiki," kata Emma sambil menoleh. Gue belum sempat menarik wajah sepenuhnya dari sisi pipi Emma sehingga bibir kami bertemu saat dia bergerak tiba-tiba.

Bagaimanapun, gue hanya cowok biasa, baru genap sembilan belas. Sentuhan bibir saat jantung berdegup cepat karena bincang-bincang penuh emosi barusan menyengat tiap inci tubuh sampai ke bagian yang nggak pantas gue sebut. Emma hanya mematung saat bibir gue menegaskan kecupan, rasanya mendebarkan seperti ciuman pertama.

Tapi hanya itu saja, nggak ada lanjutannya. Gue memilih menelan ludah dan nggak membiarkan nafsu berkuasa. Ciuman di dalam kamar di rumah sendiri itu mengerikan, rasanya kayak ada mama di setiap sudut ruangan. Mencekam.

"Aku ... pengin minta maaf sama Kiki," tutur Emma, kembali menghadap ke depan.

"Kenapa mesti minta maaf? Kamu nggak ngapa-ngapain dia."

"Memang nggak ke dia, tapi di hatiku sendiri aku udah nganggap dia sebagai musuh, saingan, dan ancaman. Sekarang setelah kamu bilang kalian udah selesai, aku ngerasa bersalah karena aku nggak bisa ngelihat bahwa hubungan kalian nggak seremeh itu."

Sekali lagi sebelum memutuskan kembali ke bawah karena khawatir mama pulang, gue mengecup kening Emma. Nggak ada yang lebih indah selain menapaki satu tangga kedewasaan bersama orang yang lo sayang, dan ini adalah satu level baru yang kami lewati. Mungkin kami akan jadi pasangan yang lebih kuat, meski masih sama-sama muda?

Yah ... mungkin, yang jelas ... gue nggak mau sendirian saat tahu Kiki ternyata berhasil dengan Juna. Ide jalan bertiga itu bikin gue ngeri. Mendadak gue tahu bagaimana perasaan Kiki setiap kali gue ngajak dia jalan bertiga. Selama ini memang nggak pernah terjadi karena cewek gue nggak ada yang mau, gue belum pernah dengar apa pendapatnya kalau bener kejadian. Apa dia setersinggung gue?

Aduh Saya di part ini tuh pengin saya peluk-peluk, dia adek-adek banget LOL. I talked a lot with my younger brother when we were younger, he stick with me, trust me, that until now I can not see him as a man. He'll be forever a boy in my eye.

I hope Saya doesn't sound too wise di sini, saya pengin dia terdengar polos tapi berusaha jujur sama perasaannya. Sometimes, when we're 19, we don't really know what kind of people we actually want, what kind of people we actually need, we simply don't wanna lose them all.

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro