26. Laluna

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Because you can not force a good heart at all

"Dia pasti ke sini!"

Luna bersikeras menahan rem kursi rodanya sehingga dorongan sang mama tersendat. Wanita setengah baya dalam balutan pakaian santai namun tampak mahal itu mengeluh bosan.

"Ini udah jam sepuluh, kalau ke sini udah dari tadi," katanya. "Lagian semalam Juna bilang kan kalau hari ini nggak bisa datang karena ada acara di kampusnya?"

"Tapi aku udah bilang aku keberatan!" Luna hampir menjerit. "Dia sendiri yang bilang tiap Minggu pagi kami bisa jalan asal aku ngizinin dia kerja di tempat temennya."

Mamanya memblok pandangannya, "Dia nggak perlu minta izin kamu, Luna. Dia bilang gitu supaya kamu nggak merengek aja."

Luna menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menghunjamkan tatapan tajam hingga wanita yang melahirkannya itu hanya bisa menjatuhkan kepala putus asa.

"Mama benar-benar nggak tahu lagi gimana ngadepin kamu," desahnya.

"Mama memang nggak pernah mau tahu betapa sakitnya aku!" geram Luna.

"Sampai kapan, dong kamu mau begini?"

"Mama nggak ada di sana dan bukan mama yang lumpuh, Ma."

"Hei ... bukan cuma kamu yang kehilangan, Lun. Papa kamu juga meninggal dalam kecelakaan itu!"

Mulut Luna bungkam.

"Oke, kamu boleh marah sama mama sesuka kamu, tapi Juna nggak bertanggung jawab sama apa yang terjadi ke kamu."

Luna membuang wajahnya ke arah lain. Tanpa bicara, mamanya tahu apa yang berkecamuk di benak putrinya.

"Kamu jangan keras kepala dong, Sayang .... Kasihan Juna. Mama nggak suka ah kalau kamu gini. Ayo, masuk ... ini mau hujan, lho."

"Mama nggak peduli sama aku, sama perasaanku, lihat dong kakiku, Ma-"

"Kakimu bakal sembuh kalau kamu nggak males terapi!"

"Terserah Mama!"

"Astaghfirullah!" sebut mamanya gemas. Tangannya bersidekap untuk memperlihatkan kekesalannya. Selama beberapa saat pandangannya tak henti memindai salah tingkah putrinya. Setelah mendengus dan memijit kening, dia menyerah, meninggalkan Luna sendirian di teras rumah mewah mereka.

Luna mengecek sekali lagi arloji di tangan kirinya.

Ada sesuatu yang aneh pada Juna beberapa waktu terakhir ini, pikirnya. Biasanya, sepenting apapun urusan kampus atau band, dia tak pernah mengabaikan janji Minggu pagi dengannya. Bahkan, jika sangat mendesak, kadang Juna membawanya serta. Semalam pemuda itu menelepon menyatakan ketidaksanggupannya hadir memenuji janji Minggu pagi ini. Luna pikir dengan bersikeras, dia akan kembali memenangkan waktu Juna.

Namun, sampai lewat waktunya, dia harus menelan kecewa.

"Bibik!!!" teriaknya.

Seorang gadis yang kira-kira seusia dengannya tergopoh-gopoh menghampiri, "Ya, Non?"

"Ambilin handphone-ku!" dia memerintah.

"Baik, Non," angguk rendah asisten rumah tangga yang merangkap perawatnya itu.

Akan tetapi, sebelum berlalu, Luna menghentikannya. Dengan wajah menekuk, dia berubah pikiran, "Nggak usah! Dorong aku aja ke kamar. Cepetan!"

Tak berani membantah, gadis tadi melaksanakan perintah nona mudanya. Dengan hati-hati dia mendorong kursi itu melewati ruang tengah menuju kamar yang sejak beberapa bulan terakhir ditempati Luna. Sebenarnya kursi roda Luna sudah cukup canggih, dia tinggal mengendalikannya, tapi kadang terlalu kesal dan marah untuk melakukan semuanya sendiri.

Watak gadis itu memang cukup keras. Kemalangan yang dia derita bukan melunakkannya, melainkan justru makin membentuknya menjadi pribadi penggerutu dan pemarah. Apapun akan disalahkannya untuk membuat dirinya merasa lebih baik. Kebiasaan orang-orang di sekelilingnya yang selalu memanjakan dan menuruti memperparah kondisi psikologis gadis itu. Semakin mudah dia mendapatkan semua yang dia inginkan, makin buruk sikapnya.

Dari sekian banyak yang didapatnya dengan mudah, ada satu hal yang sangat dia ingini, tapi begitu sulit dia dapatkan. Juna.

Demi Juna, Luna terpaksa menahan diri. Demi Juna, dia berusaha menjadi Luna yang manis, selama Juna menurut.

Sebelum kejadian yang merenggut ayah dan kakinya, Luna tak pernah sudi bertegur sapa dengan Juna. Dia merasa berbeda kasta dengan putra anak buah mendiang ayahnya hingga tak mengacuhkannya sama sekali. Namun, segalanya berubah ketika satu demi satu kawannya menjauh setelah musibah yang menimpanya dan hanya Juna yang masih mau menemaninya.

Masalahnya, akhir-akhir ini dia mulai merasa Juna menjaga jarak darinya.

Di kamar, dia minta ditinggalkan seorang diri. Diambilnya ponsel yang tergeletak di meja dan ditekannya spead dials nomor dua. Tiga kali panggilan tak terjawab, Luna beralih ke salah satu nama di daftar kontaknya.

Suara seorang wanita menjawab tak lama kemudian.

"Siang, Tante ... Tante, Junanya udah jalan?"

Ibunda Juna berdiam sesaat, "Sudah, Sayang ...."

"Juna nggak ke tempat Luna, ya, Tante?"

"Aduh ... Tante udah bilang supaya Juna mampir dulu ke rumah Luna, lho," tutur ibunda Juna dengan penyesalan yang tak dibuat-buat. "Bilangnya sama Tante sih ada kegiatan di kampus."

Luna memaksakan senyum, "Oh ... ya udah kalau gitu, nggak apa-apa, Tante ...."

"Nanti Tante sampaiin ke Juna, ya, kalau Luna nelepon."

"Iya, Tan ...."

Senyum lebar di bibir gadis berambut lurus sebahu itu pudar begitu sambungan teleponnya terputus. Rahangnya menggeretak marah, dadanya bergemuruh karena cemburu yang diharapnya sekadar rasa kecewa tak beralasan. Urat-urat di keningnya bermunculan hingga sampai pada satu titik di mana luapan emosinya tak tertahankan, gadis itu membanting ponselnya di atas meja kuat-kuat.

Sebenarnya, dia tahu Juna tak ada kegiatan di kampus.

Dia juga tahu kenapa pemuda itu menjauh.

Dia sudah berusaha menepis kecurigaannya, menipu dirinya sendiri, tapi makin hari sikap Juna makin dingin padanya. Mungkin Juna mulai sadar bahwa dia tak punya kewajiban apapun terhadapnya. Mendiang ayah Juna mungkin telah menyebabkan dia kehilangan ayah dan fungsi kakinya, tapi sesungguhnya, di lubuk hati terdalam Luna, dia tahu itu bukan salah Juna sama sekali.

Air matanya mengucur deras saat kedua tangannya memukuli kakinya sendiri. Kini dia mulai menyalahkan diri mengapa tidak bersemangat menyembuhkan diri. Dia pikir, dengan kondisinya, dia akan mampu menahan Juna dengan perasaan bersalah, tapi ternyata taktik itu tak bertahan lama.

Kalau saja dia sehat seperti dulu, mungkin dia akan dengan mudah mengalahkan seorang gadis manis berpenampilan sederhana yang tertangkap kamera pesuruh yang dimintanya memata-matai Juna belakangan ini.

"Biiik!!!" Luna menjerit memanggil lagi. Sebelum seseorang menghampiri, dia menambahkan perintah dengan volume sama tinggi, "Panggil Pak Tio suruh siapin mobil. Aku mau pergi!"

"Baik, Non."

"Jangan bilang mama!" imbuhnya dingin.

Tak seorang pun di rumah itu yang ingin berlama-lama jika berurusan dengan Luna kalau tak mau terlibat dalam masalah. Begitu roda kursi gadis itu sampai di halaman rumah, mobil yang biasa mengantarnya ke mana-mana sudah menanti. Tanpa perintah tambahan, seorang pria berusia 40-an segera membopongnya masuk ke jok belakang. Gadis yang dipanggilnya bibi melipat kursi dan menyimpannya di bagasi mobil.

"Ke mana, Non?"

"Cari cewek yang kemarin itu."

"Yang saya potret?"

"Siapa lagi?"

"Ke mana ya, Non, nyarinya?"

"Mana saya tahu!" bentaknya kasar. "Kalau perlu, kita sisir semua tempat yang biasanya didatengin Juna selama bapak ngikutin dia!"

Pak Tio-nama pria yang memegang kemudi-masih tampak ragu, tapi kerlingan tajam Luna yang terpantul di spion tengah mobil membungkam mulutnya. Perlahan, dia melajukan mobil, turun ke jalan raya.

Tempat pertama yang mereka tuju adalah Sweet and Treats, mobil sengaja diparkir cukup jauh dari kafe tersebut.

Luna menelan ludah. Di sini, pikirnya. Juna cukup sering membawanya kemari, terutama setelah kejadian nahas itu. Salah satu tempat yang sering dipilih Juna untuk menghibur perasaan kalutnya. Apa Juna juga menatap gadis itu semanis tatapannya selama ini tiap dia merasa senang menikmati seporsi Banana Split?

"Saya lihat mereka berduaan di sini beberapa kali," ucap Pak Tio memberi tahu. "Non Luna mau ke sana, atau saya aja?"

"Bapak aja," katanya.

Sewaktu Pak Tio mengiakan perintahnya, gadis itu menambahkan sebelum pintu terbuka, "Jangan sampai kelihatan Juna."

Tak lama kemudian, Pak Tio kembali, "Nggak ada di sana, Non. Mau coba ke tempat Non sama Mas Juna jalan-jalan tiap pagi?"

Luna diam berpikir.

"Tapi agak jauh, itu juga saya nggak berani jamin."

"Memang bapak pernah lihat Juna ke sana sama cewek itu?"

"Enggak, sih, Non. Kan kalau Minggu pagi biasanya sama Non Luna."

"Lah terus ngapain kita nyoba tempat yang jauh dulu, bukannya yang dekat-dekat aja?" ungkapnya kesal. "DI mana lagi bapak lihat mereka?"

"Di sekolah Bu Salma."

Luna memutar bola mata, "Sekolahnya kan tutup, Pak, Minggu begini."

Pak Tio menggaruk bagian belakang kepalanya, "Iya, ya,"-menggumam-"Oh ... ada satu lagi, Non. Saya tahu."

"Di mana, Pak?"

"Di tempat Mas Juna bawa Non makan malam waktu Non ulang tahun bulan-bulan kemarin!"

Meski dada Luna sesak dan masygul, dia tidak membantah ide Pak Tio kali ini. Kafe itu tak seberapa jauh dari sana, layak dicoba, batin Luna. Hanya sekali Juna mengajaknya ke sana. Tempat yang tak terlalu istimewa untuk standar Luna, tapi membahagiakan karena Juna yang membawanya. Mereka pergi di malam ulang tahunnya, jauh sebelum kebahagiaannya terusik sosok seorang gadis yang tiba-tiba hadir di antara mereka.

Ya, ya, kepala Luna mengangguk-angguk. Kalau dipikir-pikir, gadis itu mulai hadir sejak Tante Salma mengajar di lembaga ketrampilan itu. Lagi-lagi dia merasa kesal karena telah kecolongan menutup celah. Dia hanya berpikir bagaimana caranya supaya Juna tak beranjak darinya dengan menawari pekerjaan yang kemudian ditolak Juna, mengizinkannya bekerja di tempat berpenghasilan kecil sehingga Tante Salma terpaksa bekerja juga.

"Kalau aja gue mendesaknya lebih keras," pikirnya.

Kalau Juna bekerja di tempat Om-nya dengan gaji cukup, Ibunda Juna tak perlu bekerja, dan gadis itu tak akan mampir di kehidupan mereka.

"Pak Tio tahu sesuatu tentang gadis itu?"

"Cuma namanya, Non."

"Siapa namanya?"

"Kiara Selma," jawab Pak Tio tak yakin, "Panggilannya Kiki."

"Tante Salma kenal dia?"

"Kalau itu saya kurang tahu, Non, tapi harusnya Ibu Salma tahu, sebab anak itu belajar di sana. Lagian ... nggak mungkin kayaknya nggak tahu. Cuma anak itu yang ...."

"Yang apa?"

"Yang nggak bisa ngomong, gagu. Saya pernah bilang ke Non waktu itu, tapi Non buru-buru nyuruh saya pergi, jadi saya nggak bisa nambahin keterangan."

"Gagu?" ulang Luna kaget. "Maksudnya bisu?"

"Bisa ngomong kok, Non, tapi nggak jelas. Kayak sumbang, aneh, gitu, Non. Hauh hauh gitu, tapi bisa ngomong, kok."

"Jadi nggak bisu, dong."

"Kata Pak Tides ... tuli, Non."

Luna tersentak.

"Makanya waktu itu saya mau bilang sama Non ... kayaknya Non nggak perlu khawatir. Masa sih ... Mas Juna mau sama cewek ... budeg, Non?"

Tuli, Luna mengulang-ulang kata itu dalam hatinya. Apa malah justru itu Juna tertarik pada Kiki? Dia tahu benar betapa baik hati pemuda itu, yang membuatnya jatuh hati pula. Di mata Juna, kesempurnaan fisik seperti bukan menjadi pertimbangan utamanya dalam menjalin hubungan. Oleh sebab itu juga Luna mempertahankan kondisinya demi menarik simpati Juna.

Pak Tio ternyata tidak salah. Baru saja mereka memarkir mobil tak jauh dari kedai yang dimaksud, pasangan yang mereka cari muncul dari pintu depan. Kepala Luna memanas melihat Juna meletakkan lengan dengan nyaman di bahu gadis itu. Mereka tertawa-tawa, bersenda gurau dan tampak bahagia. Sekali pun, Juna tak pernah terlihat sesenang itu jika bersamanya. Wajahnya memang selalu teduh dan ramah, tapi kesan ceria sangat jarang Luna lihat.

"Gimana, Non?" tanya Pak Tio hati-hati.

"Ikutin aja."

"Nggak disamperin aja, Non?"

Luna menggeleng, "Juna kemungkinan besar pulang sebelum siang, sama kayak kalau dia nemenin saya tiap Minggu pagi. Dia harus berangkat kerja sebelum sore," katanya.

"Non ... mau nyamperin Mas Juna?"

"Enggak."

"Terus?"

Luna tak menjawab. Dia punya rencana sendiri.

Happy Valentines day, yaaa!

Nggak apa-ap, ini bukan soal ngerayain atau enggak ngerayain, if it's love, I'll say to you over and over again. Spread love, love, love, not hate.

Muach!

Eh .. pokoknya kalau part ini vote-nya dikit saya update-nya lama.

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro