7. Friend Request

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di mana-mana, wanita selalu benar.

Apalagi seorang bunda

Begitu sampai rumah dan memarkir motor di teras seperti biasa, Juna segera membebaskan rambut dari helm full face yang membungkus kepala sepanjang perjalanan pulang. Tangannya mengacak bagian belakang rambut selehernya hingga butiran keringat memercik ke mana-mana. Macet membuatnya gerah luar biasa.

"Jun?" terdengar suara memanggil dari dalam.

Buru-buru pemuda itu menutup dan mengunci kembali pintu pagar sebelum masuk.

"Nyalain lampu teras dong, Sayang," pinta suara yang sama.

Tanpa diperintah, sebenarnya Juna sudah otomatis memencet saklar lampu teras setelah membuka pintu depan.

"Gerah banget, macet," keluhnya tanpa ditanya.

"Hari Minggu," kata bundanya pendek.

"Malem, Bunda."

"Malem, Sayang. Tunggu sebentar, ya, Bunda lagi tanggung."

Sambil mengintip sekilas pekerjaan sang bunda-rajutan syal dengan inisial namanya-Juna mengecup puncak kepala wanita paruh baya itu dengan penuh kasih, "Buat apa ngerajut syal, Bun? Juna nggak akan pakai juga."

"Siapa tahu," gumam bundanya, terus memusatkan konsentrasi. "Udah makan, Nak? Bunda nggak masak, kita makan di luar, yuk?"

"Ke mana? Macet, Bun."

"Ke depan aja, makan nasi goreng. Mau?"

"Juna bikinin aja sih kalau nasi goreng, biar hemat. Bunda gajiannya masih lama, kan?"

"Ya udah ... kalau kamu nggak keberatan. Punya Bunda jangan pedes, ya?"

Juna mengiakan, tersenyum simpul seraya menjauh menuju sudut ruangan tempat menyimpan helm. Meski jaket dan mantel lain juga di simpan di sudut yang sama, tapi Juna hanya mau menanggalkan jaket kebanggaannya di kamar. Kalau tidak, bundanya pasti akan curi-curi kesempatan untuk mencucinya.

Juna nggak suka jaketnya terlalu bersih, dia lebih nyaman tampil agak belel.

Sebelum mandi, demi mengeringkan keringat yang membasahi kaus kutungnya, Juna membaringkan diri. Dengan mata terpejam, rabaan tangannya menemukan remote audio player dan menekan tombol power. Alunan Clock Strikes berkumandang dari menit kedua, melanjutkan dari terakhir kali dia mematikannya tadi pagi.

Sepuluh menit berbaring dan nyaris ketiduran, notifikasi ponsel membangunkannya. Meski terkantuk-kantuk, dia membuka kuncian layar ponsel yang langsung memperlihatkan lembar notifikasi Facebook. Mendadak, kantuknya lenyap melihat sebaris pemberitahuan. Kiara Zelma accepted your friend request.

Bukan hanya Facebook, sejak semalam Juna juga sudah mengikuti akun Instagram dan Twitter gadis tuli yang menyita perhatiannya itu. Dengan antusias, dia mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap, asyik menggulirkan layar ponsel dan memberi reaksi suka pada hampir semua postingan Kiki beberapa waktu terakhir.

Saat dia menggulir kembali ke atas, sebuah postingan baru muncul di lini masa akun Kiki. Meski tak bisa menahan geli melihat Kiki membuat mimik lucu di selca terbaru dan tak pikir panjang memencet tombol suka, ada dengus samar berembus dari lubang hidungnya saat mendapati wajah juniornya di kampus tengah tertawa di samping gadis itu. Tanpa maksud apa-apa, Juna mengirim permintaan pertemanan ke akun Milo Sayaka.

Dia tahu Milo Sayaka, tapi tak terlalu mengenalnya.

Namanya cukup tersohor di kalangan band kampus, berserta groupies-nya. Saya yang vokal dan gaya panggungnya sangat mirip Taka OKR. Kalau saja suara dan musikalitasnya nggak cukup baik, Juna tak akan segan mengolok-oloknya imposter. Namun, berhubung sangat mumpuni, dia hanya bisa berharap satu hari Saya menemukan gayanya sendiri.

Tak pelak, meski dia bukan tipe orang yang suka memulai permusuhan atau menempatkan dirinya lebih unggul dari orang lain, ada rasa bangga saat mengetahui Saya gagal mendapatkan tanda tangan Taka di official jacket-nya. Tentu saja, ucapannya semalam tentang keinginan mendapatkan tanda tangan Toru lebih besar dari Taka hanya bualan saja. Basa-basi supaya Saya tidak merasa kalah lebih dari sebelumnya.

Tentu saja juga, untuk mengesankan Kiki.

Saat bimbang menimang akan memberi komentar apa di foto terbaru Kiki, bundanya memanggil dari ruang depan menyuruhnya mandi.

Asal saja, dia mengetik, 'Kapan-kapan ajak aku, dong.'

Tak disangka, saat komentarnya terposting, Saya lebih dulu memosting komentar, 'Genit lo, Jelek. Mentang-mentang habis ketemu senpai.'

Senpai? Kening Juna mengerut. Namun, sebelum dia mencerna apa maksud Saya, tanda merah di logo notifikasi Facebook lebih dulu muncul. Setelah menyegarkan halaman, terdapat satu jawaban di bawah komentarnya. Dari Kiki, 'Boleh, Kak. Kakak suka es krim juga?' tanyanya. Juna baru akan membalas, tapi dia menyadari komentar Saya sudah hilang. Keningnya pun mengerut makin dalam, makin curiga.

Siapa yang menghapus komentar itu? Kiki, atau Saya sendiri?

Masa bodoh, Juna membalas komentar Kiki, 'Suka. Aku suka makan es krim di situ juga.'

'Suka rasa apa?'

'Moka

'Green tea'

'Sama tuh kayak @Sayaka Milo. Green tea mania.'

Banyak kesamaan, gumam Juna dalam hati. Dia baru ingat permohonan pertemanannya belum diterima oleh Saya, padahal kalau baru saja membubuhkan komentar di foto Kiki, seharusnya dia sedang online. Di-summon Kiki pun, tak ada balasan lebih lanjut.

"Kayaknya gue nggak disukai," Juna menggumam sendiri.

'Makasih ya udah diterima friend request-nya' ketik Juna. 'You look nice in this pic,' tambahnya, agak nekat.

'Sama-sama, Kak. Makasih. Hehe,' balas Kiki.

"Ya ampuuun!" seru seseorang saat Juna tengah senyum-senyum membaca balasan Kiki, membayangkan pipinya bersemu merah karena dipuji frontal begitu. Bundanya sudah berkacak pinggang di ambang pintu saat dia berbalik. "Belum mandi jugaaa?"

"Iya, ini mau mandi, Bun. Tadi masih keringetan," alasannya.

"Bunda siapin ya bahan-bahannya, kamu mandi. Mau pake air anget?"

"Nggak usah," tolak Juna halus sambil bangkit dari tidur. Diraihnya kabel charger dan disambungkannya dengan ponsel.

Bundanya masuk lebih ke dalam mendekati perangkat audio kesayangan putra semata wayangnya, "Kecilin dikit, Maghrib. Udah salat?"

Juna menyengir, "Belum. Ini mau ambil wudlu dulu sebelum mandi."

Bunda mencibir, "Jangan ditunda-tunda, dong. Bunda bikinin air panas aja, ya, sementara kamu Maghrib. Biar nggak masuk angin mandi malam-malam."

"Nggak usaaah," kata Juna serius. "Boros nanti gas-nya."

Bunda mendesah, "Jangan masuk angin lho, ya."

"Kan ada Bunda yang ngerokin kalau Juna masuk angin," ucapnya manja.

Dirayu demikian, sang Bunda tersenyum manis sebelum menghilang di balik pintu. Juna segera melaksanakan perintah bundanya meski masih penasaran berat ingin mengecek apakah Saya sudah menerima permintaannya atau belum.

Kalau nggak disuruh-suruh, dia malas sekali mandi, apalagi pakai air dingin. Namun, tanggal tua begini, dia tak ingin membebani bundanya. Sekadar membeli gas saja sebaiknya ditunda sampai gajian, atau sampai honor kerja sambilannya turun. Sejak ayahnya meninggal gara-gara sebuah kecelakaan maut beberapa bulan lalu, Juna harus menyesuaikan kondisi keuangan keluarganya yang pas-pasan. Bahkan, bundanya yang selama ini menjadi ibu rumah tangga harus bekerja demi memenuhi kebutuhan. Beliau mengajar di sebuah lembaga kursus memasak dan ketrampilan lain, juga memberi kelas tambahan membuat kerajinan tangan pada siswa kelas yang mau.

Beberapa bulan setelahnya, paling tidak mereka berdua sudah bisa sedikit bernapas lega, ada uang asuransi dari pekerjaan sang ayah yang telah tiada meski tak seberapa. Akan tetapi, Juna berusaha tak mengeluh demi sang bunda. Terlebih, dia bukan satu-satunya pihak yang menderita, ada seseorang yang jauh lebih berhak melayangkan keluhan. Setidaknya menurut sang bunda.

"Tadi Juna ketemu sama Kiki," beri tahunya saat masuk dapur.

"Kiki yang mana?" tanya sang bunda, mungkin lupa saking banyak siswa yang diasuhnya.

"Yang tuli," jawab Juna pendek.

"Oh ... Kiara?"

"Semalem Juna pulang malam karena disuruh mampir. Ban sepeda Kiki 'kan kempes, tuh, terus Juna anterin pulang. Ternyata dia lagi ulang tahun, mamanya minta Juna stay buat makan malam. Seru. Mana salah satu junior di kampus Jun-"

"Kirain kamu di rumah Luna," potong bundanya, walaupun tenang, tapi mampu membuat mulut Juna bungkam seketika. "Terus gimana?"

"Nggak gimana-gimana."

Mendengar nada sendu pada suara putranya, bunda memause tangannya yang tengah mengiris bawang merah, "Maaf," ucap bunda tak enak. "Bunda nggak bermaksud ngerusak mood kamu. Asyik acaranya?"

"Yah ...," Juna mengedikkan bahunya malas, minatnya sudah lenyap begitu sang bunda menyebut nama itu. "Lumayan."

"Lumayan aja kok tadi antusias?"

"Bunda nggak akan bilang ke Luna, kan, kalau misalnya Juna dekat sama orang lain?"

"Enggak akan lah, buat apa?"

"Juna tahu perasaan Bunda, tapi .... Bun-"Juna mendesah. Sebelum kalimat terselesaikan, terpaksa dia menelannya kembali karena bunda keburu meletakkan pisau dan mengelap tangannya dengan serbet.

"Bunda nggak mau ngomongin itu," sergah bundanya sambil memutar keran air untuk mencuci tangan. "Bunda 'kan barusan nggak sengaja."

"Iya, Juna ngerti," kata Juna pelan. Berat, tapi dia mencoba tersenyum, "Bunda duduk aja deh, nonton teve. Biar Juna yang selesaiin di sini, tapi nanti bantuin Juna cuci piringnya, ya?"

Bunda mengangguk, "Tadi Mbak Tini ke sini, minta dipekerjakan lagi."

"Bunda bilang apa?"

"Bilang mau tanya kamu dulu."

"Kok bunda nggak tolak aja? Kasihan nanti dia ngarep."

"Kamu aja deh yang bilang sama dia, ya? Bunda nggak enak banget."

Lagi-lagi, Juna hanya bisa menghela napas berat, "Dia kan harusnya tahu kondisi kita udah nggak sama kayak dulu. Mana ada uang lebih buat bayar pembantu?"

"Kalau bunda tambahin jam ngajar buat kelas kerajinan tangan, kayaknya bisa kok buat bayar dia. Mbak-nya juga bilang, jumlahnya nggak sama kayak dulu enggak apa-apa."

"Nanti bunda capek ...," Juna mencoba menahan nada bicaranya agar tetap rendah. "Sekarang aja Mbak-nya bisa bilang mau dibayar nggak kayak dulu, nanti lama kelamaan ngeluh, terus bunda kepikiran. Apa Juna aja yang berhenti kuliah, biar bisa fokus kerja?"

"Jangan, dong!"

"Ya udah ... nggak usah mikirin orang lain dulu. Kalau bunda mau bantu, coba aja bunda tanyain ibu-ibu lain yang butuh pembantu."

"Tapi nggak ada ...."

"Kalau nggak ada ya udah, nggak usah. Yang penting kan bunda udah usaha buat bantu," kata Juna. "Juna tahu bunda nggak tega, nanti kalau kita udah better kondisinya, kita cari dia lagi. Kita pekerjakan kayak dulu. Yah?"

Hanya desah panjang yang diberikan bundanya buat jawaban. Kemudian, langkah kakinya terdengar menjauh menuju ruang depan, meninggalkan Juna dengan helaan napas lebih berat dari sebelumnya. Dia coba alihkan pikirannya dengan mengurus hidangan malam itu, meski sulit.

Dulu, hidupnya begitu mulus, tanpa hambatan. Jangankan memikirkan ekonomi keluarga, dengan sekali minta saja, ayahnya akan dengan senang hati memberi semua yang diinginkannya. Jaket dan tanda tangan Taka itu adalah salah satu bukti masa jayanya ketika sang ayah masih hidup. Segalanya berubah setelah kecelakaan yang menewaskan almarhum dan bosnya, serta membuat cacat putri semata wayang kepala perusahaan sekaligus partner ayahnya, Laluna.

"Juna ...."

Juna menoleh, mendapati bundanya mengangsurkan wireless phone ke arahnya.

"Luna."

Juna menjatuhkan bahu, "Duh ... Bunda ...," keluhnya.

"Luna langsung mau ke sini waktu tahu kamu mau masak buat Bunda. Nih."

Seolah tak memedulikan ekspresi letih Juna, bunda semakin bersemangat menyerahkan telepon pada putranya.

"Halo," sapa Juna lembut pada telepon yang dipasangkan ke telinganya oleh sang bunda.

"Kamu lagi masak kata bunda, yah?" tanya suara di telepon. "Udah lama nggak makan masakan kamu, aku boleh ke sana?"

"Kamu kan baru aku pulangin tadi sore, Lun ...," kata Juna, tetap berusaha bersikap ramah. "Aku nggak masak apa-apa, cuma goreng nasi sama apa yang ada aja kok di kulkas."-mengabaikan alis bundanya yang mengerut mendengarnya menolak Luna-"Kamu istirahat aja."

"Tapi aku juga lagi pengin makan nasi goreng," Luna merengek. "Aku ke sana aja diantar sopir, jadi kamu nggak usah pulangin aku lagi."

"Bukan masalah pulangin kamunya, nanti kamu capek. Besok jadwal kamu terapi, harusnya kamu tidur lebih cepat, bukannya-"

Bunda malah menarik gagang telepon yang dipegangkannya di telinga Juna dan bicara sendiri pada Luna, mencegah putranya bicara lebih banyak, "Kalau Luna nggak keberatan makan nasi goreng rumahan, sama nggak kecapekan besoknya, ke sini aja. Yah?"

"Bunda-"

Bunda mengangkat salah satu tangannya ke arah Juna, menyuruhnya diam. Senyumnya terulas tipis kembali saat bicara, "Ya udah ... tante sama Juna tunggu, ya?"-menutup telepon-"Kamu kok gitu, sih sama Luna, Jun?"

Juna hanya bisa mendecapkan lidah sambil membuka kulkas, mengambil sebutir telur ekstra untuk calon tamunya.

AN:

Jadi cerita ini ada POV 1 sama POV 3. POV-1 nya Saya dan POV 3 yang ngikutin Juna. Sengaja, kok, saya nggak pake POV Kiki sebab dia pemeran utama di hidup dua orang pria ini, cieee ....

I wanna talk about a girl, sebab udah terlalu sering saya ngomongin cowok lewat POV cewek, atau POV cowok.
Apalagi ini memang tentang betapa sweetheart-nya Kiki, kalau diambil POV-nya, pasti nanti ada cacat dalam personality-nya karena manusia/karakter akan sangat membosankan jika ia terlalu sempurna, padahal fokus cerita ini adalah menunjukkan betapa sweetheart-nya Kiki. She must not fail to look perfect, at least in the eye of these two boys.
So who's gonna win her heart?

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro