Bab 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Thanks God, It's Friday. Selamat menghabiskan akhir pekan ditemani Liliana dan Benedict. Vote dan komen yang banyak.

🔥🔥🔥

Sejak menjadi pengacara, Benedict jarang tertawa lepas. Ada banyak topeng yang dia gunakan demi menjaga reputasi. Gilbert Andes selalu menekankan untuk berbicara seadanya, tertawa seperlunya, sama halnya dengan bergaul. Namun di dini hari ini, pertahanan Benedict bobol juga. Siapa lagi kalau bukan karena Liliana. Di saat seperti ini, wanita itu masih sempat memikirkan nasib sahabatnya.

"Kenapa tertawa, Ben?" Liliana turun dari pangkuan, bersimpuh di sebelah Benedict. Sorot keheranan tercetak di wajahnya.

Lagi-lagi Benedict terbahak. "Kamu tahu, Lil? Waktu di Swinger Club aku ingin sekali memelukmu seperti ini." Lengannya terulur merengkuh bahu telanjang Liliana. "Sini." Dia membenamkan wajah wanita itu ke dadanya tanpa memedulikan debaran di sana seolah ingin mendobrak rongga dadanya. "Kamu baik sekali, Lil."

"Untung kamu nggak melakukannya," sahut Liliana pendek. "Karena aku pasti akan menamparmu."

Kecupan bertubi-tubi menyerbu puncak kepala Liliana. Dia memejam sesaat menikmati meski dalam hati menganggap otak Benedict korslet karena percintaan mereka. Biarlah laki-laki itu melampiaskan kegilaannya. Toh, cara Benedict jauh berbeda dengan yang dilakukan Samuel.

"Ben ...."

Ucapan Liliana memintas keheningan di antara mereka. Debaran di dada Benedict kini teratur, perlahan menurun temponya.

"Kamu dengar kan yang aku omongin?" Liliana merasakan anggukan Benedict di atas kepalanya. "Jangan khawatir, aku akan hati-hati."

"Tapi, Lil." Benedict menyela cepat. Membiarkan Liliana berkeliaran akan membuat persembunyian mereka ketahuan. Benedict yakin, Samuel mengawasinya. "Kamu masih ingat kan, kalau Samuel mendatangiku di kantor? Samuel curiga aku yang membawamu."

"Tentu saja aku ingat. Lantas gimana dengan Chika?"

"Aku sudah menutup mulutnya." Benedict menghela napas panjang.

"Dengan seks?" Oh, Liliana kaget sendiri dengan pertanyaannya. Sejak kapan dia seperti ini?

"Kamu pikir aku ini laki-laki pemuas nafsu?" Ben tertawa geli sembari mengelus punggung Liliana. Tulang belakang wanita ini bahkan menonjol karena bobot di bawah rata-rata. Embusan napas terhela begitu saja.

"Chika memang suka berpetualang memuaskan nafsu, tapi dia lebih cinta uang, popularitas, jalan-jalan dan belanja."

"I see."

Liliana mengangguk mengerti, hanya wanita yang kurang waras saja yang tidak menyukai kemewahan dunia. Dia jadi merasa bersalah sembari menghitung berapa banyak Benedict merogoh koceknya demi membungkam tunangannya. Liliana kembali teringat Joy, sahabatnya juga sama, sahabatnya itu malah harus masuk rumah sakit karena dia.

"Ben, aku ingin menjenguk Joy," lanjut Liliana mantap. "Aku akan meminta tolong Arnold mengantarku."

"Arnold?"

Ada nada tak suka dalam suara Benedict. Siapa lagi dia? Salah satu pengunjung Swinger Club juga kah? Musuh Benedict bertambah satu ketika dia memutuskan membantu Liliana kabur. Meski Samuel masih menduga-duga, laki-laki itu jelas akan menambah deretan nama yang benci dengannya.

Seperti halnya musuh, kawan Benedict juga tidak banyak, Benedict pernah mendengar nama Arnold dari Gilbert Andes, papanya. Sependek ingatan Ben, Arnold Tanoto adalah Putra pengusaha Tanoto yang merelakan tunangannya menikah dengan pengacara dari Malang. Dia kah orangnya?

"Ya, Arnold. Teman Samuel, mereka satu kampus."

Oh, rupanya benar, ingatannya tidak salah. Keluarga Tanoto adalah pengusaha konstruksi, putranya memilih berkuliah di bidang yang sama guna meneruskan usaha orang tuanya kelak. Benedict mengembuskan napas saat menegakkan punggung, kemudian mengambil selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua. Ini tidak lagi lucu. Bahkan dadanya mulai terbakar perasaan tidak suka.

"Dia berbeda dengan Samuel, Ben. Arnold pernah membantuku kabur." Liliana memberi penjelasan tanpa diminta, jangan sampai Benedict menolak keinginannya.

"Pernah itu kapan?" tanya Ben kaku, ucapannya sedingin es.

Hei, hei, kenapa dia jadi seposesif ini? Sudut terjauh di dalam hatinya berteriak protes. Jangan salah! Seiring waktu, seseorang bisa saja berubah. Apa sih yang tidak bisa dibeli? Prinsip dan kesetiaan tergerus oleh harta dan kekuasaan. Ben tidak ingin Liliana menderita lagi, sisi lainnya membela diri.

"Kamu kenapa, Ben?" tanya Liliana diikuti senyum kecil demi mencairkan suasana hati Ben yang berubah drastis. Matanya terus mengawasi Benedict, laki-laki itu tampak tidak nyaman

Kegusaran Benedict menular. Sepasang alis tipis Liliana kini mengerut dalam saat laki-laki itu bangkit dari duduknya lalu meraih jubah mandi kemudian masuk ke kamar. 

Benedict meninggalkan Liliana sendiri dalam kebingungan.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Liliana berpikir keras beberapa saat sebab perubahan sikap Benedict padanya. Sejurus kemudian Liliana mengerti, dia tersenyum simpul, Liliana membekap mulut agar tawa jahil itu tidak lolos dari bibirnya. Kepalanya tidak menggembung saking bangganya kan?

Ah, Benedict cemburu.

Liliana mencelus jika mengingat kenangan lama. Dia tidak pernah menerima perhatian seperti ini meski itu dari Samuel yang menemaninya selama lima belas tahun. Dia meraba paha, cairan kenikmatannya terasa lengket di paha. Azan Subuh samar terdengar dari masjid yang tidak jauh dari apartemen. Para Muslim memulai rutinitas beribadah di awal hari. Liliana juga harus bersih-bersih. Dia beringsut dari sofa sembari menarik selimut. Sebagian mengumpul di dada, separuhnya lagi menjuntai menyapu lantai marmer yang dingin.

"Ben ...," tegur Liliana saat membuka pintu. Laki-laki itu menutupi tubuhnya dengan selimut bahkan sampai ke kepala. Lucu sekali. "Aku mandi duluan, ya, Ben."

Tak ada sahutan sama sekali. Semoga Benedict tidak kehabisan napas karena ulahnya sendiri. Liliana tersenyum geli, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Suara gemericik air disusul pintu menutup, menyapa telinga Benedict. Dia menurunkan selimut lalu membuang napas. Tatapannya terarah ke plafon di mana lampu sorot terpasang. Chika ingin merasakan sensasi bercinta di terpa kilatan lampu warna warni.

Apa yang sudah dia lakukan? Bukankah Benedict tidak ingin melihat Liliana bersedih? Benedict tidak rela setiap mendengar wanita itu menyebutkan nama laki-laki lain. Selama ini Ben terlatih menjaga emosi, semuanya menjadi lepas kendali saat bersama Liliana.

Sial! Benedict bangkit, duduk bersila di atas ranjang, sesekali memukul pelan kepalanya. Kamu bodoh, Ben!

"Dari pada ngelakuin itu ..." Liliana menjeda kalimatnya ketika mendapati Benedict sontak menoleh, kesiap tercetak di wajah laki-laki itu, tergemap beberapa saat. Liliana berdeham menyembunyikan tawa jahat, dia tidak ingin Benedict semakin gusar. "... Gimana kalau kamu membantuku menggosok punggung."

Susah payah Liliana menyelesaikan ucapan, dia beringsut mundur beberapa langkah. Liliana menyilangkan tangan, menutupi dada telanjangnya. Benedict turun dari ranjang dengan tubuh yang sama polosnya. Mata laki-laki itu berkilat, tetapi sama sekali bukan amarah yang ada di sana.

"Kamu menipuku, Lil."

Liliana memekik saat Benedict tiba-tiba membungkuk di depannya. Mengangkat tubuh kurus Liliana dengan mudah.

"Jadi ... biar aku memberimu sedikit hukuman."

Pekikan Liliana berganti cekikikan. Benedict menggelitiki pinggang rampingnya.

"Ben! Berhenti!"

Liliana tidak tahan lagi. Dia meronta berusaha melepaskan diri. Benedict mendudukan Liliana di atas wastafel, tatapan laki-laki itu menyorot tajam, benar-benar memabukkan.

Sepertinya Liliana akan tenggelam di kedalaman pusaran iris keemasan bola mata Benedict Andes. Terlebih saat wajah itu mendekat, Benedict berbisik serak. Embusan napas laki-laki itu mengelusi cuping telinga Liliana.

"Rasakan hukumanmu, Liliana Dermawan, karena sudah membuat Benedict Andes cemburu."

***

Sampai ketemu Jumat depan. Yang mau baca lebih cepat, Bab 22 ada di SWINGER CLUB volume 2 di Karyakarsa. Sudah tamat di sana.

Love,

💋 Bella 💋



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro