Bab 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu sudah banyak menolongku, Ben. Jangan seperti ini."

Benedict melirik Liliana dari kaca spion, wanita itu mendekap tote bag dengan erat. Tak sedikit pun penyesalan tersirat dari wajahnya, Liliana sedang mengibarkan bendera perang pada suaminya. Benedict tidak bodoh, untuk berjaga-jaga dia menyimpan salinan bukti kecurangan Samuel lewat tangkapan kamera mini yang biasa dia bawa.

"Kamu janjian dengan Leander di mana?" Benedict memelankan kendaraan, lampu merah memintas perjalanan mereka. Suasana lalu lintas Jakarta cukup bising siang ini, padat merayap, kaca tebal CRV Benedict seolah tidak mampu meredam hiruk pikuk pengguna jalan.

"Macet, ya?" Liliana menoleh pada barisan mobil yang berjejalan.

"Hmmm," balas Benedict.

Itulah Indonesia, budaya antre teramat sulit untuk dilakukan penduduknya. Tidak sabaran. Semua berlomba ingin saling mendahului. Badan jalan yang seharusnya hanya muat untuk empat kendaraan bertambah, mengular dalam antrean panjang. Akibatnya suara klakson bergantian, bersahutan, memekakkan telinga.

Liliana mengeluarkan ponsel dari dalam tas mencari nomor Leander.

"Halo, Le. Ini Liliana. Aku sudah mendapatkan dokumen yang kamu minta." Liliana terdiam mendengar sahutan dari seberang panggilan.

"Setu Babakan, ya? Baiklah, sampai ketemu di sana."

Liliana memutus panggilan, menatap Benedict dari pantulan kaca lantas tersenyum.

"Kita ke Setu Babakan, ya, Ben."

"Ok," jawab Benedict ikut tersenyum, sorot bahagia Liliana menularinya, meski dia sedikit bingung kenapa Leander memilih Setu Babakan sebagai tempat pertemuan. Mobil Benedict melaju mengaspal jalanan Jakarta yang padat. Halte Cipedak penuh sesak menanti bus saat New-CRV Benedict melintas. Tidak lebih dari lima menit, mobil mewah itu memasuki lahan konservasi. Leander berpesan untuk menunggu di parkiran.

"Yakin di sini?" Benedict lagi-lagi memasang mode waspada, meski Liliana tidak menunjukkan kekhawatiran.

"Samuel nggak mungkin ke sini, Ben. Jangan khawatir." Liliana celingukan dengan alis berkerut, tetapi sorot matanya lantas berbinar saat orang yang dinanti memarkirkan motor di samping mobil.

"Ben, aku ingin bicara berdua dengan Leander."

Benedict mengangguk lalu keluar dari mobil, memberikan privacy pada Leander dan Liliana.

"Le, ini bukti kecurangan Samuel saat tender PUPR. Dia menyuap oknum Kementerian demi memenangkan tender." Liliana mengeluarkan dokumen setebal bantal dari dalam tote bag bersamaan dengan Leander menghempas punggung di sandaran jok. "Saya tidak tahu hubungannya dengan Joy, itu bisa kamu cari sendiri. Tapi kalau dilihat dari tanggal terbit giro ..." Liliana menjeda kalimat, kembali mengingat kejadian enam tahun lalu. "... sepertinya bertepatan saat Joy mengawal klien di Jogja."

Leander mengangguk, paham dengan penjelasan Liliana. "Baik, Bu. Terima kasih atas bantuannya."

"Itu juga bertepatan dengan kematian senior kamu, kan?" tanya Liliana hati-hati, banyak ingatan berkelebat di kepalanya. Ya, Joy pernah bercerita kejadian di Ritzo Cafe. Terlalu lama berada di bawah siksaan Samuel membuat otak Liliana buntu, sampai melupakan banyak hal. Liliana menghela napas saat mendapati air muka laki-laki di sampingnya berubah keras. "Saya yakin, Joy sama sekali tidak terlibat dengan kematian senior kamu itu."

"Baik, Bu, saya permisi."

Leander membuka pintu, kaki laki-laki itu sudah turun sebelah, tetapi terjeda oleh kalimat Liliana.

"Joy itu nggak bisa pakai kode-kode, sebaiknya kamu tanyakan langsung padanya. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang sama."

"Siap, Bu."

Leander keluar dan pamit dan membungkuk takzim pada Benedict yang berdiri tidak jauh dari mobil. Motor dengan mesin berkekuatan besar itu menggerung meninggalkan parkiran.

"Kamu sudah selesai?"

"Yaps." Liliana tersenyum, mengangguk lantas menatap Benedict dengan sorot jahil, jari mungilnya menunjuk papan iklan. "Kamu mau kan temenin aku naik bebek-bebek itu?"

"Serius?" Mata Benedict membulat tidak percaya. "Kamu seperti anak-anak yang tidak bahagia masa kecilnya."

Liliana tercenung lalu menggeleng. Dia tahu, Benedict bukan bermaksud menyindir. Toh, masa kecil Liliana memang tidak bahagia seperti anggapan sebagian orang. Namun, dia banyak bersyukur dilahirkan dalam Keluarga Dermawan.

"Padahal aku berharap bisa kencan denganmu di Lounge in the Sky." Benedict merengut kecewa, tetapi sontak tergemap karena tangan Liliana tiba-tiba menyelip di lengannya.

"Di sana terlalu mahal. Apa kamu lupa kalau saat ini aku tidak memiliki apa-apa?"

Bibir Benedict maju satu sentimeter, lucu sekali. Liliana membekap mulut agar tidak kelepasan tertawa. Mengingat apa yang telah Benedict lakukan untuknya, Liliana tahu. Benedict akan berlaku layaknya ksatria, laki-laki itu pasti akan membereskan semuanya. Namun, sebenarnya bukan masalah harga yang Liliana pikirkan, tetapi Samuel. Alih-alih menikmati sensasi makan malam di ketinggian Mangkuluhur, bisa-bisa dia diseret pulang oleh orang suruhan Samuel.

"Ben, ayo kita coba itu." Liliana menunjuk pedagang makanan khas Betawi yang berjajar di sepanjang jalan.

"Bukannya mau nyoba naik itu?" Benedict menunjuk kembali papan iklan.

"Iya, nanti. Mau itu dulu."

Benedict mengalah, membiarkan Liliana memilih. Penjaja kerak telor mengipasi tungku arang. Gurih ebi dan parutan kelapa membubung beserta asap. Dua porsi kerak telor yang seharusnya untuk dirinya dan Ben, Liliana habiskan sendiri. Dia sudah seperti orang yang tidak makan satu minggu.

Di depan warung soto ayam, terparkir gerobak kecil bertuliskan bir pletok. Lagi-lagi Benedict mengalah saat Liliana merengek ingin mencoba minuman khas Betawi berwarna merah itu. Meskipun bernama bir, tetapi tidak menggunakan alkohol sama sekali. bir pletok diracik dari jahe, kayu manis, cengkeh, serai, dan kayu secang. Sama-sama memberi efek menghangatkan. Rimbunan pepohonan menyaring semua sinar matahari, desau angin mengembuskan kesejukan.

Embusan napas pajang Liliana menunjukkan kepuasan. Sambil berjalan pelan, Liliana mengamati sekeliling. Semua orang tampak tidak punya beban. Menikmati hidup yang cuma sebentar. Bahkan pedagang yang sepi pembeli pun masih bisa tertawa. Banyak pemilik rumah Betawi tradisional mempertahankan arsitektur aslinya. Itulah alasan pemerintah provinsi memilih Setu Babakan untuk konservasi budaya. Sebagai introvert yang merindukan kesunyian, berjalan seperti ini memuaskan bagi Liliana. Tidak ada gangguan. Tidak ada Samuel dengan segala siksaannya. Hanya dia, alam dan Benedict yang sangat sabar menemaninya.

Langkah Liliana terhenti di depan Museum Budaya Betawi, jemarinya meremas kuat lengan Benedict. Seolah tahu apa yang dia inginkan, Benedict menepuk punggung tangannya.

"Ayo, masuk."

Liliana girang sekali, senyumnya merekah lebar. Dia mengambil pembatas buku yang disediakan secara gratis untuk pengunjung, kemudian menelusuri museum bersama Benedict. Berbagai perabot dan pakaian Betawi ada di sana, semakin jauh ke dalam Liliana disuguhi atraksi gambang kromong diakhiri dengan pedagang yang menjajakan roti buaya.

Menjelajah danau adalah keinginan pertama, tetapi yang paling akhir Liliana lakukan. Setu Babakan mendapatkan namanya dari banyaknya danau yang tersebar. Benedict menyewa satu sepeda air berbentuk bebek. Mengayuhnya sampai ke tengah. Danau ini seakan milik Liliana bersama Benedict mengingat hanya mereka yang ada. Biasanya pengunjung akan ramai saat matahari mulai turun.

"Ben, terima kasih, ya."

"Untuk apa?" tanya Benedict sembari fokus mengayuh sepeda air.

"Aku bahagia sekali hari ini."

Benedict membeo. Sorot mata laki-laki itu menyimpan banyak tanya. Liliana mendesah, Benedict pasti tidak percaya cerita Liliana. Dia dan keluarga jarang sekali berekreasi. Hermanto Dermawan tidak memiliki banyak waktu untuk keluarga. Semua dihabiskan untuk mencari klien untuk perusahaan baja miliknya.

"Kamu tahu kan Ben, kenapa aku menolak ajakanmu?" tanya Liliana parau. Tenggorokannya mendadak kering. "Samuel bisa menemukan kita di sana."

Liliana menunduk, tatapannya tertuju pada sepasang kakinya yang mengayuh sepeda. "Mungkin ... orang suruhannya akan menghabisi kita saat kita di ketinggian."

***

Ben dan Lil dalam bahaya nih. Apakah Samuel bakal melepaskan mereka? Komen dan vote yang banyak.

Ketemu lagi besok. Swinger Club sudah tamat di Karyakarsa Belladonnatossici.

Love,
💋 Bella - WidiSyah 💋


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro