LIMA BELAS TAHUN YANG LALU (4)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Otak Kanan kafe adalah surga bagi pecinta buku. Carilah buku apa saja, pasti ada di sana. Pengunjung tak hanya bisa membaca gratis dengan membeli makanan dan minuman, tetapi juga bisa membawa pulang layaknya buku di perpustakaan. Syaratnya hanya membayar iuran tahunan. Grup pembaca rajin mengadakan pertemuan di kafe ini untuk membedah buku yang tengah hits. Di salah satu sudut, riuh sekelompok tamu berusia antara 16 sampai 35 tahun membahas novel yang tengah ramai dibicarakan, Eclipse karya Stephenie Meyer.

"Kamu suka di sini." Menebak apa yang Liliana rasakan menjadi kesukaan bagi Samuel sekarang. Gadis ini misterius. Berhasil mengetahui sedikit saja dari isi kepalanya sangat memuaskan layaknya memenangkan satu level game.

Liliana tidak menyanggah, tidak pula mengiakan. Matanya sibuk mengedar memperhatikan rak-rak buku yang dipaku 1.5 meter dari lantai. Banyak sekali buku yang belum dibacanya.

"Aku baru tahu ada tempat seperti ini," kata Liliana.

"Itu karena kamu jarang jalan-jalan."

Benar sekali. Samuel seperti cenayang saja yang bisa tahu kegiatan sehari-harinya. Hermanto dan Lidia mendorong putri tunggalnya untuk lebih aktif mencoba berbagai kegiatan. Hanya saja Liliana tampak ogah-ogahan dan menjalankan semuanya setengah hati cuma agar orang tuanya berhenti mencereweti. Liliana cukup puas menyalurkan hobi menulis tanpa gangguan. Andaikan orang tuanya memahami.

"Itu Odelia." Samuel menunjuk meja tak jauh dari mereka.

Odelia gadis biasa. Busananya sebatas kemeja ungu lengan panjang dan celana panjang. Rambutnya dikuncir. Riasan wajahnya hanya bedak dan lip tint. Selera Samuel seperti ini, gadis yang biasa-biasa saja. Padahal sepanjang perjalanan ke kafe tadi, Liliana berpikir 'saingannya' adalah wanita karir dengan dandanan sexy yang tak akan mungkin dia saingi.

"Belum lama kan nunggunya?" Samuel yakin pacarnya itu baru saja sampai. Beef croissant dan cokelat panas di atas meja belum disentuh.

"Belum kok. Baru naruh makanan nih. Kita ngobrol santai aja ya. Ini Liliana kan?" Odelia memanggil nama gadis yang berdiri diam di hadapannya.

"Iya, Kak."

Odelia lalu mempersilakan Liliana duduk. Samuel menyeret kursi kayu di sebelahnya. Odelia tidak mempermasalahkan kekasihnya memilih mendampingi gadis belia yang tampak tidak percaya diri ini.

"Sam, kamu udah jelasin kan ke Liliana?"

"Udah, sedikit, tapi kamu jelasin lagi yang lengkap biar enak. Aku pesan minum dulu."

Odelia akhirnya mengangguk setuju. Dia membuka tas ransel lalu mengambil buku tulis Liliana.

"Saya sudah baca. Cerita kamu romance. Mainstream, tentang remaja perempuan yang mengagumi senior di sekolah, tapi keunikannya adalah meskipun male lead kamu gambarkan bad boy, dia suka membaca. Ini bagus karena ada pesan moral yang disampaikan. Tingkat literasi di negara kita memang memprihatinkan. Idenya unik meskipun secara garis besar temanya umum."

Liliana berbunga-bunga. Belum ada yang memuji ceritanya. Dia pun tak punya keberanian untuk menunjukkan karyanya pada orang selain Joy dan Lidwina.

"Sedikit revisi saja, Luna dianggap gadis cupu sama Brandon. Alasan Brandon bisa suka sama Luna itu kurang kuat. Kamu bisa tambahkan Luna kasih perhatian saat Brandon dirawat di rumah sakit karena kena sabet golok saat tawuran. Itu lebih dramatis."

Liliana mengangguk senang mendapat pencerahan. Sulit sekali menemukan teman yang bisa diajak berdiskusi tentang naskah-naskahnya.

"Jadi intinya diterima kan?" Samuel datang dari meja kasir membawa nampan berisi croissant tuna, cokelat hangat untuk Liliana, dan kopi untuknya. Samuel punya firasat gadis ini tidak menyukai kopi.

"Diterima, tapi harus diketik pakai MS. Words," ucap Odelia. "Tulisan Liliana bagus, tapi nggak mungkin kan kita terbitkan seperti itu? Susah juga ngeditnya."

Ini masalahnya. Liliana tidak tahu harus meminta bantuan siapa yang mulutnya tidak ember. Joy mungkin akan meminjamkan laptopnya dengan senang hati, tetapi sabahatnya itu butuh untuk mengerjakan tugas. SMA mereka lumayan 'gila paper'. Hampir setiap mata pelajaran kecuali matematika memberikan tugas berupa paper yang harus dipresentasikan.

"Sama nanti tanda tangan kontrak harus pakai persetujuan orang tua atau wali ya. Liliana masih di bawah umur kan."

Harapan yang tadi sempat Liliana rasakan terang benderang seketika padam. Orang tuanya pasti akan murka kalau tahu dia menulis.

"Kapan saya boleh tanda tangan kontrak tanpa persetujuan orang tua?" tanya Liliana.

"Nanti kalau kamu sudah punya KTP sendiri."

Dua tahun lagi. Kerongkongan Liliana memanas seperti pipinya. Rasanya ingin menangis. Kesempatan yang dia nantikan dan dia dapatkan, terancam hancur berantakan.

"Lho, kenapa kok nangis?" Odelia mengamati mata Liliana yang berkaca-kaca.

"Saya tunggu dua tahun lagi saja," ucap Liliana lesu.

Samuel sejak tadi diam, menggigit croissant tuna dan menyesap kopi, mengelap bibirnya.

"Kalau pakai nama pena saja bisa kan? Sementara aku yang tanda tangan kontraknya. Tenang, royaltinya akan aku berikan untuk Liliana semua."

"Maksudnya naskah Liliana diatas namakan nama kamu? Diakui sebagai naskah kamu?" Odelia terdengar tak setuju.

"Bukan namaku yang tercantum di cover novel. Cari saja nama pena yang bagus. Aku hanya tanda tangan kontraknya. Untuk sekarang cuma ini jalan satu-satunya yang terpikir. Nggak ada jalan lain. Orang tuanya Liliana nggak akan kasih izin anaknya nulis. Gimana, Lil?" Samuel tidak memaksa, menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Liliana.

Liliana bimbang. Namanya tidak bisa tercantum di cover novel. Tetapi dia bisa mendapatkan royalti.

"Cuma sampai Liliana punya KTP kan?" Odelia menambahkan.

"Yaps. Aku nggak pengen mengambil hak orang," sahut Samuel.

"Saya sih terserah kamu, Liliana." Odelia menggigit croissant. Sikapnya sama seperti Samuel. Santai.

Odelia dan Samuel sama-sama menikmati makanannya, hanya Liliana yang tenggelam dalam dilema.

"Oh ya, Lil, kamu juga bisa pakai laptopku untuk menulis ceritamu. Aku bisa meminjamkan kalau hanya untuk menulis satu atau dua jam sehari," Samuel menambahkan penawaran yang semakin sulit Liliana tolak.

"Tuh, mumpung Sam lagi baik, Lil." Odelia menyemangati.

"Hei, aku selalu baik kan. Kalau nggak, mana mungkin kamu suka aku."

"Idih, geer amat kamu." Odelia tertawa saja menanggapi Samuel yang sedikit narsis. Tidak tebersit sedikit pun kecemburuan. Baginya Liliana hanya seorang anak kecil yang perlu ditolong. Samuel tidak akan mungkin tertarik pada tubuh kurus dan wajah yang sering murung itu.

"Apa saya boleh mencari nama pena?" tanya Liliana.

"Boleh dong."

"Kasih waktu aja buat dia mikir, Del. Aku suka sama orang yang mewujudkan impiannya. Jangan seperti aku, Liliana." Samuel memang tersenyum, akan tetapi senyum itu mengandung banyak kepahitan.

"Ah, Sayang, kamu masih aja ya..." Odelia mengusap tangan Samuel, memberikannya semangat. "Tapi kamu hebat, sudah mau lulus dari fakultas teknik sipil, sebentar lagi mau kerja di perusahaan Papa kamu."

"Kamu tahu bukan itu yang aku inginkan. Aku suka renang, tapi orang tuaku menganggapnya hobi belaka. Olahragawan di negeri ini kurang dihargai. Nasibnya memprihatinkan. Begitu terus yang mereka sampaikan. Padahal kupikir hidup nggak melulu tentang uang. Aku nggak mau ada orang bernasib sama sepertiku. Mengorbankan cita-cita."

Liliana tahu sekarang kenapa Samuel begitu baik padanya. Bukan karena laki-laki itu jatuh hati padanya, tetapi simpati karena merasa senasib. Hidup di bawah tekanan orang tua.

"Liliana, kamu tenang saja. Aku adalah orang terdepan yang akan mendukung kamu menjadi penulis." Samuel mengangguk pasti.

Liliana tidak mungkin tidak tersentuh mendengar ketulusan itu. Air mata yang susah payah dibendungnya, mengalir turun lagi. Bagaimana bisa orang yang baru saja dikenalnya justru sangat memahami dirinya dibandingkan orang tuanya yang mengenalnya sejak dalam kandungan?

***

Yang mau baca GRATIS lebih cepat, yuk cuss ke Karyakarsa Belladonnatossici.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro