Bab. 1 - Iki Palek

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat membaca...

***

Iki Palek

Ditulis oleh Distrik Sylph

Tidak ada lagi rintik air yang menjatuhkan diri dari netra. Lagi-lagi, saya punya kalbu tersayat sembilu. Memang tidak berdarah, tetapi sakitnya begitu menyiksa. Pandangan ini enggan melepas fokus dari titik yang mendukakan suasana hati. Sekumpul bebatuan yang telah menelan jasad para pejuang punya. Salah satunya merupakan purnama yang selalu menyinari kegelapan saya punya malam. Melepas pergi orang terkasih untuk kesekian kalinya, belum mampu membuat saya menjadikannya biasa saja. Rasanya masih tetap sama. Atma ini bagai dicabik secara paksa oleh benda berujung tumpul, begitu sakit.

Annike Si Wanita Malang, itu adalah julukan yang pantas dilabeli untuk saya. Kini saya benar-benar hidup sebatang kara menanggung beban derita kehilangan. Saya ingin bersuara keras untuk meluapkan segala derita yang menimpa. Namun, apa daya, berbicara saja sudah teramat sulit untuk dilakukan. Tenggorokan saya tercekat tanpa alasan.

Saya punya jiwa sudah hampa.

Saya punya tatapan sudah mati mengembara.

Sungguh sangat menyedihkan saya punya peristiwa.

Tubuh menyerupa ranting, pakai busana berona lusuh, serta rambut keriting tiada bentuk semakin memburukan penampilan. Saya tidak peduli bagaimana orang lain memandang. Mereka orang hanya mampu melihat, bukan merasakan apa yang terjadi.

Satu demi satu pelayat pergi meninggalkan pemakaman, menyisakan saya seorang yang masih meratapi kepergian Geraldus, lelaki yang sangat saya cinta. Seandainya perang tidak terjadi, mungkin pelukan Geraldus masih dapat saya rasa, sembari melihat bagaimana dia punya mulut mengatakan betapa besar rasa sayangnya pada saya.

Sekarang kenangan itu sedang saya rindukan.

Perang antara Suku Dani dan Suku Moni yang kembali mencuat lagi-lagi membawa petaka. Kejadian itu membuat saya harus hidup tanpa memiliki orang-orang untuk dikasihi lagi.

Seandainya saja saat itu saya menahanmu untuk pergi. Dua hari yang lalu, saya punya perasaan memiliki firasat tidak enak saat Geraldus meminta izin untuk berperang. Saya tidak menyangka jika waktu itu adalah kali terahir saya punya mata melihat Geraldus terlelap di sisi saya, Lalu dia punya mata menatap saya penuh cinta. Saya juga tidak pernah membayangkan jika Geraldus punya tatapan kala itu merupakan sebuah salam perpisahan. Penyesalan begitu dapat saya rasakan dan hanya itu yang tidak pernah bisa saya abaikan.

Saya tengok saya punya kedua telapak tangan.

Tidak ada ruas jari yang tersisa.

Semuanya telah dihilangkan.

Lantas, apa yang harus saya potong untuk kepergian Geraldus?

Saya punya lutut terasa lemas untuk berdiri lebih lama. Tanpa meninggalkan makam batu milik Geraldus, saya sedikit berjalan dan duduk di tepian batu terbesar, Batu Palimanan, lantas memejam dan meredam segala rasa sakit dengan energi positif yang saya dapat melalui oksigen alamiah. Rasanya tidak ada lagi alasan yang membuat nyawa saya terasa hidup, saat satu-satunya sebab kenapa saya harus hidup justru ditakdirkan untuk lebih dulu meninggalkan.

Para jemari yang menghiasi saya punya tangan hampir kehilangan kesempurnaanya. Kosong. Saya merasakan saraf otak mengirimkan reaksi denyut untuk berpendar pada dua jari pertama yang hilang. Saat kehilangan, batinku begitu ditekan di usia yang terbilang muda. Kematian Liben dan Maruna. Anak pertama dan kedua dari sepuluh anak yang saya dan Geraldus punya.

***

Saat itu desa dikepung penyakit misterius. Belum ada pengobatan yang mampu menyembuhkan mereka berdua. Tidak peduli seberapa keras saya berteriak saat membopong keduanya ke dalam gubuk orang pintar. Orang itu hanya memintaku bersabar ketika Liben dan Maruna semakin menunjukkan ketidakberdayaannya.

Tidak ada pengobatan yang mampu memulihkan Liben dan Maruna sehingga para leluhur memutuskan untuk mengajak keduanya tinggal bersama mereka di dunia sana. Saya ingat bagaimana Geraldus memeluk saya dengan hangat kala mengikuti proses penguburan dua anak tertua kami.

Keesokan harinya dua ruas jari saya -telunjuk dan tengah- dipenggal menggunakan sebilah kapak paling tajam. Tidak ada teriakkan, tidak ada rasa sakit. Hampa. Saya punya roh seolah-olah mengajak kesadaran saya untuk pergi mengunjungi kediaman Liben dan Maruna.

Enam bulan kemudian, suasana hati saya hampir kembali normal. Saya punya logika berusaha merangkak kembali pada tempatnya-sampai beberapa warga desa berbondong-bondong mengangkat dan membawa Prazna, anak ketigaku yang berumur sepuluh tahun, pulang ke rumah.

Satu dari mereka mulai menjelaskan bahwa Prazna ditemukan pingsan di hutan akibat tendangan bengis burung kasuari dan membuat dia punya tubuh terpental sejauh lima meter. Terdapat darah yang mengalir deras di sisi kanan kepala Prazna. Itulah juga yang membuatnya tidak dapat ditolong. Prazna terlambat ditangani sehingga tidak dapat diselamatkan.

Para leluhur seolah-olah menuntut saya untuk selalu memeluk kehilangan. Kehilangan saya punya tiga anak. Kehilangan saya punya ruas jari manis. Kapak tajam terulur, darahku mengucur, jiwaku lagi-lagi mengabur. Dan lagi-lagi Geraldus yang menenangkan saya ketika emosi terundang dalam diri.

Memasuki bulan pertama, Reu dan Benu, anak keempat dan kelima, masih saja merasa kepergian Prazna, kakak yang paling akrab dengan mereka, tidak benar adanya. Sesekali mereka berdua pergi ke hutan, menuju tempat rahasia di mana Prazna sering menjahili mereka. Seperti saat ini, pagi-pagi sekali, Benu dan Reu mendatangiku yang sedang menata rambut di depan cermin.

"Mace, sa mau ka hutan dengan Reu," (Mace, aku mau ke hutan dengan Reu) cakap mereka meminta izin. Saya pun mengangguk sebagai jawaban. Tidak ada pesan tambahan, mereka selalu pulang tepat waktu.

Namun, saya punya ingatan saat itu dibawa berjalan menghampiri kejadian satu bulan sebelumnya tentang Prazna yang ditendang oleh burung kasuari. Memang, di dalam hutan ada satu-dua ekor burung kasuari yang berekosistem di pedalaman. Jika Prazna mengalami peristiwa nahas itu di dalam hutan, maka ....

Saya punya bola mata terbuka lebar. Keringat dingin mengguyur seisi tubuh. Saya memperhatikan jendela. Matahari sudah berwarna jingga, sesaat lagi menjatuhkan diri dan menenggelamkan sinarnya ke dalam gelap.

Saya bangkit dari tempat bersimpuh. Reu dan Benu masih belum tiba.

Tak lama, saya punya mata melihat Marco dan Firman, anak keenam dan kedelapan, datang menghampiri dengan tergesa-gesa. Wajah mereka pucat pasi. Segera saya tanyai apa perihal yang membuat mereka kelimpungan.

"Kamorang kenapa?(Kamu kenapa?)"

"Benu deng Reu kena gigit ular beracun. (Benu dan Reu kena gigit ular beracun)"

Saya terperanjat membeku. Saya punya napas tertahan tanpa alasan. Saya punya raut muka tidak lagi bisa diceritakan. Saya tidak ingin kejadian menakutkan itu kembali terulang. Lagi-lagi para leluhur seolah-olah menuntut saya untuk selalu memeluk kehilangan. Kematian yang menjemput saya dan Geraldus punya anak satu persatu, seperti tradisi keramat yang membuat kesempurnaan kami menjadi cacat, dan merasakan duka yang lagi-lagi datang bak diserang kiamat.

Benar-benar lelucon. Saya mempercepat langkah ke gubuk tetua desa. Bertemu dengan salah seorang yang melayani, bertanya soal Benu dan Reu yang pasti telah dibawa ke tempat itu, dan jawabannya ... sukses meluruhkan saya punya pertahanan. Geraldus datang dan memeluk saya yang sudah terjatuh ke atas tanah. Saat itulah label Annike Si Wanita Malang terpatri dalam diri saya.

Suara teriakkan saya yang keras langsung diredupkan oleh Geraldus yang berkata, "Ko boleh sedih, tapi ko jang sampai hilang kendali. (Kamu boleh sedih, tapi kamu jangan sampai hilang kendali)" Mendengarnya, saya punya air mata langsung deras.

Besok saya punya jari harus kembali hilang satu biji.

Aku berpikir bahwa kematian Benu dan Reu adalah yang terakhir, sehingga aku tidak perlu lagi mengadakan Iki Pale. Ternyata aku salah, tahun kelima setelah kepergian Benu dan Reu, kami punya tiga anak kembali mati karena serangga yang menginfeksi. Andhik, Raul, dan Marco, mereka orang mati setelah menderita dalam tingginya suhu tubuh. Lagi, saya harus melakukan tradisi potong jari untuk kesekian kalinya. Frustrasi sudah saya rasakan saat itu.

Kehidupan kami saat itu sudah benar-benar hampa. Geraldus selalu melamun ketika mengikuti rapat bersama tetua desa. Firman dan Malika yang menjadi pelipur lara pun menunjukkan keanehan-keanehan yang tidak dapat kami pahami. Mereka sering diam, tertawa, dan menangis tanpa alasan. Bahkan ada waktu di mana mereka beranggapan sedang bermain bersama kakak-kakaknya yang telah tiada. Orang pintar di desa kami menganggap mereka terkena kutukan dan dirasuki oleh roh jahat.

Tudingan tersebut sangatlah kejam, terutama hal tersebut ditujukan pada balita berusia tujuh dan lima tahun. Kerabat mana yang menginginkan keturunannya hilang seperti kami orang punya? Saya rasa tak pernah ada. Bertahun-tahun Malika dan Firman menjalani kehidupan mereka orang dengan kutukan hingga akhirnya menyusul saya punya anak yang lebih dulu pergi.

Sungguh, saya tak ingin mengalami semua ini.

Saya punya emosi sudah tidak dapat dikendalikan.

Saya punya suara sudah tidak mampu diteriakan.

Saya punya air mata sudah tidak mampu dikeluarkan.

Saya punya akal sudah tidak mampu digunakan.

Namun, lagi dan lagi Geraldus menarik saya ke dalam dekapan dia punya orang. Geraldus dengan sabar mengelus-elus rambut saya dan berkata, "Annike, tenang.Sa masih di sini. Sa akan menjaga ko orang, jang khawatir.(Annike, tenang. Aku masih di sini. Aku akan menjaga kamu, jangan khawatir)"

Kami punya pandangan kemudian saling menatap. Janji yang Geraldus katakan menjadi satu-satunya hal yang saya gunakan untuk tetap bernapas.

"Komo berjanji untuk selalu bersama sa? Sa sudah tak punya siapa-siapa, selain ko sorang yang sa punya.(Kamu mau berjanji untuk selalu bersamaku? Aku sudah tidak punya siapa-sapa, selain kamu seorang yang kupunya)"

"Iya, sa janji. Annike, percayalah pada sa.(Iya, aku janji. Annike, percayalah padaku)"

Hilang sudah saya punya sepuluh ruas jari. Hari berjalan begitu lambat. Hanya kami orang yang tidak lagi memiliki keturunan untuk disayang. Saya dan Geraldus tidak pernah sekali pun memikirkan untuk membuat keturunan yang baru. Kami lelah atas kepergian orang-orang yang kami cintai. Jadi kami memutuskan untuk hidup berdua saja dan menghampiri makam batu kesepuluh anak kami sesering mungkin.

Neraka itu berhasil saya lalui sampai tujuh tahun lamanya. Sampai akhirnya suku kami orang kembali berperang dengan Suku Moni. Para lelaki di suku kami harus ikut berperang. Tiga hari yang lalu, akhirnya hati saya punya kembali merasakan sebuah rasa. Takut akan kehilangan.

"Dapatkah ko berbicara pada tetua untuk tetap tinggal menemani sa?(Dapatkah kamu berbicara pada tetua untuk tetap tinggal menemaniku?)" pintaku pada Geraldus, di tengah-tengah kegiatannya mempersiapkan diri untuk berangkat perang. "Sa juga tidak ingin e kehilangan ko orang. Jang pergi to.(Aku tidak ingin kehilanganmu juga. Jangan pergi)"

Namun, saya punya perkataan hanya ditanggapi oleh senyuman. Geraldus mengecup kening saya tanpa melempar jawaban apa-apa.

"Apa ko ingin meninggalkan sa kah, seperti anak-anak kita orang?(Apa kamu mau meninggalkanku, seperti anak-anak kita?)"

Geraldus menggeleng. Katanya, "Sa tidak bisa berjanji apa-apa lagi, tapi sa akan berusaha untuk pulang kepada ko.(Aku tidak bisa berjanji apa-apa lagi, tapi aku akan berusaha untuk pulang kepadamu)"

Geraldus punya kata-kata sedikit mengikis gelisah yang saya punya.

Dia berpamitan dengan memeluk dan mengulangi perkataan terakhirnya dengan mantap. Saya percaya dan mengangguk. Namun, saat saya punya tangan melepas kepergian Geraldus, ada sebersit rasa tak rela yang menyelinap datang.

Beberapa hari kemudian, lebih tepatnya pagi tadi, kami orang di desa mendapat kabar bahwa perang berhasil dimenangkan. Saya dan mace yang lain sudah mempersiapkan batu, tanaman liar, umbi-umbian, dan juga babi untuk menyambut kepulangan para pejuang. Namun, kami melupakan satu hal yang begitu penting. Para pejuang tidak selalu pulang dengan nyawa yang masih menyala. Hati yang tadinya merasa bahagia, kini disesaki ketakutan ketika saya tidak juga menemukan sosok yang dinanti-nanti.

Seluruh tubuh ini bergetar hebat. Bukan karena udara dingin yang menyeruak, melainkan karena saya mendengar berita bahwa pria yang sudah menjadi suami saya selama lebih dari 25 tahun tidak selamat. Tiga orang lelaki membopong tubuh lemah yang dadanya tertusuk tombak. Tubuh itu milik Geraldus seorang.

Tanpa saya sadari, ternyata pelukan beberapa hari lalu merupakan ucapan selamat tinggal dari Geraldus. Saya punya tenggorokan seperti tercekat. Saya punya dada terasa sesak. Saya punya telinga terasa berdengung. Tubuh renta ini terlimpung jatuh menghantam tanah. Mace yang berada di sekitar saya langsung mengerubungi penuh sesak. Saya sudah tidak bisa menyentuh raga Geraldus yang sering mendekap erat. Saya sudah tidak bisa melihat senyuman tulus yang selalu dia orang berikan pada saya.

Tidak ada lagi suara yang mampu menenangkan saya punya gelisah.

Kehilangan sepuluh anak sudah membuat saya hilang. Geraldus, hanya kau sorang yang mampu membuat saya punya kesadaran bertahan. Lalu kenapa kau justru meninggalkan saya?

Saya hanya duduk termenung sepanjang prosesi pemakaman. Para tetua sudah menyiapkan beberapa petak tempat peristirahatan terakhir yang terbuat dari batu untuk menyimpan raga milik pejuang-pejuang yang gugur. Sadar akan saya punya sebutan, Annike Si Wanita Malang, warga desa pun berbondong-bondong datang dan menemani.

***

"Annike, ko baik-baik sajakah?(Annike, kamu baik-baik saja?)" Sebuah suara datang dari arah belakang. Saya hanya melirik sekilas, Yehuda, bapa Geraldus, yang datang menghampiri saya rupanya. "Orang-orang su pergi sedari tadi.(Orang-orang sudah pergi sedari tadi)"

Bibir saya tertarik membentuk senyuman kecil yang terlihat memaksa. "Apa sa masih bisa baik-baik saja setelah Geraldus pergi, Bapa?(Apa aku masih bisa baik-baik saja setelah Geraldus pergi, Bapa?)" Saya punya pertanyaan diucapkan sambil melihat sepuluh jari yang tak tersisa. "Apa lagi yang harus sa korbankan, Bapa? Sa merasa kalau jari-jari yang su sa potong ini tidak berarti. Simbol kerukunan, kesatuan, dan kekuatan sa punya sudah hilang sejak tujuh tahun lalu. Setelah seluruh jari sa korbankan pun, sa masih saja bertemu kehilangan. (Apa lagi yang harus kukorbankan, Bapa? Aku merasa kalau jari-jari yang sudah kupotong ini tidak berarti. Simbol kerukunan, kesatuan, dan kekuatanku sudah hilang sejak tujuh tahun lalu. Setelah aku mengorbankan seluruh jari pun, aku masih saja bertemu kehilangan)"

Yehuda membisu. Saya menoleh ke kiri, di mana beliau turut duduk di atas batu. Beliau menatap ke atas, jauh di atas sana, di mana anaknya kini berada. Suhu udara semakin menurun, kabut tebal mulai menyelimuti sebagian lembah dan hawa dingin mulai menusuk kulit. Namun, tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit di hati saya.

"Kalau sa boleh jujur, sa juga sedih kehilangan anak lelaki yang menjadi penerus sa, (Kalau aku boleh jujur, aku juga sedih kehilangan anak lelaki yang menjadi penerusku)" ungkap Yehuda. "Geraldus punya mama sudah pergi beberapa tahun lalu. Sa hanya memiliki Geraldus dan Yemima, tapi sepertinya para leluhur merasa Geraldus su harus pergi ke tempat mereka. (Ibu Geraldus sudah pergi beberapa tahun lalu. Aku hanya memiliki Geraldus dan Yemima, tapi sepertinya para leluhur merasa Geraldus sudah harus pergi ke tempat mereka)"

"Apa yang harus sa lakukan sekarang, Bapa? Sa su tidak punya siapa-siapa lagi,(Apa yang harus aku lakukan sekarang, Bapa? Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi)" keluh saya lirih. "Anak-anak sa su mati semua. Kenapa hidup sa sungguh menyedihkan, Bapa?(Anak-anakku sudah mati semua. Kenapa hidupku sungguh menyedihkan, Bapa?)"

"Ko tahu, suami ko itu mati karena bela kitorang punya suku. Geraldus mati jadi pejuang. Wajar jika ko berduka, tapi ingat, Annike, hidup ko masih berjalan. Dengan atau tanpa Geraldus. Ko tidak sendirian Annike, masih ada sa, Yemima, dan kita orang satu desa. Kitorang semua satu keluarga.(Kamu tahu, suamimu itu mati karena membela suku kita. Geraldus mati jadi pejuang. Wajar jika kamu berduka, tapi ingat, Annike, hidupmu masih berjalan. Dengan atau tanpa Geraldus. Kamu tidak sendirian Annike, masih ada saya, Yemima, dan kita satu desa. Kita semua satu keluarga)"

Saya sedikit terperangah. "Kitorang satu kampung itu satu keluarga?(Kita sekampung itu satu keluarga?)"

Yehuda mengangguk. "Iya, kitorang semua. Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik. Kitorang tinggal bersama di satu kampung, memiliki satu leluhur bersama, su diajarkan pentingnya kebersamaan, bukan?(Iya, kita semua. Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik (pedoman dasar hidup). Kita semua tinggal bersama di satu kampung, memiliki satu leluhur bersama, sudah diajarkan pentingnya kebersamaan, bukan?)"

"Tapi kenapa hanya sa yang melakukan ritual Iki Palek ini, Bapa? Kitorang semua satu keluarga, itu berarti saat sa kehilangan anak-anak sa, bukankah semua e harus ikut potong jari juga to?(Tapi kenapa hanya aku yang melakukan ritual Iki Palek ini, Bapa? Kita semua satu keluarga, itu berarti saat aku kehilangan anak-anakku, bukannya semua harus ikut potong jari juga?)" Saya punya suara mengatakannya dengan lemah. Rasanya bingung saya harus melakukan apa lagi setelah ini semua berakhir. "Sa su lelah, (Aku sudah lelah)" lanjut saya, hampir tidak bersuara.

"Bukan seperti itu e, Annike. Sa rasa ko belum paham betul. Keluarga itu tidak selalu berdasar hubungan darah, siapa pun bisa to kita orang anggap keluarga. Itu su cukup beda dengan ikatan hubungan darah, bagaimana pun juga, ko tidak bisa menganggap kalian orang tidak berkeluarga.(Bukan seperti itu, Annike. Aku rasa kamu belum paham betul. Keluarga itu tidak selalu berdasar hubungan darah, siapa pun bisa kita orang anggap keluarga. Itu sudah cukup beda dengan ikatan hubungan darah, bagaimana pun juga, kamu tidak bisa menganggap kalian tidak berkeluarga)"

Saya terdiam, melempar pandangan ke arah pepohonan nan hijau. Saya punya bibir hanya mampu bergetar, tidak mampu lagi mengucapkan kata-kata.

"Baiklah, sa pergi dulu. Ko juga cepat kembali kalau su merasa cukup berduka. (Baiklah, aku pergi dulu. Kamu juga cepat kembali kalau sudah merasa cukup berduka)"

Seiring dengan dua kalimat tersebut, Yehuda pergi meninggalkan saya seorang.

Malam datang berkunjung. Rembulan tidak peduli dengan kesedihan yang saya alami, terlihat dari bagaimana sinarnya memandikan kami dengan benderang. Saya segera bangkit dan berniat untuk pulang. Makam batu Geraldus berada di sekitar makam saya punya anak-anak. Dengan berat, saya menggerakan kaki untuk segera melangkah menjauhi tempat berkabung itu.

Tubuh yang hanya mengenakan pakaian minim ini berkali-kali terkena sayatan ranting atau dedaunan. Saya tidak peduli. Ini tidak memberikan rasa apa-apa pada saya yang sudah berkerabat karib dengan sakit.

Semakin dalam saya menelusuri hutan, semakin jelas saya punya telinga mendengar suara air yang saling bertabrakan. Ketika melihat ke sekeliling, saya tersenyum tipis. Tidak ada perubahan yang berarti dari rute yang saya sukai. Saya kira tadi saya kembali menuju desa, tapi ternyata hati saya memandu tubuh menuju air terjun tempat saya dan Geraldus pertama bertemu.

Saya berjalan menyusuri sungai setinggi mata kaki. Beberapa langkah di depan, arus sungai terpotong jatuh ke bawah sana. Setiap saya punya langkah memijak dasar sungai, seakan-akan membawa kembali ingatan tentang pertemuan saya dan Geraldus di tempat ini. Kenangan tentang bagaimana Geraldus dengan gagahnya memburu seekor babi hutan di hadapan saya yang tengah bermain air.

Geraldus punya senyum sangat memikat saya ada hati. Tidak lama setelah itu, Geraldus langsung mendatangi saya dan mengajak saya untuk menikah dengannya. Tentu saja saya mau. Hari itu, saya seperti gadis paling bahagia yang tinggal di bumi ini. Dari kematian anak pertama sampai anak ke sepuluh kami, Geraldus selalu menarik sudut bibir dia orang punya untuk menampilkan mimik yang sama dengan saat pertama kami bertemu.

Ternyata, saya cukup egois, hanya memikirkan diri saya seorang, tanpa pernah bertanya bagaimana keadaan Geraldus. Senyum tipis saya pun berubah menjadi kekehan ringan. Pantas saja saya diberi cobaan tiada henti. Tampaknya para leluhur ingin mengetahui seberapa besar peduli saya pada orang yang memedulikan saya.

Saya sudah tidak berpijak pada lapisan tanah. Kini saya punya tubuh melayang-layang seperti burung kasuari yang membunuh kami punya putra. Bintang-bintang bertaburan di langit menjadi sesuatu yang terakhir saya lihat sebelum akhirnya memutuskan untuk menyusul mereka dengan paksa.

"Sa su tidak kuat. Tunggu sa di sana dan keluarga kita orang bisa hidup bersama-sama.(Aku sudah tidak kuat. Tunggu aku di sana dan keluarga kita bisa hidup bersama-sama)"

****

terima kasih sudah mampir dan membaca cerpen kami.

cerpen ini adalah hasil kolaborasi bersama seluruh penghuni Distrik Sylph diantaranya
lestari_me
Annarahma
asaderai
crankie-
heiwahann
Dan saya sendiri, Jurnallin.

Spesial kami dedikasikan untuk hunterspin88

Thanks for reading.
See you in next story..

Jurnallin,
25 September 2020.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro