Kabut Sanubari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Assalamualaikum," ucap Fabian saat membuka pintu, tak terdengar jawaban dari dalam. Samar dia mendengar obrolan seru di ruang keluarga. Ternyata mama dan adiknya, Salwa, sedang bercengkerama.

Fabian hanya bisa mematung melihat pemandangan itu. Entah sudah berapa
lama dia berdiri, tiba-tiba mama menengok ke arahnya.

"Eh, sudah pulang. Langsung makan, yuk!" ajak Alin kepada kedua anaknya.

Entah apa yang dia pikirkan, Fabian tidak langsung menjawab ajakan mamanya.

"Bang, diajak mama kok diam aja, sih!" Celotehan Salwa memecah lamunan Fabian.

"Ah, iya. Apa tadi?"

"Sudah, jangan pada ribut. Kamu ganti baju dulu sana, gih. Terus kita makan bareng," pinta mama kepada Fabian.

Fabian mengangguk. "Ya, Ma."

Di kamar, Fabian terdiam sejenak. Mengganti seragamnya dengan pakaian
santai biasa, lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Saat membuka galeri, Fabian
mengusap gambar itu dengan perasaan penuh rindu.

Kapan aku bisa ikut bercanda denganmu, Ma?

Hanya itu yang Fabian inginkan. Bisa bercanda bersama dan melewati
lembayung senja bersama Mama dan Salwa. Juga pelukan seorang ibu yang penuh
kasih. Ibu yang telah memberikannya kehidupan. Rindu itu membuncah di dadanya. Namun, tak pernah terobati barang sedetik pun.

Tuhan, aku ingin dipeluk Mama. Sebagaimana Salwa yang bisa
mendapatkannya setiap saat. Aku juga ingin, sekali saja Mama melihat ke arahku.
Aku ingin cinta Mama. Tapi kenapa Mama tak pernah memberiku semua itu?

Fabian keluar kamar, melangkah menuju ruang makan. Saat berjalan menuruni anak tangga, netra Fabian tertuju pada bingkai foto besar di ruang tamu. Foto ketika ia masih balita dalam gendongan Mama. Senyum bahagia yang dahulu terpancar, kini sirna. Entah sejak kapan, Fabian tidak tahu. Yang dia ingat hanya segala kesuraman tentang kasih sayang mama.

Semenjak kelahiran Salwa, Fabian merasa ada sesuatu yang aneh. Namun,
tidak bisa ia pastikan. Dan seiring berjalannya waktu, perasaan itu semakin besar dan selalu menguasai hatinya.

Kapan aku bisa mendapakan pelukan dan senyuman tulus itu lagi, Ma? Apakah aku memang tidak layak untuk mama cintai? Kenapa harus Salwa, Ma?

Fabian menghela napas dan melanjutkan langkahnya ke ruang makan. Ketika sampai di meja makan, dia melihat Arga tersenyum hangat.

"Duduk, Nak," sapa Arga pada Fabian.

"Bagaimana harimu?"

"Biasa, Yah," balasnya.

Fabian mengambil piring yang sudah tersedia. Di seberang, ada Mama dan
Salwa. Melihat kedekatan itu, hati Fabian tercabik. Ia mencengkeram erat sendok
hingga semua buku-buku jarinya memutih.

"Sayang ...." Seketika Arga dan Fabian menoleh ke sumber suara.

"Kamu mau yang mana?" tawar mama kepada Salwa.

Fabian merutuki dalam hati atas harapannya tadi. Kenapa dia sebodoh itu
hingga merasa kalau dia yang dipanggil oleh mamanya. Setelah Salwa lahir, selalu
Salwa yang mendapat perhatian mama.

Enggan melanjutkan makan bersama, Fabian bangkit dari kursinya dan berniat untuk pergi.

"Fabian, mau kemana? Kamu belum makan." Cegah Arga ketika melihat Fabian mulai beranjak.

"Maaf, Yah, Fabian lupa kalau ada tugas yang belum dikerjakan. Kalian duluan saja." Fabian tersenyum ke arah ketiganya dan berlalu tanpa mengindahkan peringatan dari Arga.

Hati Fabian terkoyak akibat secuil adegan tadi. Bagaimanapun, dulu ia pernah berada di posisi Salwa. Tapi entah apa yang membuat mamanya bersikap seperti sekarang. Fabian selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kedua orang tuanya. Namun, tak sekalipun terlihat di mata mereka. Ralat, hanya di mata mama. Sang ayah selalu mengapresiasi setiap pencapaian Fabian. Apapun itu, sehingga Fabian lebih dekat dengan ayah dibandingkan mama.

Tidak banyak yang ia mau, hanya kasih sayang dan perhatian yang tulus dari mamanya. Meski sering mendapat perlakuan yang berbeda dibanding adiknya, Fabian tak pernah membenci Salwa. Dia menyayangi Salwa sepenuh hati. Pernah suatu hari Fabian mengajak Salwa jalan-jalan di taman. Iseng dia
bertanya kepada sang adik.

"Wa, mama itu lebih sayang ke kamu ya? Tapi Abang juga sayang kok sama
Salwa. Salwa sayang enggak sama Abang?"

"Ihh, Abang apaan, deh. Mama juga sayang sama Abang. Hanya Abang aja
yang enggak tahu."

"Masa sih? Kayaknya enggak deh. Kemarin aja pas mama jalan-jalan, Cuma
kamu doang yang diajakin. Aku diminta jagain rumah. Apa itu namanya?"

"Bang, jangan ngomong gitu. Mama itu sayang sama Abang. Salwa juga
sayang sama Abang, semua sayang Abang."

"Udahlah, Abang cuma becanda tadi"

...

Makan siang telah usai. Alin dan Salwa berlalu menuju ruang keluarga. Arga masih terdiam di meja makan. Ketika hendak melangkah menunju ruang kerja, Arga melihat ada sesuatu yang tertinggal di meja tempat Fabian tadi.

Handphone?

Sebuah notifikasi masuk, membuat ponsel Fabian menyala. Arga menyadari
foto siapa yang tertera di layar ponsel putranya tersebut.

"Dia sangat menyayangimu, Lin. Mengapa kamu belum bisa menerimanya
sebagai anakmu?"

...

Lamunan Fabian pecah ketika dia mendengar suara ketukan pada pintu
kamarnya.

"Masuk, enggak dikunci."

Pintu terbuka, menampilkan sosok Arga. Spontan Fabian memasang raut
bahagia saat mendapati ayahnya masuk ke kamar.

"Ada apa? Cerita sama Ayah."

"Enggak, kok, Yah. Fabian beneran ada tugas yang mau dikerjain. Ayah kenapa, sih, curiga sama aku."

"Meskipun ayah enggak selalu bersamamu, tapi ayah tahu ada sesuatu yang
enggak beres." Arga memberi jeda, menatap manik Fabian lekat. "Mamamu, ya?"

Deg! Apakah sikapnya tadi sekentara itu? Alih-alih berbohong, Fabian lebih
memilih membuang muka dan bungkam.

"Jangan pernah merasa bahwa kami membeda-bedakan kasih sayang antara
kamu dan adikmu. Kalian semua berharga bagi kami. Mungkin mamamu lagi banyak pikiran, mangkannya dia seperti itu. Apapun masalahmu, utarakan saja. Dan kita cari solusinya bersama. Jangan pernah dipendam sendiri, enggak baik. Okee."

"Baik, Yah."

"Sekarang kamu lanjutkan belajarnya. Tapi jangan lupa makan. Ayah keluar
dulu."

Hampir pintu tertutup, Ayah berbalik dan mendorong daun pintu guna
memperbesar celah. Dia berkata, "Oh, ya. Ayah lupa. HP-mu tadi ketinggalan, ini ... maaf, Ayah juga sudah lihat wallpaper lockscreen-nya."
Fabian terkesiap, ia bungkam sampai Ayah meletakkan ponselnya di meja.

...

Langit kini telah berubah menjadi gelap. Bulan bersinar begitu cerah dan
bintang bertaburan menghiasi indahnya malam. Jarum jam menunjukkan pukul
setengah sebelas. Fabian dan Salwa sudah tertidur dengan lelapnya. Sedang, Arga
dan Alin masih terjaga di dalam kamar mereka.

"Lin," panggil Arga. Alin seketika menoleh ke arahnya, dengan senyum lembut
ia menghampiri Arga.

"Iya, Mas?" Arga mengusap kepalanya dengan penuh cinta.

"Kamu ... masih belum bisa menerima Fabian, ya?" tanyanya hati-hati pada Alin
yang lagi-lagi menghela napas.

"Udah berapa kali aku bilang sih, Mas. Stop! Jangan bahas itu lagi. Aku gak
mau inget sama masa laluku lagi!" Suara Alin menyentak Arga.

"Tapi, dia putramu, Lin. Walau bagaimanapun dia–"

Wajah Alin kini memerah. Ia menahan rasa marah juga sakit dalam hati.

"Aku sayang sama dia Mas, tapi ... tapi dia juga ngingetin aku sama Fino!"
Suara Alin sedikit merendah. Arga dapat merasakan kesakitan di sana. Masa lalu Alin,
terlalu kelam untuk kembali dilihat lebih dalam.

"Tapi kamu harus membagi kasih sayangmu dengan rata, Alina! Fabian sangat
menyayangimu. Dia juga pasti ingin perhatian dan cinta seorang ibu sebagaimana
yang Salwa selalu dapatkan. Aku bisa melihat tatapan terlukanya ketika tadi kamu
hanya memberikan perhatianmu pada Salwa." Suara Arga kini berubah tegas.

Air mata mengalir di kedua pipi Alin, membentuk anak sungai yang bermuara
dari sudut matanya. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Dia ... masih terpaku
dengan masa lalunya.

"Aku–aku sayang sama dia, Mas. Tapi, aku gak tahu harus bersikap gimana
sama dia. Ketika aku menatap matanya, itu hanya mengingatkanku pada masa lalu,
Mas. Hiks ...." Arga memeluk Alin. Ia kini tak bisa lagi berkata. Semua untaian kata
yang sebelumnya tersusun rapi dalam benak, hilang seketika bersamaan jatuhnya air
mata Alin.

...

Pagi menyapa. Suara burung berkicauan terdengar di telinga. Alin terbangun dengan mata sembabnya, melirik ke arah jam weker menunjukkan angka enam.

"Hari yang baru. Dan aku akan menjelaskan semuanya sama Bian."

Selesai membersihkan diri, Alin kemudian bergegas ke dapur untuk membuat
sarapan.

Ketika sedang membuat susu, suara Fabian membuat Alin terkejut.

"Pagi, Ma."

Alin seketika membalikkan badan, rasa ingin berlari itu ada, namun tekadnya sudah kuat untuk menjelaskan semua masa lalu pada sang putra.

"Sini, duduk dulu." Alin menarik lembut tangan Fabian ke arah meja bar yang ada
di sana.

Fabian tersentak dengan perlakuan sang mama yang sebelumnya begitu ia damba.

"Ada apa?"

Alin menyerahkan segelas susu hangat kepada Fabian. Ia masih belum menjelaskan maksud dari perlakuannya saat ini.
Fabian meminum susunya dengan rasa senang sekaligus penasaran. Ia menguatkan
tekad untuk berani bertanya kepada sang Mama.

"Ma, kenapa Mama bersikap seperti ini kepadaku? Maksudnya ... ini ... enggak kayak biasanya," tanya Fabian hati-hati seraya menatap sang mama yang kini tertunduk
dihadapannya.

"Bian ...."

Dan mengalirlah semua cerita itu. Masa lalu suram yang selama ini menghantui
benak Alin. Kali ini dia tidak lagi ingin berlari. Semuanya harus jelas, apapun itu.
Karena memang Fabian sudah besar dan Alin tidak ingin masa lalunya menjadi
penghalang untuk hubungan mereka.

"Bian, maafkan Mama. Mama sadar selama ini mama mengacuhkanmu. Mama
memang bukan mama yang baik. Tapi, percayalah. Di dasar hati mama, kamu adalah
anak hebat. Hebat karena mampu bertahan dengan segala keegoisan mama. Hebat
dalam memaklumi semua perbuatan mama. Mama sayang sama Bian. Sangat. Hanya saja ... entahlah, mama juga enggak tahu kenapa bersikap seperti ini. Sekarang kamu boleh membalas mama. Silahkan Bian, mama terima. Karena mama
sudah banyak salah sama kamu."

Air mata mengalir deras di wajah Alin. Tak luput dengan Fabian. Pun dia juga
merasakan batinnya terkoyak. Mendengar semua penuturan mamanya, ingin sekali
Fabian menyalahkan Alin. Ingin sekali Fabian melampiaskan segala amarahnya. Apa
salah dia? Dia juga tidak meminta untuk dilahirkan.
Namun, alih-alih melampiaskan semua amarah yang membuncah, Fabian justru
mendekap erat tubuh Alin yang berguncang hebat.

"Mama enggak salah. Maafkan Bian. Selama ini Bian egois, enggak mau ngertiin
perasaan mama. Bian yang salah, Ma. Maafkan Bian."

"Enggak, sayang. Kamu enggak salah. Mama yang belum bisa berdamai dengan
masa lalu. Maafkan mama."

"Iya, Ma. Bian maafkan, bahkan sebelum mama mintapun, Bian akan selalu
memaafkan mama."

"Terima kasih, Sayang. Mulai sekarang, Bian bantu mama untuk bisa adil dalam
mengasihi kalian. Karena kalian adalah kekuatan mama, kebahagiaan mama.
Ingatkan mama saat mama berbuat salah."

Hanya anggukan dan pelukan erat yang sanggup Bian berikan untuk menjawab
permintaan Alin. Berjuta perasaan membuncah di benak Bian. Segalanya tumpah
ruah.

Arga tersenyum haru menyaksikan pemandangan dua belahan hatinya yang sedang berpelukan. Kini kabut sanubari yang selalu menghantui telah sirna. Hingga tak
terasa air mata menetes dari sudut mata.

Salwa ikut mendekat dan menyaksikan adegan haru pagi itu. Sungguh, ingin sekali Salwa ikut menangis. Tanpa pikir panjang, Salwa bergabung dengan Alin dan Bian.

"Salwa juga sayang mama dan Abang." Tangis haru kembali pecah mengisi setiap
sudut dapur.

Pun dengan Arga, ia ikut bergabung bersama Alin dan kedua anaknya. Merasakan perasaan lega dan bahagia untuk semua yang telah mereka lalui.

"Ayah sayang kalian."

...

Sylph District Team  :

1. Mocynna_

2. Coretan_pena02

3. Jurnallin

4. Dyahi_Chan

5. heiwahann

6. Jenanjae

7. Meytalita

8. Ichannisazhr

Cerita ini kami dedikasikan untuk  hunterspin88


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro