Bab 2. The Death Clue

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


naskah asli cerita ini oleh distrik Ignis.

ERR oleh distrik Sylph.

Dirangkai bersama oleh anggota Sylph Mocynna_ jenanjae coretan_pena02 Dyahi_Chan Ichannisazhr heiwahann Meytalita

Dipersembahkan khusus untuk hunterspin88

Dengan rumusan plot :
1. Perkenalan : Deon mengundang Aris dan Allen ke apartement.

2. konflik : seorang komikus melakukan aksi pembunuhan demi konten karyanya.

3. Klimaks : kasus kematian Lina yang janggal.

4. Anti klimaks : arwah Lina mendatangi Juna. Menceritakan kronologi kejadian.

5. Penyelesaian : Deon tertangkap oleh polisi. Ditetapkan sebagai tersangka, karena semua bukti yang mengarah kepadanya. Juna bertemu arwah ketiga sahabatnya.


****

The Death Clue

Aris menarik rambutnya kuat. Ia ingin beristirahat sekarang. Namun, Deon baru saja meneleponnya dan memaksa untuk mengarsir komik yang ia buat. Sepertinya pria itu tengah dikejar tenggat yang tinggal beberapa jam lagi.

Aris membuka pintu apartemen dengan kasar. Ia lantas duduk di sofa tanpa seizin yang empunya. Sejenak melepas penat, sebelum kembali bekerja bagai kuda.

"Komik aneh apa lagi yang sedang kamu kerjakan?" tanya Aris sambil melihat-lihat gambar di atas meja yang dibuat oleh sahabatanya.

Deon yang sedang membuat kopi di dapur membalikkan badan. "Kehidupanmu memang unik," balasnya setelah mencampurkan serbuk putih ke dalam kopi milik Aris. Senyum penuh misteri tersungging di bibir Deon ketika ia mengangsurkan kopi kepada Aris.

Setelah duduk di hadapan Aris, Deon kemudian menyimpan kopinya sendiri agak jauh dari kertas komik. Sembari mengamati reaksi Aris, Deon kembali menerbitkan senyum penuh misteri. Agaknya, malam ini akan menjadi malam penuh inspirasi.

Beberapa menit setelah Aris meneguk kopi buatan Deon, ia mulai sesak napas. Serbuk putih yang Deon campurkan tadi sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Deon mulai tak sabar akan apa yang segera terjadi. Peluh keringat mulai membasahi dahinya hingga ke telapak tangan. Euforia bercampur dengan rasa gugup adalah paduan yang sempurna untuk aksinya kali ini.

"Aa-Apa y-yang ka-kamu be-ri-kan pa-da-ku, De-on?" Suara Aris tersengal-sengal akibat sesak napas hebat yang di deritanya. Mukanya memerah dan keringat bercucuran dari dahi. Deon hanya diam sembari tersenyum penuh arti melihat pemandangan itu. Tak lama berselang, keluar darah dari lubang hidung serta mulut Aris. Setengah sadar, Aris melihat Deon mengacungkan pisau ke arahnya dan mulai menusuk tubuhnya dengan membabi buta. Aris sudah mati rasa dan perlahan bayangan Deon serta gemerlap cahaya lampu apartement meredup. Semuanya gelap.

Deon masih membabi buta, menusuki sekujur tubuh Aris untuk memastikan nyawa sahabatnya itu benar-benar sudah pergi. Di saat bersamaan, Allen sedang menuju ke apartement Deon. Gadis itu juga ditelepon oleh Deon untuk datang hari ini. Dengan dalih yang sama, membantunya mengarsir komik. Sebagai iming-iming agar keinginannya terpenuhi, Deon berjanji untuk mentraktir Allen keesokan harinya.

Tiba di apartemen Deon, Allen langsung memasukkan sandi dan membuka pintu tanpa mengucapkan salam. Karena sudah terbiasa berkunjung, Allen mengabaikan norma kesopanan itu. Namun, kejadian yang tak terduga sedang berlangsung di depan mata. Allen melihat Deon sedang membabi buta menusuki tubuh Aris yang sudah tak berdaya.

"DEON!!! Apa yang kamu lakukan? I-itu A-Aris ...."Allen histeris. Sembari membekap mulut dengan kedua tangan, Allen mencoba lari sekuat tenaga untuk keluar dari apartemen Deon. Napasnya memburu, tangan bergetar, dan keringat dingin sudah membasahi seluruh telapak tangan serta wajah. Saking takutnya, Allen sampai terantuk lemari sepatu dekat pintu keluar.

Sesaat Deon terpaku dengan kedatangan Allen. Dia memang mengundang Allen untuk datang. Namun, ia tak menduga jika Allen akan datang secepat ini. Tak butuh waktu lama untuk mengembalikan konsentrasi, Deon segera bangkit dan mengejar Allen yang berusaha kabur. Masih membawa pisau yang berlumuran darah, Deon berhasil mencekal tangan Allen.

"Mau ke mana, nona manis? Pertunjukannya belum selesai. Sssttt... be nice, okay?"

Deon menggiring Allen ke sofa, dekat dengan jasad Aris yang tergeletak mengenaskan. Ia meletakkan pisau di atas meja, lalu mengikat kedua tangan Allen.

Deon membekapnya dari belakang. Allen ingin sekali berteriak dan berontak, tetapi tubuhnya seakan lumpuh. Air matanya terus mengalir tiada henti. Menyaksikan peristiwa mengenaskan secara langsung adalah hal terburuk paling akhir yang ia inginkan. Otaknya memproses dengan cepat apa yang akan terjadi setelahnya. Bisa saja dia yang menjadi korban selanjutnya. Dengan segala pemikiran buruk yang menyerang, Allen terus menangis dan menggelengkan kepala.

"Deon, please... aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun tentang kejadian ini. Tapi, kumohon lepaskan aku. Please, Deon. Kita semua bersahabat, kenapa kamu setega ini? Apa salah kami?" rintih Allen.

Tak sedikitpun raut belas kasih Deon tunjukkan. Justru sebaliknya. "Sssttt... tenang, nona manis. Sebentar lagi kamu akan menyusulnya dan komikku akan segera selesai. Yang terpenting, kita semua aman." Deon berbisik di depan wajah Allen sembari menelusuri lekuk wajah Allen dengan satu jari telunjuknya. Bau anyir yang pekat menusuk indera penciuman. Perut Allen mual, ingin sekali muntah di hadapan Deon, sayangnya nihil. Allen hanya bisa merintih dan memohon kepada Deon untuk dilepaskan.

Setelah berhasil mengikat pergelangan tangan dan kaki Allen, Deon kemudian mulai bermain dengan pisaunya. "Sayang sekali. Rambut seindah ini sudah tidak bisa lagi kamu rawat," ucap Deon sambil mencium potongan rambut Allen.

Allen semakin terisak menyaksikan perbuatan Deon kepadanya. Setan apa yang merasuki sahabatnya ini? Deon memang pendiam, tetapi tidak pernah sekalipun dia menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Tak heran jika Allen masih bertanya-tanya dalam hati, apa motif dari tindakan gila ini.

Serbuan kengerian tergambar jelas di wajah Allen. Hal itu semakin membuat Deon bersemangat untuk melanjutkan aksinya. "Menangislah sepuasmu, nona manis. Itu akan semakin menyempurnakan karyaku," kata Deon sembari tertawa gila. Allen yang masih diliputi rasa takut, hanya bisa menggelengkan kepala dan terisak. Pergelangan tangannya terasa panas akibat gerakan kuat yang ia lakukan untuk melepaskan diri.

Deon sudah gila, benar-benar gila. Dia harus mencari cara untuk terbebas dari Deon.

Melihat gerakan Allen yang semakin berkeras untuk lepas, Deon berang. Tanpa pikir panjang dia menempelkan pisau di nadi karotis Allen dan menggoreskannya. Cairan merah kental mengucur deras membasahi tubuh Allen yang perlahan menjemput ajal.

"Kalian berdua sama-sama bodoh, tetapi aku suka. Dengan begitu, karyaku bisa segera aku lanjutkan," ucap Deon puas melihat hasil perbuatan keji yang ia lakukan terhadap dua sahabatnya itu. Alih-alih menyingkirkan barang bukti, Deon memilih untuk menyelesaikan komiknya. Tenggat waktu yang semakin dekat membuatnya harus bekerja ekstra keras.

****

Apartemen Deon tergolong canggih dan mewah. Kunci pintu sudah menggunakan sandi dan cctv terletak di setiap sudut gedung apartemen. Namun, untuk cctv di apartementnya, hanya berada di depan pintu dan ruang tamu saja. Deon sudah mempertimbangkan semuanya. Sehari sebelum ia melancarkan aksinya, Deon sudah mematikan cctv di dalam apartemennya dan sepanjang lorong menuju tangga darurat untuk mengantisipasi hal-hal di luar kendali. Seperti sekarang, saat ia harus menggotong dua kantong plastik hitam ke luar apartemen yang berisi mayat kedua sahabatnya.

Beruntung apartemennya berada di lantai 3, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai basement parkir mobil. Deon memastikan mobilnya terparkir di titik buta, agar tidak terdeteksi kamera pengawas.

Setelah memasukkan dua kantong platik hitam ke dalam bagasi mobil, Deon segera masuk dan memacu SUV hitam tersebut untuk menuju sebuah bukit. Dengan kecepatan di atas rata-rata dan melanggar beberapa lampu lalu lintas, akhirnya Deon berhasil sampai ke tempat yang ia tuju. Tempat di mana Deon mengubur semua mayat-mayat yang ia bunuh.

"Beristirahatlah kalian. Selamat mengadakan jamuan teh di alam baka," ucap Deon, selesai mengubur jasad Aris dan Allen. Tanpa menunggu lama, Deon segera pergi dari bukit itu dan memacu kembali SUV hitamnya dengan cepat. Ia tak sabar untuk segera sampai ke apartemen dan menyelesaikan karyanya. Senandung lirih ia gumamkan sepanjang perjalanan.

****

Hari sudah berganti tatkala Deon mendengar suara ketukan pada pintu. Penasaran, siapa yang datang berkunjung. Ternyata Lina, sahabat sekaligus kekasih Deon.

"Wow... kejutan kamu datang sepagi ini," sapa Deon kepada Lina sembari mempersilakannya masuk.

"Apakah tidak boleh?" sahut Lina.

Deon tak menjawab, hanya senyum penuh arti yang ia suguhkan pada Lina.

"Kamu duduk dulu, aku buatkan minuman."

"Enggak usah repot-repot. Aku cuma mampir."

"Santai. Kebetulan aku juga lagi butuh teman untuk mengembalikan kewarasan otak." Deon berusaha mengajak Lina berbincang sembari membuatkan minum. Melihat Lina sedang sibuk memperhatikan arsiran komiknya, Deon segera mencampurkan serbuk putih ke dalam minuman Lina.

"Deon, apakah kemarin Allen mengunjungimu?" tanya Lina.

"Enggak. Enggak ada yang mengunjungiku. Memangnya kenapa?"

"Tadi pagi-pagi sekali orang tua Allen menelepon. Mereka bertanya apakah Allen menginap di rumahku. Karena semalam Allen enggak pulang."

"Mungkin dia sedang bersama Aris. Akhir-akhir ini mereka terlihat dekat. Apakah kamu sudah menelepon ke ponsel Allen atau Aris?"

"Sudah dan nihil."

"Hmmmm..." gumam Deon mengakhiri percakapan. Dalam hati, Deon memikirkan segala cara untuk segera melenyapkan Lina. Karena, cepat atau lambat apa yang ia perbuat pasti akan terendus. Dari gelagat Lina, Deon menyimpulkan bahwa ia sedang dicurigai.

"Minumlah, untuk menjaga tubuhmu tetap hangat," ucap Deon sembari mengangsurkan secangkir teh panas kepada Lina. Deon tahu, Lina bukan pencinta kopi. Sehingga ia membuatkan teh melati untuk Lina.

"Terima kasih," jawab Lina sembari meniup uap panas yang masih mengepul dari cangkir teh yang ia pegang. "Kamu peracik minuman yang handal. Agaknya profesi sebagai bartender lebih cocok untukmu alih-alih komikus," puji Lina setelah merasakan seteguk minuman favoritnya.

"Itu hanya sebuah kebetulan. Komik adalah duniaku."

Deon masih mengamati segala gerak-gerik Lina. Tiba-tiba tubuh Lina tergolek tak berdaya di atas sofa. Segera Deon memakai sarung tangan, mengambil sebilah pisau kemudian menusukkannya ke perut Lina berulang kali. Merasa yakin bahwa Lina sudah meninggal, Deon segera membawa mayat Lina ke apartemen.

Sekejap Deon sudah berada di unit apartemen Lina yang kebetulan hanya berbeda beberapa blok saja dari unitnya. Setelah meletakkan jasad Lina di tempat tidur, Deon segera mengatur kematian Lina agar seperti bunuh diri. Dia membuat tangan Lina memegang pisau yang masih tertancap di perut.

"Maafkan aku, Lina. Aku enggak ingin kamu mengetahui semua aksiku seperti kedua sahabatmu. Berkumpullah di sana," ujar Deon usai mengatur semuanya. Setelah dirasa cukup, Deon kemudian bergegas pergi untuk kembali.

***

Aku berada di mana? Kenapa aku tergeletak di dalam kamarku. Seingatku... tidak mungkin. Aku tidak mungkin mati. Siapa yang melakukannya. Kenapa aku enggak bisa mengingatnya.

Lina melihat banyak sekali anggota polisi yang berada di apartemennya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Berulang kali Lina mencoba untuk berkomunikasi dengan para aparat yang sedang bertugas. Nihil. Semuanya tembus, hingga sebaris nama muncul di benaknya. Juna. Ya, Lina harus menemui Juna karena lelaki itu mempunyai kelebihan sebagai clairvoyant. Hanya Juna harapan Lina satu-satunya.

Lina melihat keberadaan Juna di depan apartemennya yang masih penuh dengan aparat kepolisian. Dia juga melihat kedua orang tuanya sedang menangis histeris.

Lina mencoba untuk melambaikan tangan di depan wajah Juna. Satu kali belum berhasil, hingga percobaannya yang ketiga Juna memberikan atensi kepada arwah Lina. Dengan tatapan mata, Lina mengajak Juna untuk mengobrol ke tempat yang lebih sepi.

"Apa yang terjadi padamu? Siapa yang melakukannya? Aku enggak yakin kalau kamu bunuh diri seperti apa yang mereka semua yakini." Juna melempar pertanyaan beruntun.

"Aku enggak tahu. Aku hanya ingat terakhir kali aku sedang minum teh di apartemen Deon. Setelahnya, aku enggak tahu lagi apa yang terjadi. Hingga akhirnya aku terbangun dengan keadaan seperti ini." Lina berusaha menjawab pertanyaan Juna. Kepalanya pusing tatkala mencoba mengingat semuanya. Perasaan tidak percaya masih mendominasi. Tidak mungkin Deon yang melakukannya. Kesalahan apa yang sudah ia perbuat.

"Apartemen Deon? Si komikus itu? Kamu yakin, Lina?" tanya Juna, meyakinkan.

"Aku yakin sekali. Sama sepertimu, aku pun enggak percaya kalau Deon setega ini."

"Baiklah. Kalau memang itu keyakinanmu, aku akan mencoba membantumu untuk mengungkap misteri ini. Akan aku selidiki hingga tuntas, Lina."

"Terima kasih, Juna. Hanya kamu harapanku satu-satunya."

Hening beberapa saat. "Apakah kamu tahu sekarang hari apa?" tanya Lina.

"Hari Selasa pukul enam petang. Dua jam setelah mayatmu ditemukan oleh kedua orang tuamu."

Lina ingat, dia sengaja ke apartement Deon hari Selasa pagi. Berarti, belum ada 24 jam setelah kematiannya. Semoga Juna bisa segera memecahkan misteri ini.

Dua hari setelah kematian Lina.

Setelah melihat semua rekaman cctv di apartemen Lina, polisi mulai mengembangkan kasus ini. Pun dengan Juna. Dia berhasil bernegosiasi dengan pengelola apartemen tempat Deon tinggal. Dari keterangan yang berhasil Juna himpun, pengelola menemukan beberapa hal janggal. Mulai dari cctv unit Deon yang tidak berfungsi sejak hari Minggu serta keputusan Deon menyewa dengan harga yang fantastis. Pihak pengelola berkata, bahwa Deon pernah meminta untuk diberikan akses sebebas mungkin dengan imbalan harga sewa yang luar biasa. Tentu saja pihak pengelola menyetujui keinginan Deon. Pengusaha mana yang tidak mau ambil keuntungan?

Di tengah-tengah percakapan dengan pihak pengelola, suara notifikasi terdengar dari ponsel milik Juna. Awalnya ia ingin mengabaikan, namun notifikasi yang muncul secara beruntun membuatnya penasaran.

Ternyata notifikasi dari sebuah platform baca online. Namun manik Juna membulat kala melihat isinya. Dari salah satu komik on going karya Deon yang ia ikuti. Judul yang tertera membuat darah Juna bergejolak. Sengatan rasa sakit yang menjalar dari punggung hingga kepala membuat Juna mengepalkan tangan kuat-kuat. "LINA SAYANGKU..." itu adalah judul dari seri terakhir komik Deon.

Sontak semua benang merah terhubung di kepala Juna. Tanpa pikir panjang, Juna menelepon kantor polisi dan menceritakan semua yang ia temukan. Kamu harus merasakan hukuman akibat perbuatan kejimu, Deon. Aku bersumpah akan membuatmu membusuk dalam penjara.

Tekad Juna sudah bulat. Ia juga yakin bahwa Deon adalah sang pelaku pembunuhan ketiga sahabatnya. Juna naik ke lantai 3 menggunakan lift, mengetuk pintu apartemen Deon dengan tidak sabar.

Tak lama pintu terbuka menampilkan wajah Deon yang kusut. Terlihat lingkaran mata menghitam, rambut yang acak-acakan serta baju yang Deon kenakan kusut masai.

"Masuklah," Deon mempersilakan Juna. Setelah Juna masuk, ia menghidu bau anyir yang menusuk. Juna mencoba menahan semua gejolak dengan membekap hidungnya. "Apa yang kamu simpan di sini? Bisa-bisanya kamu bertahan di ruangan yang baunya melebihi tempat sampah," ujar Juna sengau.

"Aku tidak mencium apapun? Apakah hidungmu bermasalah?" jawab Deon santai.

Dasar manusia bermuka lima. Ujar Juna dalam hati sembari mengamati dengan seksama situasi dalam apartemen Deon.

"Duduklah, aku buatkan minuman dulu untukmu. Kopi atau teh?" tanya Deon pada Juna yang masih tetap berdiri membelakanginya.

"Enggak perlu, aku hanya mampir sebentar."

"Jangan sungkan. Anggap saja seperti kawanmu yang lain, Juna."

Sumpah, Juna bergidik mendengar jawaban dari Deon. Dia semakin yakin bahwa Deon lah sang pelaku. Dadanya bergemuruh hebat menantikan kedatangan polisi. Dia harus mengulur waktu sebanyak mungkin, tetapi bau busuk seperti bangkai menyengat ini benar-benar membuatnya tak tahan.

Deon masih membuat minuman di area dapur saat suara ketukan memecah kesunyian. "Biar aku saja yang buka pintu," ucap Deon sembari berjalan cepat menuju pintu. Setelah pintu terbuka suara polisi yang menyerukan agar Deon angkat tangan menggema. Juna lega karena mereka cepat datang. Tanpa banyak perlawanan, Deon dibekuk oleh polisi dan dibawa untuk interogasi. Juna pun diminta ikut untuk memberikan kesaksian.

Sampai di kantor polisi, Deon di masukkan ke dalam sel. Sementara Juna diminta keterangan oleh tim penyidik. Polisi pun mengarahkan tudingan kepada Deon. Berkat kesaksian kedua orang tua Lina yang mengatakan bahwa terakhir kali Lina pamit untuk pergi ke tempat Deon. Ditambah dengan kesaksian dan bukti yang Juna utarakan, menjadikan Deon tersangka utama kasus pembunuhan berantai yang menggemparkan seantero Jakarta. Semua bukti-bukti yang berhasil Juna himpun, ia serahkan kepada polisi untuk ditindak lanjuti.

Dari keterangan Deon, tim penyidik mendapatkan lokasi tempat mayat dikubur. Segera, anggota lain diperintahkan untuk menuju TKP. Penyelidikan terus berlanjut untuk menemukan motif Deon.

Dari setiap keterangan yang Deon ucapkan, polisi menarik kesimpulan bahwa Deon mengidap Dissosiative Identity Disorder atau sering disebut dengan kepribadian ganda. Deon tiba-tiba tertawa bahkan menangis disela-sela sesi interogasi. Diperkuat dengan adanya surat dari seorang psikiatri yang diserahkan oleh pengelola apartemen tempat Deon tinggal.

Juna tidak mampu menyaksikan lebih dari ini. Dia sangat terpukul dengan apa yang terjadi. Benar-benar tidak menyangka. Semua sahabatnya pergi, tersisa Deon yang ternyata selama ini menyimpan sesuatu dengan sangat rapi.

Ketika melangkah keluar dari kantor polisi, Juna melihat arwah ketiga sahabatnya. Aris, Allen dan Lina. Mereka tersenyum dan mengangguk kepada Juna. Tanpa sempat menanggapi, tiba-tiba semuanya pergi. Menyisakan ruang kosong di hati Juna.

"Tenanglah kalian di sana. Aku berdoa semoga kalian semua berbahagia dan maafkanlah perbuatan Deon," ujar Juna seorang diri.

_THE END_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro