Taisho Romance

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tokito duduk di ujung ranjang dengan kedua tangan menumpu kepala. Rambutnya yang hitam menjuntai melewati mata; menyaru dalam remangnya ruangan. Jendela kamarnya tertutup gorden, menghalau berkas-berkas cahaya yang menerobos masuk. Tidak ada suara yang menggema selain helaan napas lelah dan pikiran yang terus menyuruhnya untuk mengakhiri hidup.

Pun tidak terdengar detik yang berjalan. Waktu seolah berhenti. Bukan karena jarum jam dinding yang tidak bergerak, tetapi karena pemuda itu seperti tidak lagi memiliki semangat hidup, layaknya benda mekanik yang kehabisan baterai. Dan sebentar lagi, Tokito akan membeku dalam waktu. Tidak akan menua. Tidak akan mendapat masalah. Tidak akan ada lagi beban kehidupan yang harus ditanggung.

Pemuda itu kembali menghela napas berat. Tangannya mencengkeram kulit wajah seolah ingin mengoyaknya. Dia berteriak tanpa suara, tidak ingin merobek keheningan yang telah dibuat.

Frustrasi.

Depresi.

Ingin mati.

Satu tetes air mata tanpa dirasa mengalir dari pelupuk matanya.

Dengan gontai, Tokito melangkahi tumpukan pakaian dan sampah yang berserakan di lantai. Barang-barangnya yang berantakan tidak hanya di tempat kaki memijak, tapi juga sampai ke kursi dan meja belajarnya. Pemuda itu lantas melemparkan buku-buku di tempat duduknya secara sembarang sampai bunyi gedebuk jadi suara pertama yang terdengar. Pemuda itu lantas menghela napas saat mencari kertas dan pulpen di antara tumpukan buku dan sampah.

Baiklah ini akhirnya!

Tangan Tokito gemetar ketika menuliskan setiap kata. Diterangi cahaya yang hanya berasal dari lampu belajar, air matanya menetes setiap mengingat bagaimana perlakuan dunia terhadapnya. Semua rasa yang mengganjal dalam hati dia keluarkan tanpa ada yang terlewat; amarah, kesal, benci, terkhianati. Namun, jemarinya membeku saat pemuda itu mengingat bagaimana orang tuanya membesarkannya. Masa lalu pun berputar seketika seperti film yang dimainkan secara cepat.

"Aaargh!!!" Lelaki itu menggeram. Dia lalu memasukkan surat wasiat yang ditulis ke dalam laci.

Dengan pikiran yang berkecamuk, Tokito mengelilingi kamarnya yang berantakan; mencari kembali ketenangan dan dorongan untuknya melanjutkan keputusan mengakhiri hidup. Kaki lelaki itu mengentak-entak keras sebelum akhirnya berhenti. Matanya yang hitam menatap meja belajar dengan tajam.

Tokito menarik laci meja, tetapi kertas yang dia masukkan sebelumnya menghilang tanpa jejak. Keningnya mengerut. Dia tidak mungkin salah meletakkan. Jelas-jelas lelaki itu memasukkan kertas wasiatnya. Penasaran, dia pun melihat ke kolong meja yang gelap dan sedikit menyipitkan mata, lelaki itu memindai kertas berwarna putih yang masih bagus dengan tulisan kanji di atasnya. Namun, hanya kantung plastik berisi sampah, botol-botol bekas, dan gumpalan-gumpalan kertas tak berguna yang ada. Dia bisa saja menuliskan surat wasiat yang baru, tetapi dirinya terlalu lelah untuk menuangkan kembali semua perasaan sebelumnya.

Lelaki kurus itu menjambak rambut hitamnya. Sambil menghela napas, Tokito menarik kembali laci berharap surat wasiatnya secara ajaib ... muncul.

"Hm." Tokito mengangkat alis. Benar-benar di luar dugaan. Dia lantas mengambil balik surat tersebut. Namun, ada yang berbeda. Bukan hanya dari tekstur kertasnya, tetapi juga tulisan di dalamnya. "Ini bukan surat wasiatku," gumamnya. Beragam perasaan bercampur aduk seketika di dalam diri Tokito. Takut, cemas, heran. Dia membalik-balikkan kertas di tangannya berharap tulisannya ada di salah satu sisi. Akan tetapi, mau dilihat dari manapun, surat itu memang bukan miliknya.

Hal yang paling membuat Tokito tak habis pikir adalah isi yang ada. Dia sampai mendekati jendela agar pencahayaannya lebih jelas. Namun, isinya tetap sama. Tidak ada yang berubah. Beberapa kali lelaki itu mengerutkan kening ketika membaca tulisan tersebut.

"Hai, Tokito. Aku Chiyoko. Aku tidak tahu bagaimana suratmu bisa berada di dalam laci meja belajarku, tetapi aku yakin kau sedang mengalami hari yang berat. Aku tidak tahu bagaimana caranya menghubungimu. Jadi, aku tulis saja surat ini dan menyimpannya di laciku lagi sebagaimana suratmu tiba-tiba datang padaku. Semoga saja bisa sampai padamu secara ajaib. Aku hanya ingin mengatakan, kalau aku tahu bagaimana perasaanmu, perasan dikhianati, diasingkan, dan dibebani oleh tanggung jawab. Aku hanya tidak mengerti bagian internet dan cyber-bullying. Apa itu? Juga masalahmu dengan benda-benda yang tidak kupahami lainnya. Sekali lagi, aku cuma mau bilang, kalau kau punya masalah dan tidak punya orang untuk bicara, aku siap mendengarkan—membacanya dalam kasus ini dan menanggapinya sebisaku. Salam, Chiyoko."

Tokito menelengkan kepala, bingung harus bereaksi seperti apa. Haruskah dia membalasnya? Benarkah Chiyoko bisa menjadi seseorang yang membantu masalahnya atau setidaknya orang yang dapat mendengarkan isi hatinya?

Surat wasiat yang mendadak hilang dan pesan yang datang tiba-tiba. Kalau bukan pekerjaan hantu, ini pasti keajaiban. Entah bagaimana laci mejanya bisa terhubung dengan milik orang lain padahal jelas-jelas di dalamnya tidak ada ruang antardimensi. Mungkin, ini adalah jawaban atas rasa putus asanya. Sebuah harapan yang diberikan padanya agar terus hidup.

Tokito kembali ke meja belajarnya dan menuliskan pesan balasan.

"Hai, Chiyoko. Aku Tokito. Pesanmu sampai padaku dengan ajaib. Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk membalas suratku yang entah kenapa bisa tiba-tiba sampai padamu. Aku juga tidak yakin."

Tokito berhenti, ragu apa lagi yang harus dia tuliskan. Apa tidak apa-apa membagikan masalahnya pada orang lain? Anak itu mendesah. Pulpennya dia ketuk-ketukan ke dagu. Biarlah. Kalau masalahku semakin besar karena hal ini, aku hanya perlu mengakhirinya seperti yang akan kulakukan. Lelaki berambut hitam itu sudah memutuskan. Namun, ada hal lain yang membuatnya penasaran.

"Kau betul tidak tahu apa itu internet dan cyber-bullying? Aku bukan ingin bermaksud merendahkan atau apa, tapi apakah kau tinggal di pedesaan atau tempat terisolasi sampai akses teknologi modern tidak sampai padamu?"

Tokito berharap kata-katanya tidak akan menyakiti Chiyoko. Karena seingatnya, hampir seluruh sudut di Jepang sudah mendapat akses teknologi. Sejauh yang dia tahu, tidak ada tempat terisolasi yang sampai membuat penduduknya bahkan tidak mengenal internet.

"Baiklah, segitu saja dulu. Kita lihat, kalau Chiyoko tidak tahu apa itu, akan percuma mengobrol dengannya tentang masalahku," gumam Tokito seraya memasukkan surat balasan ke dalam laci.

...

Chiyoko duduk bersila sambil melipat beberapa yukata. Dengan lembut dia menaruh pakaian-pakaian itu sampai menumpuk. Gadis berambut sebahu itu bersenandung untuk menghilangkan kebosanan dan rasa sedihnya setelah ditinggal kekasih.

Kemarin, Chiyoko menemukan sepucuk surat yang diyakini sebagai surat wasiat di dalam lacinya saat membereskan sesuatu, padahal seingatnya dia tidak pernah menuliskan hal itu. Setelah membaca isinya, gadis itu langsung menuliskan balasan berharap si empunya surat dapat bertahan setidaknya sehari lagi dan menemukan makna hidup meskipun sedang dalam keadaan terpuruk.

Chiyoko tidak ingin jadi superhero atau semacamnya, dia hanya tergerak karena dia juga bisa merasakan apa yang orang itu rasakan. Dan sekarang, Chiyoko berharap suratnya dibalas dengan laporan bahwa Tokito selamat dan mengurungkan niatnya mengakhiri hidup.

Setelah lipatan terakhir, Chiyoko memeriksa kembali laci mejanya. Surat balasan dari Tokito telah datang! Dengan berseri-seri, gadis itu langsung membaca isinya. Senyumnya makin merekah ketika tahu Tokito baik-baik saja. Dia langsung membalasnya sesaat kemudian.

"Hai, Tokito. Aku lega kau membalas suratku. Kuasumsikan kau baik-baik saja dan akan terus seperti itu. Kau tidak tahu bagaimana rasanya kelegaan dan bahagia di saat bersamaan yang aku rasakan saat ini, 'kan? Itu seperti saat kau mengetahui bahwa perjuanganmu untuk orang lain tak sia-sia. Bagiku yang tidak bisa apa-apa ini, itu adalah sebuah prestasi. Ah, tidak seharusnya aku mengatakan itu, ya? Harusnya kujawab pertanyaanmu. Apa Kanto cukup terisolasi bagimu? Menurutku tidak, ya. Kami di sini masih bisa mendapatkan akses informasi yang cukup dan keperluan yang kami butuhkan. Informasi tentang kebijakan Kaisar Taisho juga mudah didapat. Kau sendiri, berasal dari mana? Kata-kata dan kalimatmu tampak asing bagiku. Aku harap suatu saat kita bisa bertemu dan membicarakan keajaiban ini. Salam, Chiyoko."

Si gadis tersenyum. Semoga saja Tokito cepat membalas, tetapi bila dilihat dari pengalamannya kini, bisa jadi ada perbedaan waktu sehari setiap dia mengirim pesan. Chiyoko sangat tidak sabar dengan apa yang akan Tokito bicarakan.

...

Matahari sudah condong ke barat ketika Tokito kembali dari kuliahnya. Berkas-berkas Jingga menyusup dari gorden yang menutup jendela kamar.

Setelah mendapat surat dari Chiyoko kemarin, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia merasa ingin hidup lebih lama hanya untuk mendapati kata-kata semangat lagi dari Chiyoko, seseorang misterius yang membuatnya penasaran karena tidak mengetahui apa itu internet dan lainnya. Ternyata ada orang yang lebih tidak beruntung darinya hingga tidak tahu teknologi yang dapat membantu kehidupan sehari-hari?

Tokito melemparkan tasnya ke kasur, lalu bergegas membuka laci setelah menghidupkan lampu kamar. Surat Chiyoko yang dari kemarin dia tunggu akhirnya datang. Dengan hati yang meletup-letup, lelaki itu membaca pesan yang tertera. Senyum Tokito merekah, tetapi seketika turun disertai kening yang mengerut. Apa katanya? Taisho? Bukankah itu sudah 100 tahun lalu? Mungkinkah laci mejanya tidak hanya terhubung dengan tempat lain tapi juga waktu yang lampau? Kalau benar, apa itu artinya dia telah mengobrol dengan orang dari masa lalu? Apa Chiyoko tidak akan kaget kalau dia berasal dari masa kini? Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.

"Aku dari Tokyo," tulis Tokito. "Chiyoko, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini, tapi sepertinya kita berada di dua zaman yang berbeda. Kau berada di zaman yang kami kenal sebagai zaman Taisho, sedangkan aku berada di tahun 2023. Secara ajaib laci meja kita terhubung melewati ruang dan waktu. Tidak hanya internet saja yang ada di sini, tetapi juga barang-barang dengan tenaga listrik yang mungkin saja bagi orang zaman dahulu adalah kemustahilan. Bisa kau bayangkan itu? Ini adalah pengalaman yang sangat luar biasa! Aku ingin mengenalmu lebih jauh dan juga tahu bagaimana kehidupanmu di sana." Si lelaki menuliskan itu semua sambil tersenyum, lalu memasukkannya ke laci. Tidak sabar dengan balasan yang akan dia terima dari Chiyoko jika gadis itu dapat menerima semua ini.

...

Apa yang lebih menyenangkan dari mengetahui kabar dari seseorang yang kau tunggu ternyata baik-baik saja? Mendapat surat darinya secara langsung! Surat balasan dari Tokito menandakan bahwa dia masih bertahan tanpa harus disebutkan secara tersurat. Mendengarnya saja sudah membuat Chiyoko bahagia setengah mati karena akhirnya dia bisa berguna untuk seseorang. Tokito bahkan ingin mengenalnya lebih jauh! Sebuah hal tak terduga setelah kebingungan yang melandanya karena ternyata mereka terpaut waktu kurang lebih 100 tahun. Pantas saja Chiyoko tidak mengerti sebagian dari surat pertama Tokito. Gadis itu tidak kaget dan langsung percaya begitu saja karena laci meja yang terhubung dengan orang lain saja sudah aneh dan ajaib. Tidak akan ada orang yang memercayainya dan hanya akan menganggap Chiyoko berkhayal.

Tokito bisa saja ingin mengetahui kehidupan Chiyoko lebih jauh. Namun, gadis itu lebih ingin tahu tentang masa depan tempat Tokito tinggal yang dapat membuatnya depresi. Kalau Chiyoko mengerti, dia akan bisa lebih terhubung dengan lelaki itu.

"Aku juga ingin mengenalmu lebih jauh!"

...

Hari demi hari, hubungan mereka semakin dekat. Tokito sampai selalu membawa dan membaca surat-surat yang dikirimkan Chiyoko. Sejak intensitas surat-menyurat mereka meningkat, ada sesuatu yang tumbuh di hati Tokito. Sebuah perasaan rindu. Padahal lelaki itu hanya berkomunikasi dengan Chiyoko lewat surat dan tidak mengetahui bagaimana sosok orang yang selalu membalas suratnya, tetapi perasaan nyaman itu ada, dan dia ingin terus merasakannya.

"Apa yang kau lakukan hari ini?" tanya Chiyoko, disertai laporan kegiatannya sendiri.

"Hari ini kuliah membosankan. Pikiranku bahkan hanya tertuju padamu. Meskipun kehidupan sosialku tidak terlalu bagus, setidaknya aku masih punya seseorang untuk dipikirkan," balas Tokito sambil tersenyum.

Kalau bisa, Tokito ingin terus seperti itu, memiliki seseorang yang bisa diharapkan meskipun tak tergapai, hari ini, esok, dan untuk selamanya.

...

"Tanggal berapa sekarang?" Tokito melihat ponselnya yang menunjukkan tanggal 1 September pukul 11. 50, dan menyadari ada notifikasi berita yang tertera. Peringatan 100 Tahun Gempa Kanto. Hati lelaki itu menegang. Dia baru ingat, gempa Kanto terjadi saat era Taisho, menyebabkan ribuan korban berjatuhan. Dan itu terjadi hari ini. Itu artinya ... Chiyoko ....

Tokito bergegas berlari ke apartemennya. Suara langkahnya bergema ketika menaiki tangga, seirama dengan degup jantungnya yang berpacu. Tanpa melepas alas kaki ataupun menaruh tas, lelaki itu memeriksa laci mejanya berharap sebuah kabar dari gadis yang sudah memenuhi hari-harinya tersebut. Namun, tidak ada sepucuk surat pun yang terlihat.

Tokito jatuh terduduk di kursinya. Pikirannya langsung meluncur ke hal-hal yang tidak diinginkan. Bagaimana kalau Chiyoko jadi salah satu korban? Namun, lelaki itu seketika sadar, kalau tidak mungkin juga jatuh cinta pada seseorang di masa lalu. Mereka terpaut 100 tahun lamanya. Bagaimana mungkin juga mereka bertemu? Kalaupun masih bisa, Chiyoko sudah berumur satu abad lebih. Setelah itu lalu apa? Apa yang Tokito harapkan?

Tokito menghela napas lelah. Mungkin dia tetap harus mengirimkan pesan pada Chiyoko meskipun kemungkinannya kecil untuk sampai. Kalau tidak dicoba, dia tidak akan tahu. Syukur-syukur ada balasan. Kalau tidak ada, Tokito tahu artinya, dan tidak ada lagi alasan untuk terus berharap pada Chiyoko.

Kami tidak pernah ditakdirkan untuk bertemu secara langsung.

Dengan perasaan yang terus ditegarkan, Tokito mengeluarkan kertas dan pulpen dari tasnya dan menuliskan surat yang mungkin saja adalah yang terakhir.

...

Chiyoko berjalan di antara reruntuhan rumah yang telah rata dengan tanah. Tangannya yang tertutup yukata mengais barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Namun, dia berhenti saat menemukan puing-puing meja belajar yang sudah tak berbentuk. Dia menyingkirkan kayu yang menutupi laci yang kini sudah rusak dan mendapati sepucuk kertas yang sedikit terkoyak. Gadis itu tersenyum dan membaca isinya. Tetes-tetes air mata berjatuhan sampai membasahi surat dari Tokito. Tidak hanya karena kata-kata Tokito yang menyentuh, tetapi juga karena gadis itu sadar, dia tidak mungkin bisa lagi berkirim kabar dengan orang yang telah membuat hidupnya berwarna itu.

" ... terima kasih karena sudah menjadi bagian dari hidupku. Karenamu, aku memiliki semangat lagi untuk hidup."[]

Catatan Penulis:

Terima kasih kepada izaddina karena sudah pesan komis! Menulis cerita romansa-hisfic sangat menguras otak dan tenaga saya. Tidak hanya karena perlu riset agar tidak jauh melenceng dan dapat feel saat dibaca, tapi juga karena romansa bukanlah genre keahlian saya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri.

Maafkan bila belum terpuaskan (tapi katanya sampai nangis ya? Wkwkk).

Sekali lagi terim kasih!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro