bukan akhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing: Love of My Life - Queen

•••

Aku tidak menunjukkan ekspresi apa-apa setelah membaca tulisan Bayan yang diam-diam difoto oleh Fauzan dari buku catatannya. Mungkin awalnya Bayan mau memberikannya padaku, namun ia ragu.

Aku tidak tahu yang kurasakan ini sedih, kesal, atau lucu. Aku juga tidak mengerti keadaan yang sekarang ini disebut apa. Rasanya konyol begitu mengetahui cintaku kandas sebelum dimiliki.

Fauzan menceritakan tentang Emak dan Abah Bayan, mereka adalah Nenek dan Kakek Bayan yang tinggal di kampung. Keduanya tewas dibunuh oleh orang yang mengaku sebagai kerabatnya, dan Bayan menyaksikan sendiri keduanya ketika dihabisi nyawa, kemudian dibakar rumahnya. Hal itu yang menyebabkan Bayan mengidap PTSD.

Bayan tidak terlalu dekat dengan orang tuanya, mereka bercerai ketika ia masih SD dan menikah lagi tanpa mengajak Bayan tinggal bersama. Sejak perceraian keduanya, Bayan tinggal bersama Emak-Abahnya di kampung. Namun ketika keduanya wafat, Bayan tinggal di rumah Fauzan—rumah yang waktu itu kudatangi. Fauzan sendiri merupakan sepupu Bayan.

Lagi-lagi, setelah Emak-Abahnya wafat, kedua orang tua Bayan bertengkar perihal tempat tinggal Bayan. Ibunya bersikukuh kalau Bayan harus tinggal dengan ayahnya, karena rumahnya lebih besar dan ayahnya lebih baik dari segi finansial. Namun, ayah Bayan malah menyuruh agar putranya itu tinggal bersama sang ibu. Katanya, ibu kandung lebih baik dalam mendidik anak.

Mereka kira Bayan tidak keberatan atas pertengkaran itu, karena keduanya menjelaskan ingin men-treat Bayan dengan sempurna. Padahal dalam lubuk hatinya, cowok itu merasakan perih sebab merasa "dibuang" oleh orang tuanya. Aku yakin, karena hal ini juga Bayan selalu berpikiran untuk bunuh diri.

Karena perceraian kedua orang tuanya serta kematian Nenek dan Kakeknya, Bayan memiliki sifat kecemasan berlebih. Ia selalu merasa takut kehilangan, sebisa mungkin ia mencegah hal itu terjadi dengan melakukan hal-hal yang berlebihan dan dibarengi emosi. Aku jadi ingat kejadian di hutan, ia sampai segitu marahnya ketika melihatku membantu Musa.

Rasa takut kehilangan itu membuat Bayan menjadi posesif dan sering overthinking, caranya menenangkan diri adalah dengan self injury. Aku tidak mengerti hal yang satu ini, kenapa harus menyakiti diri sendiri?

"Karena dia selalu mikir, kehilangan yang dialaminya terjadi gara-gara dia sendiri. Waktu orang tuanya cerai, dia mikir itu gara-gara dia nakal. Padahal dia gak nakal, ya ... nakal-nakal wajar anak cowok, gimana sih? Terus waktu Emak-Abah meninggal, Bayan nyalahin diri karena gak berbuat apa-apa pas mereka digorok. Padahal Bayan masih umur ... kelas dua SMP lah, dia juga ketakutan, jadi dia kesel sama diri sendiri, apalagi pas nyokap bokapnya ribut gitu, makin stress itu bocah. Makanya sering coba bunuh diri atau ya gitu, self injury," tutur Fauzan melalui pesan suara ketika aku menanyakan hal tersebut di room chat.

Aku tidak mau mengetahui lebih banyak, takutnya malah semakin berharap agar Bayan kembali seperti kemarin-kemarin. Dia ingin melepaskanku, bukan? Biarlah saja itu terjadi.

Rasa sedih dominan kurasakan. Sesekali air mataku berjatuhan, setelah itu aku diam lagi. Tak berekspresi sama sekali.

Kenapa aku mengalami perpisahan ketika justru aku tak ingin pisah lagi?

Bayan, meskipun sosok yang bagiku sangat menyebalkan, namun tak bisa dipungkiri kalau dia sosok yang membuatku merasa aman di lingkungan baru. Cowok doyan modus yang menyimpan ketulusan dalam hatinya, cowok yang menyukai sifat burukku—pemarah. Dimana lagi aku bisa menemukan yang seperti itu? Kenapa dia terlalu gamang sehingga tidak percaya diri kalau aku bisa menerima dia apa adanya?

Ponselku berbunyi, dengan malas aku meraihnya. Zafran meneleponku, sungguh sebuah momen langka.

"Gue depan kosan lo kayaknya," katanya tanpa berbasa-basi.

"Kenapa pake kayaknya?"

"Ya gue kan gak inget. Coba lo keluar, cepet!"

Aku mendengkus, dengan malas aku berjalan keluar. Kasihan juga kalau betul Zafran ada di depan indekos, emang anak itu hobinya kelayapan. Berbanding terbalik denganku.

Benar, Zafran ada di depan indekos.

"Heh adik laknat! Maen lo jauh banget! Mana pake motor lagi, gue aduin Mama ya!" tegurku ketika tiba di hadapannya. Lagi pula, anak SMA kelas 10 yang belum punya SIM sudah mengendarai motor dengan jarak kurang lebih 200 kilometer. Terlalu riskan.

"Bacot!"

Memang Zafran gak ada sopan-sopannya, tidak salah aku menamainya Japranjing.

"Kak, muka lo gak keurus banget. Lo ... galau, ya?"

"Peduli apaan lo sama muka gue? Balik, Pan, lo kebiasaan deh main jauh-jauh balik pagi."

"Ck. Bawel. Nih, dessert box lagi. Tau dah rasa apaan, buat lo aja. Enek gue makanin gituan," katanya seraya menyodorkan paper bag.

"Ini lo dapet dari mana sih? Gue gak yakin lo nyisihin duit buat beliin gue ginian."

"Yang punya usaha naksir sama gue, terpesona liat posting-an gue di Instagram. Awalnya dia ngirimin gratisan ke rumah, terus gue beli aja satu, buat lo. Kan usahanya udah bercabang-cabang. Eh ini malah dikasih terus-terusan. Emang rejeki orang tampan dan memesona," balasnya. Zafran menyisir rambutnya dengan jari tangan, sok ganteng!

Melihat sebuah motor mendekat ke indekos, Zafran berkata, "udah ah gue balik. Si Nino nungguin di warkop depan. Lo jangan galau, kalo ada yang nyakitin, lapor gue!"

Astaga, adikku kenapa?

"Lo begini malah serem, Pan. Gak ada pantes-pantesnya kita tuh jadi sibling goals. Lo balik ati-ati, salam ke Mama Papa," ujarku.

Adikku itu hanya mengacungkan jempol, setelah memakai helm dia melesat meninggalkanku. Meskipun menyebalkan, bertemu dengannya melegakan perasaanku.

Motor yang tadi mendekat rupanya Bayan yang membonceng Miselia. Sabar Zafrina, jangan panas.

Misel tersenyum tipis kepadaku, kemudian berlalu. Aku hanya membalasnya dengan senyum bengis, biar saja.

Mumpung ada Bayan, aku ingin mengatakan semua yang aku rasakan. Juga ... memastikan apa ia betul-betul mau pergi dari kehidupanku?

"Bayan," panggilku dengan nada serius.

Bayan hanya mengangkat alis, segera saja aku katakan langsung, "lo ... mau ninggalin gue?"

"Ya iya atuh, masa mau disini terus? Kan aku mau pulang, udah malem."

"Lo anggep gue apa sih? Mainan?"

Bayan diam tidak menjawab.

"Sikap lo selama ini ke gue maksudnya apa? Iya, Bayan, emang gue suka marah-marah. Tapi bukan berarti gue gak punya hati buat lo," lirihku.

Aku menatap lurus padanya dengan tenggorokan yang tercekat menahan tangis, sebisa mungkin aku menatapnya nyalang dan menyembunyikan sorot harap dalam mataku. Dia tidak boleh melihatku lemah.

"Kamu kenapa?" tanyanya, sungguh aku tak bisa mengartikan tatapannya kali ini.

🌻🌻🌻

Maaf ga Nge-feel, gak nyambung juga😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro